BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Saliva merupakan hasil sekret kelenjar yang penting bagi tubuh. Saliva
terdiri dari 99,5 % H2O serta 0,5 % protein, glikoprotein dan elektrolit.
Protein yang terpenting dari saliva yaitu amilase, mukus, dan lisozim
yang berperan penting dalam fungsi saliva. Air liur (saliva) mempermudah
proses penelanan dengan membasahi partikel-partikel makanan, sehingga
mereka saling menyatu serta dapat menghasilkan pelumasan karena adanya
mukus yang kental dan licin. Selain itu, saliva juga berfungsi untuk
menjaga higiene mulut karena mampu membersihkan residu-residu makanan
dalam mulut karena berfungsi sebagai penyangga bikarbonat yang berfungsi
untuk menetralkan asam dalam makanan serta asam yang dihasilkan oleh
bakteri di mulut sehingga membantu mencegah karies (Sherwood, 2001).
Saliva terdiri dari tiga kelenjar utama (mayor) yang terdiri dari
kelenjar parotis, kelenjar submandibular, dan kelenjar sublingual serta
kelenjar-kelenjar tambahan (minor) yang terdiri dari kelanjar palatinal,
kelenjar bukal, kelenjar labialis, kelenjar lingualis, dan kelenjar
glossopalatinal. Setiap kelenjar memiliki hasil sekret yang berbeda-beda.
Kelenjar parotis dan submandibula menghasilkan sekresi yang bersifat
serous (encer), kelenjar lingualis menghasilkan sekret yang mukus, serta
kelenjar-kelenjar minor sebagian besar menghasilkan sekret yang mukus.
Hal ini berkaitan dengan viskositas atau kekentalan dari saliva.
Viskositas ini sangat dipengaruhi oleh faktor pengunyahan dan jenis
makanan. Selain viskositas, pH juga sangat dipengaruhi oleh pengunyahan
dan jenis makanan (Sherwood, 2001).
Pada praktikum saliva 2 yang telah dilaksanakan pada tanggal 28 April
2011, mahasiswa melakukan serangkaian percobaan terhadap saliva. Pada
percobaan tersebut mahasiswa menganalisis perubahan yang terjadi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.
2. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya kegiatan praktikum ini adalah, agar:
1. Mahasiswa mampu menganalisa biokimia saliva yang meliputi pengukuran
pH, viskositas, buffer, reaksi reduksi gula, aktivitas enzim amylase
dan garam Ca.
2. Setelah mahasiswa melakukan analisa maka diharapkan mahasiwa mampu
menjelaskan proses biokimia yang terjadi pada saliva saat melakukan
fungsinya berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap hasil
percobaan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tinjauan Pustaka
A. Viskositas Saliva
Derajat keasaman pH dan kapasitas buffer saliva ditentukan oleh
susunan kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva terutama
ditentukan oleh susunan bikarbonat, karena susunan bikarbonat sangat
konstan dalam saliva dan berasal dari kelenjar saliva. Derajat
keasaman saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan rata-rata
pH 6,7. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada pH
saliva antara lain rata-rata kecepatan aliran saliva, mikroorganisme
rongga mulut, dan kapasitas buffer saliva. Derajat keasaman (pH)
saliva optimum untuk pertumbuhan bakteri 6,5–7,5 dan apabila rongga
mulut pH-nya rendah antara 4,5–5,5 akan memudahkan pertumbuhan kuman
asidogenik seperti Streptococcus mutans dan Lactobacillus
(repository.usu.ac.id).
Saliva diproduksi oleh kelenjar saliva mayor dan minor. Kelenjar
saliva mayor merupakan kelenjar saliva utama yang terdiri dari
kelenjar parotid, kelenjar submandibular, dan kelenjar sublingual.
Kelenjar parotid adalah kelenjar yang murni serus pada manusia dewasa,
walaupun kadang-kadang sel mukus ditemukan pada anak-anak. Kelenjar
parotid bermuara pada duktus Stensens. Kelenjar submandibular
merupakan campuran, tapi yang lebih dominan adalah serus dan bermuara
pada duktus Whartoni. Kelenjar sublingual merupakan campuran tapi yang
lebih dominan adalah mukus. Pada kelenjar ini ditemukan sedikit acini
serus dan bermuara pada duktus Bartholin. Sel serus menghasilkan
saliva yang encer sehingga viskositasnya menjadi lebih rendah
sedangkan sel mukus menghasilkan saliva yang kental sehingga
viskositas lebih tinggi (repository.usu.ac.id).
Kelenjar saliva minor ditemukan di sepanjang mukosa rongga
mulut. Kelenjar lingual ditemukan bilateral dan terbagi ke dalam
beberapa kelompok. Kelenjar lingual anterior terdapat pada permukaan
anterior lidah dekat ujung lidah dan terbagi atas kelenjar mukus
anterior dan campuran pada posterior. Kelenjar lingual posterior
terdapat pada gabungan dengan lingual tonsil dan permukaan lateral
lidah. Merupakan kelenjar mukus murni. Kelenjar serus (von ebner)
mengalir ke dalam saluran-saluran di sekeliling papilla circumvallata.
Kelenjar bukal dan labial ditemukan pada pipi dan bibir. Unit terminal
secretory mengandung sekresi mukus dan serus. Kelenjar palatinal
merupakan murni mukus dan ditemukan pada palatum lunak dan uvula, dan
di dalam regio posterolateral dari palatum keras. Kelenjar
glossopalatina merupakan mukus murni yang berlokasi di lipatan
glossopalatina (repository.usu.ac.id).
Pada kondisi istirahat rata-rata aliran saliva berkisar 0,3
ml/menit, nilai dibawah 0,1 ml/menit disebut hiposalivasi sedangkan
nilai diantara 0,1-0,25 ml/menit rendah, dan meningkat hingga sekitar
2,5-5 ml/menit bila ada stimulasi. Nilai normal untuk laju aliran
saliva yang ditimulasi adalah 1,0-3,0 ml/menit. Nilai dibawah 0,7
ml/menit disebut hiposalivasi dan nilai 0,7-1,0 ml/menit dikatakan
rendah. Kelenjar saliva terdiri dari dua kelenjar sekresi utama yaitu
sel serus dan sel mukus. Sel serus dan mukus berbeda dalam struktur
yang dapat dilihat secara histologi dengan menggunakan mikroskop
elektron, dan tipe dari komponen makromolekular yang dihasilkan dan
disekresikan. Umumnya sel serus menghasilkan protein dan glikoprotein,
sejumlah enzim, anti mikoba, ikatan kalsium, dan lainnya. Produk utama
dari sel mukus adalah mucin. Walaupun mucin juga merupakan
glikoprotein tetapi berbeda dari glikoprotein sel serus dalam struktur
proteinnya. Mucin menyebabkan saliva kental sehingga viskositasnya
lebih tinggi. Molekular tinggi mucin (MG1) dan molekular rendah mucin
(MG2) telah diisolasi dari karakteristik biokimia merupakan
glikpoprotein. MG1 dan MG2 adalah mucin yang dominan di dalam saliva,
memberikan perlindungan sebagai pelumas dan anti mikroba jaringan
mulut. MG1 terdapat pada acini mukus kelenjar submandibular,
sublingual, labial dan palatinal. Tempat sintesis MG2 kontroversial di
dalam acini mukus kelenjar submandibular dan labial, dan acini serus
di kelenjar submandibular, sublingual, labial, dan palatinal
(Amerongan, 1991)
Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu
cairan, kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan
hambatan untuk mengalir. Viskositas sangat dipengaruhi oleh suhu,
viskositas akan turun dengan naiknya suhu, konsentrasi dari suatu
larutan juga mempengaruhi viskositas, semakin tinggi konsentrasi
larutan maka viskositas semakin tinggi. Viskositas adalah suatu cara
untuk menyatakan berapa daya tahan dari aliran yang diberikan oleh
suatu cairan. Kebanyakan viskometer mengukur suatu kecepatan dari
suatu cairan mengalir melalui pipa gelas (gelas kapiler), bila cairan
itu mengalir cepat, maka berarti viskositas dari cairan itu rendah
(misalnya air). Dan cairan itu mengalir lambat, maka cairan itu
memiliki viskositas tinggi (misalnya madu). Viskositas dapat diukur
dengan mengukur laju aliran cairan yang melalui tabung berbentuk
silinder (repository.usu.ac.id).
Aksi saliva sebagai pelumas sangat penting untuk kesehatan
rongga mulut, yang memfasilitasi pergerakan lidah dan bibir selama
proses menelan dan makan, dan juga penting untuk memperjelas bicara.
Peran saliva sebagai pelumas yang melapisi mukosa dan membantu
melindungi jaringan mulut terhadap gesekan mekanis, panas dan iritasi
kimia. Nilai viskositas normal saliva manusia adalah 2,75-15,51
centipoise. Ada sekelompok besar bahan (seperti polimer, emulsi, dan
suspensi) dan biomaterial, seperti saliva yang tidak dapat dijelaskan
dengan sederhana viskositasnya. Viskositas saliva tergantung pada laju
geser dan waktu alir, sehingga saliva dapat digolongkan sebagai fluida
non-Newtonian. Cairan non-Newton adalah salah satu di mana viskositas
adalah fungsi beberapa variabel mekanis seperti tegangan geser atau
waktu alir. Cairan non-Newton merupakan cairan yang berubah seiring
waktu. Sifat-sifat saliva manusia disebabkan oleh glikoprotein saliva,
terutama mucin dengan berat molekul yang tinggi (MG1) yang
disekresikan oleh kelenjar sublingual, submandibular, dan palatal.
Perbedaan viskositas antara kelenjar sublingual dan submandibular
tidak disebabkan oleh perbedaan konsentrasi mucin yang dihasilkan oleh
masing-masing kelenjar melainkan jenis mucin yang dihasilkan. Mucin
memiliki peran multifungsi di dalam mulut yaitu sebagai pelumas
permukaan, perlindungan jaringan keras dan lunak serta lingkungan
eksternal, membantu dalam pengunyahan, bicara dan menelan (Amerongan,
1991).
Pentingnya viskositas saliva pada umumnya telah menjadi subyek
dari banyak penelitian dalam odontologi. Penurunan viskositas saliva
berhubungan dengan penurunan karies gigi, walaupun sulit untuk
memeriksa laju aliran dan viskositas secara independen satu dari yang
lain.1 Hal ini sering diasumsikan bahwa viskositas saliva terkait
langsung dengan faktor-faktor seperti berat padatan kering, protein
atau kandungan mucin, glikoprotein, dan komposisi protein yang kaya
prolin (repository.usu.ac.id).
B. Buffer Saliva
Salah satu fungsi dari saliva adalah saliva berfungsi sebagai
buffer. Buffer adalah suatu sistem kimiawi yang mencegah perubahan
konsentrasi zat kimia yang lain (Dorland, 2002). Buffer saliva
berfungsi untuk mempertahankan pH didalam rongga mulut agar tetap
stabil jika ditambahkan sejumlah asam atau basa. Di dalam saliva
terdapat kandungan anorganik seperti bikarbonat yang berfungsi
sebagai buffer utama didalam saliva. Selain itu juga yang berfungsi
sebagai buffer adalah fosfat, urea, dan protein. Bikarbonat memiliki
peran utama karena membantu melindungi jaringan keras dan lunak
terhadap kerusakan kimia oleh asam yang dihasilkan oleh bakteri
(repository.usu.ac.id). Faktor yang mempengaruhi pH dan kapasitas
buffer dalam saliva antara lain (digilib.unimus.ac.id ):
1. Irama siang dan malam
Terjadi perubahan pH dan kapasitas buffer pada keadaan:
a. Setelah bangun tidur ( setelah istirahat ) akan tinggi tetapi
kemudian cepat turun.
b. Seperempat jam setelah makan ( stimulasi mekanik ) akan tinggi
tetapi setelah 30 – 60 menit turun lagi.
c. Naik sampai malam tetapi setelah itu turun.
2. Diet
Diet juga mempengaruhi kapasitas buffer saliva, diet yang kaya
karbohidrat akan menurunkan kapasitas buffer, sedangkan diet kaya
sayuran dan diet kaya protein menaikkan pH saliva. Diet karbohidrat
akan menaikkan metabolisme produksi asam oleh bakteri dalam mulut,
sedangkan protein sebagai sumber makanan bakteri membangkitkan
pengeluaran zat – zat basa seperti amoniak.
3. Perangsangan kecepatan sekresi
C. Reaksi Reduksi Gula pada Saliva
Asam klorida adalah larutan akuatik dari gas hidrogen klorida
(HCl). Merupakan asam kuat. Asam klorida harus ditangani dengan
wewanti keselamatan yang tepat karena merupakan cairan yang sangat
korosif. Sedangkan natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang
menerima proton dari Na+. Basa ini mengandung unsur dari golongan
alkali, yakni Natrium (Na+). Ciri lain dari golongan alkali adalah
reduktor kuat dan mampu mereduksi asam, mudah larut dalam air,
merupakan penghantar arus listrik yang baik dan panas, urutan
kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya berat atom. NaOH
biasanya digunakan sebagai pelarut disebabkan kegunaan dan
efektifitasnya sangat banyak antara lain untuk menetralkan asam. NaOH
dihasilkan dari elektrolisis larutan NaCl dan merupakan basa kuat
(Ansori dalam Fauzan, 2001). NaOH sangat reaktif dalam bereaksi dengan
lautan asam, melebihi keperluan netralisasi akan bereaksi dengan
material fospatida. Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang
menerima proton dari Na+. Basa ini mengandung unsur dari golongan
alkali, yakni Natrium (Na+). Ciri lain dari golongan alkali adalah
reduktor kuat dan mampu mereduksi asam, mudah larut dalam air,
merupakan penghantar arus listrik yang baik dan panas, urutan
kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya berta atom
(Linggih, 1988).
D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva
Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai
katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi)
dalam suatu reaksi kimia organik (Smith et al, 1997). Zat-zat yang
diuraikan oleh reaksi disebut substrat, dan yang baru terbentuk dari
reaksi disebut produk. Spesifisitas enzim sangat tinggi terhadap
substratnya, dan enzim mempercepat reaksi kimia spesifik tanpa
pembentukan produk samping. Enzim ini bekerja dalam cairan larutan
encer, suhu, dan pH yang sesuai dengan kondisi fisiologis biologis.
Aktivitas enzim disebut juga sebagai kinetik enzim. Kinetik enzim
adalah kemampuan enzim dalam membantu reaksi kimia.
Tubuh manusia menghasilkan berbagai macam enzim yang tersebar di
berbagai bagian dan memiliki fungsi tertentu. Salah satu enzim yang
terdapat dalam saliva adalah enzim amilase. Saliva yang disekresikan
oleh kelenjar liur selain mengandung enzim amilase juga mengandung
99,5% air, glikoprotein, dan musin yang bekerja sebagai pelumas pada
waktu mengunyah dan menelan makanan. Amilase adalah suatu enzim dari
golongan hidrolase yang mengkalatalisis peristiwa hidrolisis ikatan α-
1,4-glucosidic dalam polisakarida, secara sederhana amilase memecah
ikatan pati menjadi bentuk yang lebih sederhana disakarida maupun
monosakarida (Dorland, 2002). Amilase terutama diproduksi dalam
Parotis, tetapi juga dalam SM (± 20%). Protein ludah Parotis terdiri
atas 25% amilase. Amilase dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan,
yaitu (Winarno, 1986):
a. α-amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari
bagian dalam molekul, karenanya disebut endoamilase.
a. β-amilase, yang menghidrolisis unit-unit gula dari ujung molekul
pati, karenanya disebut eksoamilase.
b. Glukoamilase, yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula
nonpereduksi substrat pati.
Bagan 1. Pengaruh enzim α-Amylase
(http://www.bem.fmipa.its.ac.id)
Aktivitas enzim ternyata dipengaruhi banyak faktor. Faktor-
faktor tersebut menentukan efektivitas kerja suatu enzim. Apabila
faktor pendukung tersebut berada pada kondisi yang optimum, maka kerja
enzim juga akan maksimal. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja
enzim (Harper et al, 1980):
1. Substrat – Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi. Apabila substrat
cocok dengan enzim maka kinerja enzim juga akan optimal.
2. pH (keasaman) – Enzim mempunyai kesukaan pada pH tertentu. Ada
enzim yang optimal kerjanya pada kondisi asam, namun ada juga yang
optimal pada kondisi basa. Namun kebanyakan enzim bekerja optimal
pada pH netral. Saliva yang mempunyai pH antara 6,0-7,4. Suatu
kisaran yang menguntungkan untuk kerja pencernaan dari α-amilase.
Enzim ini bekerja secara optimal pada pH 6,6 (Guyton dkk, 1997).
3. Waktu – Waktu kontak/reaksi antara enzim dan substrat menentukan
efektivitas kerja enzim. Semakin lama waktu reaksi maka kerja enzim
juga akan semakin optimum.
4. Konsentrasi atau jumlah enzim mempengaruhi karena konsentrasi enzim
berbanding lurus dengan efektivitas kerja enzim. Semakin tinggi
konsentrasi maka kerja enzim akan semakin baik dan cepat.
5. Suhu – Seperti juga pH. Semua enzim mempunyai kisaran suhu optimum
untuk kerjanya.
6. Produk Akhir – Reaksi enzimatis selalu melibatkan 2 hal, yaitu
substrat dan produk akhir. Dalam beberapa hal produk akhir ternyata
dapat menurunkan produktivitas kerja enzim.
E. Garam Ca pada Saliva
Komponen-komponen saliva yang dalam keadaan larut disekresi oleh
kelenjar saliva, dapat dibedakan atas komponen organik dan anorganik.
Komponen anorganik saliva antara lain Sodium, Kalsium, Kalium,
Magnesium, Bikarbonat, Khlorida, Rodanida dan Thiocynate (CNS),
Fosfat, Potassium dan Nitrat (www.repository.usu.ac.id). Kalsium
adalah unsur kimia dengan nomor atom Ca, simbol 20, dan memiliki
massa atom 40,078 Amu. Kalsium juga ion terlarut kelima paling
berlimpah dalam air laut oleh kedua molaritas dan massa, setelah
magnesium natrium, klorida, dan sulfat (Farndon, 2000). Kadar Kalsium
dan Fosfat dalam saliva sangat penting untuk remineralisasi email dan
berperan penting pada pembentukan karang gigi dan plak bakteri.
(www.repository.usu.ac.id)
2. Alat dan Bahan
A. Alat
"No "Nama Alat "Gambar "
"1 "pH indikator " "
" "universal " "
"2 "Beker Glass " "
"3 "Tabung reaksi " "
"4 "Gelas ukur " "
"5 "Piring porselen " "
"6 "Bunsen " "
"7 "Penjepit tabung " "
" "reaksi " "
Tabel 1. Alat Praktikum Saliva
B. Bahan
"No "Nama Bahan "Gambar "
"1 "Asam cuka encer " "
"2 "HCl 1 n " "
"3 "NaOH 1 n " "
"4 "Larutan K-oksalat " "
"5 "Larutan kanji 1% " "
"6 "Larutan Yodium " "
"7 "Larutan Benedict " "
"8 "Akuades " "
"9 "Kasa " "
"10 "Saliva " "
Tabel 2. Bahan Praktikum Saliva
3. Cara Kerja
A. Viskositas Saliva
1. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Pilih satu orang untuk menjadi probandus
3. Probandus diminta untuk berkumur dengan akuades beberapa kali
4. Selanjutnya probandus diminta untuk mengunyah-ngunyah kasa dengan
tujuan untuk memacu keluarnya saliva
5. Kumpulkan ludah yang keluar dalam gelas kecil yang tersedia
6. Tuangkan ludah ke dalam gelas ukur sambil diamati viskositasnya dan
untuk menyiapkan takaran ludah untuk percobaan selanjutnya
7. Gunakan ph indikator untuk mengetahui tingkat keasaman ludah
tersebut dengan mencelupkan bagian berwarna dari ph indikator ke
dalam ludah tadi
8. Tunggu beberapa detik lalu cocokkan perubahan warnanya dengan tabel
indikator warna pH
B. Buffer Saliva
1. Ambil 5 ml ludah dan masukkan kedalam tabung reaksi yang bersih.
2. Tambahkan 2 tetes larutan asam cuka kedalam tabung.
3. Tambahkan lagi 3 tetes larutan asam cuka pada menit kedua karena
belum terjadi endapan.
4. Amati proses prepitisasi yang terjadi.
5. Tuangkan ludah yang sudah diberi larutan asam cuka kedalam tabung
reaksi yang lain.
6. Perhatikan perubahan viskositas yang ada.
C. Reaksi Reduksi Gula pada Saliva
1. Mengambil 2 ml ludah dan masukan ke dalam tabung reaksi yang bersih.
2. Menambahkan ke dalam tabung reaksi 1 ml HCl.
3. Panasi tabung itu selama 10 menit, dalam suatu penangas air
mendidih.
4. Menetralkan dengan 1 tetes NaOH, kemudian ujilah untuk reaksi
reduksi gula dengan menambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut
sebanyak 10 ml larutan benedic dan panasi untuk beberapa menit.
5. Mengamati perubahan warna yang terjadi dalam tabung tersebut.
D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva
1. Aktivitas enzim amilase saliva dengan pemanasan.
a. Mengambil sebanyak 25 ml larutan kanji 1% dan masukkan ke dalam
gelas beker.
b. Menambahkan ke dalam gelas beker itu 10 ml ludah yang sudah
terlebih dahulu di panasi sampai suhu air mendidih selama 10
menit.
c. Menunggu kira-kira 3 menit, kemudian ambillah 5 tetes campuran
ludah-kanji dan masukkan ke dalam cekungan piringan porselen.
d. Menambahkan ke dalam cekungan porselen itu satu tetes larutan
yodium dan amati terjadinya warna biru pada campuran itu.
e. Mengulangi percobaan dengan interval 1 menit sampai reaksi
yodium dengan kanji menjadi negatif.
f. Mengambil sebanyak 5 ml campuran ludah-kanji dan masukkan ke
dalam tabung reaksi tersebut beberapa tetes asam cuka dan
beberapa tetes larutan K-oksalat. Amati perubahan yang terjadi
dalam tabung reaksi tersebut.
2. Aktivitas enzim amylase saliva tanpa pemanasan
a. Mengambil sebanyak 25 ml larutan kanji 1 % dan masukkan ke dalam
gelas beker.
b. Menambahkan ke dalam gelas beker tersebut 10 ml ludah dan
aduklah sampai tercampur rata kanji dengan ludah. Menunggu kira-
kira 3 menit, kemudian ambilah sedikit campuran ludah-kanji dan
masukkan ke dalam cekungan piringan porselen.
c. Menambahkan ke dalam cekungan porselen itu 1 tetes larutan
yodium dan amati terjadinya warna biru pada campuran itu.
d. Mengulangi percobaan dengan interval 1 menit sampai reaksi
yodium dan kanji menjadi negatif.
e. Mengambil sebanyak 5 ml campuran ludah-kanji dan masukkan ke
dalam tabung reaksi yang bersih.
f. Menambahkan sebanyak 10 ml dan panasi untuk beberapa menit.
Mengamati perubahan warna yang terjadi dalam tabung reaksi
tersebut.
E. Garam Ca pada Saliva
Uji untuk menunjukkan adanya garam Ca dalam ludah segar dapat
dikerjakan dengan cara sebagai berikut:
1. Ambillah 5ml ludah segar dan masukkan ke dalam tabung reaksi yang
bersih.
2. Tambahkan kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut dua tetes asam
cuka dan dua tetes larutan K-oksalat.
3. Amati perubahan yang terjadi dalam tabung reaksi tersebut.
4. Hasil Pengamatan
A. Viskositas Saliva
Pada percobaan didapatkan viskositas saliva serous dan pH
indikator universal menunjukkan warna yang mendeskripsikan tingkat
keasaman pH adalah 8 (basa).
Gambar 1. Hasil pH indikator
B. Buffer Saliva
Pada percobaan didapatkan perubahan viscositas pada saliva yang
telah diberi asam cuka. Viscositas saliva yang sebelumnya serous
berubah menjadi mucus setelah ditetesi dengan asam cuka. Ketika saliva
ditetesi dengan larutan asam cuka sebanyak 2 tetes, masih belum
terlihat adanya presipitasi (pengendapan) protein pada saliva,
sehingga diberi 3 tetes lagi larutan asam cuka, maka akan terlihat
butiran – butiran yang berwarna putih pada saliva meskipun tidak
begitu jelas.
Gambar 2. Presipitasi pada saliva
C. Reaksi Reduksi Gua pada Saliva
1. Setelah ditambahkan HCl, tidak ada perubahan yang terjadi, warna
saliva tetap.
2. Setelah dipanasi selama 10 menit, saliva menjadi jernih seperti air
dan busa menghilang.
3. Setelah dinetralkan dengan NaOH, tidak ada perubahan yang terjadi.
4. Setelah ditambahkan larutan benedic yang berwarna biru pekat, warna
saliva berubah menjadi biru.
5. Setelah dipanasi, warna saliva berangsur-angsur menjadi biru lebih
jernih dan muda.
6. Setelah dingin, terdapat endapan putih yang melayang-layang.
Gambar 3. Reaksi reduksi gula pada saliva
D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva
1. Aktivitas enzim amilase saliva dengan pemanasan.
5 tetes campuran ludah-kanji pada piringan porselen setelah di
tambahkan 1 tetes yodium pada menit pertama warnanya berubah menjadi
biru tua. Setelah terus di lakukan penetesan yodium dengan interval
1 menit selama 5 menit warnanya tetap biru tua tidak berubah.
Gambar 4. Amilase dengan pemanasan saliva menit 1
Gambar 5. Amilase dengan pemanasan saliva menit 2
2. Aktivitas Enzim Amilase Saliva Tanpa Dipanasi
Campuran saliva dan cairan kanji 1% memberikan warna biru
keunguan ketika pertama kali ditetesi larutan yodium dengan tampilan
bening, ini menunjukkan bahwa dalam kurang dari 3menit amilase telh
bereaksi memecahkan pati dan mengubahnya ke bentuk sederhana. Pada
tetesan kelima dengan waktu 5menit menghasilkan warna biru bening.
Pada percobaan uji gula setelah campuran kanji 1% dengan saliva
direaksikan dengan reagent benedict dan kemudian dipanaskan
memberikan tampilan yang berwarna biru, menandakan dalam kanji
terdapat gula pereduksi.
Gambar 6. Aktivitas enzim amylase
pada menit pertama
Gambar 7. Aktivitas enzim amylase
pada menit kelima
Gambar 8. Reaksi benedict
dan gula pereduksi pada
campuran saliva dan kanji
E. Garam Ca pada Saliva
Setelah semua cara kerja dilakukan, hasil pengamatan menunjukkan
bahwa saliva yang telah diberi asam cuka dan larutan K-oksalat tidak
mengalami perubahan warna. Hal ini terbukti dengansaliva yang telah
diberi asam cuka dan larutan K-oksalat warnanya sama dengan
sebelumnya. Satu hal yang berubah adalah pembentukkan endapan garam
berwarna putih yang tampak pada bagian dasar dari tabung reaksi dengan
jumlah yang sangat sedikit. Banyaknya endapan dapat dipengaruhi oleh
banyaknya asam cuka yang dipakai untuk menguji dan juga kandungan
makanan yang dikonsumsi oleh probandus. Pada praktikum garam Ca kali
ini , kelompok kami hanya menggunakan dua tetes asam cuka sehingga
garam yang terbentuk sedikit.
Gambar 9. Saliva yang telah diberi
asam cuka dan larutan K-oksalat
Gambar 10. Endapan garam Ca
pada dasar tabung reaksi
5. Analisa
A. Viskositas Saliva
Pada percobaan saliva, viskositas yang didapat adalah serous.
Hal tersebut terjadi karena dengan stimulus mekanis, kelenjar yang
aktif bekerja adalah kelenjar parotis yang menghasilkan sekret
bersifat serous. Berbeda halnya jika tidak mendapatkan stimulus, maka
kelenjar yang aktif adalah kelenjar submandibula yang menghasilkan
sekret serous dan mukus, tetapi lebih ke serous. Derajat keasaman
saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan rata-rata pH 6,7.
Namun, hasil yang di dapat adalah pH saliva 8 atau basa. Hal tersebut
terjadi karena beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan
pada pH saliva antara lain rata-rata kecepatan aliran saliva,
mikroorganisme rongga mulut, dan kapasitas buffer saliva.
B. Buffer Saliva
Pada percobaan saliva berfungsi sebagai buffer karena kandungan
yang terdapat dalam saliva ( fosfat, bikarbonat ) akan berikatan
dengan larutan asam cuka ( CH3COOH ) yang merupakan asam lemah,
sehingga nanti akan terbentuk suatu protein yang nantinya akan
terpresipitasi atau mengendap pada dasar tabung reaksi.
HO
C = O + Asam denaturasi Pengumpalan protein (
presipitasi )
R – HC
NH2
Bagan 1. Skema uji presipitasi (Patong, 2007)
Saat saliva diberi asam cuka, secara otomatis keadaan pH akan
terpengaruh secara tiba-tiba dan mempengaruhi kinerja dari enzim
tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya denaturasi enzim di mana
sifat enzimatik dan biologis dari enzim mengalami gangguan, sehingga
mengakibatkan terjadinya presipitasi protein yang akhirnya
mempengaruhi konsistensi atau viskositas dari saliva menjadi lebih
kental (mucous)
C. Reaksi Reduksi Gua pada Saliva
Pada percobaan terjadi perubahan warna dari biru pekat menjadi
biru jernih dan setelah didinginkan terdapat endapan putih yang
melayang-layang pada hasil reaksi reduksi gula pada saliva. HCl pada
reaksi ini menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
Galaktosa memiliki sifat mereduksi pereaksi Benedict. Setelah diuji
dengan Benedict, warna larutan seharusnya menjadi kuning keruh dan
terdapat endapan yang menandakan bahwa glukosa memiliki gugus reduksi
yang dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dan akan mengendap sebagai
Cu2O (Harper, 1979). Namun, pada percobaan, warna saliva setelah
dicampur dengan benedict dan dipanasi, tidak terdapat perubahan warna.
Warna saliva tetap biru, tetapi lebih jernih. Ada beberapa hal yang
mungkin menyebabkan warna saliva tetap, diantaranya yaitu perbandingan
larutan NaOH dan HCl yang tidak sesuai; volume larutan NaOh, HCl, dan
benedict yang kurang pada percobaan; kesalahan praktikan dalam
menentukan waktu pemanasan; atau kandungan saliva yang memang rendah
gula.
D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva
1. Aktivitas Enzim Amilase Saliva
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan mengenai pengujian
aktivitas enzim amilase dengan menggunakan reagent iodium dengan
perlakuan tanpa pemanasan saliva membuktikan bahwa amilase bekerja
pada kondisi suhu tertentu. Seperti yang telah dibahas sebelumnya
bahwa enzim memiliki kondisi khusus agar dapat bekerja, pada suhu
ruangan (tempat dilakukannya percobaan) merupakan suhu yang sesuai
bagi amilase untuk tetap dapat memecah pati menjadi disakarida
maupun monosakarida terbukti dengan warna yang biru bening setelah
ditetesi iodium.
Pada uji kandungan gula pereduksi menggunakan reagent benedict,
seharusnya dengan pencampuran reagent dan dpanaskan menunjukan
tampilan warna jingga. Namun pada saat dilakukannya percobaan tidak
menunjukkan hal tersebut, ini berarti dalam saliva dan larutan kanji
1% tersebut tidak terdapat glukosa. Bisa juga hal tersebut
disebabkan kesalahan praktikan, karena pemanasan dilakukan diatas
Bunsen, seharusnya pengujian gula pereduski oleh reagent benedict
menggunakan pemanasan waterbath sehingga pemanasan terjadi secara
perlahan keseluruh bagian dengan kecepatan panas yang terkontrol.
2. Aktivitas enzim amilase saliva dengan pemanasan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan mengenai pengujian
aktivitas enzim amilase dengan menggunakan reagent iodium dengan
perlakuan tanpa pemanasan saliva membuktikan bahwa enzim amilase
bekerja pada kondisi suhu tertentu. Penetesan dilakukan secara
berulang setiap satu menit sekali, sebenarnya disini suhu merupakan
salah satu faktor penentu efesiensifitas kerja enzim , enzim pada
dasarnya adalah senyawa biomolekular kompleks yang salah satu
komponennya adalah protein yang akan mengalami perubahan struktur
dan fungsi jika diberi perlakuan pemanasan. Sebaliknya suhu yang
rendah mampu mengganggu kerja enzim, hal ini dikarenakan semua
reaksi kimia khususnya yang berlangsung didalam tubuh memerlukan
suhu optimum yang dipersyaratkan untuk terjadinya reaksi , karena
suhu optimum ini akan membuat partikel-partikel atau molekul molekul
substrat atau reaktan menjadi lebih cepat sehingga banyak terjadi
tumbukan antar molekul substrat yang menghasikan produk, dan kerja
enzim didalam reaksi biokimiawi adalah menurunkan energi aktivasi
yang diperlukan oleh suatu substrat untuk mencapai keadaan
transisional. Jika suhu naik, maka benturan antara molekul
bertambah, sehingga reaksi kimia akan meningkat, dan sebaliknya.
Bila diberi perlakuan termal berlebihan dapat menyebabkan denaturasi
koenzim (kompenen enzim yang berupa protein). Denaturasi adalah
kerusakan struktural dari sebuah makromolekul (enzim amilase) yang
disebabkan beberapa faktor sehingga tidak dapat mengubah amilum
menjadi maltosa dengan produk antara berupa dekstrin. Akibatnya,
amilum yang bereaksi dengan indikator warna, larutan iodium, tetap
menghasilkan warna biru tua meskipun didiamkan dalam waktu yang
lama. Dalam saliva yang tidak dipanaskan, dihasilkan warna biru tua
yang makin lama makin jernih. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu
optimum, enzim amilase dapat menjalankan fungsinya, mengubah amilum
menjadi maltosa.
Pada percobaan kali ini dapat dilihat campuran ludah-kanji yg
sudah di tetesi yodium tidak berubah warna tetap biru tua, ini
menandakan bahwa enzim amilase tidak bekerja. Jadi karena pemanasan
yang berlebihan yaitu sampai suhu air mendidih pada saliva
menyebabkan fungsi katalitik enzim musnah juga kerusakan struktural
enzim yg dalam hal ini adalah enzim amilase.
E. Garam Ca pada Saliva
Setelah ditambahkan asam cuka dan larutan K-oksalat, maka
terbentuk endapan garam Ca pada dasar tabung. Hal ini membuktikan
bahwa saliva mengandung kalsium. Kalsium penting karena membantu dalam
remineralisasi enamel. Kalsium yang terdapat di dalam saliva yang
tidak distimulasi sekitar 1,4 mmol/l, sedangkan kadar kalsium di dalam
saliva yang distimulasi sekitar 1,7 mmol/l. Kalsium dalam bentuk ion
banyaknya sekitar 50 % dalam saliva dengan pembagian sekitar 40 %
bergabung dengan ion lain dan 10 % sisanya terikat dengan protein
saliva.
Konsentrasi kalsium dalam saliva dapat berubah-ubah pada
kecepatan aliran (flow) yang berbeda. Sewaktu konsentrasi kalsium
meningkat bersama kecepatan aliran pada saat sekresi, saliva akan
memiliki sejumlah kecil dari saliva submandibularis dan jumlah yang
lebih besar dari saliva parotis dengan kecepatan aliran yang tinggi.
Saliva parotis hanya mempunyai konsentrasi kalsium setengah dari yang
ada pada saliva submandibula (denticha.multiply.com).
Endapan garam Ca yang terdapat pada dasar tabung reaksi
disebakan oleh Ion Ca+ yang menggeser ion K+ yang pada kalium oksalat.
Peningkatan konsentrasi kalsium dapat menyebabkan terbentuknya
kalkulus. Kalkulus yang dahulu disebut tartar atau calcareous deposits
terdiri atas deposit plak yang termineralisasi , yang keras yang
menempel pada gigi. (Ogston dan F.J Harty, 1995). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa saliva mengandung kalsium. Kalsium pada saliva
berfungsi untuk remineralisasi enamel. Namun, pada keadaan tertentu,
apabila konsentrasi kalsium terlalu banyak, maka dapat menyebabkan
terjadinya kalkulus terutama di sisi lingual gigi insisivus bawah.
BAB III
KESIMPULAN
Viskositas saliva ketika mendapatkan stimulasi mekanik adalah serous
karena kelenjar yang aktif bekerja adalah kelenjar parotis yang sekretnya
bersifat serous. Sedangkan pH saliva yang didapat adalah 8 (basa), hal
tersebut terjadi karena faktor dari kapasitas buffer yang salah satunya
mengandung bikarbonat yang menentukan pH saliva. Saliva berfungsi sebagai
buffer, yaitu mempertahankan pH normal. Karena di dalam saliva mengandung
komponen anorganik seperti bikarbonat, fosfat yang berfungsi sebagai
buffer. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan viskositas saliva dari
encer ke kental ( mucous ) setelah ditambahkan asam cuka (CH3COOH).
Pengentalan ini terjadi karena adanya presipitasi protein , dari reaksi
saliva dan CH3COOH.
Pada percobaan terjadi perubahan warna dari biru pekat menjadi biru
jernih dan setelah didinginkan terdapat endapan putih yang melayang-layang
pada hasil reaksi reduksi gula pada saliva. Ada beberapa hal yang mungkin
menyebabkan warna saliva tetap biru setelah dicampur dengan benedic yang
berwarna biru, diantaranya yaitu perbandingan larutan NaOH dan HCl yang
tidak sesuai; volume larutan NaOh, HCl, dan benedict yang kurang pada
percobaan; kesalahan praktikan dalam menentukan waktu pemanasan; atau
kandungan saliva yang memang rendah gula.
Enzim amilase dapat memecah ikatan amilum kurang dari 3 menit dan
enzim amilase mudah rusak oleh pemanasan, hal ini apat diamati dengan
pengujian menggunakan reagent iodium.
DAFTAR PUSTAKA
Amerongan.1991.Ludah dan Kelenjar Ludah.Arti bagi kesehatan
gigi.Yogyakarta:Gajah Mada University Press
Dorland, WA Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.
Farndon, John. 2000.The Element: Calcium.New York:Marshall Cavendish
Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta:EGC
Harper, et al. 1980. Biokimia (Review of Physiological Chemistry) edisi 17.
Jakarta:EGC
Linder MC.1991. Nutritional biochemistry and metabolism. 2nd ed.
Connectitut. Appleton and Lange
Linggih, S. R dan P. Wibowo. 1988. Ringkasan Kimia. Bandung: Ganeca. Exact
Bandung ITB
Nolte WA. 1982. Oral microbiology with basic microbiology and immunology.
4th ed. Saint Louis: Mosby
Ogston R dan F.J Harty. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Patong, R. 2007. Penuntun Praktikum Biokimia. Makassar : Universitas
Hasanuddin.
Sherwood, Lauralee. 1996. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC
Smith AL (Ed) et al. 1997. Oxford dictionary of biochemistry and molecular
biology. Oxford [Oxfordshire]:Oxford University Press
http://denticha.multiply.com/journal/item/1
Diakses pada tanggal 30 April 2011
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20097/3/Chapter%20II.pdf
Diakses pada tanggal 30 April 2011
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-suwantoa2a-5186-
3-bab2.pdf
Diakses pada tanggal 30 April 2011
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/8585/1/000600052.pdf
Diakses pada tanggal 30 April 2011
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/45830361?extension=pdf&ft=13
04100697<=1304104307&uahk=ndw3Oz7l6wspGzYqWd3cuLe26IE
Diakses pada tanggal 30 April 2011
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19073/4/Chapter%20II.pdf
Diakses pada tanggal 30 April 2011