KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Pengertian •
Limfoma non- Hodgkin adalah suatu kelompok penyakit heterogen yang dapat didefinisi didefinisikan kan sebagai sebagai keganasan keganasan jaringan jaringan limfoid limfoid selain penyakit Hodgkin. (Keperawatan Medikal Bedah Vol.2)
•
Limfoma non-Hodgkin atau Non-Hodgkin’s Lympoma (NHL) adalah suatu kega kegana nasa san n prim primer er jarin jaringa gan n limf limfoi oid d yang yang bers bersif ifat at pada padat. t. Limf Limfom omaa non non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi tr ansplantasi ginjal dan jantung. (Santoso M. 2000)
•
Limfom Limfomaa nonnon- Hodgki Hodgkin n adalah adalah kegana keganasan san sel limfos limfositit- B dan sistem sel limfosit- T. (Doenges 2000)
2. Ep Epid ideemiol miolo ogi
Sekitar 1,5 juta orang di dunia saat ini hidup dengan Limfoma non-Hodgkin dan dalam setahun sekitar 300.000 orang meninggal karena penyakit ini. Sekitar 55% dari mereka mereka mengid mengidap ap Limfom Limfomaa non-Ho non-Hodgk dgkin in tipe tipe yang yang agresi agresiff dan tumbuh tumbuh cepat. cepat. Limfoma non-Hodgkin adalah kanker yang paling cepat tumbuh nomer 3 setelah kanker kulit dan paru - paru. Angka kejadian Limfoma non-Hodgkin telah meningkat 80% dibanding angka tahun 1970an. Angka Limfoma non-Hodgkin meningkat 3 - 7% setiap tahun. Di Indonesia frekuensi relatif Limfoma non-Hodgkin jauh lebih tinggi dibanding limfoma hodgkin. Di negara barat limfoma sel B jauh lebih tinggi dari limfoma sel T. Akan tetapi di Jepang limfoma sel T didapatkan dalam frekuensi yang cukup tinggi. Limfoma non-Hodgkin banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60 tahun. Semakin tua umur, semakin meningkat resiko terkena Limfoma non-Hodgkin.
3. Etiologi
Beberapa Faktor risiko yang dapat menyebabkan Limfoma Non-Hodgkin adalah : 1. Sistem imun yang melemah.
Risiko Risiko terjad terjadiny inyaa Limfom Limfomaa Non-Ho Non-Hodgk dgkin in mening meningkat kat pada pada sistem sistem imun imun yang yang lemah ( misalnya pada penggunaan obat atau transplantasi organ)
2. Infeksi.
Infeksi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma. Namun limfoma tidak dapat ditularkan dari seseorang kepada orang lain. Beberapa contoh dari infeksi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya Limfoma Non-Hodgkin adalah : a) Epst Epstei ein-B n-Barr arr viru viruss (EBV (EBV)) : Infeksi EBV dikaitkan dengan Limfoma Non-Hodgkin. Di Afrika sebagian besar pasien Limfoma Non-Hodgkin akibat EBV. b) Human T-cell leukem leukemia/lym ia/lymphom phomaa virus type 1 (HTLV-1) (HTLV-1) : Infeksi dari HTLV-1 meningkatkan risiko dari leukemia. c) Hepatitis C
Beberapa Beberapa penilitaian penilitaian menemukan menemukan bahwa hepatitis hepatitis C juga meningkatkan meningkatkan risiko terhadap limfoma. d) Helicobacter pylori :
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat menyebabkan ulkus pada lambung dan juga dapat meningkatkan risiko terkena Limfoma Non-Hodgkin. e) Human Human Imuno Imunodef defisi isiens ensii Virus Virus (HIV (HIV)) : HIV merupakan virus yang menyebabkan AIDS. Seseorang yang terjangkit HIV mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjangkit limfoma Non-Hodgkin.
4. Patologi Patologi / Patofi Patofisiolo siologi gi Terja Terjadinya dinya Penyakit Penyakit
Abnormalita Abnormalitass sitogenik, sitogenik, seperti translokasi translokasi kromosom. kromosom. Limfoma Limfoma malignum malignum subjenis subjenis sel yang tidak berdiferensiasi (DU) ialah LNH derajat keganasan tinggi lainnya, jarang dijumpai pada dewasa tetapi sering ditemukan ditemukan pada anak. Subjenis Subjenis histologis histologis ini mencakup mencakup limfoma limfoma Burkitt, Burkitt, yang merupakan merupakan limfoma limfoma sel B dan mempunyai mempunyai ciri abnormalitas abnormalitas kromosom, kromosom, yaitu translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q) biasanya ke lengan panjang kromosom nomor 14 (14q+). Infeksi virus, salah satu yang dicurigai adalah virus Epstein-Barr yang berhubun berhubungan gan dengan dengan limfoma limfoma Burkitt, Burkitt, sebuah sebuah penyakit penyakit yang biasa ditemukan ditemukan di Afrika. Afrika. Infeksi HTLV-1 (Human T Lymphoytopic Virus type 1).
2. Infeksi.
Infeksi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya limfoma. Namun limfoma tidak dapat ditularkan dari seseorang kepada orang lain. Beberapa contoh dari infeksi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya Limfoma Non-Hodgkin adalah : a) Epst Epstei ein-B n-Barr arr viru viruss (EBV (EBV)) : Infeksi EBV dikaitkan dengan Limfoma Non-Hodgkin. Di Afrika sebagian besar pasien Limfoma Non-Hodgkin akibat EBV. b) Human T-cell leukem leukemia/lym ia/lymphom phomaa virus type 1 (HTLV-1) (HTLV-1) : Infeksi dari HTLV-1 meningkatkan risiko dari leukemia. c) Hepatitis C
Beberapa Beberapa penilitaian penilitaian menemukan menemukan bahwa hepatitis hepatitis C juga meningkatkan meningkatkan risiko terhadap limfoma. d) Helicobacter pylori :
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat menyebabkan ulkus pada lambung dan juga dapat meningkatkan risiko terkena Limfoma Non-Hodgkin. e) Human Human Imuno Imunodef defisi isiens ensii Virus Virus (HIV (HIV)) : HIV merupakan virus yang menyebabkan AIDS. Seseorang yang terjangkit HIV mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjangkit limfoma Non-Hodgkin.
4. Patologi Patologi / Patofi Patofisiolo siologi gi Terja Terjadinya dinya Penyakit Penyakit
Abnormalita Abnormalitass sitogenik, sitogenik, seperti translokasi translokasi kromosom. kromosom. Limfoma Limfoma malignum malignum subjenis subjenis sel yang tidak berdiferensiasi (DU) ialah LNH derajat keganasan tinggi lainnya, jarang dijumpai pada dewasa tetapi sering ditemukan ditemukan pada anak. Subjenis Subjenis histologis histologis ini mencakup mencakup limfoma limfoma Burkitt, Burkitt, yang merupakan merupakan limfoma limfoma sel B dan mempunyai mempunyai ciri abnormalitas abnormalitas kromosom, kromosom, yaitu translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q) biasanya ke lengan panjang kromosom nomor 14 (14q+). Infeksi virus, salah satu yang dicurigai adalah virus Epstein-Barr yang berhubun berhubungan gan dengan dengan limfoma limfoma Burkitt, Burkitt, sebuah sebuah penyakit penyakit yang biasa ditemukan ditemukan di Afrika. Afrika. Infeksi HTLV-1 (Human T Lymphoytopic Virus type 1).
5. Klasi lasiffika ikasi
Limfom Limfomaa non-Ho non-Hodgk dgkin in diklas diklasifik ifikasi asikan kan menjad menjadii beberap beberapaa jenis jenis tergant tergantung ung oleh oleh beberapa hal. Berdasarkan derajat keganasan. 1) Berdasarkan
Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen. Limfoma tumbuh lambat sehingga diagnostik awal lebih sulit.
Derajat Keganasan Menengah (DKM)/agresif limfoma.
Derajat Keganasan Tinggi (DKT)/DKT Limfoblastik (Limfoma non-
Hodgkin Limfoblastik) Limfoma cepat tumbuh dan menyebar dalam tubuh dan bila dibiarkan tanpa pengobatan dapat mematikan dalam 6 bulan. Angka harapan hidup rata-rata berkisar 5 tahun dengan sekitar 30-40% sembuh. Pasien yang yang terdiag terdiagnos nosis is dini dini dan langsu langsung ng diobat diobatii lebih lebih mungki mungkin n meraih meraih remisi remisi sempur sempurna na dan jarang jarang mengal mengalami ami kekamb kekambuha uhan. n. Karena Karena ada potensi kesembuhan, maka biasanya pengobatan lebih agresif. 2) Berdasar Berdasarkan kan jenis jenis patologi patologi (tingkat rendah, rendah, sedang, sedang, atau atau tinggi) dilihat dilihat dari formulasi kerja yang baru.
Tingkat rendah: tipe yang baik. 1. Limfositik kecil. 2. Sel folikulas, kecil berbelah. 3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah.
Tingkat sedang: tipe yang tidak baik. 1. Sel folikulis, besar. 2. Sel kecil berbelah, difus. 3. Sel campuran besar dan kecil, difus. 4. Sel besar, difus.
Tingkat tinggi: tipe yang tidak menguntungkan.
1. Sel besar imunoblastik. 2. Limfoblastik. 3.Sel kecil tak berbelah. 3) Klas Klasif ifik ikas asii KIEL KIEL
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang dengan demikian demikian dapat dihubungkan dihubungkan dengan letak sel pada komparteme kompartemen n kelenjar kelenjar
getah bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma yang berasal dari sel B adalah: 1. Precursor B-Cell Limfoma Limfoma dianggap berasal dari limpoblast. Dapat terjadi dalam bentuk leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik yang disebut limphoblastik leukemia/Lympoma. 2. Limfoma non-Hodgkin yang berasal dari native B-cell
Limfoma non-Hodgkin ini disebut sebagai small lyphotic lymphoma (SLL) yang identik dengan bentuk cronik limphositic leukemia (CLL). Dapat juga itu disebut sebagai Cronik Limphositic Leukemia Limphoma. 3. Limfoma non-Hodgkin yang berasal dari germinal center dari satu folikel limpoid Limfoma non-Hodgkin dari germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu : a. Fallicular lymphoma : terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari germinal center normal. Limfoma non-Hodgkin jenis ini biasanya bersifat endolen, tapi incurable. b. Large cell lymphomas : terdiri dari sel-sel besar yang terdapat folikel
normal (centroblast). Jenis ini lebih sering bersifat difus karena itu disebut sebagai difus large cell lymphoma. Limfoma non-Hodgkin jenis ini bersifat agresif tetapi sangat responsive terhadap kemoterapi. 4. Limfoma non-Hodgkin yang berasal dari mantle zone
Limfoma non-Hodgkin jenis ini disebut sebagai mantle cell lymphoma. Secara imuno-fenotepe mirip SLL, tetapi menunjukkan CD 5+. Perjalanan klinis slowly progressive dan incurable dengan standar kemoterapi. 5. Limfoma non-Hodgkin yang berasal dari marginal zone atau parafolicular termasuk dalam golongan ini adalah : B-Cell monositoid lymphoma, lowgrade mukosa-associate limpoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic marginal zone lymphoma. Dulu dikenal sebagai low-grade limphomas. Terdiri dari sel-sel limposit kecil yang menempati zone marginal atau parafolicular dari folikel limpoid normal. Perhatian khusus sekarang diberikan kepada ekstranodal marginal zone B-cell lymphoma off mukosaassociate lymphoid tissue, yang lebih dikenal sebagai MALT limpomast. MALT lymphoma dijumpai pada gaster, kelenjar ludah dan kelenjar lakrimalis. MALT lymphoma pada gaster dan duodenum dihubungkan
dengan infeksi helicobacter pilori. Klasifikasi yang baru adalah klasifikasi REAL
(Revised
Eurepe
Amercan
Lymphoma)
dari
International
Lymphoma Study Group. 4) Berdasarkan klasifikasi Ann Borr (didasari oleh tingkat keterlibatan) a. Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE). b. Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma yang sama (II) atau keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik dan satu atau lebih daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Rekomendasi lain: jumlah daerah nodus yang terlibat ditunjukkan dengan tulisan di bawah garis (subscript) (misalnya II3). c. Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua di diafragma (III), yang juga dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S). d. Stadium IV:
Keterlibatan yang difus atau tanpa disertai pembesaran kelenjar getah bening. Alasan untuk menggolongkan pasien ke dalam stadium IV harus dijelaskan lebih lanjut dengan menunjukkan tempat itu dengan simbol.
6. Gejala Klinis •
Gejala dan tanda NHL meliputi pembengkakan kelenjar getah bening (pada leher, ketiak, atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam.
•
Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik, sebanyak 2% pasien dapat mengalami demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan limfoma indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis, meskipun biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk ekstranodalnya, penyakit ini paling sering te rjadi pada lambung, paru-paru dan tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada
penyakit yang biasa menyerang organ-organ tersebut. Dengan menerapkan kriteria yang digunakan oleh Rosenberg dan Kaplan untuk menentukan rantairantai kelenjar getah bening yang saling berhubungan. Jones menemukan bahwa pada 81% di antara 97 penderita Limfoma non-Hodgkin jenis folikular dan 90% di antara 93 penderita Limfoma non-Hodgkin jenis difus, penyebaran penyakit juga terjadi dengan cara merambat dari satu tempat ke tempat yang berdekatan. Walaupun demikian hubungan antara kelenjar getah bening daerah leher kiri dan daerah para aorta pada Limfoma non-Hodgkin jenis folikular tidak sejelas seperti apa yang terlihat pada Limfoma non-Hodgkin jenis difus. Rosenberg melaporkan bahwa pada semua penderita Limfoma non-Hodgkin difus dengan jangkitan pada sumsum tulang, didapati jangkitan pada kelenjar getah bening para aorta yang terjadi sebelumnya atau bersamaan dengan terjadinya jangkitan pada sumsum tulang. Diantara semua subjenis Limfoma non-Hodgkin menurut klasifikasi Rappaport subjenis histiotik difus menunjukkan angka yang terendah dari jangkitan penyakit pada hati (Santoso M., 2000 ) •
Gejala klinik limfoma non- Hodgkin dapat berupa berikut : 1. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Pembesaran kelenjar getah bening asimetrik, lokasi dan tanda fisik kelenjar getah bening persis sama dengan penyakit Hodgkin. 2. Gejala konstitusional dapat berupa demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.Gejala konstitusional ini lebih jarang dijumpai dibandingkan pada penyakit hodgkin. 3. Jangkitan orofaringeal dijumpai pada 5-10% kasus yang dapat
menimbulkan keluhan sakit menelan ( sore throat ). 4. Anemia, infeksi, dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang secara difus. 5. Dapat dijumpai hepato/splenomegali. 6. Gejala pada organ lain seperti kulit, otak, testis, dan tiroid dapat
dijumpai. Kelainan kulit sering dijumpai pada mycosis funguides dan
scezary syndrome. (Bakta, 2006)
•
Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan menyebabkan: ∼
∼
gangguan pernafasan berkurangnya nafsu makan
∼
sembelit berat
∼
nyeri perut
∼
pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukemia. Limfoma nonHodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anak-anak, gejala awalnya adalah masuknya sel-sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak dan tulang belakang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masuknya sel limfoma ini menyebabkan anemia, ruam kulit, dan gejala neurologis (misalnya kelemahan dan sensasi yang abnormal). Biasanya yang membesar adalah kelenjar getah bening di dalam, yang menyebabkan: ∼
pengumpulan cairan di sekitar paru-paru sehingga timbul sesak nafas
∼
penekanan usus sehingga terjadi penurunan nafsu makan atau muntah
∼
penyumbatan kelenjar getah bening sehingga terjadi penumpukan cairan.
Berikut dijelaskan dalam tabel : Kemungkin Gejala
Penyebab
an Timbulnya
Gangguan pernafasan
Pembesaran kelenjar getah bening di
Gejala 20% - 30%
Hilang nafsu makan
dada Pembesaran kelenjar getah bening di
30% - 40%
Sembelit berat
perut
Nyeri perut atau perut kembung Pembengkakan tungkai
Penyumbatan pembuluh getah bening di
10%
Penurunan berat badan
selangkangan atau perut Penyebaran limfoma ke usus halus
10%
Diare
Malabsorbsi Pengumpulan cairan di
Penyumbatan pembuluh getah bening di
sekitar paru-paru
dalam dada
(efusi pleura ) Daerah kehitaman dan
Penyebaran limfoma ke kulit
10-20%
Penyebaran limfoma ke seluruh tubuh
50-60%
20-30%
menebal di kulit yang terasa gatal Penurunan berat badan Demam Keringat di malam hari Anemia
Perdarahan ke dalam saluran
30%,
(berkurangnya jumlah sel
pencernaan
akhirnya
darah merah)
Penghancuran sel darah merah oleh
bisa
limpa yang membesar & terlalu aktif
mencapai
Penghancuran sel darah merah oleh
100%
pada
antibodi abnormal ( anemia hemolitik ) Penghancuran sumsum tulang karena penyebaran limfoma Ketidakmampuan sumsum tulang untuk menghasilkan sejumlah sel darah merah Mudah terinfeksi oleh
karena obat atau terapi penyinaran Penyebaran ke sumsum tulang dan
bakteri
kelenjar getah bening, menyebabkan
20-30%
berkurangnya pembentukan antibodi
7. Pemeriksaan Fisik
a)
Keadaan umum
Kesadaran : tidak terjadi penurunan kesadaran (compos mentis). b)
Pemeriksaan integument
Terdapat daerah kehitaman dan menebal di kulit yang terasa gatal akibat perluasan limfoma ke kulit. c)
Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik . Wajah : normal.
Leher : biasanya terjadi pembengkakan pada kelenjar getah bening di leher. Pembesaran terkadang terjadi juga pada tonsil sehingga mengakibatkan gangguan menelan. d)
Pemeriksaan dada
Apabila terjadi pembesaran kelenjar getah bening di dada, maka pasien akan merasakan
sesak
nafas.
Penyumbatan
pembuluh
getah
bening
di
dada
mengakibatkan penyumbatan cairan di paru sehingga dapat mengakibatkan sesak nafas dan efusi pleura. e)
Pemeriksaan abdomen.
Apabila terjadi pembesaran kelenjar getah bening di perut maka akan menimbulkan hilang nafsu makan, sembelit berat, nyeri perut atau perut kembung dan nyeri tekan . f)
Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus.
Terkadang terdapat konstipasi akibat penekanan pada usus. Jika limfoma menyebar ke usus halus maka akan terjadi penurunan berat badan Diare dan Malabsorbsi. Terdapat pembengkakan pada skrotum. g)
Pemeriksaan ekstremitas.
Jika terjadi penyumbatan pembuluh getah bening di selangkangan atau perut maka akan terjadi pembengkakan tungkai. Dan apabila terdapat penyumbatan pembuluh getah bening pada daerah aksila maka akan terjadi pembengkakan pada daerah aksila.
8. Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang
dapat
dilakukan adalah berdasarkan derajat keganasan menurut Santoso M., 2000 , yakni : 1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik. •
Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu:
COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone) . •
Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan
untuk lokal dan paliatif. Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field
Radiotherapy. 2. Derajat Keganasan Menengah (DKM)/agresif limfoma •
Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP
(Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin, Oncovin, Prednisone.
•
Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan
untuk tujuan paliasi. 3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik) selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia (Limfoblastik Akut (LLA)). 4. Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
1. setelah siklus kemoterapi ke-empat 2. setelah siklus pengobatan lengkap Menurut Bakta, 2006, terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut : 1) Radioterapi a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I). b. Untuk ajuvan pada “bulky disease” . c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut.
2) Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (single agent)
Chlorambucil atau siklosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi tiga, yaitu : Kemoterapi kombinasi generasi I, terdiri atas :
•
CHOP
(Cyclophospamide,
doxorubicine,
vincristine,
prednison )
CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine )
COMLA (Cyclophospamide, vincristine, methotrexate, with
leucovorin rescue )
CVP/COP (Cyclophospamide, vincristine, prednison )
C-MOPP (Cyclophospamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, procarbazine) Kemoterapi generasi II, terdiri atas :
•
COP-Blam (Cyclophospamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, bleomycine, doxorubicine, procarbazine )
Pro-MACE-MOPP ( Prednison, methotrexat with leucovorin
rescue,
doxorubicine,
cyclophospamide,
etoposide,
mechlorethamine, vincristine, prednison, procarbazine )
M-BACOD (Methotrexat with leucovorin rescue, bleomycine,
doxorubicine, cyclophospamide, vincristine, dexamethasone ) Kemoterapi generasi III, terdiri atas :
•
COPBLAM III (Cyclophospamide, infusional vincristine,
prednison, infisional bleomycine, doxorubicine, procarbazine )
Pro-MACE-CytaBOM
( Prednison,
methotrexate
with
leucovorin rescue, doxorubicine, cyclophospamide, etoposide, cytarabine,
bleomycine,
vincristine,
methotrexate
with
leucovorin rescue )
MACOP-B
doxorubicine,
(Methotrexate
with
cyclophospamide,
leucovorin vincristine,
rescue, prednison,
bleomycine ) 3) Transplantasi sumsum tulang. 4) Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell
transplantasion. 5) Terapi dengan imunomodulator. 6) Targeted therapy.
9. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
Menurut Bakta, 2006 pada pasien LNH dapat dilakukan beberapa pemeriksaan : 1. Pemeriksaan hematologi Pada penderita LNH, melalui pemeriksaan hematologi dapat dijumpai hasilhasil sebagai berikut : o
Dapat dijumpai anemia bersifat normokromik normositer
o
Pada jangkitan sumsum tulang yang luas dapat dijumpai anemia, leukopenia dan trombositopenia serta gambaran leukoeritroblastik
o
Dapat dijumpai fase leukemik dari LNH dengan >5% sel muda dalam darah tepi
o
Biopsi sumsum tulang menunjukkan lesi fokal pada 20% kasus. Jangkitan sumsum tulang justru lebih sering LNH low-grade.
2. Pemeriksaan petanda imunologik ( imunological marker )
Bertujuan untuk melihat ekspresi antigen pada permukaan sel dan untuk menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya. 3. Pemeriksaan Kromosom (Sitogenik) Pemeriksaan ini penting untuk menentukan prognosis. 4. Pemeriksaan biologi molekuler Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya rearrangement immunoglobulin
genes pada LNH sel B dan rearrangement T-cell receptor genes pada LNH sel T. 5. LDH ( Lactic dehydrogenase)
LDH sering meningkat pada LNH dengan proliferasi sel yang cepat dan pada penyakit yang luas. asam urat serum juga sering meningkat. Menurut Doengoes: 1. Pemeriksaan Darah Lengkap
SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.
Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).
SDM dan Hb/Ht : menurun. Peneriksaan SDM dapat menunjukkan
normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik (hiperplenisme).
LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau
penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi pasien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.
Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat.
Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang
digantikan oleh limfoma dan oleh hipersplenisme)
Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun,
hasil negatif biasanya terjadi pada penyakit lanjut.
Besi serum dan TIBC : menurun.
Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.
Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.
Asam urat serum
:
meningkat
nukleoprotein dan keterlibatan hati dan ginjal.
sehubungan dengan destruksi
2. Pemeriksaan THT untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer terlibat dilanjutkan dengan tindakan gstroskopy 3. BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ. 4. Hipergamaglobulinemia umum: hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut. 5. Foto dada: dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural. 6. Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan area yang terkena dan membantu dalam pentahapan. 7. Tomografi paru secara keseluruhan atau skan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum. 8. Skan CT abdomenial: mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik. 9. Ultrasound abdominal: mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal. 10. Skan tulang: dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang. Skintigrafi Galliium-67: berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya diatas diagfragma. 11. Biopsi sumsum tulang: menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas. 12. Biopsi nodus limfa: membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Sternberg. 13. Mediastinoskopi: mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal. 14. Laparatomi pentahapan: mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali pasien mengalami manifestasi klinis penyakit tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.
10. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan histopatologi. Untuk Limfoma non-Hodgkin memakai kriteria Internasional Working Formulation (IWF) menjadi derajat keganasan rendah, sedang dan tinggi. Sedangkan untuk penentuan stadium
(staging)
menggunakan
klasifikasi
Ann Borr (didasari
oleh tingkat
keterlibatan).
11. Diagnosa Banding 1. Limfoma Hodgkin
Penyakit Hodgkin adalah suatu jenis keganasan sistem kelenjar getah bening dengan gambaran histologis yang khas. Ciri histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Sternberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran selular getah bening yang khas. Gejala utama adalah pembesaran kelenjar yang paling sering dan mudah dideteksi adalah pembesaran kelenjar di daerah leher. Pada jenis-jenis tipe ganas (prognosis jelek) dan pada penyakit yang sudah dalam stadium lanjut sering disertai gejala-gejala sistemik yaitu: panas yang tidak jelas sebabnya, berkeringat malam dan penurunan berat badan sebesar 10% selama 6 bulan. Kadang-kadang kelenjar terasa nyeri kalau penderita minum alkohol. Hampir semua sistem dapat diserang penyakit ini, seperti traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, sistem saraf, sistem darah, dan lain-lain. 2. Limfadenitis Tuberkulosa
Merupakan salah satu sebab pembesaran kelenjar limfe yang paling sering ditemukan. Biasanya mengenai kelenjar limfe leher, berasal dari mulut dan tenggorok (tonsil). Pembesaran kelenjar-kelenjar limfe bronchus disebabkan oleh tuberkulosis paru-paru, sedangkan pembesaran kelenjar limfe mesenterium disebabkan oleh tuberkulosis usus. Apabila kelenjar ileocecal terkena pada anak-anak sering timbul gejala-gejala
appendicitis acuta , yaitu nyeri tekan pada perut kanan bawah, ketegangan otot-otot perut, demam, muntahmuntah dan lekositosis ringan. Mula-mula kelenjar-kelenjar keras dan tidak saling melekat, tetapi kemudian karena terdapat periadenitis, terjadi perlekatan-perlekatan.
12. Prognosis
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu
yang lama dan dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi agresif berisi doksorubisin mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN a. Kebutuhan dasar:
Menurut M. Doengoes (2000) pengkajian yang bisa dilakukan pada pasien dengan Limfoma Non-Hodgkin adalah: 1) AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Kelelahan, kelemahan atau malaise umum. Kehilangan produktifitas dan penurunan toleransi latihan.
Tanda: Penurunan kekuatan, jalan lamban dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan. 2) SIRKULASI
Gejala: Palpitasi, angina/nyeri dada.
Tanda: Takikardia, disritmia, sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang), ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu dan pembesaran nodus limfa (mungkin tanda lanjut), pucat (anemia), diaforesis, keringat malam. 3) ELIMINASI
Gejala: Perubahan karakteristik urine dan atau feses. Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi,
atau
sindrom
malabsorbsi
(infiltrasi
dari
nodus
limfa
retroperitoneal).
Tanda: Penurunan haluaran urine, urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal ginjal). Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut). 4) MAKANAN/CAIRAN
Gejala: Anoreksia/kehilangna nafsu makan. Disfagia (tekanan pada easofagus).
Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.
Tanda: Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi venakava superior oleh pembesaran nodus limfa) Ekstremitas : edema ekstremitas bawah sehubungan dengan obtruksi vena kava inferior dari pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-Hodgkin) Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraabdominal). 5) NYERI/KENYAMANAN
Gejala: Tidak ada nyeri pada nodus limfa yang terkena. 6) PERNAPASAN
Gejala: Dispnea pada saat kerja atau istirahat.
Tanda: Dispnea, takikardia. Batuk kering non-produktif. Tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekwensi pernapasan dan kedaalaman penggunaan otot bantu, stridor, sianosis. Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal). 7) KEAMANAN
Gejala: Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitas imunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis atau infeksi bakterial). Riwayat monokleus (resiko tinggi penyakit Hodgkin pada pasien yang titer tinggi virus Epstein-Barr). Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster. Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa minggu (demam pel Ebstein) diikuti oleh periode demam, keringat malam tanpa menggigil. Kemerahan/pruritus umum.
Tanda: Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 38 oC tanpa gejala infeksi, nodus limfe simetris, tak nyeri, membengkak/membesar (nodus servikal paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan, kemudian
nodus aksila dan mediastinal). Nodus terasa keras, diskret dan dapat digerakkan, pembesaran tosil, pruritus umum. Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo). 8) SEKSUALITAS
Gejala: Masalah
tentang
fertilitas/kehamilan
(sementara
penyakit
tidak
mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi), penurunan libido.
2. Pemeriksaan Fisik a)
Keadaan umum
Kesadaran: tidak terjadi penurunan kesadaran (compos mentis). b)
Pemeriksaan integument
Terdapat daerah kehitaman dan menebal di kulit yang terasa gatal akibat perluasan limfoma ke kulit. c)
Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala: bentuk normocephalik . Wajah: normal. Leher: biasanya terjadi pembengkakan pada kelenjar getah bening di leher. Pembesaran terkadang terjadi juga pada tonsil sehingga mengakibatkan gangguan menelan. d)
Pemeriksaan dada
Apabila terjadi pembesaran kelenjar getah bening di dada, maka pasien akan merasakan
sesak
nafas.
Penyumbatan
pembuluh
getah
bening
di
dada
mengakibatkan penyumbatan cairan di paru sehingga dapat mengakibatkan sesak nafas dan efusi pleura. e)
Pemeriksaan abdomen.
Apabila terjadi pembesaran kelenjar getah bening di perut maka akan menimbulkan hilang nafsu makan, sembelit berat, nyeri perut atau perut kembung . f)
Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus.
Terkadang terdapat konstipasi akibat penekanan pada usus. Jika limfoma menyebar ke usus halus maka akan terjadi penurunan berat badan Diare dan Malabsorbsi. Terdapat pembengkakan pada skrotum. g)
Pemeriksaan ekstremitas.
Jika terjadi penyumbatan pembuluh getah bening di selangkangan atau perut maka akan terjadi pembengkakan tungkai. Dan apabila terdapat penyumbatan pembuluh getah bening pada daerah aksila maka akan terjadi pembengkakan pada daerah aksila.
3. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan Darah Lengkap
SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.
Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).
SDM dan Hb/Ht : menurun. Peneriksaan SDM dapat menunjukkan
normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik (hiperplenisme).
LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau
penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi pasien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.
Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat.
Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang
digantikan oleh limfoma dan oleh hipersplenisme)
Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun,
hasil negatif biasanya terjadi pada penyakit lanjut.
Besi serum dan TIBC : menurun.
Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.
Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.
Asam urat serum
:
meningkat
sehubungan dengan destruksi
nukleoprotein dan keterlibatan hati dan ginjal. 2) Pemeriksaan THT untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer terlibat dilanjutkan dengan tindakan gstroskopy. 3) BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ. 4) Hipergamaglobulinemia umum: hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut.
5) Foto dada: dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural. 6) Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan area yang terkena dan membantu dalam pentahapan. 7) Tomografi paru secara keseluruhan atau skan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum. 8) Skan CT abdomenial: mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik. 9) Ultrasound abdominal: mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal. 10) Skan tulang: dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang. Skintigrafi Galliium-67: berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya diatas diagfragma. 11) Biopsi sumsum tulang: menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas. 12) Biopsi nodus limfa: membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Sternberg. 13) Mediastinoskopi: mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal. 14) Laparatomi pentahapan: mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali pasien mengalami manifestasi klinis penyakit tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan edema paru ditandai dengan penurunan ekspansi paru dan sesak napas. 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembesaran kelenjar getah bening di retroperitoneal ditandai dengan klien tampak meringis dan melaporkan nyeri. 3. Hipertermia berhubungan dengan respon inflamasi ditandai dengan suhu meningkat, kulit kemerahan, dan kelemahan
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual/ muntah ditandai dengan ketidakadekuatan masukan makanan, enggan untuk makan, perubahan sensasi rasa dan membran mukosa pucat. 5. Gangguan menelan berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening di tonsil ditandai dengan klien mengalami kesulitan untuk menelan, statis makanan dalam rongga mulut, klien tersedak saat makan/minum. 6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidaknyamanan ditandai dengan klien mengalami kesulitan dalam mobilisasi dan keterbatasan rentang gerak. 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakakuratan informasi ditandai dengan, klien tampak bertanya-tanya tentang penyakitnya, klien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya. 8. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat limfoma non-hodgkin ditandai dengan
pembengkakan kelenjar getah bening di
leher, kulit kehitaman dan penebalan kulit, klien mengatakan malu dengan tubuhnya, klien mengatakan malu keluar rumah, klien tampak menutupi bagian tubuhnya yang abnormal.
3. INTERVENSI Menentukan Prioritas
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan edema paru ditandai dengan penurunan ekspansi paru dan sesak napas. 2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembesaran kelenjar getah bening di retroperitoneal ditandai dengan klien tampak meringis dan melaporkan nyeri. 3. Hipertermia berhubungan dengan respon inflamasi ditandai dengan suhu meningkat, kulit kemerahan, dan kelemahan 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual/ muntah ditandai dengan ketidakadekuatan masukan makanan, enggan untuk makan, perubahan sensasi rasa dan membran mukosa pucat. 5. Gangguan menelan berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening di tonsil ditandai dengan klien mengalami kesulitan untuk menelan, statis makanan dalam rongga mulut, klien tersedak saat makan/minum.
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidaknyamanan ditandai dengan klien mengalami kesulitan dalam mobilisasi dan keterbatasan rentang gerak. 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakakuratan informasi ditandai dengan, klien tampak bertanya-tanya tentang penyakitnya, klien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya. 8. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat limfoma non-hodgkin ditandai dengan
pembengkakan kelenjar getah bening di
leher, kulit kehitaman dan penebalan kulit, klien mengatakan malu dengan tubuhnya, klien mengatakan malu keluar rumah, klien tampak menutupi bagian tubuhnya yang abnormal.
Intervensi Keperawatan 1. Diagnosa
Gangguan pola nafas berhubungan dengan edema paru ditandai dengan penurunan ekspansi paru dan sesak napas. Tujuan:
Setelah diberikan askep selama …x 24 jam diharapkan pola nafas klien efektif, dengan kriteria hasil: -
Tidak ada sesak napas
-
Tidak terdapat takikardia
-
Tidak ada ronki
-
Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan.
Intervensi Mandiri: a.
Observasi: RR, suhu, suara naafas
Rasional: kecepatan biasanya meningkat, dipsnea dan terjadi peningkatan kerja nafas. Pernafasan dangkal. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada pleuritik. b.
Berikan posisi fowler/semi fowler.
Rasional: duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
c.
Beri dan bantu ubah posisi secara periodik.
Rasional : meningkatkan sekresi semua segmen paru dan dan memobilisasi semua sekresi. d.
Anjurkan dan bantu klien untuk teknik nafas dalam atau pernapasan
bibir, atau pernapasan diafragmatik bila diindikasikan.
Rasional: membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan nafas kecil. Memberikan
pasien
beberapa
kontrol
terhadap
pernapasan,
membantu
menurunkan ansietas. a. Observasi warna kulit, membrane mukosa, dan kuku, cacat adanya sianosis ferifer (kuku) atau sianosis sentral (sirkumoral).
Rasional : proliferasi SDP dapat menurunkan kapasitas pembawa oksigen darah dan menyebabkan hipoksemia. b. Kaji respon pernapasan terhadap aktifitas. Perhatikan keluhan dispnea dan
peningkatan kelelahan. Jadwalkan periode istirahat antara aktivitas.
Rasional : penurunan oksigen seluler menurunkan toleransi aktifitas. Istirahat yang cukup menurunkan kebutuhan oksigen dan mencegah kelelahan dan dispnea. c. Observasi distensi vena leher, sakit kepala, pusing, edema periorbital, dispnea dan stridor.
Rasional: pasien Limfoma Non-Hodgkin pada risiko sindroma vena kava superior dan obstruksi jalan nafas, menunjukkan kedaruratan onkologis. Kolaborasi: a.
Lakukan fisioterapi dada kerjakan sesuai jadwal.
Rasional : memudahkan upaya pernafasan dalam dan meningkatkan drainase secret dari segmen paru ke dalam bronkus, dimana dapat lebih mempercepat pembuangan dengan batuk/penghisapan. b.
Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional: memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas. c.Berikan humidifikasi tambahan
Rasional: memberikan kelembaban pada membrane mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan. d.
Awasi pemeriksaan laboratorium misal : AGD , oksimetri
Rasional: mengukur keadekuatan fungsi pernapasan dan terapi. e.
Bantu pengobatan pernapasan tambahan : IPPB, spirometri intensif.
Rasional : meningkatkan aerasi maksimal pada semua segmen paru dan mencegah atelektasis.
2. Diagnosa
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembesaran kelenjar getah bening di retroperitoneal ditandai dengan klien tampak meringis dan melaporkan nyeri. Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …..24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : - Pasien melaporkan nyeri berkurang.
- Pasien tampak rileks - Skala nyeri 0-2 Intervensi
a. Kaji nyeri,catat lokasi,karakteristik, beratnya( skala 0-10), Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat
Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medic dan intervensi. b. Pertahankan istirahat dengan posisi semi Fowler.
Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang. c. Anjurkan teknik non farmakologi (ex: relaksasi, guided imagery, terapi music, distraksi)
Rasional : terapi non farmakologi membantu meminimumkan rasa nyeri pada klien d. Kolaboratif pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional : menghilangkan nyeri mempermudah kerja sama dengan intervensi terapi lain contoh ambulasi , batuk
3. Diagnosa
Hipertermia berhubungan dengan respon inflamasi ditandai dengan suhu meningkat, kulit kemerahan, dan kelemahan Tujuan
setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan suhu tubuh klien menurun dengan kriteria hasil : -
Suhu 36-37 derajat celcius
-
Kulit klien tidak tampak kemerahan
-
Klien tampak tidak merasa lemah
Intervensi
a. Periksa TTV klien
Rasional Membantu dalam penentuan pemberian terapi b. Kompres klien dengan air hangat
Rasional Air hangat mampu memberikan respon vasodilatasi sehingga peredaran darah menjadi lancar c. Anjurkan klien untuk minum air putih >2000ml/ hari kecuali ada kontraindikasi misalnya penyakit jantung
Rasional Cairan yang adekuat mampu menyeimbangkan elektrolit di dalam tubuh d. Anjurkan klien mandi dengan air hangat
Rasional Mandi air hangat membuat klien lebih merasa nyaman e. Anjurkan klien makan makanan yang hangat kolaborasi pemberian obat contoh : paracetamol
Rasional Kolaborasi medikamentosa contohnya paracetamol sebagai obat penurun panas
4. Diagnosa
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual/ muntah ditandai dengan ketidakadekuatan masukan makanan, enggan untuk makan, perubahan sensasi rasa dan membran mukosa pucat. Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pola nutrisi pasien kembali seimbang dengan kriteria hasil : -
TTV dalam batas normal (TD : 110/70 – 120/80 mmHg, Suhu : 36 o-37o C, RR : 16-20x/menit, Nadi : 60-100x/menit).
-
Berat badan klien stabil.
-
Mukosa lembab.
-
Tidak mual dan muntah.
-
Nafsu makan pasien meningkat.
Intervensi
a. Kaji tanda-tanda vital klien.
Rasional : Mengetahui keadaan pasien secara umum. b. Awasi konsumsi makan/ cairan dan hitung masukan kalori perhari.
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan nutrisi/ kebutuhan terapi. c. Perhatikan adanya mual/ muntah.
Rasional : Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah/ menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi. d. Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam perencanaan menu.
Rasional : Dapat meningkatkan pemasukan oral dan meningkatkan perasaan kontrol/ tanggung jawab. e. Berikan makan sedikit dan frekuensi sering. Jadwalkan makan sesuai dengan kebutuhan dialisis.
Rasional : Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan, tipe dialisis mempengaruhi pola makan. f. Hindari bau menyengat yang dapat membuat nafsu makan pasien berkurang.
Rasional : Bau menyengat sering membuat pasien menjadi mual dan nafsu makan pasien berkurang. g. Berikan perawatan mulut sering.
Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut, yang dapat mempengaruhi masukan makanan.
5. Diagnosa
Gangguan menelan berhubungan dengan obstruksi mekanik, penekanan kerongkongan oleh pembengkakan kelenjar getah bening di tonsil ditandai dengan lambat menelan, klien menunjukkan sulit menelan, mengeluh ketika menelan. Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam klien tidak mengalami gangguan menelan dengan kriteria hasil: -
Klien tidak mengeluh kesulitan saat menelan.
-
Tidak terjadi statis makanan di rongga mulut klien.
-
Klien tidak tersedak.
-
Klien tidak tersedak setelah makan/minum.
Intervensi Mandiri:
a. Kaji apakah individu cukup sadar dan responsif, dapat mengontrol mulut, dapat batuk refleks/muntah, posisi klien sudah nyaman, dan dapat menelan salivanya sendiri.
Rasional: untuk mengetahui kemampuan menelan klien sehingga dapat diberikan intervensi yang tepat dan mencegah terjadinya aspirasi. b. Berikan diet lunak pada klien.
Rasional: makanan lunak lebih mudah ditelan sehingga tidak menimbulkan nyeri di tenggorokan sehingga memudahkan dalam memberikan asupan nutrisi. c. Berikan makanan dengan pelan, pastikan makanan dikunyah sebelum ditelan.
Rasional: makanan yang dikunyah menjadi lebih halus teksturnya sehingga lebih mudah untuk ditelan.
6. Diagnosa
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri atau ketidaknyamanan ditandai dengan klien mengalami kesulitan dalam mobilisasi dan keterbatasan rentang gerak. Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam hambatan mobilisasi dapat teratasi dengan kriteria hasil: -
Klien tidak mengalami kesulitan dalam mobilisasi.
-
Tidak terjadi keterbatasan rentang gerak (rentang gerak meningkat)
Intervensi Mandiri:
a. Kaji kemampuan fungsional dan gerak pasien
Rasional : untuk mengidentifikasi kebutuhan dan tingkat intervensi yang dilakukan. b. Ajarkan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat
Rasional: untuk memaksimalkan pergerakan klien dengan mengoptimalkan anggota gerak yang sehat.
c. Ajarkan rentang gerak pasif pada anggota gerak yang sakit.
Rasional: untuk menjaga agar otot-otot anggota gerak yang sakit tidak mengalami atropi dan melatih pergerakan klien sedikit demi sedikit. d. Amati dan ajarkan klien dalam penggunaan alat bantu gerak misal : kursi roda
Rasional: penggunaan alat bantu gerak memudahkan dan membantu klien dalam beraktifitas. Pengawasan penting dilakukan agar klien dapat menggunakan alat dengan aman dan tidak terjadi cedera.
7. Diagnosa
Kurang pengetahuan berhubungan dengan ketidakakuratan informasi ditandai dengan, klien tampak bertanya-tanya tentang penyakitnya, klien mengatakan tidak tahu tentang penyakitnya. Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x 30 menit diharapkan kurang pengetahuan teratasi dengan kriteria hasil : -
Klien mampu menjelaskan kembali pengertian dari limfoma non-
hodgkin. -
Klien mampu menyebutkan penyebab dari limfoma non-hodgkin.
-
Klien mampu menyebutkan tanda dan gejala dari limfoma non-
hodgkin. -
Klien mampu menyebutkan pengobatan/therapy dari limfoma non-
hodgkin. Intervensi
Mandiri: a. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya.
Rasional: kurangnya paparan informasi dan pengetahuan biasanya melandasi suatu ketidakpatuhan pengobatan dan munculnya ansietas. b. Dorong pasien untuk mengungkapkan masalah mengenai penyakit yang dideritanya dan berikan pasien kesempatan untuk bertanya.
Rasional: memberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan persepsi klien mengenai penyakitnya dan menurunkan ansietas klien. c. Berikan informasi (HE) pada klien: 1) Jelaskan kepada klien mengenai pengertian dari limfoma non-hodgkin.
2) Beritahukan kepada klien penyebab-penyebab dari limfoma nonhodgkin. 3) Beritahukan kepada klien mengenai tanda dan gejala terjadinya limfoma non-hodgkin. 4) Informasikan kepada klien mengenai terapi/tindakan yang dapat diberikan pada penyakit limfoma non-hodgkin. 5) Beritahukan kepada klien pentingnya menjaga kebersihan agar penyakitnya menjadi tidak semakin buruk. 6) Beritahukan kepada klien pentingnya nutrisi yang adekuat. 7) Anjurkan klien untuk melakukan terapi dan minum obat dengan dosis dan waktu yang tepat.
Rasional: informasi akan menurunkan ansietas, meningkatkan pengetahuan dan motivasi klien dalam menjalankan terapi. d. Evaluasi pemahaman klien terhadap informasi yang telah diberikan.
Rasional : untuk mengkaji pemahaman klien mengenai informasi yang telah diberikan.
8. Diagnosa
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat limfoma non-hodgkin ditandai dengan
pembengkakan kelenjar getah bening di leher, klien
mengatakan malu dengan tubuhnya, klien tampak menutupi bagian tubuhnya yang abnormal, perilaku menyembunyikan tubuh secara berlebihan, merasa tidak nyaman dengan perubahan dalam penampilan, perilaku menghindar dari orang lain. Tujuan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami gangguan citra tubuh, dengan kriteria hasil: -
Pasien mengatakan bisa menerima penyakitnya.
-
Pasien mengatakan tidak malu dengan penyakitnya.
-
Pasien tidak menutupi bagian tubuh yang abnormal.
-
Pasien tidak menghindar saat diajak bicara.
Intervensi
a. Dorong individu untuk mengekspresikan perasaan, khususnya mengenai pikiran, perasaan, pandangan dirinya.
Rasional: klien dapat mengungkapkan perasaannya sehingga perawat mengetahui bagaimana keadaan klien dan perawat dapat memberikan intervensi selanjutnya pada klien. b. Siapkan orang terdekat terhadap perubahan fisik dan emosional. Dukung
keluarga dalam upaya beradaptasi.
Rasional: dukungan dari orang terdekat dan keluarga dapat membantu klien untuk menerima perubahan fisiknya. c. Dorong kunjungan dari teman sebaya dan orang terdekat. Anjurkan untuk berbagi dengan individu tentang nilai-nilai dan hal yang penting untuk mereka.
Rasional: untuk meningkatkan harga diri dan interaksi dengan orang lain. d. Beri kesempatan berbagi rasa dengan individu yang mengalami pengalaman sama.
Rasional: untuk memberikan motivasi pada klien dari orang-orang yang memiliki penyakit yang sama dan meningkatkan citra diri klien. e. Bantu orang terdekat mengidentifikasi aspek positif dari klien dan cara mengungkapkannya.
Rasional: untuk meningkatkan harga diri klien.
4. EVALUASI 1. Evaluasi :
Pola nafas klien efektif dengan kriteria hasil: -
Tidak ada sesak napas
-
Tidak terdapat takikardia
-
Tidak ada ronki
-
Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan
2. Evaluasi :
Nyeri teratasi dengan kriteria hasil : -
Pasien melaporkan nyeri berkurang.
-
Pasien tampak rileks
-
Skala nyeri 0-2
3. Evaluasi :
Hipertermi teratasi dengan kriteria hasil : -
Suhu 36-37 derajat celcius
-
Kulit klien tidak tampak kemerahan
-
Klien tampak tidak merasa lemah
4. Evaluasi :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil : -
TTV dalam batas normal (TD : 110/70 – 120/80 mmHg, Suhu : 36 o-37o C, RR : 16-20x/menit, Nadi : 60-100x/menit).
-
Berat badan klien stabil.
-
Mukosa lembab.
-
Tidak mual dan muntah.
-
Nafsu makan pasien meningkat.
5. Evaluasi :
Gangguan menelan teratasi dengan kriteria hasil : -
Klien tidak mengalami gangguan menelan dengan kriteria hasil:
-
Klien tidak mengeluh kesulitan saat menelan.
-
Tidak terjadi statis makanan di rongga mulut klien.
-
Klien tidak tersedak.
-
Klien tidak tersedak setelah makan/minum.
6. Evaluasi :
Hambatan mobilisasi dapat teratasi dengan kriteria hasil: -
Klien tidak mengalami kesulitan dalam mobilisasi.
-
Tidak terjadi keterbatasan rentang gerak (rentang gerak meningkat)
7. Evaluasi :
Kurang pengetahuan teratasi dengan kriteria hasil: -
Klien mampu menjelaskan kembali pengertian dari limfoma non-
hodgkin. -
Klien mampu menyebutkan penyebab dari limfoma non-hodgkin.
-
Klien mampu menyebutkan tanda dan gejala dari limfoma non-
hodgkin. -
Klien mampu menyebutkan pengobatan/therapy dari limfoma non-
hodgkin. 8. Evaluasi :
Gangguan citra tubuh teratasi dengan kriteria hasil : -
Pasien mengatakan bisa menerima penyakitnya.
-
Pasien mengatakan tidak malu dengan penyakitnya.
-
Pasien tidak menutupi bagian tubuh yang abnormal.
-
Pasien tidak menghindar saat diajak bicara.
Health Education •
Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai penyakitnya, apa yang menyebabkan, pengobatan, komplikasi dan pencegahannya.
•
Hindari faktor – faktor pencetus berulangnya penyakit.
•
Makan – makanan yang bergizi, tingkatkan kekebalan tubuh, dan olahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer A, Triyanti, Savitri R, et al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I . Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
M, Santoso. 2000. Limfoma non-Hodgkin. http://santoso.multiply.com/journal/item/00/Limfomanon-Hodgkin. [Akses: 15 November 2009]
Soeparman, Waspadji S. 1990. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II . Jakarta: Balai Penerbit FKUI.