BAB I PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk beratnya dikenal sebagai Weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan nama mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever dan lain-lain.1 Leptospirosis tersebar diseluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda,kucing, marmot, atau binatangbinatang pengerat lain seperti tupai, musang, kelelawar,dan lain sebagainya . Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospirosis hidup didalam ginjal /air kemihnya. Tikus merupakan faktor yang utama dari L.icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. 2,3 Internasional Leptospirosis Society menyatakan Indonesia dengan insiden leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.Di Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur,dan Kalimantan Barat.Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam melakukan diagnosis awal. Leptospirosis seringkali luput didiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious disease.1,4
Laporan Kasus Leptospirosis | 1
Atas dasar itu, kami melaporkan kasus leptospirosis ini dan akan dibahas diagnosis dan tatalaksana leptospirosis sebagai bahan pembelajaran bersama.
BAB II LAPORAN KASUS
Laki-laki usia 40 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 12 April 2015 dengan keluhan kejang, kejang satu kali di rumah dan kejang dua kali di IGD. Laporan Kasus Leptospirosis | 2
Mata merah kemudian menguning sebelum masuk rumah sakit. Awalnya mata merah sedikit, lama-lama menutupi seluruh bagian putih mata. Selain merah, mata rasanya perih agak gatal, tidak keluar cairan maupun kotoran. Pasien mengeluh demam sebelumnya, mendadak, merasa mual, dan muntah berisi makanan dan cairan selama 5 hari lalu, tidak didapatkan darah. Pasien mengeluh nyeri pada semua bagian perut. Pasien juga mengeluh nyeri pada betis, terutama saat ditekan. Betis nampak tegang. BAK tidak keluar sejak 3 hari lalu. BAB setiap hari, konsistensi lunak warna kuning tidak ada lendir maupun darah. Pasien menyangkal sakit kepala, batuk,dan sesak. Pada riwayat penyakit dahulu, pasien menyangkal mempunyai penyakit diabetes melitus, jantung, ginjal, ataupun kejang sebelumnya. Pasien sebelumnya tidak pernah sakit maupun dirawat di rumah sakit. Pada keluarga didapatkan riwayat penyakit liver dari ayah pasien yang telah meninggal karena penyakit tersebut, penyakit yang lain disangkal. Pasien seorang pengrajin batu bata, selalu memakai sandal dan tidak memakai sepatu bot saat bekerja. Kondisi rumah dan lingkungan sekitar rumah tidak banjir sebelumnya, tidak terdapat tikus di sekitarnya, dan mengaku selalu terjaga kebersihan di rumahnya. Kondisi tempat bekerja dekat dengan sawah dan banyak tikus di sawah-sawah tersebut. Pasien suka minum jamu setiap kali merasa sakit. Pasien juga suka minum minuman bersoda. Pasien juga telah pijat seluruh tubuh sebelum dibawa ke IGD sebanyak 2 kali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, kesadaran umum compos mentis (GCS 456). Pada pemeriksaan tanda vital tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi nadi 68x/mnt, frekuensi nafas 20x/ mnt, suhu 36 OC. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva normal, sclera merah, konjungtiva bleeding, dan ikterus. Pada leher tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada peningkatan JVP. Pada pemeriksaan paru, suara dasar paru vesikuler, tidak didapatkan ronki dan wheezing. Bunyi jantung S1-S2 Tunggal Regular, tidak ada murmur maupun gallop. Pada abdomen, supel, nyeri tekan pada semua lapang abdomen, tidak
teraba hepar maupun lien,
Laporan Kasus Leptospirosis | 3
didapatkan bising usus normal. Pemeriksaan Flank test positif pada kedua costovertebrae. Pada ekstremitas didapatkan akral hangat pada empat ekstremitas, nyeri tekan gastrocnemius, dan tidak ada edema. Dari pemeriksaan penunjang (12-04-2015) didapatkan Hb 11,9 g/dl, Ht 29 %, lekosit 13.510/ul, trombosit 55.000 jt/ul, eritrosit 5,8 jt/ul, netrofil 80 %, limfosit 12%, monosit 18%, Bilirubin total 10,42 , Bilirubin direk 8,15, Alkali Phosphat 211, Kreatinin 11,4 mg/dl, BUN 189, Asam Urat 19,7. Dari data tersebut ditegakkan diagnosis Leptospirosis Icterohemorragica, Acute Kidney Injury, Riwayat kejang, Subkonjunctival bleeding bilateral Berdasarkan masalah diatas, dilakukan penatalaksanaan bedrest, O2 nasal 4 liter/menit, IVFD NaCL 0,9 % 1500 cc/24jam, diet Tinggi Kalori Rendah Protein, Ceftriaxon 2x1 gr, Omeprazole 2x1 gr, Diazepam 2x10 mg, vit B 12 3x1. Pemeriksaan lain yang direncanakan untuk dilakukan adalah pemeriksaan USG abdomen, Leptotec, Urin Lengkap dengan Dark Field Microscop. Konsul neurologi dan konsul mata. Monitoring
pasien,
kontrol
tanda-tanda
vitalnya,
keluhannya,
kesadarannya. Pada perawatan hari kedua, ketiga, kondisi pasien lemah. Pada pasien ini dipikirkan leptospirosis karena ada riwayat demam, subkonjunctival bleeding, Acute Kidney Injury. Diduga Acute Kidney Injury disebabkan infeksi leptospirosis. Antibiotik ceftriakson tetap diberikan 2x1 gr. Cairan infus diganti asering 14 tpm, Omeprazole 2x1 gr dan lasik 3x1 ampul. Pasang DC untuk kontrol output cairan (produksi urine). Diet tetap Tinggi Kalori Rendah Protein. Hasil USG Abdomen, semua masih dalam batas normal. Monitoring tanda-tanda vital, produksi urine, dan keluhan pasien. Pada perawatan hari ke-4 dan hari ke-5
pasien masih lemas, nyeri
gastrocnemius, dan pasien cegukan setiap saat. Produksi urine hari ke-4 5700 cc/24 jam, cairan infus RL yang masuk 1500 cc/24 jam. Jadi pasien harusnya minum air sebanyak 4700 cc namun pasien hanya minum sebanyak separuh botol
Laporan Kasus Leptospirosis | 4
air 1500 cc yakni sebanyak 700 cc saja, jadi pasien jatuh dalam keadaan dehidrasi. Hari ke-5 produksi urine 4300 cc/24 jam, cairan infus yang masuk 3000 cc/24 jam, harusnya pasien minum air 1800 cc/24 jam, namun pasien hanya minum 1500 cc/24 jam, jadi kondisi pasien tetap dalam dehidrasi. Cairan infus yang awalnya asering diganti RL, Terapi lainnya tetap. Monitoring pasien, tanda-tanda vital, keluhan, produksi urine, dan konsumsi cairan. Pada perawatan hari ke-6, Pasien tetap kondisi umumnya lemas, compos mentis, nyeri gastrocnemius tetap ada, masih cegukan sewaktu-waktu. Tensi darah 90/60 mmHg. Dilakukan pemeriksaan penunjang (17-04-2015) didapatkan Hb 11,1 g/dl, Ht 27 %, trombosit 132.000 jt/ul, monosit 19%, Bilirubin total 10,20, Bilirubin direk 8,24, Alkali Phosphat 234, Kreatinin 6,3 mg/dl, BUN 146,1, Asam Urat 11,7. Produksi urine 4300cc/24 jam, infus yang masuk 1000 cc/24 jam, harusnya pasien minum air 3800 cc/24 jam tetapi pasien hanya minum 400 cc/24 jam kondisi pasien jatuh pada kondisi dehidrasi. Pada hari ke-6 pasien memutuskan pulang paksa karena merasa kondisinya tidak kunjung membaik setelah dirawat hampir seminggu di rumah sakit. BAB III DISKUSI
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis penjamu dari leptospira, mulai dari yang berukuran kecil dimana manusia dapat kontak dengan misalnya tikus, kelinci hingga reptile, babi, kucing dan anjing.5 Manusia dapat terinfeksi melalui kontak,dengan air, tanah, atau lumpur yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi terjadi jika terjadi erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Ekspos yang lama pada kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospirosis. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi
mendapat penyakit adalah pekerja-pekerja sawah,
perkebunan, peternakan.6,7 Pada kasus ini, pasien bekerja di dekat persawahan dan dicurigai banyak didapatkan tikus. Sehingga pasien merupakan pekerja dengan resiko terkena leptospirosis.
Laporan Kasus Leptospirosis | 5
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui abrasi kulit atau mukosa yang intak, khususnya konjungtiva dan mukosa oronasofaring.8 Meminum air yang terkontaminasi bisa membuat leptospira masuk melalui mulut, tenggorokan dan esofagus.9 Setelah masuk ke dalam tubuh, leptospirosis berkembang dan menyebar ke seluruh organ. Multiplikasi terjadi di darah dan cairan serebrospinal dalam waktu 4-10 hari pertama. Semua bentuk leptospira dapat merusak pembuluh darah kapiler yang menyebabkan vaskulitis. Vaskulitis ini akan menyebabkan kebocoran dan ekstravasasi sel termasuk perdarahan. Pathogenesis terjadinya leptospirosis adalah adesi pada permukaan sel dan toksisitas. 10,11,12 Vaskulitis merusak pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler, menyebabkan kebocoran plasma dan hipovolemia. Hal ini akan menyebabkan gagal ginjal. Selain itu juga leptospira dapat bergerak di interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus, yang akan mengakibatkan nefritis dan nekrosis tubuler. Selain di ginjal, organ yang dapat terlibat adalah liver, otot, dan paru. Pada otot, leptospira akan menembus otot mengakibatkan kaki bengkak, vakuolisasi myofibril dan nekrosis.13 Weil sindrom adalah bentuk leptospirosis yang berat. Di tandai adanya ikterik, kelainan ginjal dan diathesis hemoragik. Keterlibatan paru terjadi pada banyak kasus, dengan tingkat kematian 5-15%. Di Eropa, serovar yang banyak didapatkan pada sindrom ini adalah icterohemorrhagik/copenhagi. Onset leptospirosis jenis ini sama dengan yang lain yaitu hari ke 4-9. Ikterik, kelainan ginjal dan perdarahan terjadi. Hepatomegali dan kaku pada quadran kanan atas biasa didapatkan. Splenomegali ditemukan pada 20 % kasus.14,15 Gagal ginjal dapat terjadi pada sekitar minggu kedua. Hipovolemia dan penurunan perfusi fungsi ginjal turut berperan terjadinya tubuler akut sindrom dengan oliguri atau anuri. Dialysis kadang dibutuhkan. Fungsi ginjal mungkin dapat dipulihkan.16 Paru dapat terlibat dengan keluhan batuk, sesak nafas, nyeri dada dan hemoptisis.
Laporan Kasus Leptospirosis | 6
Manifestasi perdarahan seperti epistaksis petekie purpura dan ekimosis biasa didapatkan.perdarahan saluran cerna yang berat dan adrenal dan perdarahan subarachnoid jarang terjadi. 17 Rhabdomiolisis, hemolisis, miokarditis, pericarditis, gagal jantung kongestif, ARDS, pancreatitis, dan gagal organ multipel biasa digambarkan pada leptospirosis berat.17 Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10 hari.
Gambaran klinik pada leptospirosis :18,19,20 Yang sering: demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjungtivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia. Yang jarang: pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, periferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase leptospiremia/septikemia dan fase imun.
Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari) Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan
Laporan Kasus Leptospirosis | 7
fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
Fase Imun (minggu ke-2) Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih. Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat Laporan Kasus Leptospirosis | 8
pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4) Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsurangsur hilang.
1.
Leptospirosis anikterik 1,10 -
90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.
-
Perjalanan penyakit
leptospirosis
anikterik maupun
ikterik
umumnya bifasik karena mempunyai 2 fase, yaitu : 3 a. Fase leptospiremia/fase septikemia
Laporan Kasus Leptospirosis | 9
- Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. - Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala
nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
- Karakteristik manifestasi klinis : demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. - Gejala lain : sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis. b. Fase imun atau leptospirurik - sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis. - Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih. - Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.3 -
Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik : meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis.
-
Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu.
-
Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia.
Laporan Kasus Leptospirosis | 10
-
Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis, limfadenopati,
splenomegali,
hepatomegali
dan
ruam
makulopapular dapat ditemukan meskipun jarang. -
Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
2.
Leptospirosis ikterik 1,10 -
Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia.
-
Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
-
Pasien tidak mengalami
kerusakan hepatoselular, bilirubin
meningkat, kadar enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah pasien sembuh. -
Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
-
Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua tetapi dapat ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.
-
Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.
-
Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian bawah.
-
Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik. Laporan Kasus Leptospirosis | 11
-
Penyebab kematian leptospirosis berat : koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik.
-
Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis hádala oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia,
hipotensi,
ronkhi
basah
paru,
sesak
nafas,
leukositosis (leukosit > 12.900/mm3), kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada foto pencitraan paru. -
Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada umumnya ringan berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun dapat juga terjadi Adult Respiratory Distress Síndromes (ARDS) dan fatal.
-
Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat berupa miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.
-
Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak, mungkin karena tidak terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa.
-
Pada kasus yang berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru.
-
Manifestasi klinis pada kasus ringan hádala demam dan gastroenteritis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG21,22 1.
Pemeriksaan laboratorium umum a. Pemeriksaan darah - Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun. - Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil. - Trombositopenia ringan. - LED meninggi.
Laporan Kasus Leptospirosis | 12
- Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit. b. Pemeriksaan fungsi hati - Jika tidak ada gejala ikterik fungsi hati normal. - Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat. - Kerusakan jaringan otot kreatinin fosfokinase meningkat peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. 2.
Pemeriksaan laboratorium khusus9,10,11 Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, ELISA, tes penyaring).
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis.
Pemeriksaan
bakteriologis
dilakukan
dengan
bahan
biakan/kultur leptospira dengan medium kultur Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat leptospira dalam kultur. Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-
Laporan Kasus Leptospirosis | 13
12). Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala klinis yang mendukung. Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin tidak khas. Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%).
Tes
penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow. Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin. Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK) pada fase awal sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral. Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi azotemia. Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan gelap sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak digunakan. Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi kemudian digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat, sedangkan glukosanya normal. Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium. dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
Suspek bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.
Probable
Laporan Kasus Leptospirosis | 14
bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
Definitif bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih
A . PENCEGAHAN 2,6,7 Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada penjamu manusia. Kuman leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti lisol. Maka upaya ”Lisolisasi” upaya "lisolisasi" seluruh permukaan lantai , dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis. Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan tercemar kuman dari hewan piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau hewan liar. Hindari berkontak dengan kencing hewan piaraan. Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu berkontak dengan air kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakiai sepatu bot, terutama jika kulit ada luka, borok, atau eksim. Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempat kotor. Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati , dan yang masih sehat diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang memiliki risiko tinggi terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap tahun. Di AS sejak Desember 2000 lalu, ada anjuran bagi orang yang berisiko tinggi terjangkit leptospirosis diberikan terapi profilaksis dengan doksisiklin 200 mg 1 x seminggu.
Laporan Kasus Leptospirosis | 15
Tikus rumah perlu dibasmi sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat lain. Jangan lupa bagi yang aktivitas hariannya di peternakan, atau yang bergiat di ranch. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman, atau ketika kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau atau sungai. Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan diklorinasi. Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut yang dapat mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama, bisa sampai setahun. Hewan babi merupakan sumber penularan leptospirosis, disebut sebagai Swine herd’s disease. Oleh karena itu, peternak babi diimbau agar mengandangkan ternaknya dan jauh dari sumber air. Saluran buangan ternak hendaknya diarahkan ke tempat khusus sehingga tidak mencemari lingkungan. B. KURATIF2,3,4,17 Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.
Tujuan Pemberian Obat 1. Treatment a. Leptospirosis ringan
2.
Regimen Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau Amoxicillin 4 x 500 mg/oral
b.Leptospirosis sedang/ berat
Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau Ampicillin 1 g/6jam i.v atau Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau Eritromycin 4 x 500 mg i.v
Kemoprofilaksis
Doksisiklin 200 mg/oral/minggu
Laporan Kasus Leptospirosis | 16
• Terapi untuk leptospirosis ringan Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.15 Penatalaksanaan konservatif
Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 – 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino essensial.
Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari.
Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap fungsi ginjal sangat perlu.
Terapi untuk leptospirosis berat16
Antipiretik
Nutrisi dan cairan.
Laporan Kasus Leptospirosis | 17
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat. Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.
Pemberian antibiotik ◦
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin,
ceftriaxone)
>
baik
dibanding
antibiotik
konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
Penanganan kegagalan ginjal. Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan
plasma
(normal
bila
ratio
<1).
Juga
dengan
melihat
perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Laporan Kasus Leptospirosis | 18
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian yang tinggi.
Penanganan khusus 1.
Hiperkalemia diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%) Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan cardiac arrest.
2.
Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3.
Hipertensi diberikan antihipertensi
4.
Gagal jantung pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5.
Kejang Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati dan uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya, mempertahankan oksigenasi / sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi.
6.
Perdarahan transfusi Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat.
Perdarahan
kadang0-kadang
terjadi
pada
waktu
mengerjakan dialisis peritoneal. Untuk menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan akibat trpmbositopati.
Laporan Kasus Leptospirosis | 19
7.
Gagal ginjal akut hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik, dialisis.17
Prognosis21 Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut menjadi 30-40 % Faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas, yaitu : Leptospirosis yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan mortalitas janin yang tinggi.17
Pada pasien ini diagnosis leptospirosis ditegakkan atas dasar adanya demam, nyeri pada betis disertai nyeri tekan, mata merah, lemas, mual, muntah, ada keluhan BAK sedikit atau oliguri, perdarahan saluran cerna, dan kejang disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik terdapat conjungtiva bleeding dan nyeri tekan pada otot gastrocnemius. Pada pemeriksaan lab didapatkan trombositopeni, leukositosis, dan oligouri. Hal ini menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Pada pasien ini proses ginjal yang terjadi adalah proses akut pada chronic kidney disease, hal ini diketahui dengan pemeriksaan tambahan ditemukan Kreatinin 11,4 mg/dl, BUN 189, Asam Urat 19,7, namun sebelum pasien ini demam dan timbul keluhan yang mengarah ke infeksi leptospirosis pasien tidak mengeluhkan suatu gejala apa pun. Diagnosis pasti leptospirosis berdasarkan ditemukannya leptospira dari pasien atau serokonversi atau peningkatan titer antibody pada test aglutinasi mikroskopik (MAT). Pada kasus-kasus dengan bukti klinis yang kuat akan infeksi, titer antibody 1200-1800 dibutuhkan. Dan peningkatan empat kali atau lebih pada titer akan lebih menguatkan. Antibodi umumnya tidak akan terdeteksi sampai minggu kedua. Respon antibodi juga akan dipengaruhi oleh terapi yang cepat. MAT yang menggunakan strain leptospira hidup dan ELISA yang menggunakan antigen adalah standar serologi prosedur. Tes ini biasanya hanya tersedia di lab khusus dan digunakan untuk mengetahui titer antibodi dan Laporan Kasus Leptospirosis | 20
identifikasi serogrup dan serovar, dimana hal ini penting untuk gambaran prevalensi antigen serovar pada area geografi tertentu.Namun serologi tes tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk memulai terapi. Selain MAT dan ELISA terdapat rapid test. Leptospirosis bisa diisolasi dari darah dan cairan serebrospinalis pada 10 hari pertama sakit dan dari urin pada beberapa minggu dimulai pada minggu pertama. Kultur biasanya positif setelah 2-4 minggu dengan kisaran 1 minggu hingga 6 bulan. Kadang-kadang urin kultur dapat positif setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospirosis dari cairan tubuh dan jaringan, digunakan medium Ellinghausen-McCulloughJohnson-Harris (EMJH). Selain itu Fletcher medium and Korthof medium juga bisa digunakan. Isolasi leptospirosis penting sejak cara itu yang hanya bisa mengidentifikasi serovar yang menginfeksi. Pemeriksaan medan gelap dari darah dan urin biasanya misdiagnosis dan sebaiknya tidak digunakan. Hasil serologi pada pasien ini negatif, Hal ini dapat terjadi karena belum terbentuk antibodi dalam tubuh karena dilakukan pemeriksaan pada minggu pertama, sehingga direncanakan untuk mengulang tes serologi tersebut pada minggu berikutnya. Namun atas pertimbangan biaya pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Hasil serologi yang negatif juga bisa dikarenakan terapi antibiotik diawal perjalanan penyakit sehingga mempengaruhi terbentuknya antibodi. Selain itu juga dikarenakan banyaknya serovar pada leptospira sehingga bisa saja terjadi ketidaksesuaian serovar .
Laporan Kasus Leptospirosis | 21
BAB IV KESIMPULAN
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis Leptospirosis sering tidak khas sehingga terlambat terdiagnosis. Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila
terlambat
mendapat
pengobatan.
Diagnosis
dini
yang
tepat
dan
penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang beresiko tinggi terekspos diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.
Laporan Kasus Leptospirosis | 22
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals of Semarang. Konas PETRI, 2002. 2. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo. 2000.42(6):327-32 3. Departemen Kesehatan, 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Leptospira. Hlm. 8-15. Bagian Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan : Jakarta. 4. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer Obor : Jakarta. 2002. 5. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI : Jakarta. 6. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure; (Brenners & Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83 7. Fauci AS. Leptospirosis. In Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed. Braunwald E (Eds). New York: Mc Graw Hill: 2008
Laporan Kasus Leptospirosis | 23
8. Gasem MH, Redhono D, Suharti C. Anicteric leptospirosis can be misdiagnosed as dengue infection. Buku Abstrak Konas VIII PETRI, Malang, 2002 9. Grenn-Mckenzie J, Shoff WH. Leptospirosis in humans. Sept, 13, 2006. http://www.emedicine.com/ped/topic/1298.htm 10. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di RSUPNCM, 2002. 11. Lestariningsih. 2002. Gagal Ginjal Akut Pada Leptospirosis — Kumpulan Makalah
Simposium
Leptospirosis.
Badan
Penerbit
Universitas
Diponegoro. Semarang. 12. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in northeastern Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J Trop Med Public Health 2002; 33: 155-60 13. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in patients with severe leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku Abstrak Konas VIII PETRI, Malang, Juli 2002. 14. Setyawan Budiharta, 2002. Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional Bahaya Dan Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002. 15. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002. 264-8 16. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991. 17. Vinetz JM: Leptospirosis. Curr Opin Infect Dis 14:527, 2001 [PMID: 11964872] 18. Widarso, Ganefa S. pedoman diagnosis dan penatalaksanaan kasus penanggulangan leptospirosis di Indonesia. Sub Direktorat Zoonosis, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes,2004 http://pusdiknakes.or.id/persinew/? show=detailnews&kode=881&tbl=kesling 19. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah Kesehatan No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
Laporan Kasus Leptospirosis | 24
20. World Health Organization/International Leptospirosis Society: Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. Geneva, World Health Organization. Diunduh dari www.who.int/csr/don/en/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf 21. Zein U. Leptospirosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi IV. Sudoyo AW (Eds). Jakartar: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FK UI, 2006. Hal:1823-26 22. Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 4. FKUI : Jakarta. Hal.1845 - 1848.
Laporan Kasus Leptospirosis | 25