LESI KOROSIF PADA ESOFAGUS
1. Definisi Lesi korosif pada esofagus biasanya disebut esofagitis korosif. Esofagitis korosif merupakan peradangan di esofagus disebabkan luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif seperti asam kuat, basa kuat, atau zat organik lainnya. Sifat korosif zat tersebut akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya. 2. Etiologi Bahan kimia menyebabkan kerusakan jaringan dengan mengubah status ionisasi dan struktur molekul serta mengganggu ikatan kovalen. a.
Basa Kuat Basa kuat, tidak berbau dan tidak berasa, menyebabkan nekrosis likuefaktum, proses yang melibatkan saponifikasi lemak dan pelarutan protein pada mukosa superficial dan berpenetrasi berpenetrasi sampai lapisan muskulari. Kematian sel terjadi karena emulsifikasi dan gangguan membrane sel. Ion hidroksida akan bereaksi dengan kolagen jaringan menyebabkan pembengkakan dan pemendekan jaringan (kontraktur). Selain itu, terjadi thrombosis pembuluh darah kecil dan produksi panas mengakibatkan nekrosis jaringan lebih lanjut. Larutan basa kuat adalah detergen, pemutih, pembersih gigi palsu, NaOH 4-54% dan baterai. Trauma jaringan terberat ditemukan pada mukosa orofaring, hipofaring, dan esofagus. Edema dapat terjadi segera dan menetap hingga 48 jam, kemudian menyebabkan sumbatan jalan napas. Seiring bertambahnya waktu, jejas semakin berat dan granulasi jaringan mulai terbentuk menggantikan menggantikan jaringan nekrotik. Jaringan granulasi dan jaringan parut terbentuk dalam 2-4 minggu, tidak jarang terjadi striktur pasca tertelan t ertelan basa kuat.
b. Asam Kuat Asam kuat akan menyebabkan nekrosis koagulasi. Pada proses tersebut akan terbentuk koagulum pada permukaan mukosa yang akan mencegah absorbsi zat korosif ke lapisan esofagus bawah. Oleh karena itu, asam kuat akan menyebabkan kerusakan pada gaster yang lebih sering ditemukan. Hal tersebut diduga karena adanya proteksi alami dari epitel skuamosa esofagus. Lain halnya dengan basa kuat, asam kuat rasanya tidak enak sehingga menyebabkan tersedak atau rasa tercekik. Jaringan parut dapat terbentuk dan berkontraksi dalam 2-4 minggu kemudian. Larutan asam kuat adalah asam sulfat, asam klorida, pembersih lantai dan pembersih kolam. Mukosa skuamosa berlapis dari esofagus mungkin rusak oleh berbagai iritasi, termasuk alkohol, asam atau basa korosif tersebut. Selain itu, tablet obat mungkin tersangkut dan larut di esofagus, tidak lewat dan masuk ke lambung secara utuh menyebabkan keadaan yang disebut esofagitis terinduksi tablet.
3. Gejala Klinis Keluhan yang timbul akibat tertelan zat korosif bergantung pada jenis, konsentrasi, jumlah, dan lama kontak dengan dinding esofagus. Keluhan dapat berupa nyeri hebat di mulut, faring, daerah retrosternal dan epigastrium, sesak napas, disfagia, odinofagia, hingga mual dan muntah. Pasien dengan perforasi esofagus datang dengan emfisema subkutan pada leher. Gejala klinis yang dapat menyertai, yaitu demam tinggi, nyeri retrosternal atau interskapula, peritonitis akut, takipnea, hematemesis yang dapat disertai dengan tandatanda jejas berat, tanda intoksikasi, dan tanda syok. Tanda yang merupakan indikasi jejas berat adalah penurunan kesadaran, tanda peritonitis dan perforasi, stridor, dan hipotensi. Esofagitis korosif dapat dibagi menjadi 5 bentuk klinis berdasarkan derajat keparahan luka bakar yang ditemukan, yaitu: a.
Esofagitis korosif tanpa ulserasi. Hanya terjadi gangguan menelan yang ringan. Esofagoskopi menunjukkan mukosa hiperemis tanpa ulserasi.
b. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan. Keluhan berupa disfagia ringan. Esofagoskopi menunjukkan ulkus tidak dalam yang mengenai mukosa esofagus saja. c.
Esofagitis korosif dengan ulserasi sedang. Ulkus mencapai lapisan otot. Biasanya tidak hanya satu, dapat multipel.
d. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi. Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang dalam dan telah mengenai lapisan esofagus. Bila dibiarkan, dapat menimbulkan striktur esofagus. e.
Esofagitis korosif dengan ulserasi berat dengan komplikasi. Ditemukan perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis. Terkadang ditemukan tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan asam dan basa.
Berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala klinis dapat dibagi dalam 3 fase sebagai berikut: a.
Fase Akut Berlangsung selama 1-3 hari. Ditemukan luka bakar pada daerah mulut, bibir, faring, yang kadang disertai gejala perdarahan. Gejala terasa disfagia hebat, odinofagia, serta peningkatan suhu tubuh. Pada keadaan tertelan zat organik, perasaan dapat berupa perasaan terbakar di saluran cerna bagian atas, mual, muntah, erosi mukosa, kejang otot, kegagalan sirkulasi dan pernapasan.
b. Fase Laten
Berlangsung selama 2-6 minggu. Pada fase ini, keluhan klinis berkurang. Pasien merasa sembuh, dapat menelan dengan baik, tetapi sebenarnya sedang terjadi proses terbentuknya jaringan parut. c.
Fase Kronis Setelah 1-3 tahun akan kembali timbul disfagia disebabkan sikatriks yang terbentuk sehingga terjadi striktur esofagus.
4. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat tertelan zat korosif, gejala klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan esofagoskopi. a.
Pemeriksaan fisik rongga mulut dan tenggorok menunjukkan eritema dan edema pada mukosa rongga mulut dan orofaring, sedangkan pemeriksaan menggunakan kaca laring menunjukkan eritema dan edema pada hipofaring dan laring. Selain itu, juga bisa didapatkan gambaran defek epitel yang ditutupi fibrin keputihan.
b. Dapat dilakukan pengecekan pH saliva, walaupun pH normal tidak menyingkirkan diagnosis tertelan zat korosif. c.
Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin sebagai data dasar.
d. Bila curiga menelan asam hidrofluorik, sebaiknya diperiksa kadar kalsium karena dapat turun mendadak yang menyebabkan berhentinya jantung mendadak. e.
Foto toraks postero-anterior dan lateral diperlukan untuk mendeteksi mediastinitis dan pneumonia aspirasi.
f.
Bila curiga terdapat perforasi akut esofagus atau lambung serta rupture esofagus, perlu dilakukan esofagram. Selain itu, perlu diulang setelah minggu kedua untuk melihat ada tidaknya striktur esofagus dan pada 2 bulan setelahnya untuk evaluasi.
g. Esofagoskopi dilakukan untuk melihat luka bakar di esofagus. Pada esofagoskopi akan terlihat mukosa hiperemis, edema, atau ulkus. Prosedur ini tidak dianjurkan pada pasien yang dicurigai perforasi esofagus atau gastrointestinal, sumbatan jalan napas dan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. 5. Tatalaksana Tujuan utama adalah untuk mencegah terbentuknya striktur. Sejak awal dibedakan jenis zat korosif (fase akut atau fase kronis) atau zat anorganik. a.
Perawatan Umum Tatalaksana umum secara umum adalah dengan menstabilkan keadaan pasien, memastikan jalan napas baik, terapi cairan, menghilangkan nyeri, memberikan sedasi dan memperbaiki gangguan elektrolit. i.
Cegah pemberian apapun yang menyebabkan muntah, karena muntah dapat menyebabkan paparan ulang terhadap zat korosif. Hindari bilas lambung.
ii.
Bila muntah, untuk menlindungi selaput lender esofagus dapat diberikan susu atau putih telur.
iii.
Bila terjadi dalam 6 jam pertama, bila zat korosif bersifat basa kuat dapat diberikan susu dan bila zat korosif bersifat asam kuat dapat diberi antasida.
b. Terapi Medik i.
Antiobiotik dapat diberikan selama 2-3 minggu terutama bila terbukti terdapat perforasi dan infeksi sekunder. Antibiotik pilihannya berupa sefalosporin generasi ketiga (sefritakson) atau ampisilin/ sulbaktam.
ii.
Kortikosteroid
diberikan
untuk
menurunkan
kejadian
striktur.
Kortikosteroid yang diberikan berupa prednisone dengan dosis 1-2 mg/kg hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari. Maksimum diberikan selama 21 hari termasuk tapering off . Diberikan untuk
mencegah terjadinya
pembentukan fibrosis yang berlebihan. Sebaiknya diberikan sejak hari pertama hingga hari ketiga dan diturunkan bertahap 2 hari. iii.
Proton pump inhibitor (PPI) dapat mengurangi pajanan esofagus yang cedera terhadap asam lambung sehingga mengurangi formasi striktur (Pantoprazole 2-3 x 40 mg per oral).
iv. c.
Analgetik dapat diberikan narkotik (morfin) untuk mengurangi nyeri.
Esofagoskopi Biasanya dilakukan pada hari ketiga atau luka bakar di daerah bibir, mulut, dan faring sudah tidak aktif meradang. Bila ditemukan ulkus, esofagoskopi tidak boleh dipaksa melalui ulkus karena dapat menyebabkan perforasi. Pada keadaan demikian, sebaiknya dipasang NGT selama 6 minggu terus menerus lalu esofagoskopi diulang kembali setelah 6 minggu. Pada fase kronik biasanya sudah terbentuk striktur. Diperlukan dilatasi dengan bantuan esofagoskopi sekali seminggu, kemudian sekali dalam 2 minggu demikian seterusnya hingga pasien dapat menelan makan biasa. Bila setelah 3 kali dilatasi hasilnya kurang memuaskan, dapat dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anostomosis dari ujung ke ujung.
6. Komplikasi a.
Edema jalan napas dan obstruksi dapat terjadi segera hingga 48 jam setelah paparan terhadap basa kuat. Pada paparan asam kuat, perforasi dapat muncul belakangan hingga 4 hari kemudian.
b. Perforasi gastrointestinal juga dapat segera terjadi. c.
Menjadi faktor resiko karsinoma sel skuamosa hingga 1-4% dari seluruh kasus pajanan signifikan, dimana biasanya terjadi 40 tahun setelah paparan.
d. Komplikasi lainnya berupa syok, koma, edema laring, pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis dan kematian.