RESUME Judul Buku Penulis Penerbit
: Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan : J. Sudarminta : Kanisius, Yogyakarta 2002
BAB I BEBERAPA PENGERTIAN DASAR 1.
Apa itu Epistemologi?
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari kata yunani episteme= pengetahuan dan logos=perkataan, pikiran, dan ilmu. Selain kata episteme, dipakai pula kata gnosis, maka dalam sejarah, selain istilah epistemologi, pernah juga dipakai gnoseologi atau juga yang lain seperti teori pengetahuan knowledge theory Erkentistheorie. Erkentistheorie. Epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Juga merupakan upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Maka epistemologi adalah disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan. Normatif berarti menetukan norma atau tolok ukur bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti banyak memepertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetehui. 2.
Bagaimana Cara Kerjanya?
Bicara tentang cara kerja atau metode pendekatan epistemologi berarti bicara tentang ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Ciri khas pendekatan filsafat terhadap objek kajiannya tampak dari jenis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan. Filsafat bermaksud secara kritis menggugat serta mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Bukan sekedar cari perkara, tetapi guna merangsang orang untuk berpikir secara serius dan bertanggung jawab. Tidak asal menerima pandangan dan pendapat umum.
1
3.
Macam-macam Epistemologi
Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan epistemologi dapat dibedakan dalam beberapa macam. Pertama, epistemologi metafisis yaitu epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika tertentu, seperti Plato memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat (amnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Kedua, epistemologi skeptis seperti yang dikerjakan oleh Decrates yang perlu membuktikan dulu apa yang dapat diketahui sebagai sungguh nyata atau benarbenar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebaagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Ketiga, epistemologi kritis yang berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun pemikiran ilmiah sebagaimana kita temuakan dalam kehidupan, lalu kita coba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut. Selain klasifikasi diatas, dilihat berdasarkan objek yang dikaji epistemologi juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi individual merupakan kajian tentang bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui yang dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Epistemologi evolusioner ( evolutionary epistemology) atau epistemologi alami (natural epistemology) termasuk jenis epistemologi individual. Sedang epistemologi sosial adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosilogis, karena hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menetukan dalam proses, cara, maupun memperoleh pengetahuan. 4.
Mengapa Epistemologi Perlu Dipelajari?
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan mengapa epistemologi perlu dipelajari. Alasan pertama berdasarkan pertimbangan strategis dimana kajian epistemlogi perlu karena pengetahuan sendiri meupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan yang ada sehingga tujuan dapat tercapai. Alasan kedua yakni berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dan alasan yang ketiga yakni berdasarkan pertimbangan pendidikan, Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membentuk peserta didik mengembangkan
2
pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. BAB 2 DASAR-DASAR PENGETAHUAN Dasar-dasar pengetahuan ini berkaitan dengan hal-hal yang secara hakiki diandaikan dan memungkinkan adanya pengetahuan. 1.
Pengalaman
Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial sekitanya dan dengan seluruh kenyataan, termasuk yang Ilahi. Ada dua macam pengalaman, yakni pengalaman primer dan sekunder. Pengalaman primer adalah pengalaman langsung akan persentuhan indrawi dengan benda-benda konkret diluar manusia dan akan peristiwa yang disaksikan sendiri, misal mata saya bisa melihat layar monitor. Sedangkan pengalaman sekunder adalah pengalaman tak langsung atau pengalaman reflektif mengenai pengalaman primer, misal saya sadar akan apa yang saya lihat dengan mata saya. Ciri pokok pengalaman antara lain: pertama, pengalaman manusia amat beraneka ragam. Kedua, selalu berkaitan dengan objek teartentu di luar diri kita sebagai subjek. Ketiga, pengalaman manusia terus bertambah dan bertumbuh seiring bertambahnya umur, kesempatan, dan tingkat kedewasaan manusia. 2.
Ingatan
Selain pengalaman indrawi, pengetahuan juga didasarkan atas ingatan. Tanpa ingatan, pengalam indrawi tidak akan dapat berkembang menjadi pengetahuan. Dilain pihak, ingatan mengandaikan pengalaman indrawi sebagai sumber dan dasar rujukannya. Kita hanya dapat mengingat apa yang sebelumnya pernah kita alami secara indrawi, entah secara langsung atau tidak langsung. Tanpa ingatan, kegiatan penalaran pun menjadi tidak mungkin. Karena untuk dapat bernalar dan menarik kesimpulan kita harus bisa mengingat premis-premisnya. 3.
Kesaksian
Dengan kesaksian disini dimaksudkan penegasan sesuatu sebagai benar oleh seorang saksi kejadian atau peristiwa, dan diajukan kepada orang lain untuk dipercaya. Disni percaya dimaksudkan sebagai menerima sesuatu sebagai benar berdasarkan keyakinan akan kewenangan atau jaminan otoritas orang yang memberi kesaksian.
3
Mengikuti pendapat Descrates, beberapa pemikir menolak kesaksian sebagai salah satu dasar dan sember pengetahuan, karena kesaksian selalu bisa keliru atau bersifat menipu. Kendati demikian, kebanyakan pemikir berpendapat bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu, kesaksian dapat menjadi dasar dan sumber pengetahuan. 4.
Minat dan rasa ingin tahu
Tidak semua pengalam berkembang menjadi pengetahuan. Untuk dapat berkembang subjek yang mengalami sesuatu perlu memiliki minat dan rasa ingin tahu tentang apa yang dialaminya. Maka, hal lain yang mendasari adanya pengetahuan adalah adanya minat dan rasa ingin tahu manusiaa. Minat mengarahkan perhatian terhadap hal-hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan. Sedangkan rasa ingin tahu mendorong orang untuk bertanya dan melakukan penyelidikan atas apa yang dialami dan menarik minatnya. Seperti dinyatakan oleh Aristoteles dalam kalimat pembukaan dari bukunya Metafisika, pada dasarnya semua manusia ingin mengetahui. 5.
Pikiran dan Penalaran
Terdorong oleh rasa ingin tahu, pikiran mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan persoalan yang dihadapi. Kegiatan berpikir memang lebih dari sekedar bernalar, tetapi kegiatan pokok pikiran dalam mencari pengetahuan adalah penalaran. Maka, pikiran dan penalaran merupakan hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan. Tanpa ada pikiran dan penalaran tak mungkin ada pengetahuan. Penalaran sendiri merupakan proses bagaimana pikiran menarik kesimpulan dari hal-hal yang sebelumnya telah diketahui. Penalaran bisa bebentuk induksi, deduksi maupun abduksi. Induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan umum (universal) dari pelbagai kejadian atau kasus khusus (particular). Deduksi adalah bentuk penalaran yang berangkat dari suatu pernyataan atau hukum umum ke kejadian khusus yang secara niscaya dapat diturunkan dari pernyataan atau hukum umum tersebut. Sedangkan Abduksi adalah penalaran untuk merumuskan sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang kemungkinan kebenarannya masih perlu diuji coba. 6.
Logika
Kegiatan penalaran tidak dapat dilakukan lepas dari logika. Penalaran sebagai kegiatan berpikir logis memang belum menjamin bahwa kesimpulan yang ditarik atau pengetahuan yang dihasilkan pasti benar. Misalnya secara logis silogisme berikut sahih atau memenuhi hukum kelurusan berpikir: semua mahasiswa IAIN pandai; padahal Joko adalah mahasiswa IAIN, maka Joko Pandai. Kesimpulan
4
apakah Joko memang pandai atau tidak masih tergantung kebenaran premispremis sebelumnya. Sebab tanpa logika, penalaran tidak mungkin dilakukan, dan tanpa penalaran tidak akan ada pengetahuan yang benar. Argumen deduktif biasanya diungkapkan dalam bentuk silogisme. Setiap silogisme mempunyai dua macam premis (yakni premis mayor dan premis minor) dan satu kesimpulan. 7.
Bahasa
Selain logika penalaran juga mengandaikan bahasa. Sebab pengetahuan manusia diungkapkan dan dikomunikasikan dalam bentuk bahasa. Karena ada hubungan saling ketergantungan antara pikiran dan kata, jelaslah bahwa bahasa bukan hanya suatu sarana mengungkapkan kebenaran yang sudah dipastikan, tetapi lebih jauh lagi merupakan sarana menemukan suatu kebenaran yang sebelumnya belum diungkap. Maka bahasa dalam arti ini tidak lagi hanya mendasari dan memungkinkan pengetahuan, tetapi menjadi pengetahuan dan kebudayaan tersendiri serta sarana berdaya guna untuk memperoleh dan mengembangkan jenis pengetahuan modern. 8.
Kebutuhan hidup manusia
Memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup merupakan suatu bagian dari cara berada manusia/ knowing is a mode of being. Sebagai sarana yang dibutuhkan untuk hidup bagi manusia, pengetahuan juga merupaka suatu alat, strategi, dan kebijaksanaan manusia dalam berinteraksi dengan dunia dan lingkungan sosial sekitarnya. BAB 3 SKEPTISISME, SUBJEKTIVISME DAN RELATIVISME 1.
Skpetisisme
Salah satu objek kajian epistemologi adalah penyelidikan tentang hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia. Salah satu alasan pokok yang telah mendorong para filsuf menyelidiki hakikat dan ruang lingkup pengetahuan manusia adalah fakta adanya kekeliruan. Fakta ini disatu pihak dilihat sebagai suatu yang meresahkan, dan dilain pihak menimbulkan teka-teki. Bahkan para pakarpun sering kali tidak bisa sepakat tentang mana yang betul dan mana yang keliru, mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan dalam dunia pengetahuan ilmiah yang bisa dianggap paling objektif atau yang bisa disebut hard sciences seperti fisika, biologi, dan kimia misalnya. Meragukan klaim kebenaran atau menangguhkan persetujuan atau penolakan terhadapnya berarti bersikap skeptis. Istilah „skeptisisme‟ berasal dari bahasa 5
Yunani skeptomai yang secara harfiah berarti „saya pikirkan dengan seksama‟ atau „saya lihat dengan teliti‟. Kemudian dari situ diturunkan arti yang bisa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni „saya meragukan‟. Adalah naïf bahwa orang tidak pernah meragukan apapun. Sebaliknya, selalu meragukan segala sesuatu juga tidak mungkin, karena untuk hidup orang butuh suatu pegangan. 1.1.
Macam-macam Skeptisisme
Dalam sejarah, skeptisisme mengambil banyak bentuk dan warna. Mereka berbeda, baik dalam tema, lingkup, maupun bobot keraguannya. Berdasarkan lingkup bidang yang diragukannya, bisa dibedakan antara skeptisisme mutlak/ skeptisisme universal dan skeptisisme nisbi/ partikular. Skeptisisme mutlak secara mutlak mengingkari kemungkinan manusiauntuk tahu dan untuk memberi dasar pemebenaran baginya. Adapun skeptisisme nisbi tidak meraguakan segalanya secara menyeluruh. Hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu saja. 1.2.
Keraguan Metodis Descrates
Tujuan keraguan metodis Descrates adalah untuk menghasilkan paling tidak satu fakta eksistensial yang kebenarannya tak teragukan lagi. Ragu-ragu termasuk dalam kategori berpikir, maka ucapan Descrtates yang terkenal adalah Cogito ergo sum. Saya berfikir, maka saya ada. Descrates memang bukan orang pertama yang telah menemukan argumen diatas untuk melawan skeptisisme mutlak. Pada abad ke-4, Agustinus telah mengemukakan argumen yang mirip. Dalam buku City of God, II, 26 ia menyatakan: Si fallor sum “kalau saya keliru, itu berarti saya ada”. Maksud Agustinus adalah tidak berbeda dengan Des crates, dan daya kekuatan argumennya juga sama, yakni justru dari kenyataan bahwa saya keliru menjadi nyata bahwa saya ada. 2.
Subjektiviseme
Banyak filsuf setelah Descrates mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri dan kegiatan sadar kita. Sedangkan semua klaim pengetahuan tentang “yang bukan aku” atau segala sesuatu diluar diri sendiri, pantas diraguakan kepastian kebenarannya. Demikianlah muncul apa yang disebut dengan “soal jembatan” ( the problem of the bridge) yang menghubungkan antara diri “aku” dengan yang lain “yang bukan aku”. Apa yang dilihat oleh pikiran kita secara jelas dan terpilah-pilah merupakan sesuatu yang dengan sendirinya membawa jaminan kebenaran untuk dirinya.
6
Dengan kata lain, tidak memerlukan dasar pembenaran yang lain ( selfauthenticating). Descrates adalah seorang rasionalis. Baginya rasio atau pikiran adalah satu-satunya sumber dan jaminan kebenaran pengetahuan. Baginya, indra dapat memeberi pengetahuan tentang dunia fisik yang dapat dipercayai kebenarannya. Bukan karena indra sendiri memang dapat diandalkan, tet api hanya berdasarkan bahwa Tuhan yang menciptakan indra pada manusia tak mungkin menipu. Dari kajian sampai saat ini sudah menjadi jelas bahwa skeptisisme mutlak dan subjektivisme radikal merupakan paham epistemologis yang tak bisa dipertahankan. 3.
Relativisme
Relativisme epistemologis adalah suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia. Sebaliknya, paham ini mengajarkan bahwa kebenaran yang ada dan yang dapat diketahui oleh manusia adalah kebenaran yang bersifat relatif. Ada kemajemukan budaya dan kemajemukan pandangan hidup. Apa yang benar dalam lingkungan budaya dan pandangan hidup yang satu, belum tentu dianggap benar dalam lingkungan budaya dan pandangan hidup yang lain. Kalau kita perhatikan ternyata ralativisme tidak semuanya persis sama. Ada beberapa jenis relativisme. Pertama, relativisme subjektif . Dalam paham ini kebenaran pengetahuan dimengerti sebagai suatu yang realtif terhadap subjek yang bersangkutan. Apa yang benar untuk si A belum tentu benar untuk si B. Kedua, yakni relativisme budaya. Menurut paham ini tidak ada kebenaran objektif dan universal, karena kebenaran pengetahuan manusia selalu relatif terhadap kebudayaan tempat pengetahuan itu dikembangkan. Ini berarti tidak ada kebenaran pengetahuan yang lintas budaya atau yang berlaku di semua kebudayaan. Pengetahuan yang lintas budaya atau yang berlaku di semua kebudayaan. Pengetahuan selalu bersifat lokal ( local knowledge). Adapun ciri-ciri pengetahuan manusia. Pertama, relativisme secara tepat melawan sikap rasionalistik ekstrem yang terlalu mengagungkan kemampuan pikiran manusia. Sebaliknya, paham ini menekankan keterbatasan ( contingency) dan kedapatkeliruan ( fiallibility) manusia. Manusia memang merupakan makhluk yang kemampuan pikirannya terbatas dan bisa keliru. Apa yang semula dianggap dan diyakini sebagai kebenaran objektif universal, ternyata kemudian terbukti tidak demikian. Kedua, relativisme juga benar dalam menekankan sifat relasional dan kontekstual dari pengetahuan manusia. Dalam kegiatan mengetahui manusia sebagai subjek penahu selalu sudah membawa prapaham yang berasal dari lingkungan sosial budaya temapt ia lahir dan dibesarkan. Karena manusia sudah selalu berada dalam satu tradisi, dalam mengalami, menafsirkan apa yang dialami,
7
dalam membaca dan mengerti sebuah teks (baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk realitas sosial) manusia selalu sudah membawa serta prapahamnya. Dari kajian ini, kesimpulan sementara kita mengenai ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia adalah sebgai berikut: (1)
(2)
(3)
Kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah mahluk contingent dan fallibile. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu diragukan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak. Subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disingkat. Pengetahuan manusia memang besifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objetivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Maka, pelbagai bentuk relativisme epistemologis, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.
BAB 4 STRUKTUR DASAR KEGIATAN MENGETAHUI Dalam bab ini kita akan mengkaji struktur kesadaran pada umumnya, dan khususnya struktur dasar kesadaran dalam kegaitan manusia mengetahui. 1.
Kesadaran pada Umumnya
Dengan kesadaran pada umunya kita maksudkan kesadaran akan semua kegiatan mental kita. Kita bisa membedakan antara kegiatan sadar dan isinya. Kegiatan melihat warna merah, misalnya, berbeda dengan objek merah yang dilihat. Perhatian kita bisa terfokus pada isinya atau pada kegiatannya. Kalau fokus perhatiannya pada isi atau objeknya kita mempunyai kesadaran langsung. Sedangkan kalau pada kegiatannya, kita mempunyai kedasaran tak langsung atau refleksif. Seperti ditekankan oleh Edmund Husserl dan para fenomenolog pada umumnya, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Kesadaran selalu bersifat intensional. Maksudnya, kesadaran selalu mengarahkan diri kepada objeknya, entah apapun wujudnya: bisa benda-benda fisik, gagasan, ataupun yang lain. Kesadaran tidak pernah tanpa keterarahan pada objek tertentu.
8
Kiranya sudah dapat dikatakan bahwa klaim objektivitas untuk suatu kegiatan mengetahui memaksudkan salah satu atau semua hal berikut: (1)
(2)
(3)
(4)
2.
Seperti diyakini oleh penganut paham realism, objek yang diketahui adalah real atau nyata dan bukan hanya ilusi ataupun buah ciptaan subjek. Objek itu bersifat eksternal terhadap subjek yang mengetahui. Ini mengandaikan bahwa objek itu menduduki tempat yang berbeda dan mempunyai keberadan tersendiri lepas dari subjek. Objek yang diketahui itu berbeda dari subjek yang mengetahuinya. Kegiatan subjek memikirkan dan mengetahuinya tidak mengadakan atau menciptakan objek tersebut. Ini tidak berarti bahwa objek itu harus bersifat fisik. Apa yang dinyatakan oleh subjek bukan sekedar suatu pendapat yang bersifat memihak (blased ) atau berbau ideologis, tetapi terbuka untuk dicek kembali kebenarannya secara intersubjektif ( intersubejctively testable) Kebenaran pengetahuan tentang objek tersebut dapat ditegaskan secara rasional dan disetujui bersama oleh para ahli bidang yang bersangkutan. Kegiatan Mengetahui pada Umumnya
Kegiatan mengetahui sebagai proses untuk mencapai apa yang disebut kepercayaan benar yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara nalar ( justified truebelief ) melibatkan beberapa kegiatan sadar. Dalam struktur dasar kegiatan manusia mengetahui secara umum dapat dibedakan adanya tiga tahap yang meningkat. Tahap pertama adalah tahap pengalaman keindaraan atau pencerapan indrawi ( sense perception), yakni tahap ketika objek tersaji bagi subjek melalui pengindraan, persepsi, imanjinasi dan ingatan. Tahap kedua adalah pemahaman (understanding), takni tahap ketiaka pikiran berusaha memahami atau mengerti dengan mengonseptualisasikan pola dan struktur keterpahaman ( the intelligible structure) yang imanen pada objek yang tersaji pada tahp pertama. Tahap ketiga, adalah tahap pertimbangan dan penegasan putusan ( judgment ). Tahap ketiga, sebagai tahap puncak, mengandaikan dua tahap sebelumnya. Dalam tahap ketiga ini, pikiran berusaha untuk membuat penegasan putusan, entah berupa peneguhan atau penyangkalan, tentang benar atau salahnya, tepat atau melesetnya pola dan strukutur yang ditangkap pikiran dalam memahami data yang tersaji dalam pengalaman keindraan. Tiga tahap tersebut bersifat meningkat dalam arti setiap tahap diatasnya mengandaikan tahap sebelumnya. dan tiga tahap tersebut juga bersifat kumulatif. Tidak mungkin ada penegasan enrasional selain sebelumnya ada penyelidikan yang cerdik terhadap keterpahaman imanen ( immanent intelligibility) yang ada dalam data indrawi yang di alami. Serta tiga tahap tersebut juga membentuk
9
struktur yang tak berubah dan tetap ajek berlaku dalam berbagai bentuk atau cara manusia mengetahui. Oleh karenanya ,mengetahui berarti suatu kegiatan sadar dari suatu subjek yang pertama-tama mengalami sesuatu sebagai objek tersaji untuk di kaji, kemudian memahaminya secara cerdik =(mengungkapkan intelligibilitas atau keterpahaman objek tersebut dengsn berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relavan), dan akhirnya secara nalar menimbang dan memutuskan apakah pemahamannya itu memang sesuai dengan objek yang dialami 3.
Asal-usul Ide atau Gagasan dalam Pikiran
Dengan ide atau gagasan dalam pikiran disini dimaksudkan setiap isi atau objek kesadaran dalam kegiatan mengetahui, entah itu pada tahap persepsi indrawi, pemahaman ataupun penegasan putusan. Darimana sebenarnya asal usul gagasan? Kaum Rasionalis (seperti Descrates, Leibniz, dan Spinoza) berpendapat bahwa gagasan merupakan suatu yang bersifat bawaan sejak manusia lahir. Sedangkan kaum Empiris (seperti Locke, Hume, dan Hobbes) menolak pandangan tersebut dan pendapat bahwa gagasan dalam kesadaran kita selalu berasal dari pengalaman indrawi. Descrates misalnya menyebut adanya tiga sumber asal gagasan, yakni (1) pengalaman, (2) konstruksi mental, dan (3) pikiran. Di lain pihak, kaum empiris pada umumnya tak mempercayai pikiran murni sebagai sumber pengetahuan. semua pengetahuan yang sejati tentang dunia akan dapat di peroleh melalui pengalaman indrawi. tidak ada sumber lain bagi pengetahuan manusia kecuali pengalaman indrawi. Mengatasi kedua pendapat ekstrim diatas, perlu kita tegaskan di sini bahwa gagasan sesungguhnya merupakan hasil perpaduan atau kerjasama antara pengalaman indrawi dan aktivitas pikiran manusia.
10