LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI PANGAN DAN PENGOLAHAN
Disusun Oleh :
Kelompok 01
Agus Rahmanto (H3114001)
Arsa Puspaningtyas (H3114011)
Desi Umi Solikah (H3114020)
Fauzi Imam .R. (H3114034)
Isti Windawati (H3114046)
PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
ACARA I
PENGAMATAN MIKROSKOPIS
Tujuan
Praktikum Pengamatan Mikroskopik ini bertujuan untuk mempelajari morfologi mikroba atau bentuk (kapang, khamir, bakteri) menggunakan mikroskop.
Tinjauan Pustaka
Jasad hidup yang ukurannya kecil sering disebut sebagai mikroba atau mikroorganisme atau jasad renik. Jasad renik disebut sebagai mikroba bukan hanya karena ukurannya yang kecil, sehingga sukar dilihat dengan mata biasa, tetapi juga pengaturan kehidupannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan jasad tingkat tinggi. Mata biasa tidak dapat melihat jasad yang ukurannya kurang dari 0,1 mm. Ukuran mikroba biasanya dinyatakan dalam mikron (μ), 1 mikron adalah 0,001 mm. Sel mikroba umumnya hanya dapat dilihat dengan alat pembesar atau mikroskop, walaupun demikian ada mikroba yang berukuran besar sehingga dapat dilihat tanpa alat pembesar (Sumarsih, 2003).
Tempe merupakan makanan hasil fermentasi tradisional berbahan baku kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut. Terjadinya degradasi komponen-komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor spesifik setelah fermentasi. Dalam sepotong tempe, terkandung berbagai unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin, enzim, daidzein, genestein serta komponen antibakteri dan zat antioksidan yang berkhasiat sebagai obat, diantaranya genestein, daidzein, fitosterol, asam fitat, asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease (Dwinaningsih, 2010).
Jamur merupakan jasad eukariot, yang berbentuk benang atau sel tunggal, multiseluler atau uniseluler. Sel-sel jamur tidak berklorofil, dinding sel tersusun dari khitin, dan belum ada diferensiasi jaringan. Jamur bersifat khemoorganoheterotrof karena memperoleh energi dari oksidasi senyawa organik. Jamur memerlukan oksigen untuk hidupnya (bersifat aerobik). Jamur benang terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang disebut miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan benang-benang tunggal. Badan vegetatif jamur yang tersusun dari filamen-filamen disebut thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan hifa vegetatif. Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu hifa tidak bersepta dan hifa bersepta. Rhizopus oligosporus termasuk kegolongan jamur phycomycetes yang termasuk jamur benang yang mempunyai hifa tidak bersepta, sel vegetatif multinukleat, atau disebut thalus soenositik (Sumarsih, 2003).
Berdasarkan morfologi, fungi dapat berupa filamen (filamentous fungi) atau sel tunggal (unicellular fungi). Filamentous fungi terbagi menjadi dua yaitu kapang (mold) dan cendawan (mushroom), sedangkan fungi yang berupa sel tunggal disebut khamir (yeast). Kapang merupakan filamentous fungi dan tersusun atas filamen-filamen yang disebut hifa. Contoh genus kapang dari filum Zygomycota yang umum ditemukan antara lain adalah Rhizopus. Rhizopus merupakan kapang yang dapat menghasilkan spora seksual dan aseksual. Spora seksual berupa zigospora terbentuk dari pertemuan dua hifa dengan matting type yang berbeda. Spora aseksual berupa sporangiospora berada dalam sporangium. Sporangium melekat pada sporangiofor, yaitu hifa yang menopang sporangium. Rhizopus memiliki hifa yang tidak bersekat (aseptate) dan memiliki struktur seperti akar yang disebut rhizoid (Listiandiani, 2011).
Khamir merupakan mikroba eukariot golongan Ascomycetes yang memiliki kandungan vitamin B dan protein. Khamir termasuk jamur bersel tunggal yang berkembang biak seperti organisme hidup. Seperti organisme hidup lainnya jamur membutuhkan kelembapan, air, albumen atau nitrogen dan gula untuk tetap hidup. Khamir biasanya berbentuk bulat, oval atau silinder dan ukuran diameter satu sel Sacharomyces cerevisiae adalah sekitar 8 μm (Ali et al., 2012).
Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis cendawan tergolong khamir yang bermanfaat untuk manusia dan ternak. Khamir ini tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembangbiak dengan membelah diri melalui "budding cell". Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah. Komposisi kimia S. cerevisiae terdiri atas protein kasar 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemase 4-5%, dan mineral 7-8%. S. cerevisiae mempunyai beberapa enzim yang mempunyai fungsi penting yaitu intervase, peptidase dan zimase. Enzim peptidase mempunyai 96 gen dan yang homolog inaktif sebanyak 32. Khamir S. cerevisiae dapat dimanfaatkan sebagai probiotik, prebiotik dan imunostimulan dan kegunaan lainnya di dalam meningkatkan produksi ternak (Ahmad, 2005).
Bentuk morfologi S. cerevisiae adalah sel berbentuk oval, berbau roti dan koloninya agak berlendir. Pertumbuhannya membutuhkan oksigen, sangat kecil dipengaruhi oleh perubahan pH, suhu optimum untuk tumbuh antara 22-300C dan toleran hingga 370C. Dilaporkan bahwa S. cerevisiae dapat tumbuh baik dalam media mengandung glukosa dengan konsentrasi 50-100mM (Kusmiati dkk., 2010).
Bakteri sangat beragam di alam ini serta terdapat dengan jumlah yang sangat banyak, untuk dapat tumbuh dan berkembang biak bakteri memiliki persyaratan tertentu baik dalam kebutuhan gizi dan fisik. Beberapa bakteri memiliki persyaratan hidup sederhana, sementara yang lain memiliki persyaratan kehidupan yang kompleks. Bakteri telah dikenal untuk menunjukkan resistensi terhadap beberapa antibiotik. Hal ini dapat menjadi sumber penting dari penyebaran resistensi terhadap patogen lain dari manusia atau hewan. Gen resistensi dari bakteri resisten terhadap antibiotik dapat ditularkan melalui kotoran manusia atau hewan untuk organisme lain di lingkungan (Meiloa et al., 2014).
Bakteri merupakan mikrobia prokariotik uniselular, termasuk klas Schizomycetes, berkembang biak secara aseksual dengan pembelahan sel. Cara hidup bakteri ada yang dapat hidup bebas, parasitik, saprofitik, patogen pada manusia, hewan dan tumbuhan. Habitatnya tersebar luas di alam, dalam tanah, atmosfer (sampai + 10 km diatas bumi), di dalam lumpur, dan di laut. Bakteri mempunyai bentuk dasar bulat, batang, dan lengkung. Bentuk bakteri juga dapat dipengaruhi oleh umur dan syarat pertumbuhan tertentu. Bakteri dapat mengalami involusi, yaitu perubahan bentuk yang disebabkan faktor makanan, suhu, dan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi bakteri. Selain itu dapat mengalami pleomorfi, yaitu bentuk yang bermacam-macam dan teratur walaupun ditumbuhkan pada syarat pertumbuhan yang sesuai. Umumnya bakteri berukuran 0,5-10 μ. Beberapa sel bakteri Pseudomonas hanya berukuran 0,4-0,7μ diameternya dan panjangnya 2-3μ. Sel ini tidak mempunyai organela seperti mitokondria, khloroplas dan aparat golgi. Bakteri ini termasuk tipe sel prokariotik. Sel bakteri Pseudomonas mempunyai bentuk dasar batang dan termasuk bakteri gram negatif aerobik (grup 7) (Sumarsih, 2003).
Bakteri termasuk kelompok terbesar mikroorganisme. Kebanyakan masyarakat sering menganggap mereka hanya sebagai kuman yang membahayakan mereka. Namun sebenarnya, hanya sejumlah kecil dari jenis bakteri patogen (dapat menyebabkan penyakit). Sebagian besar tidak berbahaya dan banyak yang membantu. Sedangkan yeast merupakan mikroorganisme bersel tunggal. Mereka adalah anggota dari keluarga jamur. Yeast berkembang pada berbagai jenis makanan. Tapi kebanyakan ragi dapat hanya hidup pada gula dan pati. Maka dari itu, mereka menghasilkan gas karbondioksida dan alkohol. Mereka telah berguna bagi manusia selama berabad-abad dalam produksi makanan dan minuman tertentu. Mereka bertanggung jawab untuk mengembangkan adonan roti dan fermentasi anggur, wiski, brendi dan bir. Mereka juga berperan dalam produksi cuka (Hurst et al., 1996).
Metodologi
Alat
Jarum preparat (ose)
Gelas Benda
Gelas Penutup
Mikroskop
Bunsen
Bahan
Alkohol
Biakan murni kapang dari tempe
Biakan murni khamir Saccharomyces cerevisiae
Biakan murni bakteri Pseudomonas
Larutan mounting medium laktofenol
Cara Kerja
Penetesan larutan Pengambilan dengan jarum preparat dan kemudian peletakkan di atas gelas bendapreparatPembersihan gelas bendaPemisahan dengan jarum preparat jika jamur mengumpulPenutupan dengan gelas penutup Pengamatan dengan mikroskop AlkoholLarutan LaktofenolKapang Penetesan larutan Pengambilan dengan jarum preparat dan kemudian peletakkan di atas gelas bendapreparatPembersihan gelas bendaPemisahan dengan jarum preparat jika jamur mengumpulPenutupan dengan gelas penutup Pengamatan dengan mikroskop AlkoholLarutan LaktofenolKapang Pengamatan Morfologi Kapang
Penetesan larutan
Pengambilan dengan jarum preparat dan kemudian peletakkan di atas gelas benda
preparat
Pembersihan gelas benda
Pemisahan dengan jarum preparat jika jamur mengumpul
Penutupan dengan gelas penutup
Pengamatan dengan mikroskop
Alkohol
Larutan Laktofenol
Kapang
Penetesan larutan
Pengambilan dengan jarum preparat dan kemudian peletakkan di atas gelas benda
preparat
Pembersihan gelas benda
Pemisahan dengan jarum preparat jika jamur mengumpul
Penutupan dengan gelas penutup
Pengamatan dengan mikroskop
Alkohol
Larutan Laktofenol
Kapang
Pengamatan Morfologi Bakteri dan Khamir
Pengamatan preparat basah dengan mikoskop Pengamatan morfologi bakteri atau khamir dan penggambaranAlkoholPembersihan gelas benda Penetesan ke atas gelas objek dengan menggunakan jarum osePenutupan dengan gelas penutupBiakan bakteri atau khamirPengamatan preparat basah dengan mikoskop Pengamatan morfologi bakteri atau khamir dan penggambaranAlkoholPembersihan gelas benda Penetesan ke atas gelas objek dengan menggunakan jarum osePenutupan dengan gelas penutupBiakan bakteri atau khamir
Pengamatan preparat basah dengan mikoskop
Pengamatan morfologi bakteri atau khamir dan penggambaran
Alkohol
Pembersihan gelas benda
Penetesan ke atas gelas objek dengan menggunakan jarum ose
Penutupan dengan gelas penutup
Biakan bakteri atau khamir
Pengamatan preparat basah dengan mikoskop
Pengamatan morfologi bakteri atau khamir dan penggambaran
Alkohol
Pembersihan gelas benda
Penetesan ke atas gelas objek dengan menggunakan jarum ose
Penutupan dengan gelas penutup
Biakan bakteri atau khamir
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1.1 Gambar Pengamatan Mikroskopis
Kel
Jenis
Gambar
Keterangan
1.
Kapang Rhizopus oligosporus
A A A
B
Perbesaran 10x10 Perbesaran 100x10 Perbesaran 100x10
Hifa
Spora
2.
Khamir Saccharomyces cerevisiae
A A A
Perbesaran100x10 Perbesaran100x10 Perbesaran100x10
Sel khamir
3.
Kapang Rhizopus oligosporus
A A B
Perbesaran100x10 Perbesaran100x10 Perbesaran100x10
Sel bakteri berbentuk coccus
Sel bakteri berbentuk basil
Sumber: Laporan Sementara
Menurut Sumarsih (2003), jasad hidup yang ukurannya kecil sering disebut sebagai mikroba atau mikroorganisme atau jasad renik. Sel mikroba umumnya hanya dapat dilihat dengan alat pembesar atau mikroskop, walaupun demikian ada mikroba yang berukuran besar sehingga dapat dilihat tanpa alat pembesar. Pada praktikum Acara I Pengamatan Mikroskopis ini bertujuan mempelajari morfologi mikroba atau bentuk (kapang, khamir, bakteri) menggunakan mikroskop. Sedangkan untuk prinsip kerjanya yaitu mengamati morfologi mikroba dan mengklasifikasi struktur bentuknya (kapang, khamir, bakteri) dengan menggunakan mikroskop.
Pada praktikum Acara 1 Pengamatan Mikroskopis ini menggunakan mikroskop listrik. Menurut Mariyana (2012), langkah-langkah dalam menggunakan mikroskop pertama-tama mikroskop diletakkan pada meja yang sesuai, untuk memudahkan pengamatan melalui tabung mikroskop. Pencahayaan diatur dengan mengarahkan bagian cermin pada mikroskop pada datangnya sumber matahari (pada mikroskop konvensional, sumber cahaya masih berasal dari sinar matahari yang dipantulkan dengan suatu cermin datar ataupun cekung yang terdapat dibawah kondensor, cermin ini akan mengarahkan cahaya dari luar ke dalam kondensor, sedangkan pada pengamatan ini menggunakan mikroskop modern yang sudah dilengkapi lampu sebagai pengganti sumber cahaya matahari). Kemudian menggunakan lensa objektif paling rendah untuk dapat melihat objek preparat. Kemudian objek glass diletakkan beserta sediaan yang telah ditutup dengan cover glass pada meja objek. Objek glass dijepitkan dengan penjepit yang terletak di atas meja objek. Sambil melihat dari samping, lensa objektif diturunkan perlahan dengan menggunakan pengatur kasar (makrometer) hingga jarak lensa objektif dengan preparat yang akan diamati 5 mm. Hal tersebut dilakukan hingga preparat terlihat jelas. Setelah preparat terlihat jelas, pemutar halus (mikrometer) digunakan dengan menaik turunkan lensa objektif agar tepat pada fokus lensa sehingga preparat terlihat lebih jelas. Untuk mendapatkan perbesaran yang lebih kuat, lensa objektif diubah dengan cara mengatur revolver, dan diusahakan agar preparat tidak bergeser.
Bahan yang digunakan pada pengamatan ini diantaranya yaitu biakan murni kapang Rhizopus oligosporus pada tempe, biakan murni khamir Saccharomyces cerevisiae, dan biakan murni bakteri Pseudomonas. Pada pengamatan kapang yang dilakukan oleh kelompok 1, 2 dan 3 dengan perbesaran mikroskop 10x10, 100x10, dan 40x10 sesuai dengan hasil pengamatan diperoleh gambar seperti yang terdapat pada Tabel 1.1 terlihat jelas bentuk hifa dari kapang Rhizopus oligosporus dari ketiga sampel tersebut. Menurut Listiandiani (2011), Rhizopus memiliki hifa yang tidak bersekat (aseptate) dan memiliki struktur seperti akar yang disebut. Hasil tersebut didapatkan dengan cara pengamatan yang diawali dengan mengambil kapang dari tempe (benang-benang putih pada tempe) dengan menggunakan jarum ose. Pengambilan didapatkan kapang yang setipis mungkin agar pengamatan mudah dilakukan, kemudian diletakkan pada gelas benda yang sudah dibersihkan dengan alkohol kemudian ditutup dengan gelas penutup lalu diamati dengan mikroskop.
Pada pengamatan khamir yang dilakukan oleh kelompok 4, 5 dan 6 dengan perbesaran mikroskop 100x10, sesuai dengan hasil pengamatan diperoleh gambar seperti yang terdapat pada Tabel 1.1 terlihat jelas bentuk sel khamir dari khamir Saccharomyces cerevisiae. Terlihat bentuk bulat telur dan berdekatan antara satu dengan yang lainnya dengan perbesaran 100x10. Hasil tersebut didapatkan dengan cara pengamatan yang diawali dengan mengambil khamir dengan menggunakan pipet, kemudian diletakkan pada gelas benda yang sudah dibersihkan dengan alkohol kemudian ditutup dengan gelas penutup lalu diamati dengan mikroskop. Hasil pengamatan sesuai dengan teori dari Ahmad (2005), khamir ini tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Saccharomyces cerevisiae pada penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah.
Pada pengamatan bakteri oleh kelompok 7, 8, dan 9 digunakan biakan dari Pseudomonas dengan cara pengamatan yang diawali dengan pengambilan bakteri menggunakan pipet, kemudian diletakkan pada gelas benda yang sudah dibersihkan dengan alkohol kemudian ditutup dengan gelas penutup lalu diamati dengan mikroskop. Pada hasil pengamatan terlihat sel bakteri berbentuk coccus dan ada juga yang sel bakteri berbentuk basil dengan perbesaran ketiga kelompok adalah 100x10. Sedangkan menurut teori Sumarsih (2003), beberapa sel bakteri Pseudomonas mempunyai bentuk dasar batang.
Kegunaan laktofenol dalam pengamatan morfologi kapang menurut Haw et al., (2013), pemberian laktofenol berfungsi untuk pewarnaan agar mudah ketika diamati pada mikroskop. Sedangkan kegunaan minyak imersi dalam pengamatan bakteri dan khamir menurut Ajao et al., (2010), berfungsi memperjelas objek bakteri dan khamir tersebut. selain itu minyak imersi juga dapat digunakan untuk melindungi mikroskop itu sendiri.
Menurut Listiandiani (2011), kapang merupakan fungi yang berasal dari filum Ascomycota dan Zygomycota. Karakter utama yang membedakan kapang dari kedua filum tersebut adalah struktur alat reproduksi seksual atau spora seksual. Spora seksual dari Ascomycota disebut askospora, sedangkan spora seksual dari Zygomycota disebut zigospora. Apabila ditemukan struktur spora seksual, maka kapang tersebut berada pada fase teleomorf, sedangkan apabila hanya ditemukan struktur spora aseksual maka kapang tersebut berada pada fase anamorf. Apabila hanya terdapat struktur hifa dan tidak ditemukan struktur spora, maka kapang tersebut merupakan hifa steril. Kapang tersusun atas filamen-filamen yang disebut hifa. Hifa dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya septum atau sekat. Hifa yang bersekat merupakan karakteristik dari fungi tingkat tinggi (higher fungi) yaitu fungi dari filum. Hifa yang memiliki sekat disebut juga hifa septate. Sekat membagi hifa menjadi kompartemen-kompartemen, dan di dalam setiap kompartemen terdapat satu inti sel. Sebaliknya, hifa yang tidak memiliki sekat dimiliki oleh fungi tingkat rendah (lower fungi), yaitu dari filum Zygomycota. Hifa yang tidak bersekat disebut hifa aseptate, memiliki sejumlah inti sel yang tersebar di dalam sitoplasma sehingga disebut juga hifa coenocytic. Hal-hal lain yang harus diamati pada hifa adalah pigmentasi, yaitu dapat berpigmentasi hialin (tidak berwarna) atau gelap, dan perhitungan lebar hifa. Berdasarkan morfologi, fungi dapat berupa filamen (filamentous fungi) atau sel tunggal (unicellular fungi). Filamentous fungi terbagi menjadi dua yaitu kapang (mold) dan cendawan (mushroom), sedangkan fungi yang berupa sel tunggal disebut khamir (yeast). Kapang merupakan filamentous fungi dan tersusun atas filamen-filamen yang disebut hifa. Contoh genus kapang dari filum Zygomycota yang umum ditemukan antara lain adalah Rhizopus. Rhizopus merupakan kapang yang dapat menghasilkan spora seksual dan aseksual. Spora seksual berupa zigospora terbentuk dari pertemuan dua hifa dengan matting type yang berbeda. Spora aseksual berupa sporangiospora berada dalam sporangium. Sporangium melekat pada sporangiofor, yaitu hifa yang menopang sporangium. Rhizopus memiliki hifa yang tidak bersekat (aseptate) dan memiliki struktur seperti akar yang disebut rhizoid.
Menurut Sumarsih (2003), khamir atau disebut yeast, merupakan jamur bersel satu yang mikroskopik, tidak berflagela. Beberapa genera membentuk filamen (pseudomiselium). Cara hidupnya sebagai saprofit dan parasit. Hidup di dalam tanah atau debu di udara, tanah, daun-daun, nektar bunga, permukaan buah-buahan, di tubuh serangga, dan cairan yang mengandung gula seperti sirup, madu dan lain-lain. Khamir berbentuk bulat (speroid), elips, batang atau silindris, seperti buah jeruk, sosis, dan lain-lain. Bentuknya yang tetap dapat digunakan untuk identifikasi. Khamir dapat dimasukkan ke dalam klas Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes. Perkembang biakan sel khamir dapat terjadi secara vegetatif maupun secara generatif (seksual). Secara vegetatif (aseksual), (a) dengan cara bertunas (Candida sp., dan khamir pada umumnya), (b) pembelahan sel (Schizosaccharomyces sp.), dan (c) membentuk spora aseksual (klas Ascomycetes). Secara generatif dengan cara konjugasi (reproduksi seksual). Konjugasi khamir ada 3 macam, yaitu (a) konjugasi isogami (Schizosaccharomyces octosporus), (b) konjugasi heterogami (Zygosaccharomyces priorianus), dan konjugasi askospora pada Zygosaccharomyces sp. dan Schizosaccharomyces sp. (sel vegetatif haploid), serta pada Saccharomyces sp., dan Saccharomycodes sp. (sel vegetatif diploid). Menurut Ali et al., (2012), khamir merupakan mikroba eukariot golongan ascomycetes.
Bentuk morfologi S. cerevisiae menurut teori Kusmiati dkk., (2010), khamir ini memiliki sel berbentuk oval, berbau roti dan koloninya agak berlendir. Pertumbuhannya membutuhkan oksigen, sangat kecil dipengaruhi oleh perubahan pH, suhu optimum untuk tumbuh antara 22-300C dan toleran hingga 370C. Dilaporkan bahwa S. cerevisiae dapat tumbuh baik dalam media mengandung glukosa dengan konsentrasi 50-100mM .
Dalam teori Sumarsih (2003), bakteri merupakan mikrobia prokariotik uniselular, termasuk klas Schizomycetes, berkembang biak secara aseksual dengan pembelahan sel. Cara hidup bakteri ada yang dapat hidup bebas, parasitik, saprofitik, patogen pada manusia, hewan dan tumbuhan. Habitatnya tersebar luas di alam, dalam tanah, atmosfer (sampai + 10 km diatas bumi), di dalam lumpur, dan di laut. Bakteri mempunyai bentuk dasar bulat, batang, dan lengkung. Bentuk bakteri juga dapat dipengaruhi oleh umur dan syarat pertumbuhan tertentu. Bakteri dapat mengalami involusi, yaitu perubahan bentuk yang disebabkan faktor makanan, suhu, dan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi bakteri. Selain itu dapat mengalami pleomorfi, yaitu bentuk yang bermacam-macam dan teratur walaupun ditumbuhkan pada syarat pertumbuhan yang sesuai. Umumnya bakteri berukuran 0,5-10 μ. Beberapa sel bakteri Pseudomonas diameternya hanya berukuran 0,4-0,7μ dan panjangnya 2-3μ. Sel ini tidak mempunyai organela seperti mitokondria, khloroplas dan aparat golgi. Bakteri ini termasuk tipe sel prokariotik. Sel bakteri Pseudomonas mempunyai bentuk dasar batang dan termasuk bakteri gram negatif aerobik (grup 7).
Bakteri berkembang biak melalui pembelahan biner (aseksual) dimana dari satu sel membelah menjadi dua sel yang identik. Beberapa bakteri membentuk struktur reproduktif yang lebih kompleks yang memfasilitasi penguraian dua sel yang baru terbentuk. Pertumbuhan bakteri yang terkrontol akan melewati tiga fase yang berbeda. Kultur bakteri biasanya dimulai dengan inokulasi satu koloni bakteri ke dalam media cair. Segera setelah itu pertumbuhan bakteri masuk ke dalam fase pertama, yaitu lag phase. Fase kedua adalah log phase (fase logaritmik), dikenal juga dengan fase eksponensial, yang ditandai dengan petumbuhan yang sangat cepat secara eksponensial. Selama log phase, nutrisi dicerna pada kecepatan maksimal sampai semuanya habis. Lalu, masuklah koloni tersebut ke dalam fase ketiga, fase stasioner. Fase ini ditandai dengan habisnya nutrisi yang tersedia (W.U Prasetyo, 2009).
Perbedaan bakteri dan khamir menurut teori Hurst et al., (1996), bakteri termasuk kelompok terbesar mikroorganisme. Kebanyakan masyarakat sering menganggap mereka hanya sebagai kuman yang membahayakan mereka. Namun sebenarnya, hanya sejumlah kecil dari jenis bakteri patogen (dapat menyebabkan penyakit). Sebagian besar tidak berbahaya dan banyak yang membantu. Sedangkan yeast merupakan mikroorganisme bersel tunggal. Mereka adalah anggota dari keluarga jamur. Yeast berkembang pada berbagai jenis makanan. Tapi kebanyakan ragi dapat hanya hidup pada gula dan pati. Maka dari itu, mereka menghasilkan gas karbondioksida dan alkohol. Mereka telah berguna bagi manusia selama berabad-abad dalam produksi makanan dan minuman tertentu. Mereka bertanggung jawab untuk mengembangkan adonan roti dan fermentasi anggur, wiski, brendi dan bir. Mereka juga berperan dalam produksi cuka.
Sedangkan perbedaan bakteri dan khamir menurut teori Sumarsih (2003), bakteri merupakan mikrobia prokariotik uniselular, termasuk klas Schizomycetes, berkembang biak secara aseksual dengan pembelahan sel. Bakteri tidak berklorofil kecuali beberapa yang bersifat fotosintetik. Berbeda dengan khamir, khamir termasuk golongan jamur bersel satu yang mikroskopik, tidak berflagela. Jamur merupakan jasad eukariot. Beberapa genera membentuk filament (pseudomiselium). Perkembangbiakan sel khamir dapat terjadi secara vegetatif maupun secara generatif (seksual). Selain itu berdasarkan pertumbuhannya sel khamir dapat memproduksi beberapa spora. Sebaliknya satu sel bakteri dapat memproduksi satu spora atau pada umumnya bakteri dapat memperbanyak diri dengan pembelahan biner, yaitu dari satu sel membelah menjadi 2 sel baru, maka pertumbuhan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel.
Batas praktis perbesaran yang dapat dicapai oleh mikroskop medan terang terbaik ialah kurang lebih 1000 x. Faktor yang mempengaruhi pengamatan secara mikroskopis adalah resolusi atau tajamnya bayangan yang terlihat pada perbesaran maksimum akan bergantung terutama pada pengaturan diafragma, kondensor, minyak imersi dan factor-faktor lain. Penyetelan yang sembrono akan menyebabkan penyimpangan bayangan yang terbentuk. Obyektif celup minyak memberikan perbesaran tertingi. Ujung lensa ini sangat kecil dan hanya sedikit saja cahaya yang dapat memasukinya. Inilah mengapa diafragma iris kondensor harus digunakan dalam keadaan terbuka penuh dan penghematan cahaya dilakukan dengan bantuan minyak celup yang mempunyai indeks bias sama seperti kaca. Minyak imersi memenuhi ruangan antara obyek dan lensa obyektif sehingga menghindarkan hilangnya cahaya. Bila lensa difokuskan pada suatu benda maka daua titik terpisah pada benda tersebut sesungguhnya membentuk dua bayangan tetapi dapat tampak sebagai satu titik saja akibat difraksi (difraksi terjadi karena lensa mempunyai tingkap atau aperture yang terbatas). Resolusi suatu lensa ialah kemampuan lensa memisahkan kedua bayangan tersebut diatas sebagai satuan-satuan terpisah. Kondensor adalah system lensa pengumpulan cahaya di bawah pentas yang memusatkan cahaya yang tersedia pada spesimen. Manipulasi kondensor dan difragma iris sebagaimana mestinya penting untuk memperoleh kontras, kedalaman medan, dan daya pisah optimum karena kondensor dirancang sedemikian sehingga berfunsi memusatkan semua berkas cahaya pada specimen, maka harus dijaga agar kondensor selalu terletak pada posisi tertinggi. Diturunkannya letak kondensor mengurangi tingkap numeris efektif dengan akibat berkurangnya daya pisah obyektif celup minyak (Hadioetomo, 1993).
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Berdasarkan pengamatan, bentuk morfologi kapang Rhizopus oligosporus terlihat jelas terdapat hifa dan sporanya, bentuk morfologi khamir Saccharomyces cerevisiae terdapat sel khamir yang berbentuk bulat telur, dan bentuk morfologi bakteri Pseudomonas adalah terlihat sel bakteri berbentuk coccus dan sel bakteri berbentuk basil.
Berdasarkan teori, Rhizopus memiliki hifa yang tidak bersekat (aseptate) dan memiliki struktur seperti akar yang disebut rhizoid.
Bentuk morfologi S. Cerevisiae berdasarkan teori, khamir ini secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya serta pada penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah.
Berdasarkan teori, bakteri Pseudomonas diameternya hanya berukuran 0,4-0,7μ dan panjangnya 2-3μ, selnya tidak mempunyai organela seperti mitokondria, khloroplas dan aparat golgi, mempunyai bentuk dasar batang dan termasuk bakteri gram negatif aerobik (grup 7).
Saran
Saran yang dapat disampaikan untuk hasil praktikum Acara I Pengamatan Mikroskopis adalah kapang yang digunakan seharusnya lebih tipis lagi agar terlihat lebih jelas, sehingga tidak hanya hifa saja yang dapat terlihat melainkan spora dan sporingiofor juga bisa dilihat dari setiap kapang kelompok 1,2, dan 3.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Riza Zainuddin. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae untuk Ternak. Jurnal Wartazoa Vol. 15, No. 1, Hal. 49-51.
Ajao, Moyosore Salihu., Olatunbosun Olaleye and Amadi Ogonda Ihunwo. 2010. Melatonin Potentiates Cells Proliferation in the Dentate Gyrus Following Ischemic Brain Injury in Adult Rats. Journal of Animal and Veterinary Advances Vol. 9, No. 11, Hal. 1633-1638.
Ali, Akbar., Aamir Shehzad., Moazzam Rafiq Khan., Muhammad Asim Shabbir dan Muhammad Rizwan Amjid. 2012. Yeast, Its Types and Role In Fermentation During Bread Making Process-A Review. Pakistan Journal of Food Sciences Vol. 22, No. 3, Hal. 171-179.
Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak serta Variasi Lama Fermentasi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Hadioetomo, Ratna Siri. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. PT Gramedia. Jakarta.
Haw, Boon Ping., Ismail Asma., Ong Eugene and Sreenivasan Sasidharan. 2013. Phenotyping Identification of Candida albicans for the Production of In House Helicase for Nucleic Acid-Based Detections for Fast Diagnosis. Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences Vol. 4, No. 2, Hal. 576-583.
Hurst, William C., James A. Christian and George A. Schuler. 1996. What are Bacteria, Yeasts and Molds?. Issued in furtherance of Cooperative Extension work (1-6).
Kusmiati. Ahmad Thontowi dan Sukma Nuswantara. 2010. Efek Sumber Karbon terhadap Produksi a-Glukan oleh Saccharomyces cerevisiae pada Fermentor Air Lift. Jurnal Natur Indonesia Vol. 13, No. 2, Hal. 138-146.
Listiandiani, Kirana. 2011. Identifikasi Kapang Endofit ES1, ES2, ES3, Dan ES4 dari Broussonetia Papyrifera Vent. dan Pengujian Aktivitas Antimikroba. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Biologi Hal. 1-80.
Mariyana, Ana. 2012. Pengaruh Penguasaan Penggunaan Mikroskop terhadap Nilai Praktikum IPA Materi Pokok Organisasi Kehidupan pada Siswa Kelas VII di MTS Negeri Ketanggungan Brebes Tahun Pelajaran 2011-2012. Institut Agama Islam Negeri Walisongo. Semarang.
Mailoa, Meigy Nelce., Meta Mahendradatta., Amran Laga and Natsir Djide. 2014. Effectiveness of Tannins Extract From Leaf Guava (Psidium Guajava L) On The Growth and Damage Of Cell Morphology Escherichia coli. International Journal of Advanced Research Vol. 2, No.1, Hal. 908-914.
W.U Prasetya, Tommie. 2009. Pola Resistensi Bakteri dalam Darah Terhadap Kloramfenikol, Trimethoprim/Sulfametoksazol, dan Tetrasiklin di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LKM FKUI) pada Tahun 2001-2006. Skripsi Fakultas Kedokteran Hal. 1-21.
Sumarsih, Sri. 2003. Mikrobiologi Dasar. Fakultas Pertanian UPN "Veteran" Yogyakarta. Yogyakarta.
LAMPIRAN GAMBAR
Pengamatan pada kapang (Rhizopus oligosporus)
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Perbesaran 10x10 Perbesaran 100x10 Perbesaran 40x10
Pengamatan pada khamir (Saccharomyces cerevisiae)
Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6
Perbesaran 100x10 Perbesaran 100x10 Perbesaran 100x10
Pengamatan pada bakteri (Pseudomonas)
Kelompok 7 Kelompok 8 Kelompok 9
Perbesaran 100x10 Perbesaran 100x10 Perbesaran 100x10
ACARA II
PREDOMINASI MIKROBA DALAM BAHAN PANGAN
TUJUAN
Tujuan praktikum Acara II Predominasi Mikroba Dalam Bahan Pangan adalah untuk mempelajari pengaruh jenis bahan pangan terhadap jenis mikroba yang tumbuh spontan padanya.
TINJAUAN PUSTAKA
Bahan makanan merupakan sumber gizi bagi manusia tetapi juga merupakan salah satu sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menguntungkan maupun merugikan, seperti menyebabkan perubahan yang menguntungkan, perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan dan kerusakan bahan pangan (Siagian, 2002).
Susu adalah makanan bergizi bagi manusia. Susu juga berfungsi sebagai media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme seperti Staphylococcus dan Coliform. Bakteri kontaminasi susu mentah dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk susu mentah kualitas rendah, pendinginan yang tidak tepat dan sistem kemasan yang tidak memadai. Susu mentah akan mengalami pembusukan dalam beberapa hari jika disimpan pada suhu udara bebas tepatnya memiliki umur simpan sekitar tujuh hari. Beberapa mikroba seperti gram negatif Psychrotrophs, Coliforms dan patogen lainnya bakteri seperti Escherichia Coli, Staphylococcus aureus mungkin juga ditemukan dalam susu (Salman, 2013).
Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak, terutama ikan segar. Ciri-ciri ikan segar antara lain mata jernih, kornea bening, pupil hitam, mata cembung, dan insang merah segar. Jika kualitasnya menurun, insang berwarna keabuan, berlendir dan berbau, sisik melekat kuat, mengkilap dan tertutup lendir jernih, aroma berbau khas ikan. Jika ikan tidak segar lagi, berbau busuk dan biasanya akan mengapung jika diletakkan dalam air. Proses pembusukan ikan oleh bakteri dan fungi dapat dihambat dengan penyimpanan ikan pada suhu 0oC atau lebih rendah lagi. Penyimpanan pada suhu beku dapat menghancurkan mikroba-mikroba pembusuk. Pada suhu dingin dan beku terjadi kenaikan konsentrasi padatan intraseluler sehingga mengakibatkan perubahan sifat fisik dan kimia sel-sel bakteri dan fungi penyebab busuk (Siburian, 2012).
Jahe dikenal sebagai rempah-rempah dan juga mengandung senyawa antibakteri. Ekstrak jahe 10 mg/kg mampu berfungsi sebagai antibakteri yang dapat membunuh Pseudomonas aeroginosa, Salmonella tyhimurium, Escherichia coli dan Candida albicans. Antibakteri pada bahan alami digunakan untuk mengontrol pembusukan dan mencegah tumbuhya mikroorganisme seperti mikroorganisme patogen (Susanto, 2011).
Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai sebagai komoditas khusus. Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam), menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel (Hairani, 2014).
Tomat merupakan salah satu buah tropis yang khas dan banyak dijumpai di Indonesia. Zat-zat yang terkandung dalam tomat adalah vitamin C, provitamin A, dan mineral. Dalam kulit tomat kaya akan likopen yang sangat potensial sebagai sumber antioksidan. Salah satu olahan buah tomat adalah sari buah tomat yang kaya akan vitamin C. Tetapi vitamin C mudah rusak jika terkena sinar matahari. Banyaknya mikroba pada buah tomat juga mempengaruhi keawetan sari buah tomat. Oleh sebab itu diperlukan penurunan jumlah mikroba tanpa mengurangi kandungan gizi yang ada didalamnya (Suharyono, 2010).
METODE PENELITIAN
Alat
Bunsen
Erlenmeyer 500 ml
Gelas benda dan penutup
Karet
Kertas payung
Mikroskop
Petridish steril
Pipet 1 ml steril
Plastik steril
Propipet
Tabung reaksi
Vortex
Cottonbud
Jarung ose
Inkubator
Neraca analitik
Pisau
Bahan
Gula
Ikan
Jahe
Larutan fisiologis steril
Medium PCA (Plate Count Agar)
Roti
Susu
Tomat
Alkohol
Cara Kerja
Ikan
Susu
Roti
Gula
Tomat
Jahe
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Predominasi Mikroba dalam Bahan Pangan
No
Sampel
Kel
Gambar Pengamatan
Mikroba
Shift A
Shift B
1
Ikan
1 & 7
Perbesaran 10x10
Perbesaran 10x10
Bakteri
2
Susu
2 & 8
Perbesaran 10x100
Perbesaran 10x10
Bakteri
3
Roti
3
Perbesaran 10x100
Perbesaran 10x10
Khamir
4
Gula
4
Perbesaran 10x100
Perbesaran 10x10
Khamir
5
Tomat
5
Perbesaran 10x10
Perbesaran 10000
Bakteri
6
Jahe
6 & 9
Perbesaran 10x10
Perbesaran 10x10
Kapang
Sumber: Laporan Sementara
Pada praktikum Predominasi dalam Bahan Pangan, bahan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh jenis bahan pangan terhadap jenis mikroba yang tumbuh spontan pada bahan adalah ikan, susu, roti, gula, tomat, dan jahe. Mikroba yang tumbuh pada setiap bahan pangan berbeda dikarenakan bahan yang digunakan mempunyai kandungan gizi dan karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, pertumbuhan mikroba tersebut bersifat spontan (Siagian, 2002). Semua sampel dipreparasi lalu diinokulasikan secara aseptik ke dalam petridish dengan media PCA (Plate Count Agar). Semua sampel diinkubasi pada suhu kamar selama 2,5 hari lalu diamati bentuk koloni (bakteri, khamir, atau kapang) pada masing-masing petridish menggunakan mikroskop. Dari pengamatan tersebut dapat diketahui jenis mikroba yang secara predominan tumbuh pada masing-masing bahan pangan tersebut.
Dari keenam macam bahan tersebut, roti, tomat, dan gula mendapat perlakuan sama yaitu dihaluskan terlebih dahulu yang diwadahkan pada plastik steril, kemudian diambil 1 gram dan ditambahkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis steril. Untuk sampel ikan yaitu menggunakan cotton bud dengan mengoleskan ke permukan ikan seluas 2 x 2 cm dan hasil olesan dicelup dan diperas-peras ke dalam 10 ml larutan fisiologis steril. Untuk sampel susu yaitu 1 ml susu diambil dengan pipet ditambahkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis steril. Dan sampel terakhir yaitu jahe dengan mengiris secara steril dan menimbang sebanyak 1 gram, lalu ditambahkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis steril. Apabila sampel sudah ditambahkan kedalam larutan fisiologis steril, dilakukan penghomogenan menggunakan vortex agar semua bagian merata ke dalam larutan. Setelah didapatkan larutan sampel, dilakukan inokulasi ke dalam petridish yang sudah terdapat media agar PCA dengan cara menyuspensikan 1 ml larutan sampel ke dalam petridish. Dalam hal ini harus dilakukan secara aseptis agar tidak terjadi pencemaran lebih lanjut pada sampel dari lingkungan sekitar. Alat-alat yang digunakan juga harus steril.
Pengambilan mikrobia dengan cara mengusap permukaan produk (swabbing), pencucian (rinsing), dan penghancuran (blending) adalah tiga prosedur yang umum dipergunakan dalam praktikum kali ini. Hal yang harus pertama dilakukan adalah preparasi sampel yang dilakukan harus steril dan dilakukan sesuai dengan karakteristik bahan, preparasi antar bahan dilakukan berbeda-beda karena sifat antar bahan juga tidak sama. Pada sampel gula, tomat, dan roti dilakukan penghalusan terlebih dahulu kemudian di larutkan kedalam larutan fisiologis steril. Untuk sampel susu tidak menggunakan cara penghalusan karena susu itu sendiri sudah berbentuk cair. Hal ini sesuai dengan teori Buckle (1985) mikroba dapat tersuspensi secara bebas dalam hampir semua larutan, sehingga tidak perlu ada perlakuan lain kecuali pencampuran yang merata sebelum dilakukan pengamatan mikroba.
Dalam hal ini dilakukan pemvortexan agar semua bagian dari mikroba tersuspensikan secara bebas dan rata ke dalam semua bagian larutan fisiologis, sehingga mikroba tidak mengumpul hanya di bagian atas saja atau yang lain. Pada saat larutan sudah diinokulasikan ke dalam petridish dilakukan penginkubasian untuk memelihara dan menumbuhkan kultur mikroba selama periode inkubari yaitu selama 2,5 hari, penginkubasian dilakukan dalam suhu ruang dengan dibungkus kertas payung agar cahaya tidak dapat masuk karena terdapat beberapa mikroba tidak tahan terhadap cahaya. Umumnya cahaya memiliki daya merusak kepada sel-sel mikroba yang tidak mengandung klorofil (Susilawati, 2006).
Pada praktikum sampel susu, predominasi mikroba adalah bakteri. Hal ini sudah sesuai dengan teori Suwito (2010) yaitu susu akan cepat rusak pada penyimpanan suhu ruang lebih dari 5 jam sehingga memicu tumbuhnya 2 jenis bakteri yaitu bakteri patogen seperti Staphylococcus aureus, Salmonella sp., dan Escherichia coli (E coli), dan bakteri perusak seperti Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillussp. Pada sampel gula mengandung khamir, menurut Ariyanto (2013) gula-gula merupakan produk pangan yang berasa manis. Secara umum gula-gula mempunyai aktivitas air rendah (0,84 atau lebih rendah) dan beberapa gula-gula mempunyai pH rendah. Khamir jenis Sacharomyces cereviceae ada pada gula dan biasanya dikenal dengan yeast S. cereviceae. Khamir dapat berkembang biak pada gula-gula sederhana seperti glukosa, maupun pada gula kompleks seperti sukrosa (Ahmad, 2005). Menurut Tandrianto (2014) gula merupakan makanan untuk yeast jenis S. cereviceae. Pada sampel tomat mengandung bakteri, menurut Panjaitan (2014) bakteri yang ada di dalam sayuran biasanya berasal dari lingkungan sekitar dan bahan kimia yang dikenakan pada sayur atau buah. Bakteri yang ada pada tomat adalah Xanthomonas campestris atau yang sering disebut X. campestris yaitu bakteri yang menyebabkan bercak pada buah tomat yang sangat merugikan karena menyerang tanaman tomat mulai dari fase bibit sampai dewasa. Selain itu penggunaan pestisida juga dapat menyebabkan matinya musuh alami dan menimbulkan resistensi patogen pada tomat.
Pada sampel roti mengandung khamir, menurut Tandrianto (2014) pembuatan roti memanfaatkan ragi atau yeast Sacharomyces cereviceae. Pada kondisi air yang cukup dan adanya makanan bagi ragi atau yeast khususnya gula, maka yeast akan tumbuh dengan mengubah gula menjadi gas karbondioksida dan senyawa beraroma. Gas karbondioksida yang terbentuk kemudian akan ditahan oleh adonan sehingga adonan lebih mengembang. Pada sampel ikan mengandung bakteri, hal ini sama dengan teori Susanto (2011) yang menyebutkan bahwa ikan dapat terkontaminasi oleh bakteri pada saat masih hidup ataupun pada saat sudah mati. Bakteri yang sering ada pada ikan yaitu Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, dan Coliform. Menurut Siburian (2012), proses pembusukan yang disebabkan oleh bakteri pada ikan bisa dihambat dengan penyimpanan pada suhu 0o atau lebih rendah lagi karena pada suhu tersebut beberapa bakteri tidak bisa bertahan dan akhirnya mati. Sampel terakhir yaitu jahe yang mengandung kapang, hal ini tidak sesuai dengan teori Susanto (2011), jahe seharusnya tidak mengandung bakteri, kapang, atau mikroorganisme yang lain karena di dalam jahe terdapat senyawa anti mikroba yaitu gingerone dan gingerol yang merupakan senyawa dominan yang memiliki peran penghambatan aktivitas mikroorganisme, tetapi jahe dapat ditumbuhi oleh kapang karena dukungan keadaan disekitar jahe. Penyimpangan yang terjadi pada hasil pengamatan ini dikarenakan kurang sterilnya pisau untuk mengiris jahe, perlakuan teknik aseptis yang kurang tepat oleh praktikan dan kontaminasi dari udara dan praktikan.
Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan setiap mikroba membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda. Untuk itu jenis dan jumlah mikroba yang dapat tumbuh kemudian menjadi dominan pada setiap pangan juga berbeda, tergantung dari jenis bahan pangan tersebut. Pada kondisi yang optimum, bakteri akan tumbuh lebih cepat daripada kapang dan khamir, itu disebabkan bakteri mempunyai struktur sel yang lebih sederhana, sehingga pada kebanyakan bakteri hanya membutuhkan 20 menit untuk membelah. Struktur kapang dan khamir lebih kompleks daripada bakteri dan membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk sel baru (Buckle, 1985). Menurut Saparinto (2006), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba secara umum ada dua yaitu karakteristik bahan tersebut meliputi aktivitas air (Aw), nilai pH, kandungan gizi, senyawa antimikrobia, dan faktor yang kedua yaitu air lingkungan sekitar meliputi suhu, kelembaban, dan oksigen. Dari hasil percobaan yang diuji, jumlah mikroorganisme paling banyak yaitu bakteri pada ikan, susu, dan tomat. Yang kedua adalah khamir pada roti dan gula, dan yang terakhir adalah kapang pada jahe.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara II "Predominasi Mikroba dalam Bahan Pangan" dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pada pengujian sampel ikan, susu, dan tomat diketahui bahwa predominasi mikroba yang tumbuh adalah bakteri.
Pada pengujian sampel roti dan gula predominasi mikroba yang tumbuh adalah khamir.
Pada pengujian sampel jahe predominasi mikroba yang tumbuh adalah kapang.
Saran
Untuk preparasi sampel dilakukan lebih steril dan menggunakan masker, sarung tangan, dan topi atau hairnet agar tidak terkontaminasi dengan mikroba yang ada di praktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Riza Zainuddin. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomices cereviceae Untuk Ternak. Wartazoa Vol. 15 No. 1.
Ariyanto, Hermawan Dwi., Furqon Hidayatullah., dan Joko Murwono. 2013. Pengaruh Pertambahan Gula terhadap Produktivitas Alkohol dalam Pembuatan Wine Berbahan Apel Buang dengan Menggunakan NOPKOR MZ.11. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri Vol. 2 No. 4 (226-232).
Buckle. K. L., R. A. Edwards., G. H. Fleet., M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hairani, Ratri Indah., Joni Tirto Mulyo., dan Jani Januar. 2014. Analisis Trend Produksi dan Impor Gula Serta Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Gula Indonesia. Berkalah Ilmiah Pertanian, Vol. 1 No. 4 (77-85).
Panjaitan, Delviana., I Ketut Suada., dan Made Sritamin. 2014. Uji Keefektivan Ekstrak Biji Tanaman Untuk Menghambat Pertumbuhan Bakteri Bercak Daun pada Tanaman Tomat. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika Vol.3 No. 2 ISSN: 2301-6515.
Salman, Adil., dan Eltaf Hagar. 2013. Some Bacterial and Physics Quality of Pasteurized Milk and Khartoum. Journal of Applied and Industrial Science Vol. 1 No. 2 (30-37).
Saparinto, Cahyo., Diana Hidayati. 2006. Mikrobiologi Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Siagian Albiner. 2002 Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. USU digital library. Sumatera Utara.
Siburian, Elfrida Theresia., Pramesti Dewi., dan Nana Kariada. 2012. Pengaruh Suhu dan Waktu Penyimpanan terhadap Pertumbuhan Bakteri dan Fungi Ikan Bandeng. Unnes Journal of Life Science Vol. 1 No. 2 ISSN: 2252-6277.
Sopandi, Tatang dan Wardah. 2014. Mikrobiologi Pangan (Teori dan Praktek). Yogyakarta: Andi.
Suharyono., dan Kurniadi. 2010. Efek Sinar Ultraviolet dan Lama Simpan terhadap Karakteristik Sari Buah Tomat. Agritech Vol. 30 No. 1.
Susanto, Eko., dkk. 2011. Pemanfaatan Bahan Alami Untuk Memperpanjang Umur Simpan Ikan Kembung. Jurnal Perikanan Vol. 8 No. 2 (60-69) ISSN: 0853-6384.
Susilawati, Iin., Mansyur., dan Lizah Khairani. 2006. Pengaruh Inokulasi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Hijauan Legum. Jurnal Ilmu Ternak Vol. 6 No. 1 (12-15).
Susilowati, Ari., dan Shanti Listyawati. 2001. Keaneragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In Vitro di Sub-Lab Biologi Laboraturium MIPA pusat UNS. Biodiversitas Vol. 2 No. 1 (110-114) ISSN: 1412-033X.
Suwito, Widodo. 2010. Bakteri yang Sering Mencemari Susu Deteksi, Patogenesis, Epidemiologi, dan Cara Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian Vol. 29 (3).
Tandrianto, Jeffry., Doniarta Kurniawan Mintoko., Setiyo Gunawan. 2014. Pengaruh Fermentasi Pada Pembuatan Mocaf Dengan Menggunakan lactobacillus plantarum Terhadap Kandungan Protein. Jurnal Teknik Pomits Vol. 3 No. 2 ISSN: 2337-3539.
LAMPIRAN
Gambar 2.1 Sampel Gula Gambar 2.2 Sampel Susu
Gambar 2.3 Sampel Roti Gambar 2.4 Sampel Jahe
Gambar 2.5 Sampel Tomat Gambar 2.6 Sampel Ikan
ACARA III
KERUSAKAN BAHAN PANGAN OLEH MIKROBIA
TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dari acara III Kerusakan Bahan Pangan Oleh Mikrobia yaitu untuk mempelajari tipe-tipe kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mikroba.
TINJAUAN PUSTAKA
Makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia disamping kebutuhan primer lainnya. Berbagai komponen nutrisi dan gizi terkandung dalam makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan zat-zat kimia lainnya dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh, perkembangan biakan dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai kegiatan (1,2). Di samping itu, makanan juga merupakan substrat yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba. Bila mikroba mengadakan kontak dengan makanan maka akan memungkinkan mikroba tumbuh dan berkembangbiak. Populasi mikroba yang terdapat dalam makanan beragam jenis dan jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh selektif terhadap jumlah dan jenis mikroba awal yang ada pada makanan. Sumber-sumber mikroflora dapat berasal dari tanah, air permukaan, kotoran hewan atau manusia dan sumber lainnya. Pada makanan olahan, jumlah dan jenis bakteri yang dominan dipengaruhi oleh proses pengolahan atau pengawetan yang diterapkan pada makanan tersebut (Harsojo, 2011).
Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai. Di seluruh dunia terdapat jutaan orang, khususnya bayi dan anak-anak, yang menderita dan meninggal dunia setiap tahunnya akibat penyakit yang ditularkan melalui makanan tersebut. Setiap tahun, terdapat sekitar 1500 juta kejadian diare pada balita dan diperkirakan 70% kasus penyakit diare terjadi karena makanan yang terkontaminasi. Kontaminasi bakteri pada makanan dapat terjadi pada bahan makanan, air, wadah makanan, tangan penyaji ataupun pada makanan yang sudah siap disajikan. Kontaminasi padabahan makanan sebanyak 40,0%, kontaminasi air sebanyak 12,9%, kontaminasi makanan matang 7,5%, kontaminasi pewadahan makanan 16,9%, kontaminasi tangan 12,5%, dan kontaminasi makanan disajikan 12,2%. Hal tersebut menunjukkan kontaminasi paling banyak terdapat pada bahan makanan. Daging merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri Coliform. Jenis Enterobacter dengan Eschericia dan Klebsiella disebut kelompok bakteri Coliform yang merupakan indikator dalam sanitasi. Bakteri Coliformdalam jumlah tertentu dapat menjadi indikator suatu kondisi yang bahaya dan adanya kontaminasi bakteri patogen (Arnia dan Efrida, 2013).
Populasi mikroba yang terdapat dalam makanan beragam jenis dan jumlahnya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh selektif terhadap jumlah dan jenis mikroba awal yang ada pada makanan. Sumber-sumber mikroflora dapat berasal dari tanah, air permukaan, kotoran hewan atau manusia dan sumber lainnya. Pada makanan olahan, jumlah dan jenis bakteri yang dominan dipengaruhi oleh proses pengolahan atau pengawetan yang diterapkan pada makanan tersebut. Awal kontaminasi pada daging atau jeroan berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan dan bila ada alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril (Harsojo dan Irawati, 2011).
Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen. Lebih dari 90% kejadian penyakit pada manusia disebabkan mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan intoksikasi bakteri lainnya seperti hepatitis A. Mikroba terutama bakteri yang bersifat patogen dapat ditemukan di mana saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Pangan membawa berbagai jenis mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman atau hewan, baik yang berasal dari lingkungan maupun yang masuk selama pemanenan atau penyembelihan, distribusi, penanganan pascapanen, pengolahan, serta penyimpanan produk. Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan. Kelompok mikroba pembusuk akan mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan dapat menghasilkan toksin (racun), yang kadang-kadang tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan atau kerusakan fisik (bau busuk kurang nyata) sehingga bahan pangan tetap dikonsumsi. Saluran pencernaan manusia merupakan sistem yang terbuka. Apabila mikroba patogen yang terdapat pada makanan ikut termakan maka pada kondisi yang sesuai mikroba patogen akan berkembang biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit atau sering disebut infeksi. Racun atau toksin yang dihasilkan oleh mikroba patogen yang ikut termakan menyebabkan gejala penyakit yang disebut keracunan atau intoksikasi. Gejala akut yang disebabkan oleh mikroba patogen adalah diare, muntah, dan pusing-pusing bahkan pada kondisi yang parah dapat menyebabkan kematian (Djaafar, 2007).
Pengujian karakteristik mikrobiologis yang dilakukan adalah pengujian total mikroba dengan metode Standart Plate Count (SPC) dengan menggunakan Plate Count Agar (PCA). Prosedur yang harus dilakukan yaitu melakukan pengenceran sampel sampai pengenceran 10-8. Sampel yang ditumbuhkan masing-masing 1mL pengenceran pada media PCA dengan suhu inkubasi 370C selama 48 jam. Jumlah koloni yang dihitung dengan menggunakan colony counter. Hasil perhitungan bakteri merupakan jumlah total bakteri yang masih bertahan hidup pada sampel (Maitimu dkk, 2013).
Potensi yang sangat besar bahwa produk sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang berperan dalam dalam perubahan produk segar menjadi busuk yaitu bakteri, virus dan parasit. Fokus bahan pangan yang terkontaminasi yaitu tauge dan jus yang diproses tanpa pasteurisasi. Paling banyak kontaminasi yang disebabka oleh bakteri yaitu oleh Enterobacteriaceae. Selain itu, Salmonella dan Escherchia coli juga mengkontaminasi tauge dan jus buah. Sedangkan kontaminasi protozoa seperti Cryptosporidium, Cyclospora, Giardia dan lain-lain berperan dalam pembusukan buah dan sayur (Kumar et al, 2011).
Aktivitas mikrobia penyebab utama pada kerusakan banyak bahan pangan dan merupakan faktor yang mengurangi kualitas serta kesehatan pangan. Fokus pada mikrobia patogen dan penyebab kebusukan pada bahan pangan adalah cara untuk menekan atau mengurangi akibat dari mikrobia yaitu penyakit yang disebabkan oleh bahan pangan. Bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureusmerupakan penyebab utama penyakit atau luka yang disebabkan karena bakteri tersebut menginfeksi,toxic shock syndrome, endocarditis, osteomyelitis dan makanan beracun.Listeria monocytogenesispenyebab utama keracunan makanan, listeriosis, yang merupakan penyakit mematikan selama dua dekade terakhir. Bakteri gram negatif seperti Escherichia coliisyang menyerang usus manusia dapat menyebabkan urinarytract infection, coleocystitis atau septicaemia (Rahman and Sun, 2009).
Metode hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Jadi jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang terkandung dalam sampel. Teknik yang harus dikuasai dalam metode ini ialah megencerkan sampel dan mencawankan hasil pengenceran tersebut. Setelah inkubasi, jumlah koloni masing-masing cawan diamati. Untuk memenuhi persyarata statistik, cawan yang dipilih untuk penghitungan koloni ialah yang mengandung antara 30-300 koloni.Karena jumlah mikroorganisme dalam sampel tidak diketahui sebelumnya, maka untuk memperoleh sekurang-kurangnya satu cawan yang mengandung koloni dalam jumlah yang memenuhi syarat tersebut maka harus dilakukan sederetan pengenceran dan pencawanan. Jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam sampel asal ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan (Hadioetomo, 1993).
Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, kapang, khamir, aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan, serangga, parasit dan tikus, suhu termasuk oksigen, sinar dan waktu. Mikroba terutama bakteri, kapang dan khamir penyebab kerusakan pangan yang dapat ditemukan dimana saja baik di tanah, air, udara, di atas bulu ternak dan di dalam usus. Salah satu upaya untuk mencegah kerusakan bahan pangan dilakukan proses pengawetan misalkan penggaraman, pengeringan, pengasapan, pembekuan. Pada umumnya proses penggaraman menggunakan larutan garam tetapi dalam hal lain juga menggunakan tawas (Al2(SO4)314H2O), karena pada prinsipnya sifat yang dimiliki oleh garam juga dimiliki oleh tawas. Ini terbukti bahwa garam dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan membentuk larutan isotonik (Helmiyati dan Nurrahman, 2010).
METODOLOGI
Alat
Cawan Petri
Cutton bud
Erlenmeyer
Incubator
Inkubator
Karet gelang
Kertas payung
Pembakar spirtus (bunsen)
Pipet volume 1 ml
Propipet
Rak tabung reaksi
Tabung reaksi
Vortex
Bahan
Ikan segar 1 hari
Ikan segar pagi
Jus buah 1 hari
Jus buah pagi
Larutan fisologis steril
PCA (Plate Count Agar)
Susu segar 1 hari
Susu segar pagi
Cara Kerja
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Sampel Pagi dan 1 hari
Shift
Sampel
Bau
Warna
Busa
Kekentalan
A
Susu pagi hari
++
Putih
-
+
Susu 1 hari
+
Putih keruh
-
++
Jus tomat pagi hari
+
Oranye
-
+
Jus tomat 1 hari
++
Merah
+
++
Ikan pagi hari
+
Tidak pucat
-
+
Ikan 1 hari
++
Pucat
-
++
B
Susu pagi hari
+
Putih
-
+
Susu 1 hari
++
Putih agak kuning
-
++
Jus tomat pagi hari
+
Oranye
-
+
Jus tomat 1 hari
++
Merah
+
+
Ikan pagi hari
+
Tidak pucat
-
+
Ikan 1 hari
++
Pucat
+
++
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
Bau
++ = agak bau
++ = lebih bau
Busa
= tidak ada
+ = ada
Kekentalan
+ = encer
++ = kental
Tabel 3.2 Data Hasil Pengamatan Jumlah Koloni Shift A
Kel
Sampel
Pengenceran
Jumlah Mikroba
Keterangan
10-3
10-4
10-5
10-6
1,4,7
Susu pagi hari
40
8
-
-
4,2 x 104
Perhitungan pengenceran 10-3
44
12
-
-
Susu 1 hari
-
-
16
S
1,6 x 106
Perhitungan pengenceran 10-5
-
-
S
S
2,5,8
Jus tomat pagi hari
144
160
1,6 x 105
Perhitungan pengenceran 10-3
180
S
Jus tomat 1 hari
88
124
1,3 x 108
Perhitungan pengenceran 10-6
404
144
3,6,9
Ikan pagi hari
52
36
5,2 x 104
Perhitungan pengenceran 10-3
S
S
Ikan 1 hari
256
224
2,1 x 108
Perhitungan pengenceran 10-6
240
132
Sumber: Laporan Sementara
Tabel 3.2 Data Hasil Pengamatan Jumlah Koloni Shift B
Kel
Sampel
Pengenceran
Jumlah Mikroba
Keterangan
10-3
10-4
10-5
10-6
1,4,7
Susu pagi hari
110
8
7,3 x 104
Perhitungan pengenceran 10-3
35
14
Susu 1 hari
S
S
6 x 106
Perhitungan pengenceran 10-5
60
232
2,5,8
Jus tomat pagi hari
160
S
1,8 x 105
Perhitungan pengenceran 10-3
200
28
Jus tomat 1 hari
25
24
2 x 106
Perhitungan pengenceran 10-5
15
16
3,6,9
Ikan pagi hari
120
520
5,8 x 106
Perhitungan pengenceran 10-3
832
628
Ikan 1 hari
800
224
1,8 x 108
Perhitungan pengenceran 10-6
456
140
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan: S = Spreader
Kerusakan makanan (food spoilage) disebabkan oleh aktivitas mikrobial pada makanan tersebut atau karena pelepasan enzim intraseluler dan ekstraseluler mikrobial pada makanan tersebut. Parameter kebusukan makanan antara lain perubahan warna, aroma (bau), tekstur, bentuk, terbentuknya lendir, terbentuknya gas, dan akumulasi cairan. Pembusukan makanan oleh mikroba terjadi lebih cepat daripada pembusukan karena enzim intraseluler dan ekstraseluler. Makanan mentah dan yang telah diproses mengandung berbagai macam kapang, khamir, dan bakteri yang mempunyai kemampuan untuk berkembang biak dan menyebabkan kebusukan. Perkembangbiakan mikroba ini menjadi sangat penting pada proses pembusukan karena bakteri memerlukan waktu yang cepat, diikuti oleh khamir dan kapang. Mikroorganisme pembusuk memperoleh kebutuhan dari makanan untuk tumbuh yang berasal dari karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat-zat ini dalam makanan bervariasi tergantung temperatur, ketersediaan air, tekanan osmose, pH, potensial oksidasi reduksi, dan tekanan atmosfer (Yadav, 2010).
Penyakit bawaan makanan (foodborne disease), biasanya bersifat toksik maupun infeksius, disebabkan oleh agens penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Kadang-kadang penyakit ini disebut "keracunan makanan" (food poisoning) walaupun istilah ini tidak tepat. Penyakit bawaan makanan mencakup lingkup penyakit yang etiologinya bersifat kimiawi maupun biologis, termasuk penyakit kolera dan diare, sekaligus beberapa penyakit parasite (Jensen, 2000).
Sejak saat bahan pangan dipanen, dikumpulkan, ditangkap atau disembelih, bahan tersebut akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini akan berlangsung sangat lambat atau sangat cepat tergantung dari macam bahan pangan. Semua makluk hidup memerlukan makanan untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupannya. Bakteri, khamir dan kapang, insekta dan rodentia (binatang pengerat) selalu berkompetisi dengan manusia untuk mengkonsumsi persediaan pangannya. Senyawa organik yang sangat sensitif dalam bahan pangan, dan keseimbangan biokimia dari senyawa tersebut, akan mengalami destruksi oleh hampir semua variabel lingkungan di alam. Panas, dingin, cahaya, oksigen, kelembaban, kekeringan, waktu, dan kandungan enzim dalam bahan pangan itu sendiri, semua cenderung merusakkan bahan pangan. Suatu bahan rusak bila menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera atau parameter lain yang biasa digunakan. Penyimpangan dari keadaan semula tersebut meliputi beberapa hal, diantaranya: konsistensi, tektur, memar, berlendir, berbau busuk, gosong, ketengikan, penyimpangan PH, reaksi browning, penggembungan kaleng, penyimpangan warna, penyimpangan cita rasa, penggumpalan (pengerasan pada tepung), lubang/bekas gigitan, candling/keretakan pada kulit telur (Susiwi, 2009).
Bila ditinjau dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: kerusakan mikrobiologis, kerusakan mekanis, kerusakan fisik, kerusakan biologis, kerusakan kimia. Pada umumnya kerusakan mikrobiologis tidak hanya terjadi pada bahan mentah, tetapi juga pada bahan setengah jadi maupun pada bahan hasil olahan. Kerusakan ini sangat merugikan dan kadang-kadang berbahaya bagi kesehatan karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang cepat. Bahan yang telah rusak oleh mikroba juga dapat menjadi sumber kontaminasi yang berbahaya bagi bahan lain yang masih sehat atau segar. Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri. Cara perusakannya dengan menghidrolisa atau mendegradasi makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil (Susiwi, 2009).
Kerusakan mekanis disebabkan adanya benturan-benturan mekanis. Kerusakan ini terjadi pada : benturan antar bahan, waktu dipanen dengan alat, selama pengangkutan (tertindih atau tertekan) maupun terjatuh, sehingga mengalami bentuk atau cacat berupa memar, tersobek atau terpotong (Susiwi, 2009).
Kerusakan fisik disebabkan karena perlakuan-perlakuan fisik. Misalnya terjadinya "case hardening" karena penyimpanan dalam gudang basah menyebabkan bahan seperti tepung kering dapat menyerap air sehingga terjadi pengerasan atau membatu. Dalam pendinginan terjadi kerusakan dingin (chilling injuries) atau kerusakan beku (freezing injuries) dan "freezer burn" pada bahan yang dibekukan. Sel-sel tenunan pada suhu pembekuan akan menjadi kristal es dan menyerap air dari sel sekitarnya. Akibat dehidrasi ini, ikatan sulfihidril (–SH) dari protein akan berubah menjadi ikatan disulfida (–S–S–), sehingga fungsi protein secara fisiologis hilang, fungsi enzim juga hilang, sehingga metabolisme berhenti dan sel rusak kemudian membusuk. Pada umumnya kerusakan fisik terjadi bersama-sama dengan bentuk kerusakan lainnya (Susiwi, 2009).
Yang dimaksud dengan kerusakan biologis yaitu kerusakan yang disebabkan karena kerusakan fisiologis, serangga dan binatang pengerat (rodentia). Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat didalam bahan itu sendiri secara alami sehingga terjadi autolisis dan berakhir dengan kerusakan serta pembusukan. Contohnya daging akan membusuk oleh proses autolisis, karena itu daging mudah rusak dan busuk bila disimpan pada suhu kamar. Keadaan serupa juga dialami pada beberapa buah-buahan (Susiwi, 2009).
Kerusakan kimia dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya : "coating" atau enamel, yaitu terjadinya noda hitam FeS pada makanan kaleng karena terjadinya reaksi lapisan dalam kaleng dengan H–S– yang diproduksi oleh makanan tersebut. Adanya perubahan pH menyebabkan suatu jenis pigmen mengalami perubahan warna, demikian pula protein akan mengalami denaturasi dan penggumpalan. Reaksi browning dapat terjadi secara enzimatis maupun non-enzimatis. Browning non-enzimatis merupakan kerusakan kimia yang mana dapat menimbulkan warna coklat yang tidak diinginkan (Susiwi, 2009).
Mikrobia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap bahan pangan. Selain yang menguntungkan, mikrobia juga merugikan karena menimbulkan kerusakan. Kerusakan terjadi karena bahan pangan menyediakan tempat dan nutrisi yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikrobia. Tipe-tipe kerusakan pada bahan pangan cukup banyak, ada kerusakan fisik maupun kimia. Mulai dari kerusakan warna, aroma, rasa, tekstur, pH, viskositas dan juga kerusakan kandungan gizi. Pada praktikum yang telah dilakukan nampak jelas perbedaan karakteristik dari sampel yang segar dengan sampel 1 hari. Pada susu segar pagi hari karakteristiknya masih bagus, sedangkan pada susu satu hari, kenampakan warna sudah berubah, aroma menjadi kurang sedap, tingkat kekentalan semakin tinggi. Pada jus tomat buah segar, karateristiknya masih bagus, sedangkan pada jus satu hari, kenampakan warna sudah berubah, aroma menjadi kurang sedap, rasa tidak enak, tekstur menjadi bergumpal-gumpal dan viskositas semakin tinggi atau tidak encer lagi. Pada sampel ikan juga mengalami kondisi yang sama. ikan segar karakteristiknya masih sangat baik, warna daging cerah, aroma khas ayam, tekstur kenyal. Sedangkan pada sampel ayam 1 hari karakeristiknya sudah banyak yang berubah. Warna menjadi lebih gelap dan pucat, aroma menjadi busuk, tekstur lembek dan berlendir. Sampel satu hari pH-nya juga menjadi asam dan kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral juga telah rusak diakibatkan oleh aktivitas mikrobia.
Pada percobaan kali ini menggunakan 3 sampel yaitu susu, jus tomat, ikan. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pengamatan kenampakan sampel segar pagi hari dan sampel 1 hari. Dari pengamatan yang telah dilakukan sampel segar mempunyai karakteristik yang lebih baik dari pada sampel 1 hari. Deteksi mikrobia dapat dilakukan dengan bebagai metode. Salah satunya yaitu metode tuang + cawan. Pada sampel ikan, mula-mula sampel dioles atau di-swab dengan luasan 2 cm x 2 cm dengan menggunakan cotton bud dimasukkan/dicelupkan kedalam 10 ml larutan fisiologis steril, yang kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-4 untuk ikan segar dan pengenceran hingga 10-6 untuk ikan 1 hari. Sedangkan untuk sampel jus tomat dan susu, diambil 1 ml sampel lalu dimasukkan ke dalam 9 ml ;arutan fisiologis steril, diencerkan hingga10-4 untuk sampel segar dan pengenceran hingga 10-6 untuk sampel 1 hari. Kemudian metode tuang + cawan dapat dimulai dengan mengambil masing-masing 1 ml sampel dari 2 pengenceran terakhir dengan menggunakan pipet lalu dimasukkan dalam petridish. Kemudian (Plate Count Agar) PCA cair dituang dalam petridish yang telah berisi pengenceran sampel. PCA diratakan dengan menggeser petridish tanpa dibalik dengan bentuk angka delapan dan dilakukan dua kali supaya sampel merata. Metode ini dilakukan secara aseptis dengan bekerja selalu dekat dengan bunsen. Ditunggu setelah PCA dingin dan mengeras, petridish diinkubasi selama 3 hari.
Dari deteksi mikroba yang telah dilakukan, dilakukan perhitungan jumlah mikrobia pada setiap sampel. Pada sampel susu segar, jumlah mikrobia yaitu 4,2 x 104 sedangkan pada sampel susu 1 hari, jumlah mikrobia menjadi 1,6 x 106. Pada sampel jus tomat segar, jumlah mikrobia yaitu 1,6 x 105 sedangkan pada sampel jus tomat 1 hari, jumlah mikrobia menjadi 1,3 x 108. Pada sampel ikan segar, jumlah mikrobia yaitu 5,2 x 104 sedangkan pada sampel ikan 1 hari jumlah mikrobia menjadi 2,1 x 108. Jumlah mikrobia pada sampel segar dan sampel yang telah dibiarkan selama 1 hari berbeda. Jumlah mikrobia meningkat drastis setelah sampel bahan pangan dibiarkan selama beberapa waktu. Peningkatan ini terjadi karena mikrobia berkembangbiak dengan cepatnya dan menunjukkan bahwa kerusakan pangan dominan disebabkan oleh mikrobia. Pada percobaaan yang telah dilakukan sampel yang paling cepat mengalami kerusakan yaitu sampel ikan 1 hari dengan lama inkubasi yang sama sampel ini memiliki jumlah mikroba 2,1 x 108 paling banyak jumlahnya dari sampel yang lain. Hal ini di karenakan pada sampel ikan terjadi kerusakan mikrobiologis oleh bakteri, penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba seperti (kapang, khamir dan bakteri). Cara perusakannya dengan menghidrolisa atau mendegradasi makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Aktivitas mikrobia yang terjadi selama bahan pangan dibiarkan yaitu terjadi proses perombakan zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan menjadi zat lain. Tumbuhnya bakteri, ragi atau kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan. Contohnya mikroba dapat menghasilkan enzim yang aktif yang dapat menghidrolisa pati, selulosa atau dapat memfermentasi gula, selain itu juga ada mikrobia penghasil enzim yang dapat menghidrolisa lemak yang mengakibatkan terjadinya ketengikan atau merusak protein yang menghasilkan bau busuk. Beberapa mikroba tersebut dapat membentuk lendir, gas, busa, warna yang menyimpang, asam, racun dan lainnya. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan dari udara, maka di dalam makanan tersebut terdapat pertumbuhan campuran dari beberapa jenis mikroba. Adanya mikrobia juga mempengaruhi perubahan warna pada bahan pangan. Karena aktivitas mikrobia dan juga oksidasi, zat warna pada sampel terurai sehingga warna jus tomat 1 hari menjadi gelap keruh dan pada ikan 1 hari warnanya menjadi pucat. Warna ikan berubah karena mioglobin dalam ikan telah berubah disebabkan kontak dengan udara luar. Bahan pangan yang telah terkontaminasi mikrobia dan mikrobia tersebut berkembangbiak, maka bahan pangan dikatakan busuk. Jika demikian, maka bahan pangan berbahaya untuk dikonsumsi karena dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian (Susiwi, 2009).
Berdasarkan SNI, untuk susu pasteurisasi, jenis cemaran mikroba ALT maksimal 5 x 104 koloni/ml, APM Koliform 10/mL, Salmonella sp. negatif/25mL, Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/ml, Listeria monocytogenes negatif/25 ml. Untuk jus buah (sari buah), jenis cemaran mikroba ALT maksimal 1 x 104 koloni/ml, APM Koliform 2 x 101 koloni/ml, Salmonella sp. negatif/25mL, kapang dan khamir 1 x 102 koloni /g, APM Escherichia coli < 3/ml. Sedangkan untuk sampel ikan, jenis cemaran mikroba ALT maksimal 5 x 105 koloni/g, APM Escherichia coli < 3/g, Salmonella sp. negatif/25 g, Vibrio cholera negatif/25 g (BPOM, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di antaranya : air, pH, RH, suhu, oksigen, dan mineral. Pertumbuhan mikroba tidak pernah terjadi tanpa adanya air. Air dalam substrat yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba biasanya dinyatakan dengan "water activity" (aw). aw dibedakan dengan RH, aw digunakan untuk larutan atau bahan makanan, dan RH untuk udara atau ruangan. Bakteri perlu air lebih banyak dari kapang dan khamir, serta tumbuh baik pada aw mendekati satu yaitu pada konsentrasi gula atau garam yang rendah. aw optimum dan batas terendah untuk tumbuh tergantung dari macam bakteri, makanan, suhu, pH, adanya oksigen, CO2 dan senyawa-senyawa penghambat. Pada umumnya kapang membutuhkan aw lebih sedikit daripada khamir dan bakteri. Setiap kapang mempunyai aw minimum untuk tumbuh, dan untuk mencegah pertumbuhan kapang sebaiknya aw diturunkan hingga dibawah 0,62. Khamir membutuhkan air yang lebih sedikit dibandingkan bakteri, tetapi lebih banyak daripada kapang. Umumnya batas aw terendah untuk khamir sekitar 0,88– 0,94 (Susiwi, 2009).
pH menentukan macam mikroba yang tumbuh dalam makanan, dan setiap mikroba masing-masing mempunyai pH optimum, pH minimum dan pH maksimum untuk pertumbuhannya. Bakteri paling baik tumbuh pada pH netral, beberapa suka suasana asam, sedikit asam atau basa. Kapang tumbuh pada pH 2– 8,5, biasanya lebih suka pada suasana asam. Sedangkan khamir tumbuh pada pH4–4,5 dan tidak tumbuh pada suasana basa. Setiap mikroba mempunyai suhu optimum, suhu minimum, dan suhu maksimum untuk pertumbuhannya. Bakteri mempunyai suhu optimum antara 200C–450C. Suhu optimum pertumbuhan kapang sekitar 250C–300C, tetapi Aspergillus sp. tumbuh baik pada 350C–370C. Umumnya khamir mempunyai suhu optimum pertumbuhan serupa kapang, yaitu sekitar 250C–300C.
Spreader merupakan koloni yang menyebar dan berukuran besar. Koloni yang menyebar dan berukuran besar (spreader) pada umumnya memiliki dua sebab yang berbeda yaitu kumpulan dari banyak koloni yang menjadi satu pada permukaan agar yang kering, koloni menyebar yang timbul karena terdapat lapisan tipis air pada permukaan agar, pinggiran agar atau permukaan bagian bawah agar yang berhimpitan dengan cawan. Semua cawan yang memiliki pertumbuhan koloni yang menyebar di permukaan agar >25% dari luas cawan atau >50% dari luas cawan dilaporkan sebagai koloni menyebar (spreader/ SPR). Sedangkan koloni spreader yang tidak melebihi 25% luas cawan dihitung satu koloni dan jika koloni spreader tersebut (terutama karena sebab pertama) masih dapat dibedakan antar koloninya maka dihitung jumlah koloni yang membentuknya. Perhitungan koloni spreader ini dapat dikombinasikan dengan perhitungan koloni normal lainnya (Suprapto dkk, 2013).
Mikrobia yang dapat tumbuh dalam bahan pangan meliputi yaitu bakteri, ragi atau kapang.Oleh karena itu, pada praktikum digunakan media PCA (Plate Count Agar), dimana pada media tersebut dapat tumbuh semua jenis mikrobia mulai dari bakteri, kapang dan khamir. Setelah sampel jus dan ayam diinokulasikan dalam cawan petri, ternyata semua jenis bakteri tumbuh. Ini menandakan bahwa dalam pangan selalu ada mikrobia yang menyebabkan kerusakan, sehingga berpengaruh terhadap kualitas bahan pangan. Mikrobia berasal dari bahan pangan itu sendiri maupun dari luar. Dari luar misalnya pada udara yang kontak dengan bahan pangan, air, ataupun peralatan yang mengkontaminasi bahan pangan (Suprapto dkk, 2013).
Pengenceran dipakai untuk menentukan jumlah mikrobia yang hidup saja. Dasar perhitungannya ialah mengencerkan sejumlah volume tertentu suatu suspensi bahan atau biakan mikrobia secara bertingkat. Dalam perhitungan jumlah mikroorganisme ini seringkali digunakan pengenceran. Pada pengenceran dengan menggunakan botol cairan terlebih dahulu dikocok dengan baik sehingga kelompok sel dapat terpisah. Pengenceran sel dapat membantu untuk memperoleh perhitungan jumlah mikroorganisme yang benar. Namun pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar dengan jumlah koloni yang umumnya relatif rendah (Hadioetomo, 1990).
Pengenceran dilakukan agar setelah inkubasi, koloni yang terbentuk pada cawan tersebut dalam jumlah yang dapat dihitung. Dimana jumlah terbaik adalah antara 30 sampai 300 sel mikrobia per ml, per gr, atau per cm permukaan (Fardiaz, 1992). Prinsip pengenceran adalah menurunkan jumlah sehingga semakin banyak jumlah pengenceran yang dilakukan, makin sedikit sedikit jumlah mikrobia, dimana suatu saat didapat hanya satu mikrobia pada satu tabung. Inkubasi dilakukan selama 2 x 24 jam karena jumlah mikrobia maksimal yang dapat dihitung, optimal setelah masa tersebut yaitu akhir inkubasi. Selama masa inkubasi, sel yang masih hidup akan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung oleh mata (Waluyo, 2004).
KESIMPULAN
Dari praktikum acara Kerusakan Bahan Pangan Oleh Mikrobia, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tipe kerusakan bahan pangan oleh mikrobia ada kerusakan fisik maupun kimiawi. Tipe kerusakan fisik yaitu berubahnya warna, aroma serta tekstur bahan pangan, sedangkan kerusakan kimiawi yaitu terbentuknya zat lain yang dihasilkan oleh mikrobia, seperti enzim, lendir, gas, racun dan lain-lain.
Mikrobia yang tumbuh pada bahan pangan yaitu ada bakteri, kapang dan khamir.
Akibat dari aktivitas mikrobia yaitu munculnya aroma kurang sedap karena gas dan zat yang dihasilkan mikrobia, berubahnya kandungan gizi yang mengakibatkan kebusukan bahan pangan.
Jumlah mikrobia pada percobaan Shift A, susu pagi hari 4,2 x 104, susu 1 hari 1,6 x 106, Jus tomat pagi hari 1,6 x 105, Jus tomat 1 hari 1,3 x 108, Ikan pagi hari 5,2 x 104, Ikan 1 hari 2,1 x 108.
Jumlah mikrobia pada percobaan Shift B, susu pagi hari 7,3 x 104, susu 1 hari 6 x 106, Jus tomat pagi hari 1,8 x 105, Jus tomat 1 hari 2 x 106, Ikan pagi hari 5,8 x 106, Ikan 1 hari 1,8 x 108.
Jumlah mikrobia meningkat drastis setelah sampel bahan pangan dibiarkan selama beberapa waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Arnia dan Efrida Warganegara. 2013. Identifkasi Kontaminasi Bakteri Coliform pada Daging Sapi yang Dijual di Pasar Sekitar Kota Bandar Lampung. Medical Journal of Lampung University. ISSN 2337-3776.
BPOM. 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.06.1.52.4011. Percetakan Negara, Jakarta.
Djaafar, Titiek K. dan Siti Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurna Litbang Pertanian. Vol. 26 No. 2. Hal : 71-72.
Hadioetomo, Ratna Siri. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Harsojo dan Irawati Z. 2011. Kontaminasi Awal dan Dekontaminasi Bakteri Patogen Pada Jeroan Sapi dengan Iradiasi Gamma. Jurnal Iptek Nuklir Ganendra. Vol. 14 No. 2. Hal : 95-101.
Helmiyati, Aty Fitria dan Nurrahman. 2009. Pengaruh Konsentrasi Tawas terhadap Pertumbuhan Bakteri Gram Positif dan Negatif. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 01 No. 01. Hal : 01.
Jensen, Jessica. 2000. Foodborne Disease in the United States Food Safety in the 21st Century. Vol. - No. -. Hal : -.
Kumar, Ashok., Varun Bhushan., Shika Verma., Gaurav Srivastav and Sushil Kumar. 2011. Isolation and Characterization of Microorganisms Responsible for Different Types of Food Spoilages. Journal of Research in Pure and Applied Microbiology No 1(2): 22-31.
Maitimu, C. V., A. M. Legowo dan A. N. Al-Baarri. 2013. Karakteristik Mikrobiologis, Kimia, Fisik dan Organoleptik Susu Pateurisasi dengan Penambahan Ekstrak Daun Aileru (Wrighitia calycina) Selama Penyimpanan. Jurnal Aplikasi teknologi Pangan. Vol.2 No.1. Hal : 18, 20.
Rahman, Atiqur and Sun Chul Kang. 2009. In Vitro Control of Food-Borne and Food Spoilage Bacteria by Essential Oil and Ethanol Extracts Oflonicera Japonica Thunb. Journal of Food Chemistry 116: 670-675.
Suprapto, dkk. 2013. Identifikasi Jumlah Koloni pada Citra Bakteri dengan Metode Improved Counting Morphology. Universitas Brawijaya. Vol. -. No. -. Hal : 1-3.
Susiwi. 2009. Kerusakan Pangan. Jurusan Pendidikan Kimia F P M I P A, Universitas Pendidikan Indonesia. Vol. - No. -. Hal : -.
Yadav, Lekha. 2010. The Effect of Ozone on The Growth and Development of Selected Food Spoilage Fungi. Boca Rato, Florida.
ACARA IV
PENGARUH FAKTOR PERTUMBUHAN TERHADAP POPULASI MIKROBA DALAM BAHAN PANGAN
Tujuan
Tujuan dari praktikum Mikrobiologi Pangan dan Pengolahan acara IV Pengaruh Faktor Pertumbuhan terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan adalah sebagai berikut :
Mempelajari pengaruh pemanasan terhadap viabilitas dan pertumbuhan mikrobia pangan.
Mempelajari pengaruh pendinginan terhadap viabilitas dan pertumbuhan mikrobia pangan.
Mempelajari pengaruh pH terhadap viabilitas dan pertumbuhan mikrobia pangan.
Mempelajari pengaruh senyawa antimikrobia terhadap viabilitas dan pertumbuhan mikrobia pangan.
Mempelajari pengaruh hurdle concept terhadap viabilitas dan pertumbuhan mikrobia pangan.
Tinjauan Pustaka
Mikrobiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang dunia kehidupan mikroorganisme yaitu morfologi, fisiologi, penyebaran, dan lain-lain dari mikroorganisme atau jasad renik. Jasad renik (mikroorganisme) merupakan organisme berukuran kecil atau mikroskopis sebagai uniseluler atau multiseluler. Penggolongan mikroorganisme berdasarkan keadaan intinya adalah mikroorganisme prokariotik dan eukariotik. Prokariotik yaitu seperti bakteri, ganggang biru, dan mikroorganisme eukariotik yaitu jamur, protozoa dan algae (Harti, 2015).
Saccharonryces cerevisiae merupakan salah satu jenis cendawan tergolong khamir yang bermanfaat untuk manusia dan ternak. Saccharomycess cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah. Khamir dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula kompleks seperti disakarida yaitu sukrosa. Komposisi kimia Saccharomycess cerevisiae terdiri atas protein kasar 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemak 4-5%, dan mineral 7-8% (Ahmad, 2005).
Bentuk morfologi Saccharomycess cerevisiae adalah sel berbentuk oval, berbau roti dan koloninya agak berlendir. Pertumbuhannya membutuhkan oksigen, sangat kecil dipengaruhi oleh perubahan pH. Suhu optimum untuk tumbuh antara 22-300C dan toleran hingga 370C. Saccharomycess cerevisiae dapat tumbuh baik dalam media mengandung glukosa dengan konsentrasi
50-100 Mm (Kusmiati, 2010).
Di dalam keluarga Pseudomonaceae dikelompokkan batang-batang lurus atau agak bengkok, bercemeti polar, gram-negatif, yang tidak membentuk spora dan tumbuh aerob. Beberapa jenis Pseudomonas mengoksidasi gula tidak sempurna dan mengeksresi asam-asam gula. Jenis-jenis Pseudomonas aeruginosa (dahulu Pseudomonas pyocyanea) adalah bakteri liar yang menginfeksi manusia yang dapat menimbulkan nanah pada bagian tengah telinga. Pseudomonas fluorescens dan Pseudomonas putida adalah bakteri air dan tanah yang tersebar luas dan mampu mengoksidasi senyawa organik. Pseudomonas syringae merupakan patogen pada tumbuhan-tumbuhan baru. Pseudomonas saccharophilla merupakan bakteri hidrogen yang telah ditemukan untuk pemecahan glukosa melalui alur Entner-Doudoroff (Schlegel, 1994).
Pseudomonas aeruginosa dapat bergerak, berbentuk batang, ukurannya 0,6x2μm. Bakteri ini merupakan gram negatif yang bersifat aerobic obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media. Pseudomonas aeruginosa dapat berada dalam orang sehat, dimana bersifat saprofit. Bakteri ini menyebabkan penyakit pada manusia dengan ketahanan tubuh yang tidak normal. Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu 37–42 oC. Pseudomonas aeruginosa menjadi patogenik hanya jika berada pada tempat dengan daya tahan tidak normal, misalnya diselaput lendir dan kulit yang rusak akibat kerusakan jaringan (Wuryanti, 2009).
Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan bakteri adalah nilai pH. Bakteri memerlukan suatu pH optimum (6,5-7,5) untuk tumbuh optimal. Nilai pH minimum dan maksimum untuk pertumbuhan kebanyakan spesies bakteri adalah 4 dan 9. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu sendiri. Bakteri anggota Genus Pseudomonas umumnya tumbuh pada suhu optimal yaitu 37–40oC (Suriani, 2013).
Keasaman atau pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk dalam proses fermentasi karena setiap mikroorganisme mempunyai kisaran pH optimal. Perubahan pH dalam fermentasi disebabkan karena dalam aktivitasnya sel khamir selain menghasilkan etanol sebagai metabolit primer juga menghasilkan asam-asam organik seperti asam malat, asam tartarat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam butirat dan asam propionat sebagai hasil sampingan. Asam asam ini menurunkan pH medium (Idral, 2012).
Media ialah suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi yang dipakai untuk menumbuhkan mikroba. Selain untuk menumbuhkan mikroba, media dapat pula digunakan untuk isolasi, memperbanyak, pengujian sifat-sifat fisiologi dan perhitungan jumlah mikroba. Supaya mikroba dapat tumbuh baik dalam suatu media, perlu dipenuhi syarat-syarat berikut yaitu media harus mengandung semua nutrisi yang mudah digunakan oleh mikroba, media harus mempunyai tekanan osmosis, tegangan permukaan, dan pH yang sesuai, media harus steril, dan media tidak mengandung penghambat (Santi, 2008).
Antimikrobial dapat diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Dalam penggunaan pada umumnya antimikrobial merupakan penghambat pertumbuhan. Dan biasanya antimikrobial dimaksudkan untuk kelompok-kelompok organisme khusus misal antibakterial, antifungal, dll (Pelczar, 1988).
Bawang putih mengandung beberapa senyawa aktif antara lain allisin mempunyai daya anti bakteri dan anti radang. Selenium suatu mikro mineral sebagai antioksidan dan mencegah terbentuknya gumpalan darah yang dapat menyumbat pembuluh darah ke otak. Germanium seperti selenium bersifat anti kanker dapat menghambat dan memusnahkan sel sel kanker didalam tubuh. Metilatil trisulfida mencegah penyumbatan yang menghambat aliran darah ke jantung dan otak (Bintang, 2013).
Allium sativum atau dikenal sebagai bawang putih, bau mawar busuk, secara luas diakui memiliki berbagai manfaat kesehatan, dengan antivirus, anti-jamur, dan properti antibakteri. Bawang putih terbuat dari bagian-bagian yang dikenal sebagai cengkeh, yang dapat dipisahkan untuk memasak dan makan. Dalam cengkeh ini, ada cukup mengandung sulfur beberapa bahan kimia, seperti allicin, alliin, dan ajoene. Allicin menghasilkan bau yang merupakan karakteristik dari bawang putih. Hal ini dihasilkan ketika jaringan tanaman rusak, sehingga enzim seperti alliinase untuk bereaksi dengan alliin untuk membentuk allicin. Allicin kemudian bertindak untuk melindungi dari mikroba. Namun, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonversi alliin untuk allicin biasanya denaturasi pada manusia karena pH rendah tersebut. Allicin sendiri juga biasanya mulai rusak pada suhu di atas 40°C. Seiring dengan kemampuan pelindung, allicin diyakini kimia yang bertanggung jawab untuk efek antimikroba bawang putih (Agabalogun, 2010).
Lisozim pada putih telur merupakan salah satu alternatif pengawet alami yang biasa digunakan untuk pengawetan makanan karena kemampuannya sebagai antibakteri. Lisozim merupakan enzim yang berukuran relatif kecil, berbentuk monomerik yaitu terdiri dari 129 asam amino dengan BM 14600 serta dapat menghidrolisis ikatan β–1,4 Nac-N-Asetil yang melisis sel bakteri gram positif, namun spektrum lisis dari lisozim hanya terbatas bekerja terhadap gram positif. Pemanfaatan lisozim agar dapat bekerja dengan efektif pada bakteri gram negatif, maka lisozim ditumbuhkan dengan bahan perusak membran seperti detergen dan chelator. Perlakuan penambahan EDTA pada lisozim diharapkan bisa memperluas spectrum lisozim, sehingga lisozim tidak hanya bekerja pada bakteri gram positif tetapi juga pada gram negatif, hal ini yang mendasari pentingnya penelitian ini dilakukan dalam upaya mendapatkan informasi tentang kemampuan lisozim putih telur yang telah ditambahkan dengan EDTA sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Melani, 2014).
Hurdle concept atau konsep rintangan adalah sebuah konsep yang dikembangkan untuk mengatasi permintaan konsumen untuk makanan alami dan segar lagi. Hurdle concept didefinisikan sebagai kombinasi cerdas dari rintangan yang mengamankan keselamatan mikroba dan stabilitas serta tetap mempertahankan organoleptik, kualitas gizi dan kelayakan ekonomi dari suatu produk makanan (Pundhir, 2015).
Pengukuran warna yang paling tepat dan akurat adalah menggunakan spektrofotometer. Namun, spektrofotometer dengan desain yang berbeda memiliki tingkat yang berbeda dalam ketidakpastian pengukuran. Salah satu yang mempengaruhi ketidakpastian pengukuran adalah salah satunya parameter desain, perbedaan mengukur geometri (Milic, 2011). Langkah-langkah spektrofotometer kekeruhan langsung itu merupakan cara terbaik atau paling sensitif. Spektrofotometer ini akan memiliki celah sempit dan detektor kecil sehingga hanya cahaya tersebar ke arah depan yang akan dilihat oleh detektor. Instrumen ini akan memberikan penyerapan jelas lebih besar bacaan dari instrumen lain (Sutton, 2011).
Metodologi
Alat dan Bahan
Asam Oksalat
Bunsen
Ekstrak bawang putih
Freezer
Korek api
NaOH
NB (Nutrient Broth)
PDB (Potato Dekstrose Broth)
Penjepit
Pipet 1ml
Refrigerator
Spektrofotometri
Suspensi Pseudomonas 0,1 ml
Suspensi Saccharomycess 0,1 ml
Tabung reaksi
Waterbath
Cara Kerja
Pengaruh Pemanasan
Pengaruh Suhu Rendah
Pengaruh pH
Pengaruh Antimikroba (Ekstrak Bawang Putih)
Pengaruh Pemanasan dan Senyawa Antimikroba
Pembahasan
Tabel 4.1 Pengaruh Pemanasan Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan
No
Ulangan
Mikroba
Ǻ
Kontrol (0')
5'
15'
1
A
Saccharomycess
0,077
0,199
0,074
2
B
Saccharomycess
0,041
1,051
0,068
3
A
Pseudomonas
0,140
0,136
0,142
4
B
Pseudomonas
0,147
0,165
0,152
Sumber : Laporan Sementara
Pseudomonas aeruginosa dapat bergerak, berbentuk batang, ukurannya 0,6x2μm. Bakteri ini merupakan gram negatif yang bersifat aerobic obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media. Pseudomonas aeruginosa dapat berada dalam orang sehat, dimana bersifat saprofit. Bakteri ini menyebabkan penyakit pada manusia dengan ketahanan tubuh yang tidak normal. Pseudomonas aeruginosa tumbuh baik pada suhu 37–42 oC. Pseudomonas aeruginosa menjadi patogenik hanya jika berada pada tempat dengan daya tahan tidak normal, misalnya diselaput lendir dan kulit yang rusak akibat kerusakan jaringan (Wuryanti, 2009). Menurut Moore (2006), pseudomonas adalah spesies memiliki kekayaan habitat mulai dari berbagai tanah, air, lingkungan dan jaringan hewan. Pada dasarnya, setiap habitat Pseudomonas dengan suhu antara 34-42°C, dengan pH antara 4 dan 8 dan mengandung senyawa organik sederhana atau senyawa organik kompleks merupakan habitat potensial untuk pseudomonas. Spesies pseudomonas yang aerob dan persyaratan untuk oksigen merupakan menjadi faktor kendala utama oleh pseudomonas. Spesies pseudomonas umumnya ditemukan di tanah dan lingkungan air yang memiliki aerobik, mesofilik dan kondisi pH netral. Spesies pseudomonas ada yang sebagai saprophytes dan parasit. Secara umum, pseudomonas tidak menonjol dalam lingkungan anaerobik, dan mereka tidak terjadi di termofilik ekstrim dan habitat acidophilic.
Menurut Pelczar (1988), Psedomonas merupakan sel tunggal, batang, lurus, melengkung namun tidak berbentuk heliks. Pada umumnya berukuran 0,5-1,0μmx1,5-4,0μm. Motil dengan flagellum polar, monotrikus dan multrikus. Tidak menghasilkan selongsong prosteka, tidak mengenal adaya istirahat. Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi. Sedangkan Saccharomycess, sel-selnya bundar, lonjong, memanjang, atau seperti benang dan menghasilkan pseudomiselium. Berkembang biak secara vegetatif, setiap askus mengandung 1-4 spora dengan berbagai bentuk. Dalam biakan cair biasanya terjadi pertumbuhan didasar. Kebanyakan khamir industry pangan tergolong dalam genus ini contohnya Saccharomycess cerevisiae.
Saccharomycess cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah. Khamir dapat berkembangbiak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula kompleks seperti disakarida yaitu sukrosa (Ahmad, 2005). Sedangkan menurut Kusmiati (2010), bentuk morfologi Saccharomycess cerevisiae adalah sel berbentuk oval, berbau roti dan koloninya agak berlendir. Pertumbuhannya membutuhkan oksigen, sangat kecil dipengaruhi oleh perubahan pH, suhu optimum untuk tumbuh antara 22-300C dan toleran hingga 370C. Dilaporkan bahwa S. cerevisiae dapat tumbuh baik dalam media mengandung glukosa dengan konsentrasi 50-100 Mm.
Media adalah sebuah zat cetak tumbuh didalam laboratorium yang digunakan jamur untuk tumbuh diatasnya. Media kultur dapat berbentuk padat atau cair. Untuk keperluan identifikasi, media kultur padat lebih berguna karena memungkinkan cetakan untuk bersporulasi lebih mudah. Untuk membuat PDB (Potato Dextrose Broth) dibutuhkan bahan kentang sebanyak 200g, Dextrose 20 g, air 1 liter. Hal pertama yang dilakukan adalah kentang dikupas, timbang sebanyak 200g, dicuci dan dipotong kecil berbentuk kubus. Kemudian dipindahkan kedalam tempat yang telah berisi 1 liter air untuk dipanaskan sampai mendidih hingga cukup lunak untuk dilumatkan. Setelah menumbuk, kentang diperas melalui saringan untuk memperoleh pulp yang dipindahkan ke dalam 1 liter dan ditambahkan 20 g dekstrosa (Nwogu, 2012).
Medium Nutrient Broth dibuat dengan cara melarutkan 9,6 gr Nutrient Broth kedalam 1200ml aquades steril dalam erlenmeyer. Larutan ini selanjutnya dilakukan pemanasan diatas kompor listrik sambil diaduk-aduk selama 10-15 menit. Selanjutnya disterilkan dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Medium dengan konsentrasi 75% dengan cara menambahkan 75ml infus 100% ditambahkan 25ml aquades dan 0,8 gr Nutrient Broth. Sedangkan medium dengan konsentrasi 50% dengan cara menambahkan 50ml infus 100% ditambahkan 50ml aquades dan 0,8 gr Nutrient Broth. Dan medium konsentrasi 25% dengan cara menambahkan 25ml infus 100% ditambahkan 75ml aquades dan 0,8 gr Nutrient Broth. Medium Nutrient Broth ditambahkan aquades dan tanpa ditambah infus (konsentrasi 0%) merupakan sebagai kontrol (Retnowati, 2011). Mikroba Saccharomycess menggunakan media PNB (Potato Dextrose Broth) karena didalam PNB glukosa. S. cerevisiae menggunakan gula sebagai sumber makanannya sehingga S. cerevisiae dapat tumbuh baik dalam media mengandung glukosa (Kusmiati, 2010).
Menurut Suriani (2013), salah satu faktor penting dalam pertumbuhan bakteri adalah nilai pH. Bakteri memerlukan suatu pH optimum (6,5 - 7,5) untuk tumbuh optimal. Nilai pH minimum dan maksimum untuk pertumbuhan kebanyakan spesies bakteri adalah 4 dan 9. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu sendiri. Sedangkan menurut Osvaldo (2012) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah derajat keasaman (pH) dan suhu. Pembentukan sel khamir dibutuhkan derajat keasaman optimum (pH) antara 3-5. Jika diluar itu maka pertumbuhan mikroorganisme akan terganggu. Setiap golongan-golongan mikroorganisme memiliki suhu yang berbeda-beda. Pada Saccharomycess suhu optimumnya adalah 19-32oC. Menurut Schlegel (1994), pertumbuhan mikroorganisme tergantung pada tersedianya air, nutrient, oksigen, media biak, kadar air, tekanan osmotik, suhu, pH. Mikroorganisme sanggup tumbuh pada aktivitas air antara 0,6-0,998. Saccharomycess rouxii memerlukan aktivitas air (aw) terendah yaitu 0,6. Sedangkan suhu inkubasi mikroorganisme berbeda-beda. Sebagian besar bakteri tanah dan air bersifat mesofilik. Sedangkan menurut Idral (2012), keasaman atau pH medium merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Setiap mikroorganisme mempunyai kisaran pH optimal.
Tabel 4.1 Pengaruh Pemanasan Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, hal pertama yang dilakukan adalah pemasukkan masing-masing 0,1ml suspensi mikroba (Saccharomycess dan Pseudomonas) kedalam 4 tabung reaksi yang telah berisi media. Untuk mikroba Saccharomycess dimasukkan kedalam tabung yang telah berisi PNB (Potato Dekstrose Broth), dan mikroba Pseudomonas kedalam tabung yang telah berisi media NB (Nutrient Broth). Saat melakukan pemasukkan mikroba kedalam tabung, dilakukan secara aseptis. Pada tabung pertama digunakan sebagai kontrol, sehingga tidak diberikan perlakuan pemanasan. Kemudian ketiga tabung lain dilakukan pemanasan dalam waterbath dengan suhu 60oC selama 5 dan 15 menit. Setiap perlakuan dilakukan dua kali pengulangan yaitu ulangan A dan ulangan B. Setelah dilakukan pemanasan, semua tabung ditutup dengan alumunium foil hingga rapat. Setelah ditutup, semua tabung diinkubasi pada suhu kamar. Penginkubasian dilakukan selama 1 hari. Setelah diinkubasi, dilakukan pengamatan adanya pertumbuhan melalui tingkat kekeruhannya. Lalu, dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan panjang gelombang 660nm.
Hasil percobaan pada Tabel 4.1 Pengaruh Pemanasan Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, pada ulangan A mikroba Saccharomycess pada dengan perlakuan tanpa pemanasan sebesar 0,077. Absorbansi pada ulangan A dengan perlakuan kontrol lebih besar dibanding dengan ulangan B. Ulangan B didapat sebesar 0,041. Pada perlakuan pemanasan 5 menit ulangan A didapat absorbansi sebesar 0,199 dan ulangan B sebesar 1,051. Pada ulangan B mikroba Saccharomycess dengan pemanasan 5 menit, hasil yang didapat sangat jauh lebih besar dari ulangan A mikroba Saccharomycess. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pemasukkan mikroba kedalam media, perlakuan aseptis kurang maksimal sehingga terkontaminasi dengan mikroba lain dan menghasilkan mikroba yang banyak. Pada pemanasan 15 menit dengan mikroba Saccharomycess ulangan A didapat absorbansi sebesar 0,074 dan pada ulangan B 0,068. Dari jenis mikroba Saccharomycess nilai absorbansi terbesar didapat pada hasil pemanasan 5 menit pada ulangan B. Mikroba Pseudomonas dengan ulangan A perlakuan kontrol atau tanpa pemanasan didapat absorbansi sebesar 0,140 dan pada ulangan B sebesar 0,147. Pada pemanasan 5 menit, ulangan A dengan mikroba Pseudomonas didapat absorbansi sebesar 0,136 dan ulangan B 0,165. Sedangkan pada pemansan 15 menit dengan mikroba Pseudomonas absorbansi ulangan A didapat sebesar 0,142 dan absorbansi ulangan B pada pemanasan 15 menit dengan mikroba Pseudomonas sebesar 0,152. Proses pemanasan merupakan salah satu cara untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Setiap jenis mikroba memiliki suhu optimum masing-masing. Jika diluar suhu optimum tersebut pertumbuhan dan perkembang biakan mikroba akan terganggu. Suhu merupakan faktor yang sangat penting pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba. Suhu dapat mempengaruhi lamanya fase lag, kecepatan pertumbuhan, konsentrasi sel, kebutuhan nutrisi, kegiatan enzimatis dan komposisi sel. Suhu optimum Saccharomycess untuk tumbuh antara 22-300C dan toleran hingga 370C dan suhu optimum Pseudomonas antara 34-42oC, sehingga saat pemanasan 60oC dengan waktu tertentu dapat mengganggu pertumbuhan mikroba (Moore, 2006).
Tabel 4.2 Pengaruh Suhu Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan
No
Ulangan
Mikroba
Ǻ
Kontrol (Suhu Kamar)
Freezer
Refrigerator
1
A
Saccharomycess
0,077
0,742
0,025
2
B
Saccharomycess
0,041
0,904
0,035
3
A
Pseudomonas
0,140
0,015
0,092
4
B
Pseudomonas
0,147
0,011
0,080
Sumber : Laporan Sementara
Tabel 4.2 Pengaruh Suhu Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, hal pertama yang dilakukan adalah pada shift pertama mengunakan 0,1ml suspensi Saccharomycess kemudian dimasukkan kedalam dua tabung reaksi yang telah berisi media PNB (Potato Dekstrose Broth). Dilakukan dua kali pengulangan yaitu pengulangan A dan B. Proses pemasukan suspensi Saccharomycess kedalam tabung yang berisi PNB dilakukan dengan cara aseptis. Kemudian tabung ditutup dengan menggunakan alumunium foil. Tabung yang pertama diinkubasi pada suhu freezer, dan sedangkan tabung yang lainnya diinkubasi pada suhu refrigerator. Proses inkubasi dilakukan selama satu hari. Setelah itu, dilakukan pengamatan adanya pertumbuhan melalui tingkat kekeruhannya. Kemudian, dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan panjang gelombang 660nm. Perlakuan tersebut diulangi pada shift kedua menggunakan suspensi Pseudomonas dengan menggunakan media NB (Nutrient Broth).
Hasil percobaan pada Tabel 4.2 Pengaruh Suhu Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, hasil absorbansi pengulangan A dan pengulangan B mikroba Saccharomycess pada suhu kamar didapatkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan Pseudomonas yaitu pada ulangan A sebesar 0,077 dan ulangan B 0,041. Mikroba Saccharomycess pada suhu freezer mengalami pertumbuhan yang cukup besar yaitu dengan nilai absorbansi pada ulangan A 0,724 dan pada ulangan B 0,904. Dan pada suhu refri, mikroba Saccharomycess lebih kecil dibandingkan pada saat suhu freezer. Pada suhu refri didapatkan hasil pada ulangan A absorbansi mikroba Saccharomycess sebesar 0,025 dan pada ulangan B sebesar 0,035. Sedangkan pada mikroba Pseudomonas hasil ulangan A dan B yaitu 0,140 dan 0,147. Pada suhu freezer pertumbuhan Pseudomonas mengalami penurunan. Hasil absorbansi mikroba Pseudomonas pada ulangan A sebanyak 0,015 dan ulangan B 0,011. Pada suhu freezer ini, pertumbuhan Pseudomonas lebih rendah daripada Saccharomycess. Pada suhu refri, pertumbuhan Pseudomonas meningkat kembali. Absorbansi yang didapat pada ulangan A mikroba Pseudomonas sebanyak 0,092 dan pada ulangan B sebanyak 0,080. Hasil tertinggi pada mikroba Saccharomycess adalah pada perlakuan penginkuasian dalam freezer, sedangkan pada mikroba Pseudomonas hasil tertinggi adalah pada perlakuan penginkubasian dengan suhu kamar. Hasil diatas telah sesuai dengan teori. Menurut Moore (2006), setiap habitat Pseudomonas dengan suhu optimum antara 34-42°C. Dan suhu optimum habitat Saccharomycess adalah antara 22-300C. Dan menurut Osvaldo (2012), suhu optimum untuk mikroba Saccharomycess adalah antara 19-32oC. Selama penyimpanan pada suhu rendah bakteri Pseudomonas, Ateromnas, Miraxella dan Acerobacter meningkat lebih cepat dibandingkan dengan organisme lainnya
(Junianto, 2003).
Tabel 4.3 Pengaruh pH Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan
No
Ulangan
Mikroba
Ǻ
Kontrol (Netral)
Asam
Basa
1
A
Saccharomycess
0,077
0,066
0,074
2
B
Saccharomycess
0,041
0,042
0,079
3
A
Pseudomonas
0,140
0,137
0,143
4
B
Pseudomonas
0,147
0,154
0,110
Sumber : Laporan Sementara
Tabel 4.3 Pengaruh pH Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, langkah pertama yang dilakukan adalah menambahkan suspensi mikroba pada media pertumbuhannya. Pada praktikum kali ini menggunakan mikroba Saccharomycess dan mikroba Pseudomonas dengan dua kali pengulangan yaitu ulangan A dan ulangan B. Penambahan mikroba pada media tumbuhnya dilakukan dengan cara aseptis. Setiap jenis mikroba dimasukkan kedalam 3 tabung yang berbeda. Setiap tabung diberikan perlakuan yang berbeda pada setiap mikroba. Pada mikroba Saccharomycess dimasukkan kedalam tabung reaksi yang telah berisi PDB (Potato Dextrose Broth) dan mikroba Pseudomonas dimasukkan kedalam tabung reaksi yang telah berisi NB (Nutrient Broth). Tabung yang pertama digunakan sebagai kontrol dengan pH netral, tabung kedua ditambahkan larutan asam dengan pH 3 dan tabung ketiga ditambahkan larutan basa dengan pH 9. Kemudian setiap tabung ditutup dengan menggunakan alumunium foil hingga rapat. Setelah dilakukan penambahan larutan yang telah ditentukan, semua tabung diinkubasi selama 1 hari. Kemudian, dilakukan pengamatan adanya pertumbuhan melalui tingkat kekeruhannya. Setelah diamati, dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan panjang gelombang 660nm.
Hasil yang didapat pada Tabel 4.3 Pengaruh pH Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, mikroba Saccharomycess pada ulangan A dengan pH netral didapatkan absorbansi sebesar 0,077 dan pada ulangan B sebesar 0,041. Sedangkan pada kondisi asam dengan pH 3 mengalami sedikit penurunan yaitu menjadi sebesar 0,066. Pada kondisi basa dengan pH 9, mikroba Saccharomycess ulangan A hasilnya sebesar 0,074 dan pada ulangan B 0,079. Pada mikroba Pseudomonas hasil dari inkubasi pada pH netral untuk ulangan A lebih kecil disbandingkan dengan ulangan B. Absorbansi ulangan A mikroba Pseudomonas yang didapat sebesar 0,140 dan ulangan B 0,147. Mikroba Pseudomonas pada ulangan A dalam keadaan asam dengan pH didapat 0,137, dan pada ulangan B sebesar 0,154. Pada ulangan B dalam keadaan asam menunjukkan hasil yang kebih besar. Sedangkan dalam keadaan basa, hasil mikroba Pseudomonas pada ulangan A lebih besar dibanding dengan hasil mikroba Pseudomonas pada ulangan B. pada ulangan A didapat sebesar 0,143 dan ulangan A sebesar 0,110.
Menurut Suriani (2013), salah satu faktor penting dalam pertumbuhan bakteri adalah nilai pH. Bakteri memerlukan suatu pH optimum (6,5 - 7,5) untuk tumbuh optimal. Nilai pH minimum dan maksimum untuk pertumbuhan kebanyakan spesies bakteri adalah 4 dan 9. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri ini berkaitan dengan aktivitas enzim. Enzim ini dibutuhkan oleh beberapa bakteri untuk mengkatalis reaksi-reaksi yang berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Apabila pH dalam suatu medium atau lingkungan tidak optimal maka akan mengganggu kerja enzim-enzim tersebut dan akhirnya mengganggu pertumbuhan bakteri itu sendiri. Hasil dari praktikum telah sesuai dengan teori. Menurut Moore (2006), pseudomonas adalah spesies memiliki kekayaan habitat mulai dari berbagai tanah, air, lingkungan dan jaringan hewan. Pada dasarnya, setiap habitat Pseudomonas dengan pH antara 4-8.
Allium sativum atau dikenal sebagai bawang putih, dan bau mawar busuk secara luas diakui untuk memiliki berbagai manfaat kesehatan. Bawang putih mengandung antivirus, anti-jamur, dan properti antibakteri. Bawang putih terbuat dari bagian-bagian yang dikenal sebagai cengkeh, yang dapat dipisahkan untuk memasak dan makan. Mengandung cukup sulfur beberapa bahan kimia, seperti allicin, alliin, dan ajoene. Allicin menghasilkan bau yang merupakan menjadi karakteristik dari bawang putih. Hal ini dihasilkan ketika jaringan tanaman rusak, sehingga enzim seperti alliinase untuk bereaksi dengan alliin untuk membentuk allicin. Allicin kemudian bertindak untuk melindungi dari mikroba. Namun, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonversi alliin untuk allicin biasanya denaturasi pada manusia karena pH rendah tersebut. Allicin sendiri juga biasanya mulai rusak pada suhu di atas 40°C. Seiring dengan kemampuan pelindung, allicin dipercaya menjadi senyawa kimia yang bertanggung jawab untuk efek antimikroba pada bawang putih (Agabalogun, 2010).
Menurut Ankri (1999), sifat antibakteri dari bawang putih telah dikenal untuk waktu yang lama. Berbagai bawang putih telah memiliki spektrum yang luas dari antibakteri aktivitas terhadap bakteri Gram-negatif dan Gram-positif termasuk spesies Escherichia, Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Proteus, Bacillus, dan Clostridium, bakteri Mycobacterium Tuberculosis sensitif terhadap bawang putih. Allicin yang merupakan salah satu senyawa aktif yang terdapat di dalam hancuran bawang putih segar. Allicin dalam bentuk senyawa murni memperlihatkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif termasuk E. coli dari strain multidrug-resistent enterotoxigenic, antifungal khususnya terhadap Candida albicans, antiparasit termasuk parasit protozoa seperti Entamoeba hystolytica dan Giardia lamblia, dan aktivitas antiviral. Bawang putih yang sudah tua (umur 50 hari) mempunyai aktivitas antimikrobia dengan kisaran luas menghambat bakteri Gram negatif dan Gram positif pembentuk spora dan dalam bentuk cocci. Menurut Muslim (2009), bawang putih (A. sativum) mempunyai senyawa aktif yaitu allicin dimana allicin ini merupakan zat aktif yang dapat membunuh bakteri dan dapat membersihkan darah dari racun-racun yang diproduksi oleh bakteri. Allicin ini lebih bersifat bakteriostatik daripada bakterisidal. Allicin mampu menghancurkan gugus S-H (gugus sulfihidril) yang terikat pada protein bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Allicin juga merupakan zat antimikrobial yang mempunyai kekuatan menghancurkan RNA/DNA pada bakteri yang menghasilkan racun-racun. Allicin yang terkandung dalam bawang putih juga dapat membunuh bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif dan berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh untuk mencegah masuknya kuman penyakit (Muslim, 2009).
Senyawa antimikroba atau senyawa antibakteria tidak hanya berasal dari bawang putih saja, tetapi juga banyak terkandung pada bahan pangan lainnya. Menurut Hermawati (2004), senyawa antimikroba alami yang berasal dari susu sapi diantaranya adalah lactoferin, lactoperoksidase, lactoglobulin dan lactolipids. Senyawa yang bersifat antimikroba alami dari susu sapi adalah kelompok laktenin yang merupakan bagian dari sistim imun yaitu immunoglobulin, lysozym, lactoferin dan senyawa lain yang bersifat antimikroba. Dan senyawa antibakteria yang lainnya terdapat dapat putih telur. Lisozim pada putih telur merupakan salah satu alternatif pengawet alami yang biasa digunakan untuk pengawetan makanan karena kemampuannya sebagai antibakteri. Lisozim merupakan enzim yang berukuran relatif kecil, berbentuk monomerik yaitu terdiri dari 129 asam amino dengan BM 14600 serta dapat menghidrolisis ikatan β–1,4 Nac-N-Asetil yang melisis sel bakteri gram positif, namun spektrum lisis dari lisozim hanya terbatas bekerja terhadap gram positif. Pemanfaatan lisozim agar dapat bekerja dengan efektif pada bakteri gram negatif, maka lisozim ditumbuhkan dengan bahan perusak membran seperti detergen dan chelator (Melani, 2014). Sedangkan menurut Apriyani (2015), antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolism mikroba yang merugikan. Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi. Pada kayu manis juga mengandung senyawa antimikroba. Pada minyak kayu manis (Cinnamomum burmanni Nees ex BI.) diketahui mengandung senyawa sinamaldehid yang berfungsi sebagai antibakteri (Apriyani, 2015).
Tabel 4.4 Pengaruh Antimikroba Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan
No
Ulangan
Mikroba
Ǻ
Kontrol (Tanpa
Antimikroba)
1:1
1:3
1
A
Saccharomycess
0,077
0,823
0,217
2
B
Saccharomycess
0,041
0,598
0,513
3
A
Pseudomonas
0,140
0,097
0,452
4
B
Pseudomonas
0,147
0,111
0,427
Sumber : Laporan Sementara
Tabel 4.4 Pengaruh Antimikroba Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, hal pertama yang dilakukan adalah pemasukkan 0,1ml suspensi Saccharomycess kedalam tabung reaksi yang telah berisi PNB dan 0,1ml suspensi Pseudomonas kedalam tabung reaksi yang telah berisi NB. Pemasukkan mikroba dilakukan dengan cara aseptis agar tidak terkontaminasi dengan mikroba lain. Setiap suspensi mikroba menggunakan dua ulangan. Kemudian dilakukan penambahan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi yang berbeda. Dan satu tabung setiap pengulangan digunakan sebagai kontrol. Kemudian setiap tabung ditutup dengan menggunakan alumunium foil hingga rapat. Setelah dilakukan penambahan larutan yang telah ditentukan, semua tabung diinkubasi selama 1 hari. Kemudian, dilakukan pengamatan adanya pertumbuhan melalui tingkat kekeruhannya. Setelah diamati, dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan panjang gelombang 660nm.
Hasil Tabel 4.4 Pengaruh Antimikroba Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, pada mikroba Saccharomycess kontrol ulangan A didapat sebanyak 0,077 dan ulangan B 0,041. Pada mikroba Saccharomycess dengan penambahan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 1:1 ulangan A sebanyak 0,0823 hasil ini lebih banyak dibandingkan dengan ulangan B. pada ulangan B sebanyak 0,698. Berbeda pada hasil penambahan ekstrak bawang dengan konsentrasi 1:3 pada mikroba Saccharomycess hasil ulangan B lebih banyak yaitu 0,513 sedangkan A 0,217. Pada perlakuan kontrol dengan mikroba Pseudomonas ulangan A hasilnya sebanyak 0,140 pada ulangan B hasil tidak jauh beda yaitu 0,147. Sedangkan pada perlakuan penambahan ekstrak bawang putih konsentrasi 1:1 ulangan A sebanyak 0,097 dan ulangan B 0,111. Pada penambahan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 1:3 ulangan A sebanyak 0,452 dan ulangan B 0,427. Dari hasil diatas pada mikroba Pseudomonas telah sesuai dengan teori yaitu semakin tinggi konsentrai antimikrobianya maka pertumbuhan mikroba semakin sedikit. Menurut Bintang (2013), antimikrobial sendiri diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Sehingga semakin tinggi konsentrasi semakin kecil pertumbuhan mikroba. Penghambat pertumbuhan mikroba dalam aktivitas antimikroba sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya dipengaruhi oleh tingkat keasaman (pH), suhu, protein, lemak, karbohidrat, aktivitas air (aw), medium pertumbuhan bakteri serta dipengaruhi oleh konsentrasi garam (Melani, 2014).
Menurut Pundhir (2015), Hurdle concept atau konsep rintangan adalah sebuah konsep yang dikembangkan untuk mengatasi permintaan konsumen untuk makanan alami dan segar lagi. Hurdle concept didefinisikan sebagai kombinasi cerdas dari rintangan yang mengamankan keselamatan mikroba dan stabilitas serta tetap mempertahankan organoleptik, kualitas gizi dan kelayakan ekonomi dari produk makanan.
Sedangkan menurut Leistner (1995), teknologi rintangan atau hurdle concept sudah dikembangkan beberapa tahun yang lalu. Prinsip dari hurdle concept adalah untuk produksi yang aman, stabil, bergizi, lezat dan makanan ekonomis. Ini menggunakan kombinasi cerdas faktor pelestarian yang berbeda atau teknik dalam rangka mencapai multitarget, ringan tapi handal. Aplikasi menarik hurdle concept telah digunakan pada proses makanan. Contoh efek hurdle concept, sebuah produk makanan mikrobiologis stabil dan aman karena kehadiran satu set rintangan yang khusus untuk produk tertentu. Dalam hal sifat dan kekuatan efeknya bersama-sama rintangan ini tetap terjadi pembusukan dan mikroorganisme patogen di bawah kendali karena mikroorganisme ini tidak dapat diatasi. Contoh dari penerapan hurdle concept makanan yang mengandung enam rintangan yaitu suhu tinggi selama pemrosesan, suhu rendah selama penyimpanan, aktivitas air rendah (aw), keasaman (pH) dan redoks potensial rendah, serta pengawet. Dalam produk, beberapa mikroorganisme ini dapat mengatasi sejumlah rintangan tersebut tetapi tidak dapat melewati semua rintangan yang digunakan bersama-sama. Sehingga makanan menjadi makanan stabil dan aman. Contoh makanan rintangan yang diawetkan. Menggunakan teknologi rintangan, jenis sosis salami fermentasi dapat diproduksi stabil pada suhu kamar untuk waktu yang lama. Stabilitas mikroba dicapai dengan menggunakan kombinasi rintangan yang penting dalam berbagai tahap proses pematangan, yang mengarah ke produk akhir yang stabil. Rintangan penting dalam tahap awal dari proses pematangan salami adalah garam pengawet dan nitrit, yang menghambat banyak bakteri hadir dalam adonan daging. Namun, bakteri lain menggunakan oksigen dan dengan demikian menyebabkan penurunan potensial redoks, yang menghambat organisme aerobik. Bakteri asam laktat kemudian berkembang, menyebabkan pengasaman produk dan penurunan pH. Selama pematangan sosis salami, berbagai rintangan secara bertahap menjadi nitrit lebih rendah, jumlah bakteri asam laktat berkurang. Potensial redoks dan pH meningkat. Aw sisi lain berkurang, dan menjadi rintangan utama dalam sosis mentah matang. Meningkatnya kesadaran efek bersama dari berbagai rintangan yang digunakan dalam kombinasi telah membuat produksi sosis fermentasi kurang optimal. Kombinasi serupa rintangan dalam jenis lain yang patut makanan fermentasi (keju dan sayuran) bertanggung jawab atas stabilitas dan kualitas produk (Leistner, 1995).
Tabel 4.5 Pengaruh Pemanasan dan Antimikroba Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan
No
Ulangan
Mikroba
Ǻ
Kontrol (Pemanasan 10')
Pemanasan 10' + 1:1
Pemanasan 10' + 1:3
1
A
Saccharomycess
0,077
0,041
0,148
2
B
Saccharomycess
0,041
0,102
0,115
3
A
Pseudomonas
0,140
0,059
0,044
4
B
Pseudomonas
0,147
0,067
0,061
Sumber : Laporan Sementara
Tabel 4.5 Pengaruh Pemanasan dan Antimikroba Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, hal pertama yang dilakukan adalah pemasukkan 0,1ml suspensi Saccharomycess kedalam tabung reaksi yang telah berisi PNB dan 0,1ml suspensi Pseudomonas kedalam tabung reaksi yang telah berisi NB. Pemasukkan mikroba dilakukan dengan cara aseptis agar tidak terkontaminasi dengan mikroba lain. Setiap suspensi mikroba menggunakan dua ulangan. Kemudian dilakukan penambahan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi yang berbeda. Pada satu tabung setiap pengulangan digunakan sebagai kontrol sehingga tidak ditambahkan ekstrak bawang putih. Semua tabung lalu dipanaskan dengan suhu 60oC selama 10 menit. Pemanasan dilakukan dengan waterbath. Kemudian setiap tabung ditutup dengan menggunakan alumunium foil hingga rapat. Setelah itu, semua tabung diinkubasi selama 1 hari. Setelah diinkubasi, dilakukan pengamatan adanya pertumbuhan melalui tingkat kekeruhannya. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan panjang gelombang 660nm.
Hasil Tabel 4.5 Pengaruh Pemanasan dan Antimikroba Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, pada ulangan A mikroba Saccharomycess dengan perlakuan kontrol didapat absorbansi sebesar 0,060 sedangkan ulangan B 0,2. Pada perlakuaan pemanasan serta penambahan ekstrak bawang konsentrasi 1:1 didapatkan 0,041 pada ulangan A, dan ulangan B 0,102. Sedangkan pada pemanasan serta ekstrak bawang konsentrasi 1:3 didapat 0,148 pada ulangan A dan ulangan B 0,115. Hasil dari mikroba Saccharomycess berupa fluktuasi pada perlakuan kontrol (tanpa ekstrak bawang putih) hasil absorbansi sangat tinggi, pada pemanasan serta antimikroba 1:1 jumlahnya menurun kemudian pada pemanasan serta antimikroba 1:3 meningkat kembali jumlahnya. Mikroba Pseudomonas ulangan A dengan perlakuan sebagai kontrol didapatkan nilai absorbansi sebesar 0,168 dan pada ulangan B 0,127. Pada perlakuan pemanasan 10 menit dan ekstrak bawang putih konsentrasi 1:1 ulangan A absorbansi yang didapat sebesar 0,059 dan ulangan B 0,067. Sedangkan pada perlakuan pemanasan 10 menit dan ekstrak bawang putih konsentrasi 1:3 ulangan A sebesar 0,044 dan ulangan B 0,061. Hasil percobaan tersebut telah sesuai dengan teori, karena zat antimikroba merupakan senyawa penghambat pertumbuhan sehingga semakin tinggi konsentrasi antimikroba maka semakin sedikit pertumbuhan mikroba tersebut (Pelczar, 1988). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain adalah suhu. Setiap mikroba memiliki suhu optimum yang berbeda. Menurut Osvaldo (2012) Saccharomycess suhu optimumnya adalah 19-32oC dan menurut Moore (2006) Pseudomonas suhu optimumnya antara 34-42°C sehingga karena pemanasan dengan suhu 60oC pertumbuhan bakteri tersebut menjadi terganggu.
Pengukuran warna yang paling tepat dan akurat adalah menggunakan spektrofotometer. Namun, spektrofotometer dengan desain yang berbeda memiliki tingkat yang berbeda dalam ketidakpastian pengukuran. Salah satu yang mempengaruhi ketidakpastian pengukuran adalah salah satunya parameter desain, perbedaan mengukur geometri (Milic, 2011). Menurut Sutton (2011), langkah-langkah spektrofotometer kekeruhan langsung itu merupakan cara terbaik atau paling sensitif. Spektrofotometer ini akan memiliki celah sempit dan detektor kecil sehingga hanya cahaya tersebar ke arah depan yang akan dilihat oleh detektor. Instrumen ini akan memberikan penyerapan jelas lebih besar bacaan dari instrumen lain.
Spektrofotometri umumnya lebih disukai terutama oleh industri skala kecil karena biaya peralatan murah dan masalah pemeliharaan yang minimal. Metode analisis berdasarkan pengukuran penyerapan cahaya monokromatik dengan senyawa tidak berwarna di jalur ultraviolet dekat spektrum (200-380nm). Metode fotometrik analisis didasarkan pada hukum Bouger Lambert Beer, yang menetapkan bahwa absorbansi larutan berbanding lurus dengan konsentrasi analit. Prinsip dasar dari operasi spektrofotometer meliputi wilayah UV terdiri cahaya interval pasti panjang gelombang melewati sebuah sel dengan pelarut dan jatuh ke sel fotolistrik yang mengubah energi radiasi menjadi energi listrik diukur dengan galvanometer (Gandhimathi, 2012).
Menurut Triyati (1985), metode spektrofotometri ultra-violet dan sinar sampak telah banyak diterapkan untuk penetapan senyawa-senyawa organik yang umumnya dipergunakan untuk penentuan senyawa dalam jumlah yang sangat kecil. Prinsip kerja alat spektrofometer Ultra-violet dan sinar tampak, suatu sumber cahaya dipancarkan melalui monokromator. Monokromator menguraikan sinar yang masuk dari sumber cahaya tersebut menjadi pita-pita panjang gelombang yang diinginkan untuk pengukuran suatu zat tertentu yang menunjukkan bahwa setiap gugus kromofor mempunyai panjang gelombang maksimum yang berbeda. Dari monokromator cahaya atau energi radiasi diteruskan dan diserap oleh suatu larutan yang akan diperiksa di dalam kuvet. Kemudian jumlah cahaya yang diserap oleh larutan akan menghasilkan signal elektrik pada detector. Signal elektrik ini sebanding dengan cahaya yang diserap oleh larutan tersebut. Besarnya signal elektrik yang dialirkan ke pencatat dapat dilihat sebagai angka.
Sedangkan menurut Yanlinastuti (2011), spektrofotometer UV-Vis adalah alat untuk analisa unsur-unsur berkadar rendah secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-puncak yang dihasilkan pada spektrum suatu unsur tertentu pada panjang gelombang tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi yang dihasilkan dari spektrum senyawa kompleks unsur yang dianalisa dengan pengompleks yang sesuai. Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan hukum Lambert Beer, bila cahaya monokromatik (Io) melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (Ia), sebagian dipantulkan (Ir), dan sebagian lagi dipancarkan (It). Analisis larutan standar dengan variasi konsentrasi diukur untuk membuat kurva kalibrasi yaitu hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi, dan analisis kandungan sampel ditentukan dari nilai absorbansi yang diukur dan disubtitusikan ke dalam persamaan regresi yang dihasilkan dari kurva kalibrasi. Serapan maksimum spektrofotometri ternyata mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 666,3 nm. Sehingga panjang gelombang yang paling baik adalah sekitar 660nm (Yanlinastuti, 2011).
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Mikrobiologi Pangan dan Pengolahan Acara IV Pengaruh Faktor Pertumbuhan Terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan adalah sebagai berikut :
Saccharomycess adalah merupakan salah satu jenis cendawan tergolong khamir yang bermanfaat untuk manusia, sel berbentuk oval. Pseudomonas adalah sel tunggal, batang, lurus, melengkung namun tidak berbentuk heliks.
Suhu optimum Saccharomycess adalah antara 22-300C, dan pH optimumnya 6,5-7,5. Suhu optimum Pseudomonas adalah antara 34-42oC, dan pH optimum Pseudomonas 4-8.
Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme antara lain adalah pH, suhu, aktivitas air, nutrient, oksigen, media biak, kadar air, tekanan osmotik, dll.
Antimikrobial adalah bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba, antimikroba dalam bawang putih adalah allicin, pada susu sapi adalah lactoferin, lactoperoksidase, lactoglobulin dan lactolipids, pada putih telur adalah lisozim pada kayu manis adalah sinamaldehid.
Hurdle concept merupakan kombinasi cerdas dan baik dari rintangan yang mengamankan keselamatan mikroba dan stabilitas serta tetap mempertahankan organoleptik, kualitas gizi dan kelayakan ekonomi dari produk makanan.
Saran
Pada praktikum Mikrobiologi Pangan dan Pengolahan acara IV Pengaruh Faktor Pertumbuhan terhadap Populasi Mikroba dalam Bahan Pangan, saran yang dapat diberikan adalah saat praktikum, alat yang disiapkan sebaiknya sudah mencukupi kebutuhan praktikan. Dan jadwal pengamatan harus sesuai dan terjadwal dengan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Agabalogun, Lola. The Spices of Life: Testing the Antimicrobial Effects of Garlic (Allium Sativum), Cinnamon (Cinnamomu Zeylanicum), and Clove (Syzygium Aromaticum) Against Streptococcus Mutans. Journal International. Vol 8 (1).
Ahmad, Riza Zainuddin. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces Cerevisiae untuk Ternak. Balai Penelitian Veteriner. Vol. 15 (1).
Ankri, Serge. dan Mirelman, D. 1999. Antimikrobia properties of allicin from garlic. Microbes and Infection. Vol. 2 page 125 129.
Apriyani, Yosi Mega. 2015. Aktivitas Antibakteri Minyak Batang Kayu Manis (Cinnamomum burmanni Nees Ex BI.) terhadap Bakteri Propionibacterium acnes. Prosiding Penelitian SpeSIA Unisba.
Bintang, I. A. K. 2013. Penggunaan Kencur (Kaempferia galanga L), Bawang Putih (Allium sativum L) dan Kombinasinya dalam Pakan Broiler. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi. Balai Penelitian Ternak.
Gandhimathi, R. 2012. Analytical Process of Drugs by Ultraviolet (Uv) Spectroscopy A Review. International Journal of Pharmaceutical Research & Analysis. Vol. 2 (2).
Harti, Agnes Sri. 2015. Mikrobiologi Kesehatan. Andi Offset. Yogyakarta.
Hermawati, Dien. 2004. Aktivitas Antimikroba pada Susu Kuda Sumbawa. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. 17 (1).
Kusmiati., Ahmad Thontowi., dan Sukma Nuswantara. 2010. Efek Sumber Karbon Berbeda terhadap Produksi â-Glukan oleh Saccharomyces Cerevisiae pada Fermentor Air Lift. Jurnal Natur Indonesia. Vol. 13 (2).
Leistner, Lothar., Leon G. M. Ghorris. 1995. Food Preservation by Hurdle Technology. Trends in Food Science & Technology. Vol. 6.
Melani, Dilla. 2014. The Addition Of Edta (Ethylenediaminetetraacetic Acid)with Egg White Lysozyme Extracts as The Antimicrobial Activity on Salmonella sp and Staphylococcus aureus. Lecturer of Animal Husbandry. Vol. 1 (1).
Milic, Neda., et al. 2011. Measurement Uncertainty in Colour Characterization of Printed Textile Materials. Journal of Graphic Engineering and Design. Vol. 2(2),
Moore, Edward R. B., et al. 2006. Nonmedical: Pseudomonas. Prokaryotes DOI. Vol. 3 (3).
Muslim, Hotly, M. P dan H. Widjajanti. 2009. Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) untuk Mengobati Benih Ikan Patin Siam (Pangasius Hypophthalmus) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas Hydrophylla. Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 8(1).
Nwogu, Chinyerum Gloria Ikechi. 2012. Comparative Evaluation of Growth Media for the Cultivation of Fungal Cultures. Journal Plant Pathology & Microbiology. Vol. 3 (6).
Pelczar, MJ dan ECS. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid II. UI-Press. Jakarta.
Pundhir, Aditya., dan Nida Murtaza. 2015. Hurdle Technology-An Approach towards Food Preservation. International Journal of Current Microbiology and Apllied Sciences. Vol. 4 (7).
Retnowati, Yuliana. 2011. Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Pada Media Yang Diekspos Dengan Infus Daun Sambiloto (Andrographis Paniculata)
Santi, Sintha Soraya. 2008. Pembuatan Alkohol dengan Proses Fermentasi Buah Jambu Mete oleh Khamir Saccharomycess Cerevesiae. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. Vol. 8 (2).
Schlegel, Hans G. 1994. Mikrobiologi Umum Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suriani, Sanita., Soemarno., dan Suharjono. 2013. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Laju pertumbuhan Lima Isolat Bakteri Anggota Genus Pseudomonas yang diisolasi dari Ekosistem Sungai Tercemar Deterjen di sekitar Kampus Universitas Brawijaya. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. Vol. 3 (2).
Sutton, Scott. 2011. Measurement of Microbial Cells by Optical Density. Journal Of Validation Technology. Vol. 1 (1).
Triyati, Etty. 1985. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Sinar Tampak Serta Aplikasinya dalam Oseanologi. Oseana. Vol. 10 (1).
Wuryanti., dan Murnah. 2009. Uji Ekstrak Bawang Bombay terhadap Anti Bakteri Gram Negatif Pseudomonas Aeruginosa dengan Metode Difusi Cakram. Jurnal Sains dan Matematika. Vol. 17 (3).
Yanlinastuti. 2015. Penentuan Kadar Zirkonium Dalam Paduan U-Zr Menggunakan Spektrofotometer Uv-Vis dengan Pengompleks Arsenazo III. Seminar Nasional. Vol. 1 (1).
Z. S, Ovaldo., Panca Putra S., dan M. Faizal. 2012. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu pada Proses Hidrolisis dan Fermentasi Pembuatan Bioetanol dari Alang-Alang. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 18 (2).
LAMPIRAN
Gambar 4.1 Hasil penginkubasian seluruh sampel
Gambar 4.2 Hasil penginkubasian ulangan B
Gambar 4.3 Hasil penginkubasian ulangan A
ACARA V
UJI AKTIVITAS STARTER DALAM FERMENTASI MAKANAN
Tujuan
Tujuan dari praktikum Mikrobiologi Pengolahan Pangan Acara V "Uji Aktivitas Starter dalam Fermentasi Makanan" adalah:
Mengetahui aktivitas starter yoghurt dalam proses fermentasi susu.
Mengetahui aktivitas starter ragi roti dalam proses fermentasi makanan.
Mengetahui aktivitas starter ragi tape dalam prose fermentasi makanan.
Tinjauan Pustaka
Yoghurt merupakan produk berbasis susu yang telah dikonsumsi selama berabad-abad yang mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan. Dengan berjalannya waktu, yoghurt terus menerus dimodifikasi untuk mendapatkan karakteristik dan efek nutrisi yang lebih baik. Yoghurt berasal dari susu yang mengalami fermentasi dengan bentuk seperti bubur atau es krim. Yoghurt dapat dibuat dari susu, susu kambing, atau lainnya. Yoghurt umumnya mengandung paling sedikit 3,25% lemak susu dan 8,25% padatan non lemak. Yoghurt dapat dibuat rendah lemak (lemak susu 0,5-2,%) atau tanpa lemak (lemak susu kurang dari 0,5%) (Yunita dkk., 2011).
Bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus merupakan bakteri pembentuk asam laktat yang berperan dalam produksi yoghurt. Oleh karena itu, selain tumbuh dan berkembang, kedua mikrobia tersebut juga melakukan aktivitasnya, yaitu merombak laktosa menjadi asam laktat dalam susu fermentasi melalui jalur glikolisis. Dengan adanya aktivitas bakteri asam laktat, maka laktosa yang ada dalam yoghurt akan mengalami penurunan dan terjadi kenaikan kadar asam laktat. Kenaikan asam laktat dalam fermentasi susu selalu seimbang dengan penurunan pH yoghurt, artinya semakin besar kadar asam laktat yang terbentuk selama fermentasi maka pH yoghurt semakin turun, tetapi penurunan kadar laktosanya tidak selalu seimbang dengan kenaikan kadar asam laktat (Utami, 2010).
Flavor dan tekstur adalah faktor-faktor kunci yang mempengaruhi kualitas dan penerimaan dari yoghurt dan produk susu fermentasi lainnya. Banyak parameter yang mempengaruhi flavor, bentuk dan tekstur dari yoghurt seperti kultur starter, suhu inkubasi dan kondisi proses (seperti perlakuan panas, homogenisasi) dan komposisi kandungan susu (Soukoulis et al., 2007).
Fermentasi adalah proses yang diperlukan untuk mengembangkan roti. Pada proses fermentasi ini diperlukan yeast (ragi). Yeast (ragi) yang sering digunakan dalam pembuatan roti adalah Saccharomyces cerevisiae (Hendry, 2008). Yeast ini dapat aktif bekerja pada gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa dan maltoseyang digunakan sebagai makanannya. Gula tersebut juga terdapat dalam terigu atau memang sengaja ditambahkan. Secara enzimatis gula akan dirubah menjadi gas CO2 dan alkohol. Pembebasan gas CO2 akan menyebabkan pengembangan produk (Hendrasty, 2014).
Ragi tape adalah salah satu jenis mikroorganisme starter yang biasa digunakan dalam pembuatan tape. Jenis mikroorganisme yang terdapat dalam ragi tape terdiri dari jenis kapang antara lain Rhizopus oryzae, R. Stolonifer, Aspergillus oryzae, A niger, Mucor cornoloides, M javanicus, M rouxii, M dubois, Fusarium sp dan Amylomyces rouzii, dan dari jenis khamir antara lain Saccharomyces cerevicae, Candida parapsilosis, C mycoderma, Hansenula suppeliculosa, H amonola, Endomycopsis chodate dan E fibuinger. Di dalam ragi tape yang banyak berperan merubah karbohidrat yang terkandung dalam tepung beras menjadi gula adalah A niger, sedangkan yang banyak berperan mengubah gula menjadi alkohol adalah S cereviceae. Selain itu juga terdapat bakteri seperti Bacillus sp. yang menghasilkan pullulanase yang berperan menghidrolisis amilopektin menjadi amilosa (Budiansyah, 2010).
Pembuat roti menggunakan ragi sebagai leavening agent untuk mengembangkan adonan dalam pembuatan roti. Peran sekunder dari ragi untuk roti adalah membentuk flavor dan aroma. Ragi roti memiliki volume yang besar, nilai produk yang rendah, dengan produksi sebesar 1574 x 106 kg per tahun untuk skala global. Ragi yang digunakan dalam pembuatan roti adalah Saccharomyces cerevisiae, sering hanya disebut sebagai ragi roti. Ragi ini mengubah gula yang dapat difermentasi dalam adonan menjadi karbon dioksida dan etanol sebagai produk utamanya. Intensitas fermentasi bergantung pada bentuk ragi dan jumlah gula yang dapat difermentasi dalam tepung, termasuk maltosa yang merupakan produk hidrolisis pati (Ali dkk, 2012).
Metodologi Penelitian
Alat
Erlenmeyer 250 ml, 100 ml dan 50 ml
Gelas beker 50 ml
Gelas ukur
Penangas air
Termometer
Inkubator
Buret 50 ml
pH meter
Pipet ukur 10 ml
Propipet
Penjepit
Pipet tetes
Buret 50 ml
Batang pengaduk
Test plate
Bahan
Susu pasteurisasi
Starter yoghurt (Lactobacillus bulgaricus dan Sterptococcus thermophillus)
Indikator pp 1%
Larutan NaOH 0,1 N
Ragi roti (fermipan)
Ragi tape
Tepung terigu
Tepung beras
Cara kerja
Uji Aktivitas Kultur Yogurht
Uji Aktivitas Ragi Roti
Uji Aktivitas Ragi Tape
Hasil dan Pembahasan
Tabel 5.1 Pengujian Aktivitas Kultur Yoguhrt
Stater
Shift
Kekentalan
pH
Kadar Asam Laktat (%)
0
jam
0,5
jam
1
jam
0
jam
0,5
jam
1
jam
0
jam
0,5
jam
1
jam
Lactobacillus bulgaricus
1
+
++
+++
7,40
7,73
7,62
0,045
0,036
0,027
2
+
++
+++
5,89
6,16
6,46
0,0405
0,036
0,045
Streptococcus thermophillus
1
+
+
++
7,50
7,35
6,81
0,036
0,0405
0,045
2
+
++
+++
6,90
5,78
5,93
0,054
0,0315
0,0315
Lactobacillus bulgaricus + Streptococcus thermophillus
1
+
++
++
7,20
7,46
6,67
0,0315
0,036
0,054
2
+
++
+++
6,82
6,50
6,00
0,0495
0,054
0,0585
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan :
+ : Agak Kental
++ : Kental
+++ : Sangat Kental
Yoghurt merupakan produk berbasis susu dari hasil fermentasi kedua dari Bakteri Asam Laktat (BAL) sebagai starter, yakni Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang hidup bersimbiosis, yang mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan. Dengan berjalannya waktu, yoghurt terus menerus dimodifikasi untuk mendapatkan karakteristik dan efek nutrisi yang lebih baik. Yoghurt berasal dari susu yang mengalami fermentasi dengan bentuk seperti bubur atau es krim. Yoghurt dapat dibuat dari susu, susu kambing, atau lainnya. Yoghurt umumnya mengandung paling sedikit 3,25% lemak susu dan 8,25% padatan non lemak. Yoghurt dapat dibuat rendah lemak (lemak susu 0,5-2,%) atau tanpa lemak (lemak susu kurang dari 0,5%). Pembuatan yoghurt pada umumnya meliputi pemanasan, pendinginan, dan fermentasi dimana pembuatannya mengalami proses yang higenis (Yunita dkk., 2011).
Menurut Ray (2005) untuk menghasilkan yoghurt paling optimal, digunakan dua species bakteri sebagai starter yaitu Streptococcus dan Lactobacillus dengan rasio 1:1. Dengaan bertambahnya waktu inkubasi, aktivitas mikroba semakin meningkat dan jumlah mikroba semakin banyak sehingga mengakibatkan pH medium menjadi turun. Hal ini membuktikan terjadinya perubahan kimia pada komponen gula menjadi komponen asam. Walaupun begitu jenis perbandingan starter yang berbeda ternyata tidak menghasilkan perbedaan penurunan pH yang signifikan. Dengan demikian starter tidak mempengaruhi aktifitas perubahan komponen gula menjadi komponen asam laktat. Selain nilai pH, pembentukan asam selama waktu inkubasi dapat diamati dari kenaikan konsentrasi asam pada produk yoghurt yang dihasilkan. Hal ini diduga karena proses metabolisme mikroba yang terjadi mengubah sukrosa menjadi asam laktat selama waktu inkubasi. Pernyataan ini juga didukung oleh literatur sebelumnya yang menyebutkan bahwa jenis gula yang mengalami penurunan adalah termasuk sukrosa. Pada laktosa yang mengalami penurunan konsentrasi dari waktu inkubasi 0 jam sampai 8 jam. Penurunan konsentrasi sukrosa yang terjadi pada kedua sampel menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara perbandingan jumlah starter dengan laju penguraian sukrosa maupun laktosa pada proses pembuatan yoghurt susu kedelai (Muawanah, 2010).
Menurut Utami dkk. (2010) seiring dengan berjalannya fermentasi terjadi hubungan dimana kadar laktosa mengalami penurunan dan kadar asam laktat mengalami kenaikan. Kadar laktosa terus mengalami penurunan karena dimanfaatkan oleh sel untuk tumbuh dan untuk membentuk asam laktat. Hal inilah yang menyebabkan kenaikan kadar asam laktat. Meningkatnya kadar asam laktat juga berkaitan dengan penurunan pH. Sementara itu, menurut Aswal et al. (2012) campuran yogurt akan terkoagulasi selama fermentasi karena adanya penurunan pH. Karena adanya koagulasi pada protein penyusun susu inilah yang akan menyebabkan peningkatan kekentalan yoghurt.
Dari praktikum acara V uji aktivitas starter dalam fermentasi makanan dalam uji aktivitas kultur yoghurt bertujuan untuk mengetahui aktivitas starter yoghurt dalam fermentasi. Berdasarkan Tabel 5.1 pada shift 1 dan 2 dengan starter Lactobacillus didapatkan hasil pada parameter kekentalan untuk 0 menit yaitu agak kental, pada menit ke-30 kental dan pada menit ke-60 sangat kental. Pada shift 1 dan 2 dengan starter Streptococcus didapatkan hasil untuk kelas A pada 0 menit yaitu agak kental, menit ke-30 agak kental, dan pada menit ke-60 agak kental. Untuk shift 2 kelas B didapatkan hasil pada menit ke 0 agak kental, menit ke-30 kental, dan menit ke-60 sangat kental. Pada shift 1 dan 2 dengan starter Lactobacillus + Streptococcus di dapatkan hasil pada parameter kekentalan untuk menit ke 0 kental, menit ke-30 agak kental, dan pada menit ke-60 sangat kental. Berdasarkan praktikum sudah sesuai teori yang dikemukakan oleh Dibyanti (2011) semakin lama inkubasi maka semakin meningkat kekentalan yoghurt tersebut. Ini disebabkan karena suhu yang digunakan untuk inkubasi pada saat praktikum adalah 37oC. Pada suhu tersebut bakteri Lactobacillus dan Streptococcus belum optimal aktivitasnya. Menurut Ray (2005), sel bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu 37-40oC.
Pada hasil praktikum perubahan nilai pH, pada shift 1 dan 2 menggunakan starter Lactobacillu untuk kelas A pada menit ke 0 menunjukkan pH 7,40, pada menit ke-30 7,73, dan pada menit ke-60 7,62. Untuk shift 2 kelas B pada menit ke 0 menunjukkan 6,89, pada menit ke-30 6,16, dan pada menit ke-60 6,46. Starter Streptococcus pada shift 1 kelas A pada menit ke 0 menunjukkan pH 7,50, pada menit ke-30 7,35, dan pada menit ke-60 mengalami penurunan 6,81. Untuk shift 2 kelas B pada menit ke 0 6,90, menit ke-30 mengalami penurunan 5,78, dan menit ke-60 mengalami kenaikan 5,93. Pada shift 1 dan 2 dengan starter Streptococcus + Lactobacillus pada shift 1 kelas A pada menit ke 0 pH menunjukkan 7,20, menit ke-30 7,46, dan menit ke-60 6,67. Sedangkan untuk shift 2 kelas B pada menit ke 0 pH sebesar 6,82, menit ke-30 6,50, dan menit ke-60 6,00. Pada perubahan nilai pH masing-masing starter tidak stabil. Hal ini tidak sesuai dengan teori, karena dalam percobaan tersebut diperoleh nilai pH dari masing-masing sampel yang mengalami perubahan berdasarkan lama waktu inkubasinya. Meski terdapat beberapa sampel yang nilai pHnya meningkat, namun sebagian besar nilai pH sampel akan semakin menurun atau tingkat keasamannya bertambah. dengan bertambahnya waktu inkubasi aktivitas mikroba semakin meningkat dan jumlah mikroba semakin banyak. Sehingga mengakibatkan pH medium menjadi turun. Hal ini membuktikan terjadinya perubahan kimia pada komponen gula menjadi asam. Menurut Dibyanti (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kultur diantaranya yaitu, ketersediaan nutrient didalam media tumbuh, pengaruh suhu, pengaruh aktifitas air, pengaruh pH, dan pengaruh oksigen. Kemudian perubahan kadar asam laktat pada masing-masing starter berbeda-beda. Pada shift 1 dan 2 menggunakan starter Lactobacillus untuk shift pertama kelas A pada jam ke 0 didapat kadar asam laktat 0.045%, menit ke-30 kadar asam laktat 0,036%, dan pada menit ke-60 kadar asam laktat 0,027%. Untuk shift 2 kelas B pada jam ke 0 kadar asam laktat 0,0405%, menit ke-30 kadar asam laktat 0,036%, dan menit ke-60 kadar asam laktat 0,045%. Pada starter Streptococcus shift 1 kelas A pada jam ke 0 kadar asam laktat 0,036%, menit ke-30 kadar asam laktat 0,0405%, dan menit ke-60 kadar asam laktat 0,045%. Untuk shift 2 kelas B pada jam ke 0 kadar asam laktat sebesar 0,054%, pada menit ke-30 kadar asam laktat 0,0315%, dan pada menit ke-60 0,0315. Pada shift 1 dan 2 starter Streptococcus+Lactobacillus untuk kelas A shift 1 pada jam ke 0 didapat kadar asam laktat sebesar 0,0315%, pada menit ke-30 kadar asam laktat 0,036%, dan pada menit ke-60 kadar asam laktat sebesar 0,054%. Sedangkan untuk shift 2 kelas B pada jam ke 0 kadar asam laktat sebesar 0,0495%, menit ke-30 kadar asam laktat 0,054%, dan pada menit ke-60 0,0585%. Kadar asam laktat pada saat praktikum pada setiap shift peningkatan starter tidak stabil. Hal ini tidak sesuai dengan teori Utami (2010), disebabkan karena pengukuran kadar asam laktat menggunakan titrasi didapatkan warna yang pekat. Larutan yang telah ditambah indikator pp tidak langsung dihentikan saat proses titrasi sehingga warna yang diperoleh menjadi pink pekat sehingga kadar asam laktat tidak stabil selama inkubasi.
Menurut Martensson et al (2002), faktor yang mempengaruhi hasil perlakuan pada praktikum antara lain kondisi fermentasi, lamanya fermentasi, jumlah dan aktivitas starter yang ditambahkan. Oleh karena itu aktifitas bakteri asam laktat dalam fermentasi susu dapat dideteksi dengan terbentuknya asam laktat, pH dan terbentuknya viskositas. Semakin lama waktu fermentasi maka bakteri asam laktat akan menurunkan pH yoghurt sehingga yoghurt bersifat asam. Hal ini menyebabkan protein dalam susu akan terkoagulasi atau dengan kata lain akan menggumpal dan semakin kental.
Tabel 5.2 Pengujian Aktivitas Ragi Roti
Kelompok
Shift
Bahan
Waktu
Kenaikan Volume (ml)
4
1
Tepung Terigu + Ragi Roti
0
50
15
110
30
135
45
150
60
140
4
2
Tepung Terigu + Ragi Roti
0
40
15
60
30
110
45
130
60
150
Sumber : Laporan Sementara
Ragi roti atau yeast adalah mikroorganisme hidup jenis khamir yang sering disebut Saccharomyces cerevisiae, berkembang biak melalui cara membelah diri atau budding. Yeast memfermentasikan adonan sehingga menghasilkan gas karbondioksida yang akan mengembangkan adonan. Jika proses fermentasi terkendali dengan baik, maka akan menghasilkan produk bakteri seperti roti dan donat yang baik, dalam arti mempunyai volume dan tekstur yang baik serta cita rasa yang enak. Selama proses fermentasi akan terbentuk CO2 dan ethyl alkohol. Gula-gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa digunakan sebagai substrat penghasil CO2. Gas CO2 yang terbentuk menyebabkan adonan roti mengembang dan alkohol berkontribusi dalam membentuk aroma roti. Kondisi fermentasi yang ideal pada temperatur 30-38 °C dan kelembaban 75-80%.
Fungsi ragi dalam adonan roti adalah sebagai pengembang. Memproses gluten untuk menahan keluarnya udara serta menghasilkan flavour. Penggunaan air hangat tidak hanya dimanfaatkan supaya ragi cepat larut, tetapi juga agar suhu ragi tetap konstan karena biasanya ragi tumbuh dan berkembang pada suhu sekitar 25oC–30oC. Pada suhu yang rendah pembentukan gas terhambat sedang pada suhu tinggi terlalu banyak gas yang dihasilkan dan membuat volume menjadi terlalu besar sebelum gluten menjadi dewasa. Setelah itu campuran tepung terigu dan ragi tersebut diuleni hingga membentuk adonan. Adonan terdiri atas campuran tepung, air, garam dan khamir. Karbohidrat pada tepung terigu diubah menjadi maltose oleh enzim maltase yang mengubah maltose menjadi glukosa dan difermentasi menjadi etanol dan karbondioksida.Penguraian ini berlangsung dengan bantuan enzim zimase yang dihasilkan ragi. Pada proses ini, CO2 berfungsi mengembangkan adonan roti. Banyaknya rongga kecil yang terdapat pada roti merupakan bukti terjadinya gelembung CO2 saat peragian. Berikut reaksi yang terjadi dalam pembuatan roti memakai ragi roti.
Saccharomyces cerevisiae ini memiliki sifat-sifat fisiologi yang stabil, sangat aktif dalam memecah gula yaitu mengubah pati dan gula menjadi karbon dioksida dan alkohol, terdispersi dalam air, mempunyai daya tahan simpan yang lama dan tumbuh dengan sangat cepat. Aktivitas ragi roti ditandai dengan mengembangnya adonan karena pembentukan CO2 (Setiawati, 2013).
Aktivitas ragi roti dapat diamati secara kuantitatif dengan pertambahan volume. Pertambahan volume menunjukkan adanya gas karbondioksida yang terbentuk dan terperangkap dalam adonan akibat adanya gluten, akibatnya volume dari adonan roti makin bertambah seiring lamanya waktu fermentasi. Keberadaan karbondioksida dalam adonan roti mengakibatkan struktur berporus dari roti.
Menurut Ali, dkk (2012) roti mengembang diakibatkan oleh proses metabolisme khamir mengubah secara kimia karbohidrat yang terkandung dalam adonan menjadi karbon dioksida dan etil alkohol. Selain itu, karbon dioksida, yang sebagian larut dalam fase berair dari adonan, bergerak menuju inti awal dari gelembung udara yang terbentuk selama proses pengulenan yang menyebabkan pertumbuhan adonan. Pertumbuhan sel gas tergantung pada ukuran sel dan komposisi adonan. Volume roti yang diinginkan dari produk ragi fermentasi hanya akan tercapai jika adonan menyediakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan ragi dan menghasilkan gas dan, pada saat bersamaan, memiliki sebuah matriks gluten yang tahan terhadap retensi gas maksimum
Berdasarkan data pengamatan aktivitas ragi roti yang telah didapatkan untuk kelompok 4 pertambahan volume dari menit ke-0, hingga menit ke-60 adalah 50 ml , 110 ml, 135 ml, 150 ml, dan 140 ml. Untuk kelompok 4 shift 2 pertambahan volume adonan dari menit ke-0 sampai menit ke-60 adalah 40 ml, 60 ml, 110 ml, 130 ml, 150 ml . Dari kedua hasil data praktikum pengamtan aktivitas ragi roti tentang pertambahan volume yang terbesar pada kelompok 4 pada menit ke-45 sebesar 150 ml dan pertambahan volume yang paling rendah pada kelompok 4 juga yaitu sebesar 50 ml pada menit ke-0. Pada shift 1 menit ke-45 kenaikan volume 150 ml, lalu pada menit ke-60 mengalami penururnan karena naiknya volume pengembangan roti manis disebabkan oleh tingginya kandungan protein didalam gluten dalam tepung terigu, oleh sebab itu pada peningkatan subtitusi tepung kulit manggis dan penurunan penambahan gluten akan menyebabkan volume pengembangan roti manis menurun dan juga terjadi penurunan jumlah pori yang diperoleh. Jumlah pori semakin meningkatnya substitusi tepung dan semakin menurunnya penambahan gluten maka akan menurunkan volume pengembangan pada roti manis. Hal ini disebabkan karena semakin tingginya substitusi tepung maka roti akan susah mengembang karena didalam tepung tidak terdapat gluten dimana sifat gluten adalah elastis, sedangkan didalam tepung mengandung serat yang cukup tinggi dimana sifat serat adalah menahan gas sehingga volume pengembangan tidak maksimal walaupun dengan adanya penambahan gluten tetapi kenaikan volume pengembangan tidak maksimal (Sarofa, 2014).
Faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adonan, namun tetap harus diingat bahwa dalam proses fermentasi tersebut yang dipentingkan adalah pengembangan adonan. Pengembangan adonan sendiri merupakan akibat dari peningkatan tekanan internal akibat dari gas CO2 yang dihasilkan. Dengan demikian, beberapa parameter yang mempengaruhi laju pengembangan adonan adalah ekstensibilitas dan elastisitas film protein, viskositas adonan, dan tentu saja aktivitas khamirnya. Suhu aktivitas khamir sangat dipengaruhi oleh suhu medium. Pada kisaran suhu 20-40oC, peningkatan suhu adonan 1oC akan meningkatkan laju fermentasi sampai 12%. Oleh karena itu, pada proses produksi sangat vital untuk dilakukan pemantauan dan pengendalian suhu adonan secara akurat pada akhir proses pencampuran. Perlu diketahui dan menjadi catatan bahwa apabila suhu adonan melebihi 55oC maka khamir akan mati. Konsentrasi Khamir pada suhu tersebut di atas, laju fermentasi tergantung pada jumlah khamir ynag digunakan (Antara,2012).
Mikroba Memiliki kriteria pertumbuhan yang berbeda-beda. Menurut Fardiaz dalam jurnal Azizah (2012), Saccharomyces Cerevisiae memliki kisaran suhu pertumbuhan antara 20-30°C. Tetapi Kumalasari dalam jurnal Azizah (2012), menyatakan bahwa Saccharomyces Cerevisiae akan tumbuh optimal dalam kisaran suhu 30-35°C dan puncak produksi alkohol dicapai pada suhu 33°C. Jika Suhu terlalu rendah, maka fermentasi akan berlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhu terlalu tinggi maka Saccharomyces Cerevisiae akan mati sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung. Saccharomyces Cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi untuk melakukan proses fermentasi alkohol, dibutuhkan kondisi anaerob. Substrat nutrient yang paling dibutuhkan oleh mikroba baik untuk tumbuh maupun untuk menghasilkan produk fermentasi adalah karbohidrat. Kisaran pertumbuhan Saccharomyces Cerevisiae adalah pada pH 3,5-6,5. Pada kondisi basa, Saccharomyces Cerevisiae tidak dapat tumbuh.
Tabel 5.3 Pegujian Aktivitas Ragi Tape
Kelompok
Shift
Bahan
Waktu (menit)
Keterangan
5,9
1
Tepung Beras + Ragi Tape
0
Ungu
30
Ungu Memudar
60
Ungu Pudar
5,9
2
Tepung Beras + Ragi Tape
0
Ungu Pekat
30
Ungu Agak Pudar
60
Ungu Keputihan
Sumber : Laporan Sementara
Praktikum pengamatan aktivitas ragi tape ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ragi tape dalam bahan pada menit ke-0, 30 dan 60 disampling dan ditambah 1 tetes larutan iod. Diamati intensitas warna biru yang terbentuk. Berdasarkan hasil data pengamatan aktivitas ragi tape untuk kelompok 5,9 shift 1 pada menit ke-0 intensitas warna yang terbentuk adalah ungu, setelah 30 menit intensitas warnanya menjadi ungu memudar, dan setelah 60 menit warnanya menjadi ungu pudar. Untuk kelompok 5,9 shift 2 dengan perlakuan yang sama pada menit ke-0 intensitas warna yang terbentuk adalah ungu pekat setelah 30 menit intensitas warnanya menjadi ungu agak pudar dan setelah 60 menit menjadi ungu keputihan . Dari kedua kelompok tersebut ternyata untuk hasil akhir terbentuknya intensitas warna berbeda untuk kelompok 5,9 shift 1 hasil akhirnya menjadi warna ungu pudar sedangkan untuk kelompok 5,9 shift 2 intensitas warna yang terbentuk adalah ungu keputihan. Hal yang membedakan hasil warna yang didapatkan dari kedua kelompok tersebut adalah perlakuan dari praktikan yang tidak sama sehingga ada beberapa bahan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit. Hal ini dapat mempengaruhi warna yang terbentuk. Hasil dari praktikum tersebut sudah sesuai dengan teori. Warna ungu pada percobaan ini menunjukkan adanya kandungan alkohol pada tape tersebut. Semakin pekat atau hitam warna yang dihasilkan maka kandungan alkohol yang dihasilkan semakin besar pula. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Disini terdapat perubahan dari glukosa menjadi alkohol yang terdapat dalam tape.
Hubungan intensitas warna biru dari iod dan lama waktu fermentasi pada ragi tape yaitu jika intensitas warna pada ragi tape semakin biru maka kandungan amilum juga besar. Uji Iod digunakan untuk mengetahui kandungan amilum pada bahan. Jika intensitas warna besar maka kandungan amilum juga besar. Padahal seharusnya semakin lama fermentasi, amilum atau pati yang terdegrasi menjadi alkohol semakin banyak. Menurut Putri (2012) strain dengan kemampuan amilolitik akan menghidrolisis pati pada media di sekeliling tempat tumbuhnya dan dalam zona degradasi tidak terbentuk warna biru, yang merupakan dasar deteksi dan seleksi strain amilolitik. Zona bening akan tampak setelah beberapa saat ditambahkan larutan iodin dan kelebihan larutan iodide dibuang.
Pada proses fermentasi tape akan terjadi perombakan gula menjadi alkohol atau etanol, asam laktat, asam asetat dan aldehid. Perubahan yang terjadi pada adonan tepung beras yang ditambahkan ragi tape menghasilkan kekentalan yang lebih kental, bau asam yang berbeda dari awal dan menurunnya pH. Bau asam yang dihasilkan adonan adalah hasil perombakan pati menjadi gula sederhana seperti glukosa yang kemudian dipecah lagi oleh ragi dengan bantuan enzim invertase yang menghasilkan etanol dan karbondioksida. Menurut Hidayati (2013), semakin lama waktu inkubasi maka kekentalan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan meningkatnya khamir yang terdapat pada ragi tape tersebut. Selain itu masa inkubasi terjadi penyerapan kandungan air. Sehingga kandungan airnya akan berkurang dan kekentalan akan semakin tinggi.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum acara V Uji Aktivitas Starter Dalam Fermentasi Makanan adalah:
Starter yang digunakan pada pembuatan roti dan tape adalah Saccharomyces cerevisiae.
Fermentasi tape akan terjadi perombakan gula menjadi alkohol atau etanol, asam laktat, asam asetat dan aldehid.
Lama waktu inkubasi mampu menurunkan kadar pH, meningkatkan keasaman, dan meningkatkan nilai viskositas atau kekentalan pada yoghurt.
Semakin lama waktu fermentasi, intensitas warna biru iod akan semakin memudar karena kadar gula reduksi yang dihasilkan semakin menurun. Pada proses fermentasi pati terlebih dahulu diubah menjadi sukrosa (maltosa), kemudian diubah menjadi alkohol, asam asetat, air, karbondioksida dan senyawa lainnya.
Faktor yang berpengaruh terhadap proses fermentasi adonan roti antara lain adalah enzim-enzim protase, lipase, invertase, dan maltase, suhu, pH, kandungan air, gula dan garam.
Saran
Saran yang dapat diambil dari acara V adalah dalam melakukan praktikum adalah kurang efisiensinya tempat dan keterbatasan alat yang digunakan sehingga memperlambat praktikum, saat melakukan praktikum kurang ketelitian sehingga mengakibatkan hasilnya kurang akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Akbar., Amir, S., Moazzam, R.K., Muhammad, Asim S dan Muhammad, Rizwan A. 2012. Yeast, its Types and Role in Fermentation during Bread Making Process - AReview. Journal of Food Sciences, Vol. 22 (1): 171-179.
Antara, Nyoman Semadi. 2012. Pengendalian Proses Fermentasi dalam Pengolahan Roti. Vol. 3. No. 1.
Aswal. Priyanka. 2012. Yoghurt: Preparation, Characteristics And recent Advancements. Journal Of Bio-Protocols Vol. 1 No. 2
Azizah. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH Dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Subtitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan Vol.1 No. 2
Budiansyah, Agus. 2010. Performan Ayam Broiler yang Diberi Ransum yang Mengandung Bungkil Kelapa yang Difermentasi Ragi Tape Sebagai Pengganti Sebagian Ransum Komersial. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan, Februari, 2010 Vol. XIII No. 5.
Dibyanti, Prakasita. 2011. Pengaruh Penambahan Berbagai Konsentrasi Kultur Dan Waktu Inkubasi Terhadap pH, Kadar Keasaman, Viskositas Dan Sinersis Set Yogurt. Universitas Brawijaya Malang.
Hendrasty, Heny Krissetiana. 2014. Bahan Produk Bakery. Jakarta. Graha Ilmu.
Hidayati, Darimiyya, Darratul Ba'ido dan Sri Hastuti. 2013. Pola Pertumbuhan Ragi Tape pada Fermentasi Kulit Singkong. AGROINTEK. Vol. 7, No.1.
Martensson, O., R. Oste dan O. Holst. 2002. The Effects Of Yoghurt Culture On The Survival Of The Probiotic Bacteria In Oat Based, Non-Dairy Products. Food Research International. Vol. 35, Hal. 775-784.
Muawanah, Anna. 2012. Pengaruh Lama Inkubasi dan Variasi Jenis Starter Terhadap Kadar Gula, Asam Laktat, Total Asam dan PH Yoghurt Susu Kedelai. FST UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Putri, Widya Dwi Rukmi. 2012. Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Amilolitik Selama Fermentasi Growol, Makanan Tradisional Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian Vol 13 No. 1.
Sarofa, Ulya., Sri Djajati., dan Siti Nur Cholifah P. 2014. Pembuatan Roti Manis (Kajian Subtitusi Tepung Terigu dan Kulit Manggis Dengan Penambahan Gluten). Jurnal Rekapangan. Vol. 8. No.2.
Setiawati, Diah Restu. 2013. Proses Pembuatan Bioetanol Dari Kulit Pisang kepok. Jurnal Tekhnik Kimia Vol. 19 No.1
Soukoulis, C., P. Panagoiditidis, R. Kourelli dan C. Tzia. 2007. Industrial Yogurt Manufacture: Monitoring of Fermentation Process and Improvement of Final Product Quality. J. Diary Sci. 90:2641-2654.
Utami, Rohula., MAM Andriani dan Zoraya A Putri. 2010. Kinetika Fermentasi Yoghurt yang Diperkaya Ubi Jalar (Ipomea batatas). Caraka Tani XXV No. 1 Maret 2010.
Yunita, Dewi., Rohaya, Syarifah., El Husna, Nida., dan Maulina, Isnanda. 2011. Pembuatan Niyoghurt dengan Perbedaan Perbandingan Streptococcus Thermophilus dan Lactobacillus Bulgaricus serta Perubahan Mutunya selama Penyimpanan.Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No. 2.
LAMPIRAN
PERHITUNGAN
Rumus Kadar Asam Laktat = ml NaOH × N NaOH × BM Asam Laktat (90)ml sampel ×1000 × 100%
Kadar Asam Laktat LB shift 1
Waktu 0 jam = 1 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,045 %
Waktu 0,5 jam = 0,8 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,036 %
Waktu 1 jam = 0,6 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,027 %
Kadar Asam Laktat LB shift 2
Waktu 0 jam = 0,9 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,040 %
Waktu 0,5 jam = 0,8 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,036 %
Waktu 1 jam = 1 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,045 %
Kadar Asam Laktat ST shift 1
Waktu 0 jam = 0,8 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,036 %
Waktu 0,5 jam = 0,9 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,040 %
Waktu 1 jam = 1 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,045 %
Kadar Asam Laktat ST shift 2
Waktu 0 jam = 1,2 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,054 %
Waktu 0,5 jam = 0,7 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,031 %
Waktu 1 jam = 0,7 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,031 %
Kadar Asam Laktat LB + ST shift 1
Waktu 0 jam = 0,7 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,031 %
Waktu 0,5 jam = 0,8 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,036 %
Waktu 1 jam = 1,2 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,054 %
Kadar Asam Laktat LB + ST shift 2
Waktu 0 jam = 1,1 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,049 %
Waktu 0,5 jam = 1,2 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,054 %
Waktu 1 jam = 1,3 × 0,1 × 90 20 ×1000 × 100% = 0,058 %
FOTO
Gambar 5.1 Kultur ST Gambar 5.1 Proses pemanasan ST
Gambar 5. 1 pH ST 0 jam Gambar 5.1 pH ST 0,5 jam
Gambar 5.1 pH ST 1 jam Gambar 5.1 Titrasi ST 0 jam
Gambar 5.1 Titrasi ST 0,5 jam Gambar 5.1 Titrasi ST 1 jam
Gambar 5.1 Kultur LB + ST Gambar 5.1 Pemanasan LB + ST
Gambar 5.1 pH LB + ST Gambar Titrasi LB + ST
Gambar 5.2 Penimbangan Ragi Roti Gambar 5.2 Air Hangat + Tepung
Gambar 5.2 Adonan Roti Gambar 5.2 adonan + minyak 0 menit
Gambar 5.1 adonan + minyak 30 menit