BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam yang berkepanjangan di dunia termasuk di Indonesia sepanjang tahun 2010, disebabkan oleh faktor alam yang berbeda. Dampak bencana alam tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda tetapi juga nyawa masyarakat di wilayah bencana. Berdasarkan data dari 644 kejadian bencana di Indonesia total kerugian material diperkirakan mencapai lebih 15 trilyun rupiah. Kerugian tersebut meliputi kehilangan harta benda, kerusakan rumah-rumah masyarakat, sarana dan prasarana umum, lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan sebagainya. Selain itu juga menimbulkan kehilangan orang yang dicintai, trauma, dan timbuln ya gangguan kesehatan (Nugroho, 2010). Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik dalam menghadapi kondisi kondisi seperti ini. Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana
dapat
dilakukan
oleh
profesi
keperawatan.
Berbekal
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk. Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam asuhan keperawatan dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam. 1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana pengertian dari PTSD ? b. Bagaimana etiologi dari PTSD ?
c. Bagaimana manifestasi dari PTSD ? d. Bagaimana patofisiologi dari PTSD ? e. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari PTSD PTSD ? f. Bagaimana penatalaksanaan penatalaksanaan dari PTSD ? g. Bagaimana komplikasi dari PTSD PTSD ? h. Bagaimana asuhan keperawatan dari PTSD ?
1.3 Tujuan 1.3.1 Umum Dengan disusunnya makalah ini, Mahasiswa dan semua pihak yang bersangkutan dengan dunia kesehatan semoga bisa menjadikan makalah
ini
sebagai
salah
satu
sumber
refrensi
untuk
mengembembangkan dan memberikan asuhan keperawatan kegawat daruratan psikiatri dengan baik khususnya pada klien dengan PTSD.
1.3.2 Khusus a. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami pengertian dari PTSD. b. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami etiologi dari PTSD. c.
Mahasiswa diharapkan diharapkan dapat mengetahui mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari PTSD.
d. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami pathofisiologi dari PTSD. e. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang dari PTSD. f.
Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami memahami penatalaksanaan dari PTSD.
g. Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan memahami komplikasi dari PTSD.
h. Mahasiswa
diharapkan
dapat
memberikan
asuhan
keperawatan kegawat daruratan psikiatri dengan baik pada klien PTSD. 1.4 Manfaat 1.4.1 Bagi mahasiswa Manfaat makalah ini bagi mahasiswa, baik penyusun maupun pembaca adalah untuk menambah wawasan asuhan keperawatan kegawat daruratan psikiatri dengan baik pada klien PTSD. 1.4.2 Bagi institusi Makalah ini bagi institusi pendidikan kesehatan adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa sebagai peserta didik dalam menelaah suatu fenomena kesehatan yang spesifik tentang PTSD. 1.4.3 Bagi masyarakat Makalah ini bagi masyarakat adalah sebagai penambah wawasan terhadap fenomena kesehatan yang saat ini menjadi momok tersendiri di kalangan masyarakat ini.
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Beberapa sumber mendefinisikan Post Traumatic Stress Disorder sebagai berikut: Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat
penganiayaan
fisik
atau
perasaan
terancam
(American
Psychological Association, 2004). Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang
dapat
terbentuk
dari
peristiwa
traumatik
yang
mengancam
keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008) 2.2 Etiologi 1. Faktor-faktor penyebab PTSD -
Kejadian traumatic
-
Trauma masa kecil
-
Trauma fisik
-
Prosedur medikasi
-
Jenis kepribadian introvert
-
Lingkungan kerja
-
Tingkat spiritual
-
Tingkat pendidikan
-
Pengalaman
-
Faktor presipitasi
2. Faktor presipitasi -
Bencana alam, perang, kehilangan, kekerasan.
3. Faktor Psikodinamika: Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan menyebabkan
individu
merasa
bersalah
terhadap
kejadian
traumatic tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsive tidak terkendali. 4. Biologis Dari hasil penelitin, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas
pada
lokus
seruleus
dapat
menyebabkan
seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu
dan
ruang.
Hiperaktivitas
dalam
amigdala
dapat
menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain. 5. Dinamika Keluarga Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan
perkiraan
yang
signifikan
terjadinya
PTSD.
Keberhasilan dalam pendidikan yang di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
6. Faktor psikologi Classical dan operant conditioning
dapat diimplikasikan
pada perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikalmenimbulkan emosi yang negatif ( sedih, marah, takut) sebagai bagian dari gejala hiperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis ( fight or flight response). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan respon refleks yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil yang serius akan timbulrespon berupa
ketakutan,
berkeringat,
takkardi
setiap
kali
dia
melewatitempat kejadian tersebut. Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian trauma yang dialaminya sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami kecelakaan mobil maka iaakan berusaha untuk menghindari berada di dalam mobil. Modelling : merupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut berperan dalam perkembangan gejala PTSD. Respon emosional
orangtua
terhadap
pengalaman
traumatik
anak
merupakan prediksi terhadap keparahan gejala PTSD anak. 7. Faktor sosial Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan meningkatkan risiko perkembangan PTSD setelah anak mengalami kejadian traumatik. 2.3 Manifestasi Klinis Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah:
Pertama, mengalami kembali kejadian traumatic (re-eksperience). Seseorang kerap teringat akan kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala
flashback (merasa seolah-olah peristiwa
tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadiankejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan
karena
dipicu
oleh
kenangan
akan
peristiwa
yang
menyedihkan. Kedua, penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidak mampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadaps emua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga, gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur
atau
mempertahankannya,
sulit
berkonsentrasi,
wasapada
berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk meningkatnya reaktivitas fisiologis. 2.4 Tahapan PTSD Fase-fase keadaan mental pasca bencana: a. Fase kritis Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yangmana terjadi selama kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang akan mengalami gejala-gejala depresi
seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam, susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik. b. Fase setelah kritis Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut (PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya. c. Fase stressor Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”. 2.5 Patofisiologi Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala. Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon stress dan katekolamin. Hipokampus dan
korteks prefrontal medial (gambar 1) mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight . Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin. Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang dengan post-traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi penindasan deksametason tes daripada yang terlihat dengan depresi berat. 2.6 Dampak PTSD Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial. Gejala gangguan fisik: -
pusing,
-
gangguan pencernaan,
-
sesak napas,
-
tidak bisa tidur,
-
kehilangan selera makan,
- impotensi, dan sejenisnya. Gangguan kognitif: - gangguan pikiran seperti disorientasi, - mengingkari kenyataan, - linglung, - melamun berkepanjangan, - lupa, - terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan, - tidak fokus dan tidak konsentrasi. - tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana, - tidak mampu mengambil keputusan. Gangguan emosi : -
halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan
memerlukan perawatan aktif yang dini), - mimpi buruk, - marah, -
merasa bersalah,
- malu, - kesedihan yang berlarut-larut, - kecemasan dan ketakutan. Gangguan perilaku : -
menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal.
Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).
Gangguan sosial: -
memisahkan diri dari lingkungan,
- menyepi, - agresif, - prasangka, - konflik dengan lingkungan, - merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan. 2.7 Kriteria Diagnosis PTSD Kriteria untuk diagnosis menentukan faktor tentang persepsi korban dari trauma serta durasi dan dampak terkait gejala ·
Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala harus bertahan
setidaknya satu bulan dan signifikan harus mengganggu aktivitas normal ·
Pada orang yang telah selamat dari peristiwa traumatis, sindrom
kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut "gangguan stres akut", ini kondisi membutuhkan tiga atau lebih disosiatif gejala selain gejala persisten terkait dengan PTSD. Gejala ·
PTSD yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi
akut. Diagnostik ditegakkan berdasar Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-Revisi atau DSM IV-R, dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang. 1. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu: - orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau
cidera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain, - respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan. CATATAN: Pada anak-anak, ini bukan oleh perilaku tidak teratur atau gelisah. 2. Peristiwa traumatik yang terus-menerus muncul kembali melalui satu (atau lebih) dari cara berikut: a.
Teringat
kembali
akan
kejadian
trauma
menyedihkan
yang
dialaminyadan bersifat mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi) b.
Mimpi
buruk
yang
berulang
tentang
peristiwa
trauma
yang
dialaminya(yang mencemaskan) c. kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yangdialaminya terjadi kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi,haluinasinya) d.
Kecemasan
yangmengingatkan
psikologis
dan
terhadap
fisik
kejadian
bersamaan trauma
dengan
(kenangan
hal akan
peristiwatrauma) 3. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma danmematikan perasaan/ tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum traumamasih berespon). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini: a.Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma b.Kemampuan
menghindari
aktivitas,
tempat,
orang
yang
dapatmembangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya c.Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yangdialaminya
d.Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang e.Merasa terasing dari orang di sekitarnya f.Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapa merasakan cinta) g.Perasaan bahwa masa depannya suram 4. Gejala hiperarousal/ sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebihgejala di bawah ini: a. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempeertahankannya b. Sulit berkonsentrasi c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya d. Hypervigilance(kewaspadaan yang berlebihan) e. Reaksi kaget yang berlebihan 5. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan 6. Gangguan/ gejala di atas ini menyebabkan kecemasan dan gangguanfungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi pentinglainnya. 2.8 Penatalaksanaan PTSD 1. Farmakologi a. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs) SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu)
pada
penderita
PTSD.
Obat
ini
secara
primer
mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini
meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug pada dosis yang cukup dan durasi pengobatan. Obat golongan SSRIs antara lain: ·
Fluoxetine (Prozac) à 20mg-60mg sehari.
· Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari · Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari · Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi PTSD hanya sertraline dan paroxetine. b.
Mood stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala
arousal yang meninggi dangejala impulsif. -
Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk
initial lalu dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30 mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml -
Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk
dosisinitial dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari c. Beta adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan ini yakni, Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-anak: 2,5 mg/kgBB/hari. d. Antidepresan Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk mengubah neurotransmisi serotonin. e. Atipikal Antipsikotik
f. Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada pasien dengan psikotik sebagai komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak dianjurkan untuk monoterapi pada PTSD. g. Benzodiazepin Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada system saraf. 2. Non Farmakologi a. Terapi perilaku kognitif atau CBT. Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk: 1)
Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan
mengendalikan ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara: a) Exposure in the imagination Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya. b) Exposure in reality Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
2) Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis. 3) Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat. b.
Cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan
yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). c. EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing) EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori d. Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b). e. Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b). f.
Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik.
Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam
systematic
reviews-nya
merekomendasi-kan
perlu
untuk
melakukan debriefing pada kasus korban -korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
g. Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh
peserta
merupakan
penderita
PTSD
yang
mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman
traumatis
mereka,
kemdian
mereka
saling
memberi
penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari tr auma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b). h.
Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut
memeriksa nilai-nilai pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis. i. Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya. 2.9 Prognosis PTSD PTSD dapat terjadi pada semua usia, bahkan di masa kecil. Pada penderita yang menerima perawatan, durasi rata-rata gejala adalah sekitar 36 bulan. Pada pasien yang tidak menerima pengobatan, Durasi rata-rata gejala meningkat ke 64 months. Lebih
dari sepertiga pasien
yang memiliki PTSD pernah sepenuhnya recover. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik termasuk keterlibatan cepat pengobatan dini, dukungan sosial yang berkelanjutan, menghindari retraumatization, positif premorbid fungsi, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lainnya atau substansi Data dari National Comorbidity Survey menunjukkan bahwa setidaknya tambahan satu gangguan kejiwaan hadir dalam 88,3 persen
pria dan 79,0 persen wanita yang memiliki riwayat PTSD. Selain itu,59 persen pria dan 44 persen wanita yang telah PTSD memenuhi kriteria untuk tiga atau lebih kejiwaan diagnosis. Wanita yang telah PTSD 4,1 kali lebih mungkin untuk mengembangkan depresi mayor dan 4,5 kali lebih mungkin mengembangkan mania sebagai perempuan yang tidak memiliki PTSD.Men yang memiliki PTSD 6,9 kali lebih mungkin mengembangkan depresi dan 10,4 kali lebih mungkin untuk mengembangkan mania sebagai laki-laki yang tidak memiliki PTSD. Lebih dari satu setengah pria dengan PTSD juga memiliki masalah alkohol komorbid, dan signifikan sebagian pria dan wanita yang memiliki PTSD memiliki penggunaan zat terlarang-komorbid problem. Pada pasien yang memiliki PTSD, fobia cenderung lebih besar dari yang umum gangguan kecemasan atau gangguan panik, yang risiko hampir semua gangguan kecemasan meningkat nyata dalam . Tingkat percobaan bunuh diri pada pasien yang memiliki PTSD diperkirakan 20 persen. 2.10 Asuhan Keperawatan PTSD A. Pengkajian 1. Identitas: nama,
tempat
tangga
lahir,
perkawinan, dll. 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama : cemas/ ansietas b. pengkajian fisik : 1)
Aktivitas atau istirahat -
gangguan tidur
- mimpi buruk - hipersomnia
alamat,
agama,
pekerjaa,
status
- mudah letih - keletihan kronis 2) Sirkulasi -
denyut jantung meningkat
- palpitasi - tekanan darah meningkat - terasa panas 3) Integritas ego -
derajat ansietas bervariasi dengan gejal yang berlangsung berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan -
gangguan stres akut terjadi 2 hari – 4 minggu dalam 4 minggu
peristiwa traumatik -
PTSD akut gejala kurang dari 3 bulan
-
PTSD kronik gejala lebih dari 3 bulan
-
Melambat awitan sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatik
-
kesulitan mencari bantuan atau menggerakkan sumber personal
(menceritakan pengalaman pada anggota keluarga/teman) -
perasaan bersalah, tidak berdaya, isolasi
-
perasaan malu terhadap ketidakberdayaan sendiri; demoralisasi
-
perasaan tentang masa depan yang suram atau memendek
4) Neurosensori -
gangguan kognitif sulit berkonsentrasi
- kewaspadaan tinggi
- ketakutan berlebihan - ingatan persisten atau berbicara terus tentang suatu kejadian -
pengendalian keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang
agresif tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci, sakit hati) -
perubahan perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan,
iritabel), tidak mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata, kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi - ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motorik - Nyeri atau ketidaknyamanan 5) Pernapasan -
frekuensi pernapasan meningkat
-
dispneu
6) Keamanan -
marah yang meledak-ledak
- perilaku kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain - gagasan bunuh diri 7) Seksualitas -
hilangnya gairah
-
impotensi
- ketidakmampuan mencapai orgasme
8) Interaksi sosial -
menghindari oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan
tentang trauma, penurunan responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan emosi/mengasingkan diri dari orang lain -
hilangnya minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk
pekerjaan -
pembatasan rentang afek, tidak ada respon emosi
B. Diagnosa Keperawatan 1. Anxietas berhubungan dengan Koping individu tidak efektif 2. Anxietas berhubungan dengan Tidak efektifnya koping keluarga 3.
Resiko gangguan pesepsi sensorik dan audiotori : Halusinasi
berhubungan dengan Ansietas 4. Resiko gangguan isi fikir : Waham berhubungan dengan Anxietas
A. Rencana keperawatan
Diagnosa
Tujuan Klien dapat menjalin dan membina hubungan saling percaya
Intervensi 1. jadilah pendengar yang hangat dan responsif 2. beri waktu yang cukup pada
klien
untuk
berespon 3. beri dukungan pada klien untuk
mengekspresikan
perasaannya 4. identifikasi klien
pola
atau
prilaku
pendekatan
yang dapat menimbulkan perasaan negatif 5. bersama klien mengenali perilaku
dan
respon
sehingga
cepat
belajar
dan berkembang 6. dorong
klien
menggunakan dalam
untuk relaksasi
menurunkan
tingkat ansietas
Diagnosa
Tujuan Klien dapat mengenal ansietasnya
intervensi 1. bantu
klien
untuk
mengidentifikasi
dan
menguraikan perasaannya 2. hubungkan perilaku dan perasaannya 3. validasi kesimpulan dan asumsi terhadap klien 4. gunakan
pertanyaan
terbuka
untuk
mengalihkan dari topik yang hal
mengancam yang
ke
berkaitan
dengan konflik 5. gunakan konsultasi 6. ajarkan
klien
relaksasi meningkatkan
teknik untuk kontrol
dan rasa percaya diri
Diagnosa
Tujuan Klien dapat memperluas
Intervensi 1. bantu
klien
kesadarannya terhadap
mernjelaskan
perkembangan ansietas
dan interaksi yang dapat segera
situasi
menimbulkan
ansietas 2. bersama klien meninjau kembali penilaian klien terhadap stressor yang dirasakan dan
mengancam menimbulkan
konflik 3. kaitkan yang dengan
pengalaman baru
terjadi
pengalaman
masa lalu yang relevan
Diagnosa
Tujuan Klien dapat
Intervensi 1. gali
cara
klien
menggunakan
mengurangi ansietas di
mekanisme koping yang
masa lalu
adaptif
2. tunjukkan adaptif dari
akibat
dan
mal
destruktif
respons
koping
yang digunakan 3. dorong
klien
untuk
menggunakan koping
respons
adaptif
yang
dimilikinya 4. bantu
klien
untuk
menyusun
kembali
tujuan
hidup,
memodifikasi
tujuan,
menggunakan
sumber
dan
menggunakan
koping yang baru 5. latih
klien
menggunakan
dengan ansietas
sedang
6. beri aktivitas fisik untuk menyalurkan energinya 7. libatkan
pihak
yang
berkepentingan sebagai sumber dan dukungan sosial dalam membantu klien
menggunakan
koping adaptif yang baru
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J., !998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa : Yasmin Asih. Editor Monica Aster, Jakarta : EGC. Keliat, Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC ------------------,2000. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta : EGC. Townsend, M. C., 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Alih Bahas Novi Helena. Rditor Monica Ester, Jakarta : EGC. Rasmun, 2001, Kepwrawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga. Edisi Pertama, Jakarta : CV, Sagung Seto. Struart, G.W., S undeen, S.J., 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta