BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Nn. K Usia : 23 tahun Jenis kelamin : Perempuan Anak ke : 1 dari 4 bersaudara Agama : Islam Pendidikan : SMA Suku : Bengkulu Status : Belum Menikah Pekerjaan : Mahasiswi Alamat : xxxxxxxxxxxxxx No RM : xxxxxxxxxxxxxxxxx Masuk Poli : 3 Februari 2016 pukul 10.00 WIB Tanggal Pemeriksaan : 7 Februari 2016 pukul 10.30 WIB B. RIWAYAT PSIKIATRI (Autoanamnesis) 1. Keluhan Utama Pasien melakukan percobaan bunuh diri sejak 1 minggu yang lalu. 2. Riwayat Gangguan Sekarang Sejak 1 minggu yang lalu pasien mencoba bunuh diri dengan cara minum obat “xxxxxxxxxx” sebanyak 7 butir, antimo 2 butir, lotion anti nyamuk 2 bungkus, wipol pembersih WC, dan minum pembersih kewanitaan. Pasien mengaku melakukan hal ini karena ingin mencari perhatian orangorang di sekitarnya. Pasien baru putus dengan pacarnya karena pacarnya selingkuh dengan teman sekerjanya sehari sebelum tindakan bunuh diri tersebut.pasien merasa tidak ada lagi orang yang menyayanginya sehingga pasien berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Ini adalah pacar keempat. Pasien merasa putus asa dan tidak ada lagi semangat menjalani hidup. Pasien tidak berminat melakukan kegiatan sehari-hari dan pasien merasa mudah lelah. Pasien mengeluh susah tidur, nafsu makan berkurang, pasien merasa pesimis, kosentrasi berkurang dan pasien merasa mar ah terhadap diri sendiri dan merasa bersalah. Pasien menyangkal mendengar suara bisikan yang menyuruhnya melakukan bunuh diri. Pasien juga menyangkal melihat bayangan atau sosok orang yang tidak nyata. Pasien merasa orang tuanya tidak peduli dengannya dan hanya memikirkan adik tirinya. Pasien membiayai hidupnya sendiri dan tidak mau meminta bantuan orang tuanya. Pasien sering menangis sendiri bila memikirkan kisah hidupnya yang ia rasa sangat menyedihkan. Pasien tidak merasa orangorang di sekitarnya mengejek atau membicarakannya. Pasien merasa orang-orang tidak ada yang peduli dengannya. 3 minggu yang lalu pasien merasakan hal yang berbeda dari 2 minggu ini, pasien merasa gembira berlebih. Bila sedang senang pasien sering menghamburkan uangnya dengan cara mentraktir temantemannya dan belanja banyak barang. Pasien susah memilih barang yang ia sukai karena bila ia melihat banyak barang yang ida suka, dia membelinya semua tanpa memikirkan keuangan. P asien sangat percaya diri, berbicara terus menerus dan merasa tidak capek, selalu ingin beraktivitas baik bekerja maupun sekedar jalan-jalan. Pasien merasa waktu tidurnya berkurang dan tidak bisa tidur lagi bila sudah tidur 3-4 jam saja. Saat pasien sedang merasa sedih tiba-tiba pasien menjadi pendiam, tidak semangat melakukan
apapun, pasien merasa dirinya orang yang paling tidak beruntung, tidak percaya diri, merasa mudah lelah. Dan hal ini bisa saling berubah dengan selang waktu 1 minggu, terjkadang 1 hari bahkan pernah dalam 1 hari pasien bisa merasakan 2 periode yaitu senang berlebihan, setelahnya sedih yang mendalam. 3. Riwayat Gangguan Sebelumnya a. Riwayat Gangguan Psikiatri Sejak 3 tahun yang lalu, pasien juga pernah mencoba bunuh diri dengan mengiris lengan kiri bawah bagian denpan dengan pisau tumpul, panjang irisan sekitar 6 cm. pasien melakukan hal tersebut karena putus dengan pacarnya (pacar pertama). Pasien putus karena pacarnya merasa pasien semakin lama semakin kasar dengan dia sehingga pacarnya tidak tahan. Saat dia tahu pacarnya memutusinya karena pacarnya telah menemukan wanita yang lebih lembut darinya, pasien semakin stress dan mencoba mengakhiri hidupnya. Pasien mengaku melakukan hal tersebut karena ingin mencari perhatian orang-orang di sekitarnya. Pasien sempat dilarikan ke rumah sakit dan dilakukan operasi untuk penjahitan lukanya. Sejak 4 tahun lalu, pasien pernah minum racun baygon yang telah dilarutkan dengan air. Hal ini dilakukan karena pasien bertengkar dengan pacarnya. Pasien melakukan hal ini agar mendapat perhatian dan membuat heboh. Awalnya pasien ingin agar semuaorang yang menyayanginya tahu bahwa dia kesepian dan butuh kasih sayang. b. Riwayat Gangguan Medik • Pasien tidak ada riwayat gangguan medis, dan pasien pernah per nah dirawat di rumah sakit karena mengiris lengannya. • Riwayat mengalami kejang demam (-), ( -), kejang tanpa demam demam (-), penyakit malaria malaria (-), thypoid (-), trauma kepala (-)
c. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif / Alkohol Riwayat mengkonsumsi alkohol dan rokok (+) bila pasien merasa sedih dan bila sedang berkumpul dengan temannya, pasien merokok paling banyak 1 batang, hanya untuk menghilangkan jenuh dan kesedihannya. Pasien pernah menghirup ganja 1 kal i karena diberikan oleh pacarnya dan pasien mengaku setelah itu tidak mengalami kecanduan dan pasien saat itu tidak tahu bila itu sejenis ganja. 4. Riwayat Kehidupan Pribadi a. Riwayat pranatal Pasien merupakan anak yang diharapkan, ibu pasien rajin kontrol ke bidan. Saat usia 3 bulan dalam kandungan, ayah pasien meninggal dunia. b. Riwayat perinatal Pasien lahir cukup bulan, spontan, di rumah, ditolong bidan, berat lahir sekitar 3 kg. Pasien tidak tahu apakah pasien diimunisasi dan langsung menangis pada saat dilahirkan. c. Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun) Pasien tumbuh dan berkembang seperti anak normal, mendapat imunisasi sesuai jadwal posyandu. Saat pasien usia 3 tahun, ibu pasien menikah lagi dengan seorang perjaka. d. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun) Pertumbuhan dan perkembangan pada masa kanak-kanak normal dan sama seperti anak-anak lainnya. Saat pasien usia 4 tahun, ibu pasien pindah ke Jakarta bersama suaminya. Pasien diasuh oleh neneknya. Pasien mengaku mengaku telah tampak karakternya yang kasar saat saat masih kecil. Pasien sering
memukul dan bicara kasar kepada nenek dan keluarganya yang lain. Pasien menempuh pendidikan TK, dan selama sekolah pasien mampu belajar dengan baik dan bermain bersama teman-temannya. Pasien merupakan anak yang mudah bergaul. Ibu pasien kembali lagi ke Bengkulu saat pasien kelas 2 SD. e. Riwayat Masa Remaja Pasien tumbuh menjadi remaja yang normal dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Pasien sering bermasalah dengan ayah tirinya tetapi pasien tidak ingin menceritakan apa masalahnya. Pasien merasa ayah tirinya sangat cuek dan tidak pernah memedulikannya. Pasien merasa kedua orang tuanya lebih sayang dengan adik tirinya. Di sekolah pasien bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan tidak terganggu dengan masalahnya di rumah karena pasien mempunyai banyak teman. f. Riwayat Masa Dewasa Setelah tamat SMA, pasien bekerja di salah satu pusat perbelanjaan. Pasien membiayai kebutuhannya sendiri. Pasien tidak ingin menjadi beban orang tuanya. Pasien memulai belajar di perguruan tinggi saat usia pasien 21 tahun. Pasien membayar uang kuliah sendiri. Pasien kuliah sambil bekerja. Pasien tidak lagi tinggal bersama orang tuanya. Pasien m enyewa kosan di dekat kampusnya. Pasien tinggal bersama teman kerjanya. Pasien memiliki banyak teman dan sering menghamburkan uangnya dengan cara mentraktir teman-temannya. g. Riwayat pendidikan Pasien sekarang masih sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi. Dari SD sampai SMA pasien bisa mengikuti pelajaran dengan baik, prestasi pasien di sekolah biasa-biasa saja. h. Riwayat pernikahan Pasien belum menikah i. Riwayat kehidupan beragama Pasien beragama Islam dan tidak rajin beribadah j. Riwayat Psikoseksual Pasien pernah berhubungan seks dengan pacarnya yang keempat k. Riwayat pelanggaran hukum Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam masalah hukum. l. Aktivitas sosial Pasien saat ini masih berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Hanya saja pasien sekarang jadi lebih pendiam dan lebih suka berada di dalam rumah. 5. Riwayat Keluarga Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien. Pasien merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. 3 orang adik pasien adalah saudara tiri dari ayah yang berbeda. Hubungan pasien dengan keluarga inti seperti ibu, ayah dan keluarga besarnya tidak harmonis. Genogram
Keterangan :
Pasien
Laki-
laki
Perempuan
Menikah
Tinggal
satu rumah
Meninggal
6. Situasi Kehidupan Sekarang Pasien sekarang tinggal di kosan putra putri bersama seorang teman kerjanya. Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Pasien masih sering memikirkan masalahnya bersama mantan pacarnya dan mengaku masih berhubungan lewat sms dengan mantan pacarnya. Pasien menghilangkan rasa sedihnya saat ini dengan membelanjakan semua uangnya padahal uang itu untuk membayar kuliahnya dan pasien sekarang terancam di drop out dari kampusnya. Pasien tidak menceritakan masalahnya ini dengan ibu dan keluarganya yang lain, yang tahu hanya teman-temannya. Pasien tidak ingin keluarganya tahu kalau dia sedang ada masalah dan berobat ke RS Khusus Jiwa. Pasien tetap berusaha untu berobat ke psikiater dan rutin minum obat agar dia bisa sembuh dari gangguan jiwanya sekarang. 7. Persepsi Pasien Terhadap Dirinya dan Lingkungannya Pasien sangat terpukul dengan peristiwa yang menimpa dirinya dan sangat sedih dengan seluruh kejadian dalam hidupnya. Pasien merasa takut untuk pacaran lagi. Pasien merasa keluarganya tidak memberikan dukungan dan kasih sayang terhadapnya. Pasien hanya merasa memiliki teman-teman yang peduli dengannya.
C. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL Pemeriksaan dilakukan di kosan pasien pada tanggal 7 Februari 2016, hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pasien saat home visit. 1. Deskripsi Umum a. Penampilan Perempuan berusia 23 tahun, paras sesuai umur dengan postur tubuh yang atletikus, kesan gizi pasien cukup. Pasien memakai Pasien menggunakan dress pendek tidak berlengan warna hitam. Penampilan rapi dan tubuh bersih terawat. K uku pasien pendek, tidak menggunakan kutex. Pasien tampak lebih santai dan tenang saat didatangi Home visite. b. Kesadaran Kompos mentis, secara kualitas tidak berubah c. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Keadaan pasien tenang. Pasien tidak memperlihatkan gerak-gerik ya ng tidak bertujuan, gerak
berulang, maupun gerakan abnormal/involunter. d. Pembicaraan • Kuantitas: Pasien dapat menjawab pertanyaan dan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan jelas. • Kualitas: pasien dapat menjawab pertanyaan jika ditanya dan menjawab pertanyaan dengan spontan, Pasien sering bercerita dengan spontan mengenai keadaan dirinya saat ini dan cerita hidupnya. Intonasi berbicara pasien cukup jelas. Pembicaraan dapat dimengerti. e. Tidak ada hendaya berbahasa f. Sikap terhadap pemeriksa Pasien kooperatif, kontak mata adekuat. Pa sien selalu menjawab pertanyaan dengan melihat ke arah pemeriksa. Pasien dapat menjawab pertanyaan dengan baik. 2. Keadaan Afektif a. Mood : Eutimia b. Afek : Luas c. Keserasian : Serasi 3. Gangguan Persepsi Halusinasi, ilusi, derealisasi dan personalisasi disangkal. 4. Proses Pikir a. Bentuk pikir: Realistik b. Arus pikir • Produktivitas : pasien dapat menjawab spontan saat diajukan pertanyaan, • Kontinuitas : Koheren, mampu memberikan jawaban sesuai pertanyaan • Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa c. Isi pikiran: Preokupasi (isi pikiran pasien terfokus pada masalah pada pasien) 5. Fungsi Intelektual / Kognitif a. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan • Taraf pendidikan Pasien masih berstatus mahasiswa di Universitas Dehasen Bengkulu, jurusan komunikasi. • Pengetahuan Umum Baik, pasien dapat menjawab dengan tepat siapa gubernur saat ini dan prioritas dari ilmu komunikasi. b. Daya konsentrasi dan perhatian Konsentrasi pasien baik, pasien dapat mengurangkan angka 100 dikurang 7, dan 100 dikali 61. Perhatian pasien baik, pasien bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan sistematis dan jelas. Pasien juga sering mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan masalah gangguannya dan solusi masalahnya. c. Orientasi • Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat pagi hari • Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada di kosannya. • Orang : Baik, pasien mengetahui nama ibunya, dan mengetahui sedang diwawancara oleh siapa. d. Daya Ingat • Daya ingat jangka panjang
Baik, pasien mengingat cerita masa keci lnya dan menceritakan dengan lengkap. • Daya ingat jangka menengah Baik, pasien dapat mengingat kapan terakhir kali ke luar kota untuk memenuhi tugasnya bekerja (± 6 bulan yang lalu). • Daya ingat jangka pendek Baik, pasien dapat mengingat makan kemaren dengan lauk apa. • Daya ingat segera Baik, pasien dapat mengingat nama pemeriksa. • Akibat hendaya daya ingat pasien Tidak terdapat hendaya daya ingat pada pasien saat ini. e. Kemampuan baca tulis: baik f. Kemampuan visuospatial: baik g. Berpikir abstrak: baik, pasien dapat menjelaskan persamaan apel dan jeruk h. Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan perawatan diri sehari- hari secara mandiri seperti mandi, makan dan minum, membersihkan kosan. 6. Pengendalian Impuls Pengendalian impuls pasien baik, selama wawancara pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik dan tampak selama pemeriksaan dilakukan pasien tenang. 7. Tilikan Tilikan derajat V, pasien menyadari bahwa dirinya sedang mengalami gangguan karena masalah yang dihadapinya dan sadar bahwa pasien membutuhkan pertolongan medis. Tetapi di masa depan pasien belum bisa belajar dari pengalamannya. 8. Taraf Dapat Dipercaya Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup akurat, pasien berkata dengan jujur mengenai peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan temannya yang tinggal satu kosan. D. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis a. KU : Tampak Sehat b. Sensorium : CM (GCS: E4 V5 M6) a. Vital Sign • TD : 120/80 mmHg • Nadi : 86 x/menit • RR : 20 x/menit • Suhu : 36,7 oC 2. Status Internus Kepala Normocephali, rambut tidak mudah dicabut, pertumbuhan rambut merata, dan warna rambut hitam Mata Sklera ikterik -/-, conjungtiva palpbera anemis -/-, edema palpebra -/Hidung deformitas (-), tidak ada sekret. Telinga deformitas (-), liang lapang, pengeluaran sekret (-). Mulut bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar merata, mukosa lidah merah Leher Dalam batas normal Thorax Tidak terdapat scar, simetris kiri dan kanan Paru I Pernapasan Statis-Dinamis kiri = kanan.
P Stem fremitus kiri sama dengan kanan P Sonor di semua lapangan paru A Vesikuler normal, wheezing (-/-), rhonki (-/-) Jantung I iktus kordis tidak terlihat P Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra SIC V P Batas jantung dalam batas normal A Bunyi jantung normal Abdomen I Datar, tampak benjolan (-) A Bising usus (+) P Timpani (+) di seluruh regio abdomen P Nyeri tekan (-) Ektremitas Pitting edema (-/-), akral teraba hangat. 3. Status Neurologis a. Saraf kranial : dalam batas normal b. Saraf motorik : dalam batas normal c. Sensibilitas : dalam batas normal d. Susunan saraf vegetatif : dalam batas normal e. Fungsi luhur : dalam batas normal E. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LANJUT Belum diperlukan pemeriksaan penunjang pada pasien saat ini F. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA 1. Wanita berusia 23 tahun, belum menikah. 2. Penampilan bersih dan rapi, perawatan diri baik 3. Pasien mempunyai keluhan tidak semangat hidup dan mencoba bunuh diri karena putus dengan pacarnya dan ingin mencari perhatian orang-orang di sekitarnya. 4. Pasien juga merasa orang tuanya tidak peduli dengannya. 5. Pasien sering menangis bila ingat kisah hidupnya, pasien merasa kesepian dan tidak mau melakukan aktivitas seperti kuliah dan ke k ampus. 6. Pasien kooperatif, kontak mata adekuat, pembicaraan pasien koheren. Mood pasien eutimia dengan afek luas. 7. Terdapat bentuk pikir realistik, arus pikir koheren, & isi pikir: preokupasi (isi pikiran pasien terfokus pada masalahnya). G. FORMULASI DIAGNOSIS • Aksis 1 Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat traumatik. PTSD terdiri dari pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (wakin through), penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Pada pasien ini mengalami trauma percintaan dengan m antan-mantan pacarnya dan memiliki gejalagejala PTSD. Pasien melakukan bunuh diri berhubungan dengan tingkat depresinya. Bunuh diri biasanya dilakukan saat onset depresi berlangsung atau di akhir episode depresif. Sesuai dengan gejala depresi pada pasien yaitu afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah dan menurunnya aktivitas, konsentrasi berkurang, perasaan tidak berguna, pesimistis, gagasan bunuh diri, tidur
terganggu dan nafsu makan berkurang. Tidak ada riwayat cedera kepala selama trauma. Tidak ada riwayat epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. • Aksis II Pada pasien ini didapatkan perilaku yang tidak stabil dari mood dan afek, adanya percobaan bunuh diri dan pernah melakukan mutilasi diri, perasaan kosong dan bosan. Sehingga pasien ini mengalami gangguan kepribadian borderline. • Aksis III Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan berarti aksis III tidak ada diagnostik. • Aksis IV Pasien memiliki masalah dengan ayah tirinya, pasien merasa orang tuanya tidak peduli dengannya. pasien juga memiliki masalah dengan pacarnya. Sehingga diagnosis aksis IV pada pasien ini mengenai primary support group (keluarga) dan psikoseksual. • Aksis V Pasien ini telah membahayakan dirinya sendiri dengan cara percobaan bunuh diri yang berulang, disabilitas pada beberapa fungsi pekerjaan. Sehingga didapatkan GAF scale 20-11. H. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL 1. Aksis I F.43.1 Gangguan stress pasca trauma F.31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik Percobaan bunuh diri 2. Aksis II F60.31 Gangguan kepribadian borderline 3. Aksis III Tidak ada diagnosis 4. Aksis IV Family support group (keluarga) dan psikoseksual 5. Aksis V GAF scale 20-11 I. PROGNOSIS 1. Faktor yang memberikan pengaruh baik: a. Adanya faktor presipitasi yaitu putus dengan pacar b. Pasien mau minum obat c. Tidak ada masalah kesehatan medis d. Teman-teman pasien peduli dan mendukung pasien 2. Faktor yang memberikan pengaruh buruk: a. Usia muda b. Belum menikah c. Terdapat komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya d. Gejala depresi yang menonjol e. Pemikiran bunuh diri Prognosis pasien secara menyeluruh adalah dubia ad malam. Sehingga kesimpulan prognosis pada pasien berdasarkan wawancara diatas, sebagai berikut : Quo
Ad Vitam : dubia ad malam
Quo
Ad Functionam : dubia ad malam
Quo
Ad Sanationam : dubia ad malam
J. Terapi 1. Psikofarmaka - Fluxetine 2 x 20 mg 2. Psikoterapi & Edukasi a. Terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahanlahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. b. Manajemen stress (anxiety management). Mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. relaxation
training
breathing
retraining
positive
thinking dan self-talk
asser-tiveness training thought
stopping
cognitive
therapy c. Pendidikan dan supportive konseling d. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, menghindari konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dan lain-lain.
BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : An. F Usia : 5 tahun Jenis kelamin : Perempuan Anak ke : 1 dari 1 bersaudara Agama : Isla Pendidikan : PAUD Suku : Jawa Status : Belum Menikah Pekerjaan : Pelajar Alama : JL. xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Kota Bengkulu No RM : xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Tanggal Pemeriksaan : 19/12/2015 pukul 16.00 WIB B. IDENTITAS ORANG TUA Nama Ayah : Tn. G Umur : 28 Tahun Pendidikan : SMA Pekerjaan : TKI Nama Ibu : Ny. Y Umur : 25 Tahun
Pendidikan : SMA Pekerjaan : Ibu rumah tangga C. RIWAYAT PSIKIATRI (Alloanamnesis) 1. Keluhan Utama Pasien menjadi pendiam dan mudah ketakutan sejak ± 1 bulan SMRS 2. Riwayat Gangguan Sekarang Diperoleh dari Ibu pasien, Ny. Y, berusia 25 tahun, seorang ibu rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasien. Ny. Y mengatakan bahwa sejak ± 1 bulan SMRS pasien menjadi pendiam dan mudah ketakutan. Pasien sebelumnya adalah anak yang periang dan mudah bergaul mengalami perubahan setelah pasien mengalami peristiwa perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya sendiri. Peristiwa tersebut diketahui oleh Ny. Y dari cerita pasien sendiri, pasien bercerita kepada ibunya bahwa tetangganya (anak laki-laki umur 12 tahun) memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan pasien. Sejak kejadian itu, pasien juga menjadi pemurung dan malas pergi ke sekolah (PAUD), sehingga ibu pasien harus menunggui pasien disana agar pasien mau bersekolah. Di sekolah pasien sering mengadu kepada ibunya bahwa teman-teman laki-laki di sekolahnya jahat hanya karena mereka mendekati dan memegang tangan pasien. Pasien masih dapat berinteraksi dan bermain dengan teman-teman perempuan, namun tiba-tiba menceritakan kembali peristiwa perkosaan tersebut kepada ibunya yang menungguinya seolah-olah kejadian itu baru saja terjadi. Pasien tidak pernah lagi bermain ke rumah tetangganya tersebut. Pasien juga menjadi susah makan dan sering terbangun karena mimpi buruk. Saat bangun di pagi hari pasien selalu menceritakan kembali peristiwa perkosaan itu. 3. Riwayat Gangguan Sebelumnya a. Riwayat Gangguan Psikiatri Pasien belum pernah ada gangguan psikiatri sebelumnya, pasien belum pernah berobat ke rumah sakit jiwa maupun ke psikiater. b. Riwayat Gangguan Medik • Pasien tidak ada riwayat gangguan medis, dan pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. • Riwayat mengalami kejang demam (-), kejang tanpa demam (-), penyakit malaria (-), thypoid (-), trauma kepala (-) c. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif / Alkohol Riwayat mengkonsumsi alkohol, rokok, dan narkoba tidak ada. 4. Riwayat Kehidupan Pribadi a. Riwayat pranatal Periksa kehamilan An.F rutin setiap bulan ke bidan, penyakit selama kehamilan disangkal, tidak ada minum obat-obatan dan jamu. b. Riwayat perinatal Pasien lahir cukup bulan, spontan, di rumah, ditolong bidan, berat lahir 3,2 kg, lahir langsung menangis, dan mendapat suntikan vit. K dan imunisasi. c. Riwayat masa kanak-kanak awal (0-3 tahun) Pasien tumbuh dan berkembang seperti anak normal, mendapat imunisasi sesuai jadwal posyandu. d. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun) Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini normal dan sama seperti anak-anak lainnya. Pasien menempuh pendidikan PAUD, dan selama sekolah pasien mampu belajar dengan baik
dan bermain bersama teman-temannya. Pasien merupakan anak yang periang dan mudah bergaul. e. Riwayat pendidikan Pasien baru masuk PAUD selama ± 1 tahun. f. Riwayat pernikahan Pasien belum menikah g. Riwayat kehidupan beragama Pasien beragama Islam dan rajin beribadah h. Riwayat Psikoseksual Pasien mengalami perkosaan oleh tetangganya ± 1 minggu yang lalu i. Riwayat pelanggaran hukum Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum dan terlibat dalam masalah hukum. j. Aktivitas sosial Pasien saat ini masih berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Hanya saja pasien sekarang jadi lebih pendiam dan lebih suka berada di dalam rumah. 5. Riwayat Keluarga Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien. Pasien merupakan anak tunggal. Hubungan pasien dengan keluarga inti seperti ibu, ayah dan keluarga besarnya baik. Genogram
Keterangan : Pasien Laki-
laki
Perempuan Menikah Tinggal
dirumah
6. Situasi Kehidupan Sekarang Pasien sekarang tinggal dirumah bersama ibunya. Keseharian pasien lebih banyak di rumah. Pasien belajar di PAUD sejak ± 1 tahun terakhir. Pasien lebih suka di rumah dan malas pergi ke PAUD sejak kejadian perkosaan itu. Lingkungan tempat tinggal terkesan cukup baik. Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk dan berdekatan dengan tetangga. Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga dikenal c ukup baik, namun paien tidak pernah lagi berinteraksi dengan tetangga yang mempekosanya dan keluarganya. Dalam biaya pengobatan pasien dengan biaya umum. Keluarga pasien cukup terbuka dan mendukung kesembuhan pasien dengan bekerjasama dengan dokter/psikolog dalam terapi
hingga kontrol untuk menilai perkembangan pasien. 7. Persepsi Pasien Terhadap Dirinya dan Lingkungannya Pasien tidak menyadari saat ini sedang mengalami masalah. Pasien menyadari bahwa kejadian perkosaan itu membuat ibunya bersedih dan ikut sedih karenanya. D. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL Pemeriksaan dilakukan di rumah pasien pada tanggal 19 Desember 2015, hasil pemeriksaan ini menggambarkan situasi keadaan pasien saat home visit. 1. Deskripsi Umum a. Penampilan Perempuan berusia 5 tahun, paras sesuai umur dengan postur tubuh yang atletikus, kesan gizi pasien cukup. Pasien memakai baju kaos lengan panjang berwarna merah dengan jilbab berwarna merah, celana kaos panjang warna merah. Kuku pasien pendek, tidak menggunakan kutex, sesuai umurnya. Pasien tampak ceria dan tenang saat didatangi Home visite. b. Kesadaran Kompos mentis, secara kualitas tidak berubah c. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Keadaan pasien tenang. Pasien tidak memperlihatkan gerak-gerik yang tidak bertujuan, gerak berulang, maupun gerakan abnormal/involunter. d. Pembicaraan • Kuantitas : Pasien dapat menjawab pertanyaan dan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan jelas. • Kualitas : pasien dapat menjawab pertanyaan jika ditanya dan menjawab pertan yaan dengan spontan, Pasien sering bercerita dengan spontan mengenai keadaan dirinya saat ini s esuai usianya. Intonasi berbicara pasien cukup jelas. Pembicaraan dapat dimengerti. e. Tidak ada hendaya berbahasa. f. Sikap terhadap pemeriksa Pasien kooperatif, kontak mata adekuat. Pasien selalu menjawab pertanyaan dengan melihat kearah pemeriksa. Pasien dapat menjawab pertanyaan dengan cukup baik. 2. Keadaan Afektif a. Mood : Eutimia b. Afek : Luas c. Keserasian : Serasi 3. Gangguan Persepsi Tidak ada 4. Proses Pikir a. Bentuk pikir : Realistik b. Arus pikir • Produktivitas : pasien dapat menjawab spontan saat diajukan pertanyaan, • Kontinuitas : Koheren, mampu memberikan jawaban sesuai pertanyaan • Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa c. Isi pikiran : preokupasi ( isi pikiran pasien terfokus pada masalah pada pasien) 5. Fungsi Intelektual / Kognitif a. Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan • Taraf pendidikan
Pasien masih mungikuti PAUD • Pengetahuan Umum Baik, pasien dapat menjawab dengan tepat siapa presiden Indonesia dan Ibukota negara Republik Indonesia. b. Daya konsentrasi dan perhatian Konsentrasi pasien baik, pasien dapat mengurangkan angka 10 dikurang 1, dan menambahkan 1 dengan 2 Perhatian pasien Baik, pasien bisa mengeja kata AYAH dan bisa men yebutkan benda-benda yang berawalan huruf A. c. Orientasi • Waktu : Baik, pasien mengetahui saat wawancara saat sore hari • Tempat : Baik, pasien mengetahui dia sedang berada dirumahnya • Orang : Baik, pasien mengetahui nama ibunya, dan mengetahui sedang diwawancara oleh siapa. d. Daya Ingat • Daya ingat jangka menengah Baik, pasien dapat mengingat kapan terakhir kali bertemu dengan ayahnya (± 1 tahun yang lalu) • Daya ingat jangka pendek Baik, pasien dapat mengingat makan apa tadi pagi • Daya ingat segera Baik, pasien dapat mengingat nama pemeriksa dan dapat mengulang tiga kata yang disebutkan oleh pemeriksa • Akibat hendaya daya ingat pasien Tidak terdapat hendaya daya ingat pada pasien saat ini. e. Kemampuan baca tulis: baik f. Kemampuan visuospatial: baik g. Berpikir abstrak: baik, pasien dapat menjelaskan persamaan apel dan pir h. Kemampuan menolong diri sendiri : baik, pasien dapat melakukan perawatan diri seharihari secara mandiri seperti mandi, makan dan minum. 6. Pengendalian Impuls Pengendalian impuls pasien baik, selama wawancara pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik dan tampak selama pemeriksaan dilakukan pasien tenang. 7. Tilikan Tilikan derajat 1, pasien tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami masala h. 8. Taraf Dapat Dipercaya Kemampuan pasien untuk dapat dipercaya cukup akurat, pasien berkata dengan jujur mengenai peristiwa yang terjadi, dan di cross check juga dengan keterangan dari ibu pasien yang menceritakan kejadian yang serupa. E. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis a. KU : Tampak Sehat b. Sensorium : CM (GCS: E4 V5 M6) a. Vital Sign
• Nadi : 92 x/menit • RR : 26 x/menit • Suhu : 36,8 oC
2. Status Internus Kepala Normocephali, rambut tidak mudah dicabut, pertumbuhan rambut merata, dan warna rambut hitam Mata Sklera ikterik -/-, conjungtiva palpbera anemis -/-, edema palpebra -/Hidung deformitas (-), tidak ada sekret. Telinga deformitas (-), liang lapang, pengeluaran sekret (-). Mulut bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), papil lidah tersebar merata, mukosa lidah merah Leher Dalam batas normal Thorax Tidak terdapat scar, simetris kiri dan kanan Paru I Pernapasan Statis-Dinamis kiri = kanan. P Tidak dilakukan P Dalam batas normal A Dalam batas normal Jantung I iktus kordis tidak terlihat P Tidak dilakukan P Tidak dilakukan A Bunyi jantung normal Abdomen I Datar, tampak benjolan (-) A Bising usus (+) P Timpani (+) di seluruh regio abdomen P Nyeri tekan di reg. epigastrium Ektremitas Pitting edema (-/-) pada ekstrimitas, akral teraba hangat. 3. Status Neurologis a. Saraf kranial : dalam batas normal b. Saraf motorik : dalam batas normal c. Sensibilitas : dalam batas normal d. Susunan saraf vegetatif : dalam batas normal e. Fungsi luhur : dalam batas normal F. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LANJUT Belum diperlukan pemeriksaan penunjang pada pasien saat ini G. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA 1. Wanita berusia 5 tahun, belum menikah. 2. Penampilan bersih dan rapi, perawatan diri baik 3. Pasien mempunyai keluhan perubahan perilaku, menjadi pendiam dan mudah ketakutan, sejak kejadian perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya. 4. Pasien jadi cenderung malas mengikuti PAUD karena pasien menganggap temen-teman laki-laki yang ada disana jahat. 5. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, gangguan tidur dan selalu teringat akan
kejadian perkosaan tersebut seolah-olah baru saja terjadi. 6. Pasien menyadari ibunya merasa sedih atas kejadian yang menimpanya dan merasa sedih karenanya. 7. Pasien kooperatif, kontak mata adekuat, pembicaraan pasien koheren. Mood pasien eutimia dengan afek luas. 8. Terdapat bentuk pikir realistik, arus pikir koheren, & isi pikir : preokupasi (isi pikiran pasien terfokus pada masalah kejadian perkosaan). H. FORMULASI DIAGNOSIS Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (wakin through), penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Pada pasien ini mengalami trauma berupa perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya dan memiliki gejalagejala PTSD. Gangguan stress akut dengan PTSD pada dasarnya sama, baik dari segi gejala -gejala, etiologi yang berupa stressor. Menurut DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress akut berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung lebih dari 1 bulan. Keluhan yang dirasakan pasien sudah terjadi ± 1 bulan. Tidak ada riwayat cedera kepala selama trauma. Tidak ada riwayat epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. I. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL 1. Aksis I F.62 PTSD 2. Aksis II Tidak ada diagnosis 3. Aksis III Tidak ada diagnosis 4. Aksis IV Tidak ada diagnosis 5. Aksis V GAF scale 60 – 51 J. PROGNOSIS 1. Faktor yang memberikan pengaruh baik: Indikator psikososial: Ibu pasien selalu memberikan dukungan kepada anaknya & tidak pernah memarahi anaknya. Pasien masih mengikuti PAUD dengan ditunggui oleh ibunya. a. Tidak ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya. b. Kepribadian premorbid à menunjukan kepribadian yg baik di lingkungannya dan interaksi sosialnyabaik 2. Faktor yang memberikan pengaruh buruk: a. Pasien menyadari kesedihan yang dirasakan ibunya atas kejadian yang menimpanya. b. Tidak ada anggota keluarga lain yang tinggal bersama yang dapat membantu selain ibunya. c. Pelaku masih tinggal di sekitar rumah pasien se hingga kemungkinannya untuk bertemu cukup besar.
Prognosis pasien secara menyeluruh adalah dubia ad bonam. Sehingga kesimpulan prognosis pada pasien berdasarkan wawancara diatas, sebagai berikut : Quo Ad Vitam : dubia ad bonam Quo Ad Functionam : dubia ad malam Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam K. Terapi 1. Psikofarmaka 2. Psikoterapi & Edukasi a. Terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. b. Manajemen stress (anxiety management). Mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. relaxation training breathing retraining positive thinking dan self-talk asser-tiveness training thought stopping cognitive therapy c. Terapi bermain (play therapy). d. Pendidikan dan supportive konseling e. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, menghindari konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi. Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) adalah kecema san patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa: 1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak. 2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interpersonal attack seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan), penculikan, men yaksikan perisiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain. 3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan. 4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti kanker,
rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, mul tiple sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.
B. EPIDEMIOLOGI Pada Studi community-based yang dilakukan di AS mendokumentasikan prevalensi s eumur hidup pada PTSD sekitar 8% dari populasi orang dewasa. Menurut National Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %. Kejadian PTSD muncul paling tinggi terutama pada orang yang mengalami trauma (muncul pada 1/3 hingga ¾ dari mereka yang mengalami pemerkosaan, perang, penculikan, pengasingan dengan alasan poli tik, dan genosida. Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali kronik, dengan jumlah orang yang secara signifikan bergejala beberapa tahun setelah kejadian awal. Untuk menegaskan pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi. Sebagai contohnya,studi dari the National Vietnam Veterans Readjustment menemukkan prefalensi seumur hidup, 30,9% hingga 15,2 % pada pria dan 26,9% hingga 8,5% pada perempuan. Pada populasi korban perkosaan, illpatrick dan colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan prevalensi 39,4%. Pada studi oleh Pynoos and associates pada anak-anak menunjukkan tingkat prevalensi 58,4% pada anak-anak yang mendapat serangan sniper di AS dan 70,2% pada mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and colleagues mendokumentasikan 1/3 dari mereka yang terdiagnosis PTSD gagal sembuh setelah beberapa tahun. Epidemiologi dari PTSD berdasarkan studi Community-based epidemiological menunjukkan 70% dari individu yang mengalami trauma, yang dipengaruhi oleh kejadian traumatik, faktor predisposisi dan faktor lingkungan peritraumatik dalam memahami etiologi dari PTSD, terutama pada gangguan interaksi dari 3 grup faktor. Perkembangan dari PTSD berhubungan dengan kejadian yang dialami pasien, yang secara konsisten memiliki keterkaitan erat dengan stress yang dialami dan resiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma.
C. FAKTOR RESIKO PTSD 1. Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada laki-laki meskipun lakilaki lebih cenderung mengalami kejadian traumatik. 2. Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting anxiety disorder atau preexisting major depression) beresiko 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengalami gangguan jiwa. 3. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutaan maupun keluarganya. 4. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual. 5. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial. 6. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem menyesuaikan diri. 7. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna. 8. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau peristi wa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya. D. ETIOLOGI Respon kognitif dan afektif juga penting dalam menentukkan PTSD yang dikembangkan. Kejadian traumatik didefinisikan dengan kejadian yang melibatkan pengalaman atau
menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa, cedera berat, atau mengatahui kematian yang mengenaskan yang melibatkan ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan, atau kejadian mengerikan. 1. Psikodinamika Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali. 2. Faktor Biologi Pasien dengan PTSD kronis mengalami peningkatan norepinephrine di s irkulasi dan peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors. Perubahan ini dihipotesiskan sesuai gejala somatik yang muncul pada individu dengan PTSD. Studi neuroanatomi mengaitkan perubahan pada amygdala dan hippocampus pada pasien dengan PTSD, MRI fungsional dan positron-emmision tomography yang menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan anterior paralimbic region ke stimulus yang berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai respon yang beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan reaktifitas dari anterior cingulate dan orbitofontal areas. Perubahan biologis ini menunjukkan gejala neuroanatomical substrate untuk gejala yang termasuk karakteristik dari PTSD (intrusive recoll ections dan gangguan kognitif lainnya). Bagaimanapun tidak diketahui perubahan sebelumnya sebagai hasil terpaparnya trauma atau karena menderita PTSD. 3. Sympathetic Nervous System Alterations. Terdapat assosiasi positif antar diagnosis PTSD dan akitivitas cardiovascular, terutama individu yang telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang tinggi pada s aat istirahat yang berkaitan dengan individu yang terpapar trauma tanpa diagnosis PTSD dan kontrol yang tidak terpapar trauma, hal ini menunjukkan studi dengan sampel PSTD kronis terdapat peningkatan urin cathecolamine 24 jam, selain itu terdapat peningkatan aktivitas simpatis. Terdapat demonstrasi berulang terhadap peninggian sympathetic arousal pada pasien dengan PTSD yang direkonstruksi ulang saat trauma. Meskipun kondisi ini dapat dijelaskan dengan keterkaitan trauma dengan respon fisiologis yang meningkat pada pasien dengan PTSD, namun t idak menjelaskan individu yang mengalami seseorang individu dapat mengalami perkembangan PTSD, sementara individu yang lain tidak. Dapat dihipotesiskan terdapat perbedaan suskeptibilitas untuk membentuk PTSD pada masing-masing variasi individu dibandingkan dengan individu lain, maka individu yang mengalami kejadian traumatik lebih sering mengalami PTSD. Terdapat disfungsi otak pada individu dengan PTSD, dimana te rdapat pembangkitan potensial yang abnormal. Pada ERP dapat menggagaskan pasien dengan PTSD mengalami penghambatan kortikal pada stimulus dengan intensitas tinggi, gangguan pada memori dan konsentrasi, defisit auditorik dan peningkatan perhatian pada stimulus yang berkaitan dengan trauma. Bagaimanapun perlu dilakukan studi lanjutan pada PSTD. Respon psychophsiological pada pemaparan trauma yang akut dapat memprediksi perkembangan PTSD, individu yang selamat setelah kejadian traumatik mengalami peningkatan nadi selama 1 minggu. 4. Sympathetic Nervous System Alterations. Pada individu yang mengalami PTSD terjadi upaya untuk mempertahankan homeostasis, terjadi perubahan endogen, stress-responsive neurohormon, seperti cortisol, epinephrine,
norepinephrine, vasopressin, oxytocin, pada stress awal terjadi perubahan The hypothalamic pituitary-adrenal yaitu hypothalamic dan extrahypothalamic corticotropin-releasing hormon, monoaminergic, dan gamma-amniobutyric acid/ benzodiazepine systems, stress juga menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada otak seperti depresi, dari data terlihat kelainan terutama pada The hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis secara ekstensif dipelajari dalam sistem neuroendokrin pada pasien dengan PTSD. Penemuan penting yaitu: berkurangnya ekskresi cortisol urin 24 jam, supersuppresion pada cortisol setelah pemberian low-dose dexamethasone, menumpulnya respon corticotropin pada corticotropin releas inghormone dan peningkatan reseptor glukokortikoid, hal ini menunjukkan PTSD kronis diikuti oleh supersuppresion pada emergency HPA response pada stress akut. Hal i ni dapat terjadi karena proteksi diri individu pada toksisitas tingginya corticosteroid yang muncul pada pemaparan berulang stress yang mengingatkannya terhadap trauma. Selain itu perubahan aksis HPA terhadap perubahan reseptor glukokortikoid berkaitan dengan beratnya gejala PTSD, tetapi tidak dengan less specific anxiety dan depressive symptoms, pada penelitian dengan sampel veteran AS perang vietnam yang bertarung langsung yang mengalami PTSD memiliki cortisol yang lebih rendah dibandingkan veteran AS perang Vietnam yang tidak bertarung langsung yang mengalami PTSD. Jadi faktor neuroendokrin pada PTSD menunjukkan abnormalitas yang spes ifik, dibandingkan gangguan jiwa lainnya, pada pasien dengan PTSD menunjukkan negative feedback inhibiton dengan berlebihannya respon cortisol terhadap dexamethasone, disertai peningkatan reseptor glukokortikoid dan cortisol basal, penemuan ini kontras terhadap pasien dengan depresi mayor yaitu wanita dengan childhood abuse dengan didiagnosis current major depression menunjukkan 6 kali lipat respon adrenocorticotropic hormone terhadap stress terjadi penumpulan respon cortisol terhadap dexamethasone disertai pengurangan jumlah reseptor glukokortikoid dan cortisol basal pada studi biologi longitudinal terdapat penurunan kortisol 15 μg/dL hingga ke 30 μg/dL, selain itu efek ini juga dipengaruhi fight -or-flight reactions. 5. Sleep Studies Pada studi didapatkan dua kriteria jelas yang berhubungan dengan keluhan tidur pada individu dengan PTSD:nightmare dengan kejadian traumatik, kegagalan untuk memulai dan mempertahankan tidur, data selanjutnya menggagaskan kesulitan tidur pada individu dengan PTSD dengan aktivitas motorik yang berlebih dan awakening with somatic anxiety symptoms. Terdapat juga komplain pada penggunaan polysomnography pada studi, terutama pada pasien dengan waktu tidur yang kurang atau efisiensi, dan peningkatan kesadaran pada pasien PTSD. Terdapat juga dokumentasi pada pasien dengan PTSD dengan gangguan nafas akibat tidur. PTSD juga dikaitkan dengan REM yang terfragmentasi. 6. Faktor Struktural dan Fungsional Pada Otak Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white matter lesion dan penurunan volume hippocampal, abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma untuk berkembang menjadi PTSD bila mendapat pengalaman traumatik, pada PET scan bila terlihat peningkatan aktivitas metabolik hanya di bagian hemisfer kanan saja, yang secara spesifik, pada area emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal medial, selama pemaparan kejadian traumatik terjadi juga penurunan aktivasi area fronta l inferior-Broca, yang mempengaruhi motor speech, dapat pula ditemukan aktivasi pada cingulate cortex pada res pon trauma related stimuli, pada individu PTSD. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis mempengaruhi respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi dengan respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan neutral, gembira, atau ekspresi wajah lain, peranan hippocampus pada PTSD menunjukkan fungsi declarative
memory, context dependent memory, terjadi penurunan volume hippocampus pada pasien PTSD dan depresi, diperkirakan karena pengalaman negative, emosi ekstrim dan reaksi biologi yang mengingatkan mereka pada trauma, sehingga individu yang mengalami kerusakan hippocamus, cenderung menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai konteks. Pada individu dengan PTSD terjadi penurunan kemampuan aktivasi Anterior Cingulate Cortex sehingga terjadi penurunan kema mpuan mengerjakan tugas kognitif dan penguasaan emosi, pada inidividu dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke otak sehingga terjadi perubahan struktur pada left inferior prefrontal c ortex atau Broca area dan dorsolateral prefreontal cortex, juga terjadi penurunan akitvasi t halamus, medial frontal gyrus (Brodmann’s area), berbeda pada perempuan dengan childabuse menunjukkan peningkatan aliran darah pada anterior prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi penurunan aktivasi pada dorsolateral frontal cortex sehingga pasien dengan PTSD kembali mengingat trauma dengan kesadaran yang terbatas, sehingga hanya mengingat sebagian unsur trauma, selain itu ditemukan juga hemispheric lateralization pada pasien dengan PTSD yang terpapar memori negatif, pada bagian hemisfer kanan mengembangkan terlebih dahulu dibandingkan hemisfer kiri, yang melibatkan ekspresi emosi nonverbal yaitu intonasi, ekspresi wajah, komunikasi visual atau spasial, dengan kata lain hemisfer kanan khusus mempengaruhi emosi, yang berlawanan dengan hemisfer kiri yang memediasi komunikasi verbal dan mengorganisasi penyelesaian masalah, pada (gambar 1.) dapat dilihat peranan neurotransmitter pada respon fight or flight pada pengaktifan HPA terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD. Pada (gambar 2.) dapat dilihat peranan serotonin pada respon fight or flight melalui komunikasi secara langsung dengan limbik dan struktur kortikal terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan otak gagal memproses informasi, memori episodik menetap di sistem limbik, yang menghasilkan gambaran kejadian traumatik. Gambar 1. Sir kuit dari noradrenergic pada respon trauma, respon akut: “fight or flight”, rasa takut, konsolidasi memori, gejala ASD/ PTSD: hypervigilience, arousal, fear, startle, flashback, intrusive recollections. Locus coeruleus: pigmented area pada regio rostrolateral pontine dari fourth ventricle floor dan memanjang hingga mesencephalon pada lateral portion dari periaqueductal gray substance; cell dari nukleus yang mengandung melanin. Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress response. Respon akut: “fight or flight”, kemarahan, melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan dengan gejala aggression/violence, anger, impulsivity, anxiety, depression. 7. Dinamika Keluarga Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkira an yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
8. Faktor Psychological Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan PTSD, 3 fase stress itu antara lain: (1) Fase Initial yaitu fase dengan realisasi kejadian yang menyakitkan yang
meenyebabkan kemarahan, kesedihan, dan penyesalan, (2) Fase Denial yaitu fase dengan karakterisitik defense againt intrusion of memories pada kejadian traumatik, dimana pasien menunjukkan kegagalan memori pada kejadian, yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatik, dan menggunakan fantasi mereka untuk melawan persepsi yang realistis pada kejadian, (3) Fase Intrusive yaitu fase dengan karakteristik hypervigilance, terkejut yang berlebihan, tidur, gangguan mimpi, intrusive dan repetitive trauma-related thoughts, dan kebingungan. 9. Model Perilaku Teori kondisi dapat membantu dalam menjelaskan proses dengan stimulus yang berkaitan dengan kejadian traumatik dengan respon emosi pada individu yang mengalami PTSD. Kondisi-kondisi penyerta yang terjadi saat kejadian traumatik selain kejadian traumatik itu sendiri dapat direspon pasien sebagai kejadia traumatik, dengan respon pasien berupa takut, ketidakberdayaan dengan respon emosi yang kuat, sebagai contoh, perempuan yang diperkosa (unconditioned stimulus) di lorong gelap (conditioned stimulus) oleh laki-laki (conditioned stimulus) memiliki respon rasa takut pada conditioned stimulus dan unconditioned stimulus, dapat merasa ketakutan ketika berada di lorong gelap atau diikuti seorang laki-laki. Perilaku menghindar dapat berkembang dengan anxietas yang berkaitan dengan conditioned stimulus. Sebagai contoh perempuan yang diperkosa ta kut keluar ketika gelap atau diikuti laki-laki. Terapi perilaku dapat me nggunakan prinsip pemaparan yang memerlukan konfrontasi pada situasi yang ditakuti dan dapat mengurangi anxietas.
10. Proses Kognitif dan Informasi Pemaparan terhadap kejadian traumatik yang berat atau ti dak dapat diprediksi, mengakibatkan kegagalan proses dan asimilasi dengan pengalaman yang cukup untuk secara efektif menerima akibatnya, selain itu bila periode traumatiknya berkepanjangan, kesulitan dan asimilasi yang tidak lengkap dapat terjadi. Pengalaman dipertahankan pada memori aktif, mengakibatkan seseorang dengan kesadaran saat siang atau malam. Pada pengalaman yang menyakitkan terjadi penghindaraan untuk mengingat kejadian traumatik. Rasa takut dapat dijelaskan dengan struktur kognitif dengan tiga unsur: stimulus, respon dan arti. Untuk mengurangi rasa takut, memori terhadap rasa takut harus diaktifkan kemudian informasi baru diberikan untuk merubah struktur rasa takut. Intervensi kognitif dapat digunakan untuk mengenali dan merubah maladaptive cognitions dan menggantikan interpretasi dari bahaya dengan interpretasi yang realistis dan aman, dengan harapan pasien dapat mengintegrasikan informasi baru pada struktur rasa takut, mengakibatkan pemikiran realistis terhadap derajat bahaya. 11. Faktor Genetic-Familial Dari literatur yang ada, dibuat berdasarkan pertarungan langsung pada veteran AS laki-l aki, dengan survey populasi umum dan pemerkosaan traumatik yang berkaitan dengan PTSD, didapatkan hasil berdasarkan genetik dengan kluster tiga gejala (intrusi ve, avoidant, dan gejala hyperarousal) pada pemeriksaan terhadap pengaruh genetik dan lingkungan pada pertarungan langsung, post traumatic stress disorder, dan penggunaan alkohol pada kembar identik laki-laki, menemukan bahwa penggunaan alkohol berkaitan dengan gen yang mempengaruhi kerentanan terhadap pertarungan langsung yang juga mempengaruhi kerentanan terhadap gejala PTSD dan konsumsi alkohol. Merupakan catatan penting, untuk mengetahui faktor lingkungan yang unik pada kembar tidak lebih penting dari pengaruh genetik terhadap pertarungan langsung dan gejala PTSD, dimana pengaruh lingkungan
terlihat setara dengan pengaruh genetik terhadap konsumsi alkohol, secara keseluruhan kejadian ini menggagaskan pada riwayat psychiatric, baik personal maupun pada anggota keluarga, meningkat dengan terpaparnya trauma dan perkembangan PTSD setelah terpapar, dengan kata lain orang tuan dengan PTSD berkaitan dengan rendahnya kadar cortisol pada anak-anakya, yang menunjukkan kerentanan yang berkaitan dengan gejala akut atau kronik dari PTSD. 6, 7, 8, 9, 10, 11 12. Faktor Lainnya Meskipun penelitian sistematis telah dilakukan, individu yang mengalami trauma berulang dan berkelanjutan, terutama yang berasal dari interpersonal, lebih mungkin mengalami PTSD. Trauma yang melibatkan berkurangnya community atau support str uctures. Karena social support memiliki efek buffering, berkurangya support dapat menjadi faktor kerentanan. Perempuan memiliki resiko PTSD yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang bakan terjadi, s eperti : • Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami • Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang • Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal) • Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat keja diaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri. Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar belakang budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan sosial dari lingkungan sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu untuk menyesuaikan dirinya kembali. E. Tanda dan Gejala Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD, yaitu: 1. Gejala re-experience • Selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami • Flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali) • Nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih) • Reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. 2. Gejala avoidance • Menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. • Kehilangan minat terhadap semua hal • Perasaan terasing dari orang lain • Emosi yang dangkal. 3. Gejala hyperaurosal, • Susah tidur • Mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah • Susah berkonsentrasi • Kewaspadaan yang berlebih • Respon yang berlebihan atas segala sesuatu Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 geja la hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oleh distress yang signifikan atau
kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan. F. DIAGNOSIS Berikut adalah kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSM-IV: A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat: 1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadiankejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi. B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: 1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada anaka kecil, dapat menunjukkan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma. 2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali. 3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma. 4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal ata u eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. 2) Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma. 4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dal am aktivitas yang bermakna. 5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta) 7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memili ki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal) D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), sepe rti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut: 1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur. 2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan. 3) Sulit berkonsentrasi. 4) Kewaspadaan berlebihan. 5) Respon kejut yang berlebihan. E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan. F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kli nis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5 Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ III ( F
43.1) adalah sebagai berikut: 1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks). 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).6 G. Diagnosis Banding Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang. Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan stress akut, gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna buatan, gangguan panik dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatr aumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura. H. Tatalaksana Ada beberapa psikoterapi yang dapat digunakan. Yang pertama adalah terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in realit y, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi. Yang kedua manajemen stress (anxiety management). Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxati on training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -
otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa -gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress . Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seo rang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang. Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya. Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain. Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi ceri ta mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan ke -jiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan. Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam terapi dan pengobatan yang cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Di lain pihak, sampai saat ini masih didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain. Misalnya, eye movement desensitization reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu bagi sebagian penderita. Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama. Dalam beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat menjadi sangat tidak nyaman bagi pasien. Selain terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif pada kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila gejala menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan rawat inap. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr.
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini: 1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya. 2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. 4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan. Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan menjadi lima jenis yaitu: 1. Psychodynamic Approaches Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase str ess bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini bertujuan agar pasien dapat beradaptasi melalui reinterpretasi dari kejadian traumatik, mengubah atribut kerusakan dan mengembangkan intrepretasi yang realistis. 2. Cognitive-behavioral Approaches Terapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan untuk gangguan anxiety lain, pada learning theory model mengemukakan incorporate classical dan operant conditioning untuk menjelaskan perkembangan dan menetapnya gejala PTSD. Teori Kognitif diajukan untuk menambahkan learning theory untuk menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam memicu gejala PTSD, sehingga inti dari penatalaksaan ini adalah repetitive exposure to trauma-relevant fear stimuli unuk mengurangi anxiety, terapi ini menekankan pada intensive exposure namun tidak diikuti pengaturan pada fear-antagonistic state, penatalaksaan ini dilakukan pada in vivo kembali ke lokasi kejadian traumatik, atau berimajinasi, sehingga anxiety teratasi dan hilang potensinya. 3. Flooding Techniques Pada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik exposure terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal, kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan dapat memperberat gejalanya. 4. Training in Coping Skills Pada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control symptom dan meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi 2 fase yaitu: fas e edukasi dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase coping skill, diajarkan cara mel akukan relaksasi diri, untuk menghambat negative rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban pemerkosaan. 5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR) Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata ter buka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma, diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fear-antagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization. I. Prognosis Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya. Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan,
anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian at au suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascat raumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.
BAB III PEMBAHASAN Dari hasil pemeriksaan pada A. F ditemukan gejala PTSD dialami sejak ± 1 bulan yang lalu. Gejala muncul setiap hari secara bervariasi. Gejala-gejala berupa. Keluhannya ini dirasakan setelah kejadian pemerkosaan yang dilakukan oleh tetangganya ± 1 minggu yang lalu, maka dapat digolongkan sebagai PTSD. Pada pasien ini, mengalami perubahan perilaku menjadi lebih pendiam dan mudah ketakutan, namun pasien masih dapat berinteraksi dan bermain dengan teman-teman yang perempuan dan masih mengikuti PAUD walaupun harus ditunggui oleh ibunya. Sehingga diagnosis F62 PTSD pada pasien wanita, An. F usia 5 tahun ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan psikiatri. Pada pasien ini tidak diberikan psikofarmaka karena usia pasien masih ke cil, gejala yang ditunjukkan tidak terlalu berat dan masih harus dilakukan observasi perkembangan keadaan pasien. Selain terapi psikofarmaka, pasien dengan PTSD dapat juga dilakukan psikoterapi. Terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. Manajemen stress (anxiety management). Mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah, antara lain: 1. relaxation training 2. breathing retraining 3. positive thinking dan self-talk 4. asser-tiveness training 5. thought stopping 6. cognitive therapy Selain itu, dapat juga dilakukan terapi bermain (play therapy), pendidikan dan supportive konseling, modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, menghindari konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur untuk mengatasi pasien PTSD ini.
BAB IV LAPORAN HOME VISIT
A. RIWAYAT GANGGUAN SEKARANG Sejak ± 1 bulan SMRS pasien menjadi pendiam dan mudah ketakutan. Pasien sebelumnya adalah anak yang periang dan mudah bergaul mengalami perubahan setelah pasien mengalami peristiwa perkosaan yang dilakukan oleh tetangganya sendiri. Peristiwa tersebut diketahui oleh Ny. Y dari cerita pasien sendiri, pasien bercerita kepada ibunya bahwa tetangganya (anak laki-laki umur 12 tahun) memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan pasien. Sejak kejadian itu, pasien juga menjadi pemurung dan malas pergi ke sekolah (PAUD), sehingga ibu pasien harus menunggui pasien disana agar pasien mau bersekolah. Di sekolah pasien sering mengadu kepada ibunya bahwa teman-teman laki-laki di sekolahnya jahat hanya karena mereka mendekati dan memegang tangan pasien. Pasien masih dapat berinteraksi dan bermain dengan teman-teman perempuan, namun tiba-tiba menceritakan kembali peristiwa perkosaan tersebut kepada ibunya yang menungguinya seolah-olah kejadian itu baru saja terjadi. Pasien tidak pernah lagi bermain ke rumah tetangganya tersebut. Pasien juga menjadi susah makan dan sering terbangun karena mimpi buruk. Saat bangun di pagi hari pasien selalu menceritakan kembali peristiwa perkosaan itu. B. IDENTIFIKASI KELUARGA PASIEN Keluarga pasien merupakan keluarga inti yang harmonis, dimana ayah dan ibu pasien sangat menyayangi pasien. Ayah pasien sehari-hari bekerja sebagai TKI yang bekerja di Malaysia sejak ± setahun terakhir. Pasien hanya tinggal berdua dengan ibunya yang berperan sebagai ibu rumah tangga. C. KEADAAN SOSIAL EKONOMI Keadaaan sosial ekonomi pasien cukup, pasien tinggal di rumah bersama ibunya. Rumah pasien merupakan rumah milik sendiri, keadaan rumah bersih dan rapi, luas rumah kira-kira 10x20 m2, rumah berada di lingkungan yang baik. Pasien mengenal tetangga di sekitar rumah, hubungan pasien dengan tetangga baik, kecuali dengan pelaku dan keluarganya. D. SIKAP ANGGOTA KELUARGA TERHADAP PASIEN Ibu pasien mengetahui bahwa pasien membutuhkan terapi di RSJ untuk mengatasi traumanya. Ibu pasien sangat mendukung kesembuhan pasien, dan akan membantu pasien untuk menghilangkan traumanya. Ayah pasien tidak mengetahui kejadian yang menimpa putrinya. E. EDUKASI KEPADA KELUARGA - Diberikan informasi mengenai penyakit yang dialami pasien sehingga keluarga dapat membantu dalam proses penyembuhan pasien. - Menyarankan kepada keluarga untuk pentingnya dukungan kepada pasien, jangan membatasi aktivitas pasien secara wajar, ajak pasien bergembira, mengajarkan pasien bagaimana cara mengatasi masalahnya dengan benar, jangan menghindarinya.
DAFTAR PUSTAKA David A. Buku saku psikiatri PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2004 Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam: Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2010 h: 254-264 Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta: Cendika. EGC; 2009 Katzung, B.G. 2002. Penyalahgunaan Obat dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2, ed.VIII. Jakarta: Salemba Medika. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Si nopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders. Dalam: Kay J dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John Wiley & Sons; 2009 h: 627-638. Maramis, Willy F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press: Surabaya. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa / PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2001. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis obat Psikotropika ed. Ketiga. Jakarta : Bagian ilmu kedokteran Jiwa FK-UNIKA Atmajaya; 2010
Merdalis Nurlivia Posts : 3 Reputation : 0 Join date : 2016-01-09
Tinjauan ACUTE STRESS DISORDER dengan contoh kasus BAB I
PENDAHULUAN
Reaksi stres akut (juga disebut gangguan stres akut, shock psikologis, mental shock, atau sekedar, shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan
terhadap peristiwa yang mengerikan.
"Respons stres akut" pertama kali dideskripsikan o leh Walter Cannon pada tahun 1920 sebagai sebuah teori bahwa hewan-hewan bereaksi terhadap ancaman dengan pembuangan umum dari sistem saraf simpatik. Respons ini kemudian dikenal sebagai tahap pertama dari sindrom adaptasi umum yang mengatur tanggapan stres di antara vertebrata dan organisme lain.
Gangguan stres akut ditandai dengan perkembangan kecemasan yang parah, disosiatif, dan gejala lain yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah terkena stresor traumatis yang ekstrem (misalnya, menyaksikan kematian atau kecelakaan serius).
Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik, individu mengembangkan gejala disosiatif. Individu dengan gangguan stres akut mempunyai penurunan respon emosional, seringkali sulit atau tidak mungkin untuk mengalami kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan sebelumnya, dan sering merasa bersalah karena mengejar tugas-t ugas kehidupan biasa.
Seseorang dengan gangguan stress akut dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai tidak n yata atau mimpi, atau mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif).
BAB II
LAPORAN KASUS
Ny. Aria, 26 tahun. Karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta, dibawa oleh kepala unit kerjanya ke UGD RS Trisakti setelah ditemukan berguling-guling di lantai tempat kerjanya
sambil berulang-ulang berteriak ketakutan : “Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya sendiri”, seperti orang kesurupan.
Ny. Aria adalah seorang karyawan yang rajin dan baik. Selama ini tidak ada masalah sama sekali dalam pekerjaannya sampai terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan 2 minggu yang lalu saat Ny. Aria mendapat giliran tugas kerja malam hari. Ketika ia menuju ke tempat kerjanya, di tempat pemberhentian bus yang waktu itu tampak sepi, tiba-tiba ada 2 orang pria bertubuh besar yang sengaja mendorongnya hingga ia terjatuh. Kedua pria itu dengan garang mengancam akan mencekik lehernya hingga patah bila ia berani berteriak. Kemudian kedua pria tadi berusaha hendak memperkosa Ny. Aria. Beruntung mendadak terdengar ada orang yang sedang mendekat, dengan serta merta kedua pria tadi lalu lari meninggalkan Ny. Aria tergeletak di lantai seorang diri. Peristiwa itu membuat Ny. Aria sangat terkejut, namun tidak ada luka yang berarti di tubuhnya. Setelah peristiwa itu, Ny. Aria tampak murung, namun ia tetap menjalankan tugas pekerjaannya dan berusaha melupakan peristiwa itu. Ia menolak anjuran keluarga dan teman-temannya untuk menceritakan kejadian yang ia alami. Ia terlihat menarik diri dari pergaulan sosial, berdiam diri saja di rumah, hanya keluar bila hendak bekerja. Seminggu setelah kejadian, ia mulai sering mimpi buruk tentang peristiwa itu dan terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Teman-teman kerjanya memperhatikan perubahan pada dirinya, ia menjadi sering gelisah dan mudah terkejut.
Ia juga menghindari transportasi umum dan menolak menonton acara tv apapun, takut kalaukalau melihat sesuatu yang dapat membangkitkan ingatannya terhadap peristiwa perkosaan itu yang telah diusahakan dengan kuat untuk dilupakan. Ny. Aria akhirnya dibawa berobat ke UGD RS Trisakti ketika suatu malam supervisornya melihat ia tergeletak berguling-guling di lantai sambil berteriak-teriak: “Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya sendiri….” seperti orang kesurupan. Kepada dokter, Ny. Aria menyatakan bahwa dalam pikirannya sering
muncul kembali peristiwa pemerkosaan itu dan ia juga sering mendengar suara kedua pria yang ingin membunuhnya.
Ny. Aria sudah bekerja di kantornya selama lebih dari 5 tahun. Dari pernikahannya, ny. Aria belum mendapat anak. Dua tahun yang lalu, ia cerai dari suaminya, sejak itu ia tinggal lagi bersama orang tua dan saudara-saudaranya. Ny. Aria adalah anak pertama dari 3 bersaudara, semuanya perempuan. Walaupun hanya tamat SMA, prestasi di sekolah cukup baik. Ny. Aria tidak pernah tinggal kelas. Teman-temannya banyak dan hingga sekarang masih sering kumpul-kumpul. Teman-temannya menilai Ny. Aria sebagai orang yang ramah dan mudah bergaul, serta menyenangkan. Dari pemeriksaan fisik dan laboratorium, tidak ditemukan kelainan.
Identitas pasien:
Nama : Ny. Aria
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Jl. X
Pekerjaan : Karyawan swasta
Status perkawinan : bercerai 2 tahun yang lalu
Riwayat Psikiatrik :
1. Keluhan utama: berguling-guling di lantai tempat kerjanya sambil berulang-ulang berteriak ketakutan : “Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya sendiri”, seperti orang kesurupan.
2. Riwayat gangguan sekarang:
◦ Sering mengalami mimpi buruk mengenai peristiwa percobaan pemerkosaan
yang pernah dialaminya.
◦ Sering gelisah dan mudah terkejut.
◦ Berdiam diri saja di rumah, hanya keluar bila hendak bekerja.
◦ Menghindari transportasi umum dan menolak menonton acara tv apapun.
3. Riwayat gangguan dahulu:
◦ Mengalami peristiwa percobaan pemerkosaan dua minggu yang lalu
4. Kondisi medik umum: 5. Riwayat medikasi: 6. Riwayat kehidupan pribadi:
◦ Bercerai dengan suaminya 2 tahun yang lalu dan sejak itu ia tinggal lagi bersama orang tua dan saudara-saudaranya.
7. Riwayat keluarga:
◦ Anak pertama dari 3 bersaudara, semuanya perempuan.
8. Riwayat sosial/ekonomi:
◦ Menarik diri dari pergaulan sosial, berdiam diri saja di
rumah, dan hanya keluar bila hendak bekerja.
Pemeriksaan Status Mental:
I. Gambaran Umum:
A. Penampilan: tampak murung
B. Kesadaran:
◦ Biologis : compos mentis
◦ Psikologis dan sosial : terganggu
C. Perilaku dan aktifitas psikomotor: gelisah, mudah terkejut.
D. Sikap terhadap pemeriksa: terdapat kontak mata, kooperatif, dapat menceritakan masalahnya.
II. Alam perasaan:
A. Mood: gejala mood hipothym, terdapatnya episode depresi, dapat dilihat dari hilangnya minat terhadap pergaulan sosial, mimpi buruk berulang yang menyebabkan gangguan tidur, gangguan psikomotor berupa sering gelisah dan mudah terkejut.
B. Afek: ekspresi afektif tampak murung.
III. Fungsi intelektual:
- Taraf pendidikan : SMA - Orientasi : - Daya Ingat : - Konsentrasi : - Pikiran Abstrak : - Bakat Kreatif : IV. Gangguan persepsi:
- Halusinasi visual: dalam pikirannya sering muncul kembali peristiwa pemerkosaan itu.
- Halusinasi auditorik: sering mendengar suara kedua pria yang ingin membunuhnya.
V. Proses pikir:
A. Arus pikir: -
B. Isi pikir: -
VI. Pengendalian impuls: ditemukan berguling-guling di lantai kantornya sambil
berteriak-teriak.
VII. Daya nilai:
- Daya nilai realitas: halusinasi
- Daya nilai sosial: menarik diri
- Uji daya nilai:-
VIII. Tilikan: derajat 1
IX. Taraf kepercayaan: kebenaran informasi yang diberikan pasien dapat diperca ya.
Pemeriksaan fisik:
- Tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan penunjang:
◦ Pemeriksaan laboratorium: Tidak ditemukan kelainan.
Diagnosis Multiaksial:
-Aksis I : gangguan terkait stress ( gangguan stress akut).
-Aksis II : Tidak ada gangguan kepribadian
Tidak ada retardasi mental .
-Aksis III : Tidak ada
-Aksis IV : Masalah berkaitan dengan interaksi hukum/criminal.
Dalam kasus ini terdapat percobaan pemerkosaan.
-Aksis V : GAF-70
Terdapat gejala ringan dan menetap.
Daftar Masalah yang ditemukan:
1. Problem Organobiologik: Tidak ada.
2. Problem Psikologis:
- Tampak murung, sering gelisah, dan mudah terkejut
- Mimpi buruk
-Halusinasi dan gangguan tingkah laku (berteriak-teriak dan berguling-guling)
- Pikirannya sering muncul kembali peristiwa pemerkosaan ( flashback )
- Sering mendengar suara kedua pria yang ingin membunuhnya
3. Problem Sosiokultural:
- Berdiam diri di rumah
- Menolak menonton televisi
- Menarik diri dari pergaulan social
- Menghindari transportasi umum
Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan:
o
Pasien dibawa ke rumah sakit karena berteriak-teriak ketakutan dan berguling-guling di lantai tempat kerjanya sehingga untuk menenangkan diberikan antipsikotik yaitu gologan phenotiazide yaitu clorpromazin.