LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN HIPERBILIRUBIN
A. Konsep Dasar Penyakit 1.
Definisi
Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi dalam darah dan ditandai dengan jaundis atau ikterus, suatu warna kuning pada kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubin merupakan temuan yang wajar pada bayi baru lahir dan pada kebanyakan keba nyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi te tapi hal ini, bisa juga menunjukkan keadaan patologis (Wong, ddk, 2009). Hiperbilirubinemia merupakan kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus (ikterus neonatorum patologis). Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa (Hidayat, 2004). Hiperbilirubinemia (Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2005). Hiperbilirubin adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2001). 2001).
2.
Epidemiologi
Angka kejadian ikterus pada ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 50% pada bayi baru lahir yang cukup bulan dan 75% pada bayi baru lahir yang kurang bulan. Angka kejadian ikterus ternyata berbeda-beda untuk beberapa negara, klinik, dan waktu yang tertentu. Hal ini kemungkinan besar disebabkan perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan (Sarwono, 2005). Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi baru lahir setiap tahunnya sekitar 65% mengalami ikterus. ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, diperoleh data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Hal yang sama diketahui dari RS Dr. Sardjito bahwa sebanyak 85% bayi baru lahir cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari pertama, ketiga, dan kelima. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 16,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
3.
Etiologi
Menurut
Ngastiyah
(2005),
ada
dua
kemungkinan
yang
dapat
menyebabkan hiperbilirubin pada bayi, yaitu penyebab fisiologis dan penyebab patologis dengan penjelasan sebagai berikut : a. Penyebab ikterus fisiologis
Kurang protein Y dan Z
Enzyme glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
b. Penyebab ikterus patologis 1) Peningkatan produksi
Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis .
Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn, dan lainlain. 3) Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi, Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis, dan lain-lain. 4) Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik. 5) Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada ileus obstruktif, hirschsprung. Menurut Wong, dkk (2009), ada beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan hiperbilirubin pada bayi, antara lain a.
Faktor fisiologis (perkembangan – prematuritas)
b.
Berhubungan dengan pemberian ASI
c.
Produksi bilirubin yang berlebihan (misalkan, penyakit haemolitik, defek biokimia, memar)
d.
Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (misalkan defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
e.
Kombimasi berlebihan produksi dan kekurangan sekresi.
f.
Beberapa keadaan penyakit, misalmya hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari ibu diabetes.
g.
Predisposisi ginetik terhadap peningkatan produksi (Penduduk Amerika Asli, Asia)
4.
Patofisiologi
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika sel darah merah dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat haemoglobin terpecah menjadi dua fraksi: heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat yang tidak larut yang terikat pada albimin. Di hati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya enzim glukuronil transferase, dikonjugasi dengan asam glukoronat menghasilkan larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat terkonjugasi, yang kemudian diekskresi dalam empedu. Di usus kerja bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen (pigmen yang memberikan warna khas pada tinja. Sebagian besar bilirubin tereduksi dieksresikan ke feses, sebagian kecil dieliminasi ke urine. Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antar a destruksi SDM dan penggunaan atau ekpresi produk sisa. Tetapi, bila keterbatasan perkembangan atau proses patologis mempengaruhi keseimbangan ini, bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaundis. Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang teridentifikasi pada bayi term. Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl pada hari ketiga kehidupan, kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3 pada hari ke lima. Kadar bilirubin akan tetap dalam keadaan plato pada fase kedua tanpa peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12 sampai 14 hari yang kadarnya akan menurun ke harga normal < 1 mg/dl. Pola ini bervariasi sesuai kelompok ras, metode pemberian makanan (ASI vs Botol), dan usia gestasi. Pada bayi preterm, kadar bilirubin serum dapat memuncak sampai setinggi 10 sampai 12 mg/dl pada hari keempat sampai kelima dan perlahan menurun selama periode 2 sampai 4 minggu. Rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin dibandingkan orang dewasa karenalebih tingginya kadar eritrosit yang beredar dan lebih pendeknya lama hidup sel darah merah (hanya 70 sampai 90 hari, dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan dewasa). Selain itu, kemampuan hati untuk mengkonjugasi bilirubin sangat rendah karena terbatasnya
produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi albumin dibandingkan anak yang lebih. Perubahan normal dalam sirkulasi hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi hati. Normalnya bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh flora usus dan dieksresi dalam feses. Akan tetapi, usus bayi yang steril dan kurang motil pada awalnya kurang efektif dalam mengeksresi urobilinogen. Pada usus bayi baru lahir, enzim β-glucuronidase mampu mengonversi bilirubin terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh mukosa usus dan ditransfor ke hati. Proses ini dikenal sebagai sirkulasi atau pirau enteropatik (Wong, dkk, 2009). Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia dan asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi
terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah,
Hipoksia, dan Hipoglikemia (Ngastiyah, 2005).
Di agram metabolisme bili r ubin
Eritrosit
Haemoglobin
Hem
Besi/Fe
Globulin
Bilirubin indirek (tidak larut dalam air)
Bilirubin berikatan dengan albumin
Terjadi pada limpha, makofag
Terjadi dalam lasma darah
Melalui hati
Bilirubin berikatan dengan glukoronat/ gula residu bilirubin direk (larut dalam air)
Bilirubin direk dieksresi ke dalam kantung empedu
Kantung empedu ke deudenum
Bilirubin direk dieksresi melalui feses dan urine
Hati
Melalui duktus billiaris
5.
Pathway
Haemoglobin
Hemo
Feco
Globin
Biliverdin
Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjungsi eritrositbilirubin /gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus enteropatik), Hb, dan eritrosit abnormal. Pemecahan bilirubin berlebihan Suplay bilirubin melebihi tampungan hepar Hepar tidak mampu melakukan konjugasi Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik
Ikterik neonatus
Peningkatan bilirubin unkonjuned dalam darah pengeluaran mekonium terlambat/obstruksi usus tinja berwarna pucat.
Ikterus pada sklera, leher, dan badan, peningkatan bilirubin indirect > 12 mg/dL
Gangguan metabolik
Hiperbilirubinemia
Kerusakan integritas kulit
Indikasi fototerapi Terpapar sinar dengan intensitas tinggi
Risiko Kekurangan volune cairan
Fluktuasi suhu lingkungan
Ketidakefektifan termoregulasi
6.
Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi dari hiperbilirubin, yaitu : a.
Ikterus prehepatik Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
b.
Ikterus hepatik Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
c.
Ikterus kolestatik Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didapatkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
d.
Ikterus neonatus fisiologi
Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
e.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu
Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik.
Ikterus neonatus patologis Adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah, 205) sebagai berikut :
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis). Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
7.
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus, yaitu : letargi, kejang, tidak mau menyusui, spasme otot, perut membuncit, pembesaran hati, faeses berwarna seperti dempul, tampak ikterus: sklera, kuku, kulit, dan membran mukosa. Jaundice pada 24 jam pertama disebabkan karena penyakithemolotik waktu lahir, sepses, atau ibu dengan diabetik. Gejala yang timbul, antara lain :
Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum, dan hipotoni.
Gejaa kronik : tangisan yang melengking, meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagaian otot mata dan dysplasia dentalis).
8.
Pemeriksaan fisik
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peningkatan bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan.
Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi (Ngastiyah, 2005)
9.
Pemeriksaan penunjang
a.
Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
b.
Pemeriksaan radiology Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
c.
Ultrasonografi Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
d.
Biopsy hati Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
e.
Peritoneoskopi Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita pen yakit ini.
f.
Laparatomi Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita pen yakit ini.
10. Penanganan
Tujuan
primer
penanganan
hiperbilirubinemia
adalah
mencegah
ensepalopati bilirubin, inkomatibilitas darah, membalikkan proses hemolitik. Bentuk penanganan utama melibatkan penggunaan fototerapi. Transfusi tukar biasanya digunakan mengurang kadar bilirubin tinggi yang berbahaya dan terjadi pada penyakit haemolitik. Terapi obat
Penatalaksanaan farmakologis hiperbilirubinemia dengan fenobarbilat dipusatkan pada bayi dengan penyakit haemolitik dan paling efektif jika diberikan pada ibu beberapa hari sebelum persalinan. Fenobarbital membantu sintesis glukuronil transferase dalam hati, yang akan meningkatkan konjugasi bilirubin dan klirens hati pigmen dalam empedu dan sintesis protein yang dapat meningkatkan albumin untuk menambah tempat ikatan bilirubin. Akan tetapi penggunaan fenobarbital pada periode antenatal maupun pasca natal tidak terbukti efektif dibandingkan obat lain dalam menurunkan bilirubin. Produksi bilirubin pada bayi baru lahir dapat dikurangi dengan menghambat oksigenasi heme (suatu enzim yang diperlukan untuk pemecahan heme menjadi biliverdin dengan metalopofirin, terutama tin-protoporfirin dan tin-mesoporfirin. Bayi cukup bulan yang mengalami jaundis juga mendapat manfaat dari pemberian ASI yang sering. Usaha preventif ini ditujukan untuk membantu meningkatkan motilitas usus, mengurangi pirau enterohepatik, dn menstabilkan flora bakteri normal sehingga secara efektif memperbanyak eksresi bilirubin terkonjugasi. Fototerapi
Fototerapi terdiri atas pemberian lampu fluoresen ke kulit bayi yang terpajan. Cahaya lampu akan membantu eksresi bilirubin dengan cara fotoisomerasi, yang mengubah struktur bilirubin menjadi bentuk larut (lunirubin) agar eksresinya lebih mudah. Beberapa studi menunjukkan bahwa lampu fluresen biru lebih efektif dalam menurunkan bilirubin, akan tetapi karena cahaya biru dapat mengubah warna bayi, maka lampu fluresen cahaya normal denga spektrum 420-460 lebih disukai sehingga kulit bayi dapat diobservasi lebih baik mengenai warnanya (jaundis, palor, sianosis) atau kondisi lainnya. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan fototerapi, antara lain (Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma, 2003) : a. Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam untuk menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan. b. Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh bayi dapat seluas mungkin terkena sinar. c. Kedua mata bayi ditutup dengan menggunakan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Pemantauan iritasi mata dilakukan setiap 6 jam dengan membuka penutup mata. d. Daerah kemaluan ditutup dengan menggunakan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi kemaluan dari efek fototerapi. e. Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi untuk mendapatkan energi yang optimal. f. Posiis tubuh bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh bayi mendapatkan penyinaran seluas mungkin. g. Suhu tubuh bayi diukur tiap 4-6 jam. h. Pemasukan cairan dan pengeluaran urine, feses, dan muntah diukur dan dicatat, dan dilakukan pemantauan tanda-tanda dehidrasi. i. Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan. j. Catat lamanya penyinaran. Ada beberapa kelainan yang dapat ditimbulkan oleh karena penyinaran, yaitu (Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma, 2003) : a. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak diukur. b. Frekuensi defekasi meningkat oleh karena peningkatan pembentukan enzim laktase yang berfungsi untuk meningkatkan peristaltik usus. c. Timbulnya kelainan kulit “flea bite rush” di daerah muka, badan, dan ekstremitas. Kelainan ini akan hilang jika terapi sinar dihentikan. d. Peningkatan suhu tubuh bayi oleh karena peningkatan suhu lingkungan atau gagguan pengaturan suhu tubuh bayi. e. Gangguan lain yang kadang ditemukan, antara lain : gangguan minum, letargi, gangguan pertumbuhan, dan mata, serta iritabilitas.
Transfusi Tukar
Penggantian sirkulasi darah neonatus dengan darah dari donor dengan cara mengeluarkan darah neonatus dan memasukkan darah donor secara berulang. Pergantian darah mencapai 75-85%. Tujuan dari tukar transfusi, yaitu menurunkan kadar bilirubin indirek,mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang antibodi yang dapat menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi anemia. Saat transfusi, darah donor dihangatkan sesuai dengan suhu temperatur ruangan. Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain : a. Neonatus harus dipasangi monitor kardio-respirasi. b. Tekanan darah harus dipantau. c. Neonatus dipuasakan, bila perlu pasang selang nasogastrik. d. Neonatus dipasang imfus. e. Disediakan peralatan resusitasi.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1.
Pengkajian
Bagian pengkajian fisik rutin, meliputi mengobservasi adanya bukti jaundis dengan interval teratur. Jaundis paling sering dapat dikaji secara realibel dengan mengobservasi kulit bayi dari kepala ke kaki, warna sklera, dan mmbran mukosa. (Wong, 2009). Penekanan langsung pada kulit, terutama pada tonjolan tulang, seperti tulang pada ujug hidung atau sternum akan menyebabkan pemutihan dan kemungkinan pewarnaan kuning menjadi jelas. Untuk bayi berkulit gelap, warna sklera, konjungtiva, dan membran mukosa oral lebih realibel untuk menjadi indikator. Menurut (Surasmi, Handayani, dan Kusuma, 2003) hal yang perlu dikaji untuk bayi dengan hiperbilirubin, antara lain : a. Riwayat
penyakit,
terdapat
riwayat
penyakit
hemolisis
darah
(ketidakseimbangan golongan Rh atau golongan darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran cerna, ibu menderita DM.
b. Temuan fisik, ikterus terlihat pada sklera, selaput lendir, kulit berwarna merah tua, yrine pekat seperti teh, letargi, hipotonus, refleks menghisap kurang, rangsangan peka tremor, kejang, dan tangisan melengking. c. Laboratorium, Rh darah Ibu dan janin berlainan. Kadar bilirubin bayi aterm lebih dari 12,5 mg/dL, prematur >15mg/dL.
2.
Diagnosa keperawatan
Berikut ini merupakan diagnosa yang dapat muncul akibat adanya penyakit gagal jantung, antara lain : a. Ikterik neonatus berhubungan dengan bilirubin tidak terkonjugasi di dalam sirkulasi. b. Kerusakan
integritas
kulit
berhubungan
dengan
gangguan
metabolik
(hiperbilirubin) c. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi s uhu lingkungan d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan terpapar sinar dengan intensitas tinggi
3.
Rencana tindakan keperawatan
NO
1.
TUJUAN DAN KRITERIA RENCANA TINDAKAN RASIONAL HASIL Ikterik Setelah diberikan asuhan Mandiri Mandiri neonatus b. keperawatan, selama … x .... a. Amati tanda-tanda ikterus. a. Tanda-tanda ikterus ada kulit, membran d. bilirubin jam, diharapkan kadar bilirubin mukosa, dan sklera bayi menunjukkan tidak total kurang dari 10 mg/dL adanya gangguan metabolisme bilirubin. terkonjugasi kriteria hasil: b. Monitor vital sign pada bayi setiap 6 b. Perubahan vita sign menandakan di dalam jam. perubahan kondisi bayi Bilirubin total kurang dari 10 sirkulasi c. Ubah posisi bayi setiap 2 jam. c. Mencegah terjadinya kemerahan pada mg/dL kulit. Memar kulit normal d. Lindungi mata bayi dengan d. Melindungi mata bayi dari efek foto Membran mukosa tisak menggunakan penutup mata yang terapi kuning memantulkan cahaya. Kulit tidak ikterik Kolaborasi Kolaborasi Sklera anikterik e. Pantau kadar bilirubin total. e. Memantau peningkatan kadar bilirubin total. f. Lakukan foto terapi pada bayi sesuai f. Foto terapi dapat membantu mengubah instruksi dokter bilirubin menjadi bentuk larut (lunirubin). DX KEP.
2.
Kerusakan
Setelah dilakukan asuhan Mandiri keperawatan, selama … x... jam, a. Kaji warna kulit setiap 8 jam
Mandiri a. Memantau adanya perubahan warna
integritas
diharapkan integritas kulit bayi b. Ubah posisi bayi setiap 2 jam. kulit b. d. normal dengan kriteria hasil : Turgor kulit baik gangguan Tidak ada tanda-tanda c. Masase daerah yang menonjol. metabolik kerusakan kulit (kulit kering
dan kemerahan pada kulit)
(hiperbiliru bin)
3.
kulit. b. Mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama. c. Memperlancar peredaran darah sehingga mencegah adanya luka tekan. d. Mencegah terjadinya kemerahan dan lecet pada kulit bayi.
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab. Kolaborasi Kolaborasi e. Kolaborasi dalam pemeriksaan kadar e. Mencegah terpaparnya kulit bayi dengan bilirubin bayi, bila kadar bilirubin sinar intensitas tinggi terlalu lama. turun menjadi 7,5 mg/dL fototerapi dapat dihentikan.
Ketidakefek Setelah diberikan asuhan Mandiri Mandiri keperawatan, selama … x... jam, a. Lihat pucat, sianosis, belang, kulit a. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh tifan diharapkan termoregulasi pasien dingin/lembab. Catat kekuatan nadi penurunan curah jantung mungkin termoregula stabil dengan kriteria hasil : perifer. dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit si b.d. dan penurunan nadi. Tanda-tanda vital dalam batas b. Monitoring adanya sianosis pada b. Sianosis menandakan aliran darah tidak normal (RR bayi = 30-50 fluktuasi bagian distal tubuh. beredar secara adekuat. x/menit; Nadi bayi 120-160 suhu c. Pantau vital sign tiap 6 jam c. Mengetahui keadaan umum bayi. x/menit; TD bayi 85/64 0 lingkungan Kolaborasi Kolaborasi mmHg; suhu = 36-37,5 C) d. Berikan obat Antipiretik. d. Antipiretik berfungsi untuk menurunkan Tidak ada penurunan suhu tubuh. kesadaran
Tidak ada sianosis
Akral hangat
Risiko kekurangan volume cairan
adekuat
Nadi perifer teraba kuat Setelah diberikan asuhan Mandiri Mandiri keperawatan selama ….x...jam a. Kaji refleks hisap bayi. a. Mengetahui kemampuan bayi untuk diharapkan volume cairan pasien meghisap. terpenuhi, dengan kriteria hasil : b. Berikan minum peroral bila refleks b. Memenuhi keadekuatan intake cairan bayi tidak adekuat. bayi. Jumlah intake dan output c. Timbang berat badan tiap hari. c. Catat perubahan/hilangnya berat badan seimbang bayi. Tanda-tanda vital dalam batas jumlah intake, output, d. Mengetahui kecukupan intake bayi. normal (RR bayi = 30-50 d. Catat frekuensi, dan konsistensi faeses x/menit; bayi 120-160 bayi. x/menit; TD bayi 85/64 0 e. Pantau turgor kulit dan vital sign e. Penurunan turgor kulit, suhu dan hearth mmHg; suhu = 36-37,5 C) setiap 6 jam. rate yang meningkat adalah tanda-tanda Turgor kulit elastis dehidrasi. Penurunan berat badan tidak Kolaborasi Kolaborasi melebihi 10% dari berat f. Kolaborasi daalam pemberian a. Memenuhi kebutuhan cairan yang tidak badan lahir cairan intravena sesuai kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara oral. bayi.
4.
Perfusi jaringan (CRT <2dtk)
4.
Implementasi
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan yang telah dibuat.
5.
Evaluasi
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan bilirubin tidak terkonjugasi di dalam sirkulasi. Evaluasi : Bilirubin total normal kurang dari 10 mg/dL. b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolik (hiperbilirubin) Evaluasi : integritas kulit normal. c. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu lingkungan Evaluasi : termoregulasi stabil. d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan terpapar sinar dengan intensitas tinggi Evaluasi : kebutuhan volume cairan terpenuhi secara adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Betz & Sowden. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC. Hidayat, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. NANDA Internasional, 2010, Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011, Jakarta: EGC. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit . Jakarta: EGC. Sarwono, P. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Soegeng Soegijanto. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika. Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta: EGC. Wong, D. L. 2009 . Buku Ajar Keperawatan Pediatik. Volume 1. Edisi 6 . Jakarta: EGC.