laporan RCA BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Difteri merupakan suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva
atau
vagina. Saat
ini,
difteri
masih
merupakan
penyakit
endemikdiberbagai negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteri pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi e pidemik yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemik difteri masih terjadi dan menyebar ke negara-negara tetangga (Widoyono, 2005). Difteri adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih(Widoyono, 2005). Dari tahun 1980 sampai s ampai 2010, 55 kasus difteri difter i dilaporkan CDC Nasional. Pada sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih, empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi. Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia K aribia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri (CDC, 2011).
Di Indonesia, wabah difteri muncul pada tahun 2001 di Cianjur, Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,731,9% (IDAI, 2012). Sedangkan kasus difteri di Jawa Timur (Jatim) masih tinggi. Sejak tahun 2007, jumlah penderita difteri selalu meningkat. Hingga pertengahan tahun 2013, terjadi 310 kasus dengan jumlah kematian 15 orang. Kondisi penyakit difteri di Jawa J awa Timur masih dalam kategori KLB K LB (Kejadian Luar Biasa) sehingga pemerintah Jawa Timur melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Penanggulangan dan pencegahandifteri dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, (dift eria, tetanus) tet anus) pada anak-anak usia sekolah dasar (Widoyono, 2005). Dinkes Provinsi Jatim menggelar sosialisasi sosialisa si penanggulangan KLB difteri di Jawa Timur serta menggelar Sub PIN Difteri secara serentak di Jawa Timur salah satunya di Jember. Sub PIN difteri inisudah dilakukan secara serentak sampai bulan Desember 2013. Namun, untukmengetahui jumlah anak yang mendapatkan Sub PIN Difteri, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember
melakukan RCA (rapid
Concenience Assesment), yaitu alat untuk membantu mengidentifikasi anakanak yang tidak mengikuti vaksinasi selama kampanye tetapi tidak digunakan untuk mengukur cakupan imunisasi. Pengamat atau pihak yang melakukan RCAharus mengidentifikasi dengan cara menanyakan kepada masyarakat secara langsung terutama di daerah terpencil yang jauh dari situs vaksinasi, kelompok sosial terpisah, anak jalanan, anak yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil atau pasar, dll (Japanease Echephalitis Campaign, 2006). 1.2
Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran pelaksanaan Sub PIN difteri di Wilayah
Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember? 1.3
Tujuan
Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Sub PIN difteri di Wilayah Kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Laporan ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dan dan sebagai referensi kepustakaan kepustakaan dalam bidang kesehatan khususnya bidang Epidemiologi sehingga sehingga dapat dijadikan bahan diskusi. 1.4.2
Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a.
Hasil laporan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai Sub PIN Difteri di Kabupaten Jember. b.
Hasil laporan ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi
mengenai surveilans penyakit menular tentang difteri oleh pihak-pihak terkait seperti puskesmas, dinas kesehatan dan unit-unit pelayanan kesehatan lainnya sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di instansi terkait.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Difteri 2.1.1
Batasan Difteri
Menurut Rampengan dan Laurentz (1993), difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Menurut Soegijanto (2004), difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan dan atau mukosa. mukosa. Infeksi biasanya biasanya terjadi pada laring, faring, hidung dan kadang-kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia, dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi (Rampengan, dkk. 1993).
Penyakit ini ditularkan secara droplet yang berasal dari sekresi hidung dan tenggorokan. Bakteri ini juga dapat menular melalui kontak langsung secara fisik dan pernafasan. Gejala awal penyakit adalah radang tenggorokan, hilang nafsu makan dan demam ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. Difteri dapat menimbulkan komplikasi berupa gangguan pernafasan yang berakibat kematian. Difteri merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak. Di indonesia, difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dengan angka kematian yang cukup tinggi. Pencegahan yang paling efektif untuk penyakit ini yaitu dengan memberikan imunisasi DPT (Soegijanto, 2004). 2.1.2
Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif, tidak bergerak, aerob, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan terhadap keadaan yang beku dan kering. Infeksi bakteri biasanya tidak invasif tetapi bakteri dapat mengeluarkan toksin. Toksin ini mempunyai efek patologik yang bisa menyebabkan orang menjadi sakit bahkan menimbulkan
kematian.
Ada
tiga
tipe
varian
dari Corynebacterium
diphtheriae yaitu tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, yaitu di selaput mukosa (Direktorat Jenderal PP & PL, 2007). 2.1.3
Klasifikasi Difteri
Difteri diklasifikasikan menjadi beberapa macam berdasarkan manifestasi kliniknya. Manifestasi penyakit ini bervariasi dari tanpa gejala sampai ke suatu keadaan penyakit yang fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita. Klasifikasi difteri antara lain (Soegijanto, 2004). :
a.
Difteri hidung
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (Chin, 2000). Timbulnya difteri hidung sulit dibedakan dengan common cold. Gejala awalnya mir ip dengan common cold yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala yang ringan. Namun secara berangsur sekret hidung menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen (mengandung mukus dan pus) yang kemudian berwarna seperti darah. Mukopurulen ini akan menimbulkan lecet pada bibir atas. difteri hidung ini tergolong ringan karena di daerah ini sistem absorbsinya kurang baik sehingga toksin tidak terabsorbsi dan dapat disembuhkan dengan cepat dengan antitoksin dan antibiotik. Apabila tidak diobati, difteri hidung ini dapat meluas ke faring dan laring. Kasus ini hanya 2% dari semua kasus difteri. b.
Difteri tonsil dan laring Infeksi paling sering terjadi di daerah faring dan tonsil yang biasanya pada
daerah ini terjadi absorbsi sistemik dari toksin. Gejala yang terjadi yaitu anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri saat menelan dalam 1-2 hari timbul membran atau selaput berwarna putih kelabu yang dapat menutup tonsil dan dinding faring dan meluas ke bawah laring dan trakea. Selaput sangat melekat pada jaringan sekitarnya dan apabila dilepaskan secara paksa dapat menyebabkan perdarahan. Selaput yang ekstensif dapat menyebabkan onstruksi saluran nafas. Pada keadaan ini penderita dapat sembuh namun apabila banyak toksin yang diabsorbsi maka penderita menjadi sangat lemah, pucat, denyut nadi cepat, stupor, koma dan dalam 1 minggu sampai 10 hari bisa terjadi kematian. c.
Difteri laring Difteri laring ini dapat berupa penyebaran dari difteri faring atau hanya
daerah laring saja yang terkena. Difteri ini biasnya merupakan perluasan dari difteri faring. Gejala yang ditimbulkan berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Penyakit ini disertai panas dan batuk serta suara serak (Rampengan, dkk. 1993). Laring tampak merah, bengkak banyak sekreta dan terdapat pseudomembran yang luas.
selaput yang terbentuk dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, koma dan kematian. Perjalanan penyakit ini tergantung pada beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Pada kasus ringan, gejala obstruksi akan hilang pada hari 6-10 dengan pemberian antitoksin. Pada kasus sangat berat penyumbatan diikuti dengan anoksemia yang ditandai dengan gelisah, lemah, koma dan meninggal. Kematian mendadak bisa terjadi pada kasus ringan dimana sebagian membran terlepas dan menyumbat saluran nafas. d.
Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
Difteri kulit berupa tukak di kulit. Difteri kulit ditandai ulkus berbatas jelas dengan dasar membran putih/abu-abu. Difteri konjungtiva berupa kemerahan, edema, dan adanya membran di konjungtiva palpebra. Difteri telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen yang berbau Difteri vulvovaginal ditandai dengan ulkus dengan batas jelas (Rampengan, dkk. 1993).
2.1.4
Patogenesis
Masa penularan difteri beragam, penyakit akan tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. Difteri ditularkan melalui droplet penderita yang dikeluarkan penderita melalui batuk, bersin atau berbicara. Bakteri akan masuk ke tubuh host lain melalui mukosa kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan memproduksi toksin yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinurea. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ terutama
jantung, saraf dan ginjal. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu (Soegijanto, 2004). Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. 2.1.5
Gejala Klinis
Masa inkubasi difteri umumnya antara 2-5 hari. Namum masa inkubasi dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu (Rampengan, dkk. 1993). Gejala klinis difteri biasanya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi yaitu kurang lebih 380C, terdapat pseudomembrane putih keabuabuan di faring, laring atau tonsil. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya sehingga sulit untuk diangkat, bila diangkat secara paksa dapat menimbulkan pendarahan. Sedangkan tanda khas dari penyakit difteri adalah adanya tanda radang disertai adanya selaput yang berwarna putih kotor pada kerongkongan dan bila meluas ke
tenggorokan dapat menyebabkan penyumbatan pada jalan napas. Pada kasus difteri yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas (Chin, 2000). Menurut Direktorat Jenderal PP & PL (2003) gejala difteri diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tidak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. Terdapat beberapa tanda atau gejala dari penyakit difteri, antara lain (Depkes RI, 2003) : 1.
Panas > 380C
2.
Ada pseudomembrane putih keabu-abuan yang tidak mudah lepas dan mudah
berdarah. Letak pseudomembrane bisa di faring, laring, dan tonsil. 3.
Sakit waktu menelan
4.
Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher. 5.
Sesak nafas disertai bunyi (stridor)
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan (pharyngitis) harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah terdapat pseudomembrane atau tidak. Jika tampak pada tonsil pada sekitarnya membrane putih keabuan, walau tidak begitu khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (specimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. 2.1.6
Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan diagnosis sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala klinis tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Selain berdasarkan gejala klinis yang
dialami,
diagnosis
difteri
dapat
diperoleh
berdasarkan
konfirmasi
laboratorium. Sediaan (specimen) diambil dari penderita berupa apusan tenggorokan dengan jalan mengoleskan kappa lidi pada pharynx atau tonsil. Dan kalau ada membrane, membrannya harus diangkat sedikit, lalu kapas lidi dioleskan di tempat di bawah atau membrane dimana banyak kuman difteri berkumpul. Sediaan (specimen) bias juga diambil dari luka kulit yang diduga difteri kulit (Depkes RI, 2003). Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnosa dapat ditegakkan dengan melihat adanya membran yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat. Sedangkan untuk pemeriksaan bakteriologis bahan yang diambil adalah membrannya sendiri atau bahan di bawah membran. Bahan dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood agar (Rampengan, dkk. 1993). 2.1.7
Pencegahan
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah difteri menurut Rampengan, dkk (1993) dan Soegijanto (2004) yaitu : a.
Penyuluhan
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang difteri dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. b.
Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri 2 kali berturut-turut negatif. c.
Pencegahan terhadap kontak
Anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis maka diberi imunisasi terhadap difteri. d.
Imunisasi
Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Pemberian imunisasi, dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5 ml secara intramuskular. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6-8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang pertama. e.
Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan
penderita seperti kepada para petugas kesehatan
dengan cara memberikan
imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td (Chin, 2000). f.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem
kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal (Chin, 2000). 2.1.8
Pengobatan
Menurut Soegijanto (2004) pengobatan pada penderita difteri dapat dilakukan dengan cara : a.
Pemberian antitoksin serum anti diptheri (ADS)
Antitoksin diberikan setelah diagnosis dibuat dosis ADS disesuaikan menurut derajat berat penyakit yaitu sebagai berikut :
1.
20.000 IU im untuk difteri ringan (hidung, kulit dan konjungtiva)
2.
40.000 IU iv untuk difteri sedang (tonsil dan laring)
3.
100.000 IU iv untuk difteri berat
b.
Antimikrobial
Antimikrobial digunakan untuk menghentikan produksi toksin. Antimikrobial yang diberikan berupa Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. c.
Kortikosteroid
d.
Pengobatan karir Dapat
2.2 2.2.1
diberikan
penisilin
oral
atau
suntikan
selama
1
minggu
Imunisasi DPT Definisi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut. Cakupan imunisasi harus dipertahankan merata dan tinggi untuk mencegah terjadinya KLB PD3I. Tujuan dilakukan imunisasi yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi meliputi penyakit menular yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, polio, campak, tetanus, hepatitis B, meningitis meningokokus, demam kuning, dan rabies ((KepMen Nomor 1611 tahun 2005).
2.2.2
Imunisasi DPT
Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi dasar yang diberikan kepada bayi yang berusia dibawah 1 tahun. Vaksin DPT mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan vaksin pertussis. Dengan demikian vaksin ini dapat memberi perlindungan terhadap 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus. Penyakit difteri dan tetanus disebabkan oleh toksin dan bakteri. Oleh karena itu, dalam upaya pencegahannya (imunisasi) hanya diberikan toksoid yaitu toksin bakteri yang dimodifikasi sehingga tidak bersifat toksin namun dapat menstimulasi pembentukan antitoksin. Sementara penyakit pertusis, walaupun juga melibatkan toksin dalam patogenesisnya, memiliki antigen-antigen lain yang berperan dalam timbulnya gejala penyakit, sehingga upaya pencegahannya diberikan dalam bentuk vaksin. Vaksin DPT dibedakan menjadi 2, yaitu DTwP dan DTaP berdasarkan perbedaan ppada vaksin tetanus. DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis) mengandung suspense
kuman B. pertussis yang telah
mati,
sedangkan DTaP
(Difteri
Tetanus acellular Pertusis) tidak mengandung seluruh komponen kuman B. pertussis, melainkan hanya beberapa komponen yang berguna dalam pathogenesis dan memicu pembentukan antibodi. Vaksin DTaP mempunyai efek samping yang lebih ringan dibandingkan vaksin DTwP. Berikut ini adalah jadwal imunisasi DPT yang direkomendasikan yaitu (Chin, 2000) : a.
Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan
dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut. Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun.
Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT. b.
Untuk usia 7 tahun ke atas Anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin
dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td). Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah
dosis ke-2. Untuk mempertahankan tingkat
perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian. Pemberian imunisasi difteri selain diberikan melalui imunisasi dasar juga diberikan pada kegiatan imunisasi massal yaitu melaui Sub PIN difteri. Sasaran dari SUB PIN difteri adalah anak usia 2 bulan sampai 15 tahun. SUB PIN difteri merupakan kegiatan pemberian imunisasi tambahan secara serentak. Tujuan dari pemberian Sub PIN difteri ini adalah memberikan kekebalan tambahan terhadap penyakit difteri pada anak usia 2 bulan hingga 15 tahun, dan berkurangnya kejadian luar biasa karena difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (Dinkes Banyuwangi, 2013). Setelah kegiatan pasca imunisasi mungkin akan terjadi KIPI. KIPI adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi (vaccine related) at aupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kejadian kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan atau belum diketahui (unknown). Menurut Departemen Kesehatan (2005) kejadian pasca imunisasi adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi, yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi. Kejadian ikutan pasca imunisasi DPT dapat berupa reaksi lokal kemerahan, bengkak, nyeri pada tempat injeksi, ataupun demam sedang.
2.3
Rapid Convenience Assessment (RCA)
RCA adalah format yang digunakan untuk kegiatan evaluasi yang dilakukan setelah pelaksanaan imunisasi. Bertujuan untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila dibandingkan dengan target yang ditetapkan (Ditjen PP & PL, 2011). RCA adalah alat untuk membantu mengidentifikasi anak-anak yang tidak mengikuti vaksinasi selama kampanye tetapi tidak digunakan untuk mengukur cakupan imunisasi. Pengamat atau pihak yang melakukan RCA harus mengidentifikasi dengan cara menanyakan kepada masyarakat secara langsung terutama di daerah terpencil yang jauh dari situs vaksinasi, kelompok sosial terpisah, anak jalanan, anak yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil atau pasar, dan yang jauh dari pelayanan kesehatan (Japanease Echephalitis Campaign, 2006).
RCA adalah cara penilaian cepat yang dikenalkan oleh Schrimshaw SCM & Hurtado (1992) untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang hal apa saja yang melatar belakangi perilaku kesehatan masyarakat termasuk faktor sosial budaya dalam waktu yang relatif singkat. Teknik pengumpulan data yang umunya digunakan pada RCA adalah wawancara mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan pada perorangan. Informasi yang didapatkan dari penelitian ini berupa kata-kata yang di intepretasikan maknanya melalui Content Analysis. RCA umumnya dimanfaatkan: 1) Sebagai alat untuk menggali gagasan dengan cara mengamati langsung interaksi antara masyarakat sasaran dengan produk pelayanan kesehatan, dengan: a.membicarakan kebiasaan atau mendengar bahasa mereka tentang suatu masalah b.Menjajagi penerimaan masyarakat sasaran terhadap gagasan baru atau pesan dalam bentuk visual ataupun verbal, misal : media, kemasan gambar atau bahasa c. Mengkaji perilaku kesehatan yang relatif belum diketahui untuk dipelajari melalui penelitian lanjutan.
2) Sebagai langkah awal pengembangan penelitian: a.Mengembangkan hipotesa tentang pemikiran dan proses pengambilan keputusan masyarakat sasaran tentang kebiasaan atau masalah kesehatan yang sedang diteliti. b.Merinci
informasi
c.Mengidentifikasi
pokok
siapa
yang
yang
perlu
diperlukan
penelitian.
menjadi
responden.
d.Membantu penyusunan form pertanyaan dan urutannya, kemudian melakukan pelatihan dan ujicoba. e.Membuat inform consent f.Mengidentifikasi masalah dan rumusannya.
3) Sebagai cara untuk memahami hasil penelitian lanjutan: a.Menerangkan, memperluas dan memperjelas data. b.Memahami penyebab suatu kecenderungan. c.Menggambarkan faktor yang mempengaruhi perubahan sikap.
4)Sebagai metode pengumpulan data
RCA dilaksanakan untuk saling melengkapi dan verifikasi data baik kuantitatif maupun kualitatif, dimana terdapat tahapan sebagai berikut: 1)
Menyusun rancangan studia.
a.Rancangan studi disusun mulai dari latar belakang dengan penekanan pada ’mengapa dan bagaimana’.
b.Melakukan studi kepustakaan, menetapkan metode yang digunakan termasuk pemilihan instrumen untuk pengumpulan data. c.Menyusun rencana jadwal pelaksanaan termasuk pengumpulan data, manajemen dan analisis data. d.Memilih daerah penelitian dengan memperhatikan kondisi geografis, kebutuhan biaya untuk itu, waktu dan tenaga yang diperlukan pada kondisi yang seperti itu. e.Memilih dan memanfaatkan informan yang ada. 2)
Kesiapan Logistik.
a. Mengurus ijin pelaksanaan penelitian sebagai salah satu bentuk etika penelitian. b.Surat pemberitahuan pelaksanaan RCA sebagai persiapan di daerah penelitian, penting untuk dilakukan c.Apa yang harus dipersiapkan di daerah penelitian, peran tim daerah dan apa yang jadi tanggung jawab tim assessment, populasi dan sampel terpilih, sebaiknya dideskripsikan dengan jelas d.Pendeskripsian berkaitan dengan hal apa yang disiapkan dan menjadi tanggung jawab baik oleh daerah penelitian dan oleh tim RCA sangat diperlukan sehingga ada pembagian tugas yang jelas. e.Panduan teknis dalam pelaksanaan RAP diperlukan karena tim terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan keahlian. 3)
Penyusunan Tim RAP a.Memilih orang yang tepat yaitu sesuai keahlian dalam metodologi dan
substansi tertentu dan sesuai dengan tujuan serta kemampuan dalam kerja tim. Umumnya terdiri dari ahli kesehatan masyarakat, sosiolog, antropolog, psikolog dan keahlian lain yang diperlukan
b.Leadership ketua
tim
amat
penting
c.Supervisor yang peka, mampu dan bijaksana dan dapat melihat masalah serta mampu mengarahkan. d.Pelatihan dan ujicoba form pertanyaan oleh tim RCA
Dalam melaksanakan RCA digunakan beberapa teknik pengumpulan data yang saling menunjang satu dengan yang lain, yaitu : 1) Telaah informasi yang ada, termasuk data sekunder 2) Observasi (partisipatif dan non partisipatif) 3) Wawancara mendalam 4) Diskusi kelompok (non FGD) 5) Fokus grup diskusi
BAB 3. METODE KEGIATAN 3.1
Jenis Kegiatan Kegiatan
ini
menggunakan
desain
kegiatan Rapid
Convenience
Assesment (RCA). RCA adalah alat untuk membantu mengidentifikasi anak-anak yang melewatkan imunisasi selama kampanye. RCA menggunakan sampel kenyamanan (convenience), sehingga tidak mengukur cakupan vaksinasi. Pengamat independen harus melakukan setidaknya satu RCA per hari di daerah di mana kampanye imunisasi telah dilaksanakan. Mereka harus mengidentifikasi masyarakat yang tidak terdaftar, terutama di daerah terpencil yang jauh dari situs vaksinasi. Metode kegiatan RCA ini ialah sampel anak anak dipilih secara acak yang terdiri dari 20 KK (Kepala Keluarga) dengan anak usia 2 bulan- 15 tahun. Jika 1 KK
memiliki lebih dari satu anak yang berusia diantara 2 bulan-15 tahun, maka setiap anak tetap dimasukkan dalam laporan RCA. Jika dari 20 KK ditemukan 5% anak yang tidak terdaftar, maka pencarian sampel ditambah 10 KK, sehingga total yang diperiksa sebesar menjadi 30 KK. Jika ditemukan anak yang tidak di imunisasi, maka dilaporkan pada petugas kesehatan atau Puskesmas agar dilakukan sweaping. 3.2
Tempat dan Waktu Kegiatan
3.2.1
Tempat Kegiatan Tempat
kegiatan
adalah
di posyandu di
wilayah
kerjaPuskesmas Sumbersari Kabupaten Jember 3.2.2
Waktu Kegiatan
Kegiatan dilakukan pada bulan November-Desember 2013. 3.3
Populasi Kegiatan Populasi adalah keseluruhan objek kegiatan atau objek yang diteliti. Sampel
adalah sebagian atau seluruh angggota yang diambil dari seluruh objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel kegiatan RCA ini adalah rumah yang memilikianak usia 2 bulan-15 tahun. 3.4
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dan diperlukan pada kegiatan ini adalah data primer. Data primer merupakan data yang didapat dari sumber utama dari individu atau perseorangan, biasanya melalui angket, wawancara, jajak pendapat, dan lain-lain (Nazir, 2009). Data primer diperoleh dari kegiatan ini melalui wawancara dengan responden mengenai status imunisasi, alasan tidak mengikuti imunisasi, sumber informasi mengenai imunisasi dan kejadian KIPI. 3.5
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
3.5.1
Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapat keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti (Mardalis, 2003). Wawancara yang dilakukan dalam kegiatan ini merupakan wawancara langsung kepada responden untuk memperoleh data-data mengenai status imunisasi, alasan tidak mengikuti imunisasi, sumber informasi mengenai imunisasi dan kejadian KIPI. 3.5.2
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen adalah alat pada waktu peneliti menggunakan suatu metode atau teknik pengumpulan data (Arikunto, 2006). Pada kegiatan ini, instrumen pengumpulan data kegiatan yang digunakan adalah panduan wawancara berupa kuesioner RCA yang merupakan alat bantu dalam kegiatan mengumpulkan data primer agar kegiatan menjadi sistematis dan mudah. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang diketahui (Arikunto, 2006). Kuesioner RCA yang digunakan berisi pertanyaan mengenai status imunisasi, alasan tidak mengikuti imunisasi, sumber informasi mengenai imunisasi dan kejadian KIPI. 3.6
Teknik Penyajian dan Analisis Data
3.6.1
Teknik Penyajian Data
Penyajian data merupakan kegiatan yang dilakukan dalam pembuatan laporan hasil kegiatan yang dilakukan agar laporan dapat dipahami, dianalisis sesuai dengan tujuan
yang
diinginkan
kemudian
ditarik
kesimpulan
sehingga
dapat
menggambarkan hasil kegiatan. Cara penyajian data kegiatan dilakukan melalui berbagai bentuk. Pada umumnya dikelompokkan menjadi dua yakin penyajian dalam bentuk teks(textular), penyajian dalam bentuk tabel (Notoatmodjo, 2005). Dalam kegiatan ini, data yang
diperoleh dari hasil wawancara disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Penyajian dalam tabel merupakan penyajian data dalam bentuk angka yang disusun secara teratur dalam baris dan kolom. Penyajian dalam bentuk tabel banyak digunakan pada penulisan laporan dengan maksud agar orang lebih mudah memperoleh gambaran rinci tentang hasil kegiatan yang dilakukan (Budiarto, 2003). Untuk mempermudah analisis, maka sebelum data disajikan akan dilakukan beberapa hal sebagai berikut: a.
Pemeriksaan Data (editing)
Pemeriksaan data adalah kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai menghimpun data dilapangan (Bungin, 2005). Data yang telah dikumpulkan dari kuesioner dan lembar observasi diperiksa kembali oleh peneliti sebelum data diolah oleh peneliti, untuk memastikan bahwa tidak terdapat hal-hal yang salah atau masih meragukan.
Hal
ini
dilakukan
untuk
memperbaiki
kualitas
data
serta
menghilangkan keraguan data. b.
Tabulasi (tabulating)
Tabulasi adalah memasukkan data pada tabel-tabel tertentu dan mengatur angkaangka serta menghitungnya (Bungin, 2005). Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan data yang diperoleh ke dalam tabel.
3.7
Kerangka Alur Kegiatan RCA
Gambar 3.3 Alur Kegiatan
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyakit difteri merupakan penyakit lama yang kembali muncul dengan penularan
penyakit
cepat
pernapasan.Kemunculan kembali
melalui
kontak
penyakit
Difteri
fisik
dan
karena status
kesehatan masyarakat yang sebagian sudah tidak mempunyai kekebalan terhadap Difteri, yang salah satunya dikarenakan cakupan imunisasi yang dilaksanakan
tidak merata pada seluruh
desa. Seharusnya di manapun kelahiran seorang
anak, dia harus mendapatkan imunisasi DPT-HB sebagai upaya perlindungan terhadap Difteri, apalagi masih ada sebagian masyarakat yang kurang peduli terhadap imunisasi anaknya, sehingga walau ada Posyandu/Puskesmas di sekitar rumahnya anaknya tersebut tidak terimunisasi (Dinkes Jatim, 2012). Berdasarkan laporan terkini Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2013, penyakit Difteri di Jawa Timur masih KLB (Kejadian Luar Biasa), dan penyakit Difteri ini berbahaya karena sangat mudah menular dan dapat mematikan. Sampai dengan 20 Oktober 2012, jumlah kasus Difteri di Jawa Timur mencapai 710 penderita dan 28 diantaranya meninggal dunia. Penyakit Difteri sudah menyerang di 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur sejak tahun 2011 sampai sekarang ini, serangan belum menurun.
Pada tahun 2011, jumlah kasus
Difteri sebanyak 664 penderita dan 20 diantaranya meninggal dunia (Dinkes Jatim, 2012). Sehingga, Dinkes Provinsi Jatim menggelar sosialisasi penanggulangan KLB difteri di Jawa Timur serta menggelar Sub PIN Difteri secara serentak di Jawa Timur salah satunya di Jember.(Wartapedia, 2012). Di Kabupaten Jember kegiatan Sub PIN Difteri dilaksanakan dalam 3 periode. Yakni periode November 2012, periode Mei 2013 dan periode November 2013. Guna mengetahui pemerataan sub PIN difteri periode ke tiga disemua sasaran maka dilakukan RCA (Rapid Convenience Assesment) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Jember sebagai upaya menemukan sasaran yang tidak mendapatkan imunisasi difteri yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan di tiap wilayah
puskesmas
mengidentifikasi
yaitu
posyandu. RCA
anak-anak yang
tidak
adalahalat
untuk
mengikutivaksinasi
membantu selama
kampanye tetapi tidak digunakan untuk mengukur cakupan imunisasi. Pengamat atau pihak yang melakukan RCA harus mengidentifikasidengan cara menanyakan kepada masyarakat secara langsung terutama di daerah terpencil yang jauh dari situs vaksinasi, kelompok sosial terpisah, anak jalanan, anak yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil atau pasar,dan lain-lain.
RCA (Rapid Convenience Assesment) periode Sub PIN Difter i November 2013 di Kabupaten Jember dilakukan pada 31 kecamatan yang terdiri atas 49 puskesmas yang salah satunya adalah Kecamatan Sumbersari. Untuk wilayah kecamatan Sumbersari dilakukan survei RCA pada 6 Keluraha. Berikut distribusi hasil kecamatan Sumbersari RCA berdasarkan sasaran Sub PIN difteri, yang disajikan dalam tabel 4.1: Tabel 4.1 Distribusi Hasil RCA berdasarkan sasaran Sub PIN Difteri Status Kecamatan
Sumbersari
Posyandu
Sub-PIN
Difteri
Sasaran
Jumlah
Belum Terdaftar
Ya
%
Tidak %
Catelya 81
30
71,42
9
28,58
39
3
Catelya 44
23
85,18
3
14,82
26
1
Catelya 28
34
97,14
1
2,68
35
-
Catelya 70
34
100
-
0
34
-
39
100
-
0
39
-
33
100
-
0
33
-
31
70,45
13
29,55
44
14
224
89,6
26
10,4
250
18
Catelya XX Catelya XY Catelya 135
Jumlah
Sumber: Data Primer Terolah, 2013 Berdasarkan
tabel
4.1,
puskesmas Sumbersari didapatkan
didapatkan sasaran
bahwa RCA
dari 7 posyandu sub
PIN
di
difteri
sebanyak 250anak dengan status mendapat Sub PIN Difteri atau dengan jawaban ya sebesar 89,6% (224). Sedangkan yang tidak mendapat sub PIN Difteri atau dengan jawaban tidak sebesar 10,4% (26), dan 18 anak dengan status belum tercatat dalam buku register Sub PIN Difteri. Berdasaarkan pemaparan diatas, dapat dikatakan bahwa kegiatan Sub PIN Difteri belum
dapat
mencakup
seluruh
sasaran
Sub
PIN.
Oleh
karenanya,
dibutuhkan sweeping pada sasaran yang belum mendapatkan Sub PIN Difteri tersebut. Posyandu dengan sasaran tidak mendapat imunisasi difteri tertinggi yaitu posyandu Catelya 135 Puskesmas Sumbersari sebanyak 13 anak.Posyandu yang tidak mendapatkan imunisasi lainnya adala catelya 81, catelya 44, dan catelya 28. Sedangkan, 3 posyandu lainnya merupakan posyandu dengan sasaran yang mendapatkan imunisasi lengkap diantaranya posyanducatelya 70, cateya XX dan catelya XY. Pada Tabel 4.1 menunjukkan sebanyak 26 sasaran yang tidak mendapatkan imunisasi difteri, berdasarkan hasil wawancara beberapa faktor yang menyebabkan sasaran tidak mendapatkan imunisasi difteri diantaranya orang tua tidak mengetahui tentang kegiatan Sub PIN Difteri, orang tua merasa tidak penting mengikuti sub PIN Difteri, anak sedang sakit, takut suntikan, sedang tidak ditempat (berpergian), dan lain-lain. Berikut distribusi alasan responden tidak mengikuti kegiatan sub PIN Difteri yang dilaksanakan oleh Puskesmas, yang disajikan dalam tabel 4.2: Tabel 4.2 Distribusi Alasan tidak mengikuti imunisasi difteri No
Alasan
Jumlah
Prosentase (%)
1.
Orang tua tidak mengetahui kegiatan sub
1
3,125
pin difteri 2.
Anak sedang sakit
5
15,625
3.
Takut suntikan
2
6.25
4.
Takut efek samping (panas, sakit dan 4
12,5
lain2) 5.
Sedang tidak ditempat (berpergian)
3
9,375
6.
Vaksin haram
2
6,25
7.
Lain-lain
15
46,875
32
100
Jumlah Sumber: Data Primer Terolah, 2013
Tabel 4.3 Distribusi alasan lain-lain masyarakat yang tidak mengikuti imunisasi difteri No
Alasan Lain- Lain
Jumlah
Prosentase (%)
1.
Trauma
(karena
ada
keluarga
yang 1
1,67
keluarga
yang 1
1,67
lumpuh setelah imunissi) 2.
Trauma
(karena
ada
meninggal setelah imunissi) 3.
Trauma (karena ada keluarga yang masuk
1
1,67
rumah sakit setelah imunissi) 4.
Tidak masuk sekolah
1
1,67
5.
Belum dilaksanakan di sekolah
6
40
6.
Orang tua sibuk kerja
3
20
7.
Ibu sedang sakit
2
1,34
Jumlah
32
100
Berdasarkan tabel 4.2, didaptkan bahwa alasan terbesar responden tidak mengikuti kegiatan sub PIN Difteri adalah lain-lain seperti repot karena aktivitas kerja, ibu sedang sakit, keluarga ada yang meninggal, disekolah belum diadakan sub pin sebesar 46,875 %. Berdasarkan tabel 4.3, didaptkan bahwa alasan lain-lain yang dikemukakan responden tidak mengikuti kegiatan sub PIN difteri sebanyak 40% karena belum dilaksanakan di sekolah. Pada tabel 4.2, salah satu faktor penyebab responden tidak mengikuti kegiatan sub PIN Difteri adalah orang tua sasaran tidak mengetahui adanya kegiatan imunisasi difteri sebesar 3,125 %. Pendidikan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang untuk berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat (Azwar, 1999). Sehingga, dengan adanya pendidikan melalui promosi dan penyebaran informasi tentang bahaya difteri, cara mencegah dan menghentikan penyebaran Corine Bakterium Diphteria penyebab bakteri, diharapkan dapat mempengaruhi keputusan masyarakat untuk mengikuti kegiatan sub PIN difteri yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan. Informasi dapat diberikan melalui media audio (seperti radio dan pengumuman di tempat ibadah), visual (misal spanduk), maupun audio-visual (misal promosi dari antar orang). Berikut distribusi sumber informasi yang didapatkan responden tentang adanya kegiatan sub PIN difteri, yang disajikan dalam tabel 4.4:
Tabel 4.4 Distribusi Sumber Informasi Responden tentang Sub PIN Difteri
No
Sumber Informasi
Jumlah
Prosentase
(Rumah)
(%)
1.
Undangan
32
2.
Speaker di tempat ibadah (masjid, gereja, 40
12,3 15,38
pura, dll) 3.
Kunjungan petugas kesehatan
5
1,92
4.
Kunjungan kader
117
45
5.
Dari keluarga
2
0,76
6.
Dari tetangga
1
0,3
7.
Dari anak sekolah
63
24,23
260
100,00
Jumlah
Sumber: Data Primer Terolah, 2013 Berdasarkan tabel 4.3, didapatkan bahwa sumber informasi terbesar yang diterima responden tentang adanya kegiatan sub PIN Difteri adalah kunjungan kader sebesar 45% dari 250 responden (rumah). dari hasil tersebut dapat diketahui keaktifan kader kesehatan dalam memberikan penyuluhan dan mengajakan penduduk/sasaran posyandu untuk ikut serta dalam setiap kegiatan imunisasi di posyandu.
BAB 5. PENUTUP
5.1
Kesimpulan
RCA (Rapid Convenience Assesment) di Kabupaten Jember dilakukan pada 31 kecamatan yang terdiri atas 49 puskesmas. Namun, pada kegiatan RCA yang telah kami telah lakukan terdiri atas 8 puskesmasdengan 28 posyandu Dari 28 posyandu di 8 puskesmas didapatkan sasar an RCA sub PIN difteri sebanyak 1081 anak dengan prosentasi terbanyak pada kelompok usia >7-15 tahun sebesar 43,1%. Dari 28 posyandu, terdapat 14 posyandu yang memiliki ≥2 sasaran belum terimunisasi yang berarti sub PIN difteri yang dilaksanakan gagal dan diperlukan adanya Sweeping kembali. Alasan terbesar responden tidak mengikuti kegiatan sub PIN Difteri adalah sedang tidak berada ditempat (berpergian) yaitu sebesar 25,9%. Sumber informasi terbesar yang diterima responden tentang adanya kegiatan sub PIN Difteri adalah dari kunjungan kader sebesar 43,75% dari 720 responden (rumah). KIPI yang tertinggi atau yang terbanyak dialami responden adalah Demam sebesar 78,96%. Sebagian besar responden menyatakan bahwa setelah diimunisasi, anaknya mengalami demam. Padahal demammerupakan reaksi tubuh dalam merespon adanya vaksinasi dan hal yang sering terjadi. 5.2
Saran
Diharapkan puskesmas setempat segera menindaklanjuti anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi Sebaiknya dilakukan kampanye imunisasi difteri beberapa hari sebelum dilaksanakannya imunisasi, dengan kegiatan kampanye tersebut diharapkan kegiatan imunisasi dapat berjalan dengan baik dan dapat mencakup semua target/sasaran.
Selain kampanye imunisasi campak, perlu juga dilakukan penyuluhan tentang KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) kepada para orang tua. Kegiatan penyuluhan tersebut dapat juga dilakukan bersamaan dengan kampanye imunisasi difteri.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara. Budiarto, E. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC Bungin, B. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenanda Media Group CDC. 2011. Diphtheria [serial online]. http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/survmanual/chpt01-dip.html. [akses 1 Desember 2013]
Japanease encephalitis Campaign. 2006. Japanease Encephalitis Campaign, UP 2006
Rapid
Convenience
Assessment [serial
online].gkpdiv.up.nic.in/RCA_form.htm. [akses 1 Desember 2013] Mardalis. 2003. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: PT Bumi Aksara. Nazir, M. 2009. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghaliya Indonesia Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Widoyono. 2005. Penyakit
Tropis
Epidemiologi
Penularan
dan
Pemberantasannya. Erlanggga: Jakarta. Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17, Editor I Nyoman Kanduan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal PPM & PL. 2003. Panduan Praktis Survailans Epidemiologi Penyakit (Pep) Edisi I. Depkes RI: Jakarta.
Direktorat Jenderal PPM&PL. 2007. Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Depkes RI: Jakarta.
Ditjen PP & PL, Departemen Kesehatan RI. 2011. Kampanye Pelaksanaan Kampanye
Imunisasi
Campak
dan
Polio. [serial
online]www.bandung.go.id/.../Pedoman_kampanye_campak_dan_polio_20..(diak ses pada tanggal 14 Desember 2012).