LAPORAN PRAKTIKUM PENGEMBANGAN FORMULA
PEMANFAATAN TEPUNG LABU KUNING DAN TEPUNG TEMPE RENDAH LEMAK SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN FORMULA ENTERAL DIET DIABETES MELITUS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Formula yang dibimbing oleh Yohannes Kristianto, Grad. Dip. Food, MFT
Oleh: Desy Dwi Puspitasari 1203400001
KEMENTERIAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI DIPLOMA IV GIZI MALANG 2012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Diabetes Melitus tipe 2 merupakan 90% dari seluruh kasus kejadian diabetes. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO ( World Health Organization) Organization ) memprediksi kenaikan jumlah penyandang Diabetes Melitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang Diabetes Melitus dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Diabetes Melitus didefinisikan sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2010). Kondisi hiperglikemia kronik (menahun) pada Diabetes Melitus menyebabkan kenaikan kadar radikal bebas, yaitu melalui proses autooksidasi glukosa, glikasi protein, dan jalur poliol (Yasa et al ., ., 2009). Pembentukan radikal bebas akibat hiperglikemia dapat menyebabkan kondisi stress oksidatif yang memicu berbagai macam komplikasi pada diabetes. Stres oksidatif timbul bila pembentukan reactive oxygen spesies (ROS) melebihi kemampuan sel dalam mengatasi radikal bebas yang melibatkan sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan, sehingga terjadi penurunan kapasitas antioksidan endogen (Kumar et al ., ., 2004 dan Sheridan et al ., ., 2006 dalam Dewi, 2012). Akibat adanya penurunan kapasitas antioksidan endogen, tubuh memerlukan pasokan antioksidan dari luar (eksogen/ non enzimatis) yang terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan β-karoten. β -karoten. Antioksidan ini bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau
dengan cara menangkapnya. Antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh (Tilak dan Devasagayam, 2006). Selain vitamin C, E, dan β karoten, beberapa flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terbukti berpotensi sebagai antioksidan. Salah satu komponen flavonoid yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah isoflavon yang merupakan kelompok terbesar dalam golongannya. Isoflavon dalam bahan pangan terdapat dalam dua bentuk, yaitu isoflavon glukosida dan isoflavon aglikon (Nakajima et al ., 2005). Bentuk aglikon dari isoflavon adalah daidzein, genistein, dan glycitein. Genistein dan daidzein adalah senyawa isoflavon terbesar dan merupakan senyawa fenol heterosiklik yang mempunyai struktur mirip estrogen (estrogen-like). Mekanisme isoflavon yang telah diteliti pada hewan dan manusia yaitu meningkatkan ekskresi asam empedu, menurunkan metabolisme kolesterol, meningkatkan hormone tiroid, dan mengurangi rasio insulin : glukagon (Potter, 1998 dalam Yousef et al ., 2004). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh β-karoten dan isoflavon pada penderita diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh Maritim et al . (2002) untuk menguji pengaruh β -karoten terhadap oksidatif stress pada tikus normal dan tikus diabetes menunjukkan bahwa pemberian βkaroten selama 14 hari mampu merubah kondisi stress oksidatif pada tikus. Pada Diabetes Melitus tipe 2 (NIDDM), Levy et al . (1999) menyatakan bahwa pemberian β-karoten mampu mengubah status antioksidan dalam tubuh penderita diabetes. Penelitian yang dilakukan oleh Suarsana (2010) menunjukkan bahwa isoflavon (daidzein dan genistein) mampu menghambat aktivitas enzim α glukosidase dengan daya hambat sebesar 11,89% serta memiliki daya antihiperglikemik. Hal tersebut didukung pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al (2006) bahwa genistein berperan dalam regulasi sekresi insulin dalam sel beta pankreas melalui cAMP-Dependent Protein Kinase Pathway.
Beta karoten dan isoflavon dapat dengan mudah diperoleh dari bahan makanan yang sering dikonsumsi sehari-hari. Salah satu bahan makanan sumber β-karoten adalah labu kuning, dengan kadar cukup tinggi yaitu 22.281 µg/100 gram (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian), lebih tinggi dibandingkan wortel (63,67 µg/100 gram) dan ubi jalar merah (17.436,75 µg/100 gram). Selain mengandung β-karoten sebagai antioksidan, labu kuning merupakan sayuran dengan indeks glikemik rendah, dan merupakan bahan makanan dengan jenis karbohidrat kompleks karena kandungan seratnya yang tinggi, yaitu 3,48% (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian). Serat merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengendalikan gula darah pada penderita diabetes melitus. Afriansyah (2003) dalam Nadimin (2009) mengemukakan bahwa konsumsi makanan tinggi serat, terutama serat larut air dapat memperbaiki kontrol gula darah penderita diabetes melitus tipe 2. Bahan makanan yang dapat digunakan sebagai sumber isoflavon adalah bahan makanan berbasis kedelai. Salah satu bahan pangan olahan berbasis kedelai adalah tempe, dengan kadar isoflavon 48.873 mg/100 gram. Keunggulan tempe dibandingkan dengan olahan kedelai lainnya adalah kandungan senyawa isoflavon dalam bentuk aglikon dan terbentuknya senyawa isoflavon baru, yaitu faktor-2 yang tidak terdapat pada kedelai, karena telah mengalami proses fermentasi oleh kapang Rhyzopus oryzae. Toru et al . (2000) dalam Suarsana et al . (2012) menyatakan bahwa isoflavon dalam bentuk aglikon diabsorbsi lebih baik bila dibandingkan dengan bentuk glukosida, sehingga memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi. Pengolahan labu kuning dan tempe menjadi tepung merupakan suatu bentuk upaya pemanfaatan pangan lokal menjadi bahan makanan yang lebih bermanfaat, khususnya di bidang kesehatan, yaitu sebagai bahan dasar pembuatan formula enteral. Pengolahan menjadi tepung akan meningkatkan daya simpan, karena berkurangnya kadar air, serta meningkatnya nilai gizi per total padatan. Tepung tempe yang dihasilkan mengandung lemak sebanyak 24,7%, sehingga memiliki kemungkinan sukar larut dalam air yang mengakibatkan timbulnya endapan pada formula pengembangan. Untuk itu,
lemak pada tempe dihilangkan untuk meningkatkan kelarutan formula enteral yang dihasilkan. Selama ini, formula enteral sebagian besar berbasis susu skim sebagai sumber protein, sehingga harganya relatif mahal. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi kecenderungan terhadap susu skim melalui penggunaan tepung tempe sebagai sumber protein dengan harga yang lebih murah. Harga yang murah dengan manfaat yang besar bagi kesehatan, diharapkan dapat dipergunakan oleh masyarakat sebagai alternatif diet diabetes mellitus tipe 2. Sebagai seorang ahli gizi, harus mampu membuat/mengembangkan suatu formula baru yang manfaatnya dapat mengimbangi atau bahkan melebihi formula enteral komersial, yang harganya relatif lebih mahal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan masyarakat. Tugas ahli gizi dalam pengembangan formula adalah menentukan komposisi zat gizi dalam suatu produk, untuk mewujudkan Svastha Harena, yaitu sehat melalui makanan. Dalam hal ini diharapkan formula yang dikembangkan bisa dijadikan sebagai obat untuk menangani Diabetes Melitus Tipe 2. Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan pengembangan tepung labu kuning dan tepung tempe rendah lemak sebagai bahan dasar pembuatan formula enteral diet diabetes melitus tipe 2.
B. Tujuan Pengembangan
1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh proporsi tepung labu kuning + tepung tempe dan tepung susu skim terhadap mutu fisik, nilai gizi secara empiris, dan kepadatan energi formula pengembangan 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis viskositas formula enteral pengembangan b. Menghitung nilai gizi formula enteral pengembangan secara empiris, meliputi energi, karbohidrat, protein, lemak, β-karoten, isoflavon c. Menghitung kepadatan energi formula pengembangan
BAB II METODE PENGEMBANGAN
A. Jenis dan Desain Pengembangan 1.
Jenis Pengembangan
Pengembangan
ini
merupakan
pengembangan
eksperimental
laboratorium untuk menganalisis mutu fisik (viskositas), nilai gizi (energi, karbohidrat, protein, lemak, beta karoten, isoflavon), dan kepadatan energi formula enteral pengembangan. 2.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan yaitu proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak : tepung susu skim sebagai bahan dasar pembuatan formula enteral. Perlakuan terdiri dari 4 taraf perlakuan tanpa dilakukan replikasi, sehingga jumlah unit penelitian adalah 4 unit. Rancangan penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Taraf Perlakuan dan Unit Percobaan Taraf Perlakuan (%) Tepung Labu Kuning + Tepung Tempe Rendah Lemak : Tepung Susu Skim P1 (100:0) P2 (90:10) P3 (80:20) P4 (70:30) Keterangan: X11, X21, X31, X41 : unit penelitian
Replikasi X11 X21 X31 X41
B. Resep Dasar dan Resep Pengembangan
Pada pengembangan ini tidak ada resep dasar, karena yang digunakan sebagai pembanding adalah formula enteral komersial, yaitu Diabetasol. Resep pengembangan formula disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Komposisi Bahan pada Setiap Taraf Perlakuan Bahan
Tep. Labu kuning + Tep. Tempe Rendah Lemak Tep. Susu skim Minyak kelapa Maltodextrin Gula pasir
P1 (100:0)
P2 (90:10)
25.80 0.00 6.60 21.60 6.00
23.22 2.58 6.60 21.60 6.00
P3 (80:20)
20.64 5.16 6.60 21.60 6.00
P4 (70:30)
18.06 7.74 6.60 21.60 6.00
C. Tempat dan Waktu Pengembangan 1.
Tempat Pengembangan
Pengembangan dilakukan di Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. 2.
Waktu Pengembangan
Pengembangan dilaksanakan pada tanggal 6 – 15 Januari, meliputi: a. pembuatan tepung tempe pada tanggal 6 Januari 2013, b. pembuatan tepung tempe rendah lemak pada tanggal 6 – 7 Januari 2013, c. pembuatan tepung labu kuning pada tanggal 10 - 12 Januari 2013 d. pembuatan formula enteral pengembangan pada tanggal 15 Januari 2013
D. Variabel Pengembangan 1.
Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak : tepung susu skim. 2.
Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: a.
mutu fisik (viskositas),
b.
nilai gizi (energi, karbohidrat, protein, lemak, beta karoten, isoflavon), dan
c.
kepadatan energi formula enteral pengembangan.
E. Alat dan Bahan 1.
Alat
a.
Alat untuk pembuatan formula enteral Alat yang digunakan untuk pembuatan tepung labu kuning dan tepung tempe adalah: baskom, pisau, tampah, loyang, oven, blender, ayakan, sendok, panci, serok, risopan, entong plastik, timbangan bahan, kompor. Alat yang digunakan untuk pembuatan tepung tempe rendah lemak adalah : gelas ukur, erlenmeyer, penangas, pengaduk, magnetic stirrer , loyang, kain saring, sendok, plastik. Alat yang digunakan untuk pembuatan formula enteral DM adalah sendok, piring, gelas ukur, dough mixer , solet, dan plastik.
b.
Alat untuk analisis Alat yang digunakan untuk menganalisis mutu fisik formula enteral DM adalah gelas ukur, sendok, timbangan triple beam, mangkok, timbangan digital analitik, viskometer, gelas piala 25 ml dan termometer. Alat yang digunakan untuk menghitung nilai gizi dan kepadatan energi formula enteral pengembangan adalah DKBM, kalkulator, alat tulis.
2.
Bahan
a.
Bahan untuk pembuatan formula enteral Bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung labu kuning adalah labu kuning lokal varietas Bokor (Cerme) yang mengkal (setengah matang dengan warna kulit hijau tua kekuningan) dengan umur panen 3 bulan dan berat rata-rata 3 ± 0,1 kg, sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung tempe rendah lemak adalah tempe dan n-heksana.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan formula enteral adalah tepung labu kuning, tepung tempe rendah lemak, tepung susu skim, minyak kelapa, maltodekstrin, dan gula pasir b.
Bahan untuk analisis Bahan yang diperlukan untuk analisis mutu fisik adalah formula enteral pengembangan, sedangkan bahan yang diperlukan untuk menghitung kepadatan energi adalah hasil perhitungan nilai gizi formula enteral pengembangan secara empiris
F.
Metode Penelitian
Penelitian meliputi persiapan bahan untuk pembuatan tepung labu kuning dan tepung tempe rendah lemak, yaitu labu kuning varietas Bokor (Cerme) dan tempe. Prosedur pembuatan tepung labu kuning adalah sebagai berikut: Pengambilan labu kuning setengah matang (warna kulit hijau semburat kekuningan) Kulit labu kuning dikupas dan dicuci hingga bers ih dengan air mengalir Setelah dicuci bersih, labu dipotong dengan ukuran 3 x 5 x 10 cm Labu diblanching dengan cara dikukus dengan uap air selama ±3 menit Potongan labu kuning diparut kasar dengan ketebalan 0,1 – 0,3 cm dan hasilnya disebut sawut Sawut labu kuning dikeringkan dengan pengering kabinet pada suhu 70°C selama ±22 jam Labu kuning yang sudah kering digiling menggunakan gilingan tepung, untuk selanjutnya diayak dengan ayakan 80 mesh Tepung labu kuning
Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan Tepung Labu Kuning (Modifikasi dari Hendrasty, 2003)
Prosedur pembuatan tepung tempe rendah lemak dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung tempe: Tempe segar Diiris tipis dengan ukuran 2 x 1 x 0,1 cm Potongan tempe dikukus selama ±10 menit Ditiriskan dan diratakan dalam loyang Tempe dikeringkan dalam oven dengan suhu 70°C selama ±12 jam Tempe yang sudah kering selanjutnya digiling hingga halus Diayak dengan ayakan 80 mesh Tepung tempe
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Tepung Tempe (Modifikasi dari Murni)
Tahap kedua merupakan tahap pembuatan tepung tempe rendah lemak yang dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Tepung tempe Melakukan ekstraksi soxhlet dengan larutan n-heksana Residu yang dihasilkan (tepung tempe rendah lemak) dikeringkan selama satu hari dalam suhu ruang Dikeringkan lagi dalam oven pada suhu 70°C selama 1 jam untuk menguapkan sisa pelarut Tepung tempe rendah lemak
Gambar 3. Diagram Alir Pengolahan Tepung Tempe Rendah Lemak (Modifikasi dari Handayani, 2005)
Tepung labu kuning dan tepung tempe rendah lemak yang sudah jadi kemudian diolah menjadi formula enteral instan. Mula-mula dibuat formulasi campuran tepung labu kuning dan tepung tempe rendah lemak dengan perbandingan 58 : 42. Selanjutnya formulasi tepung labu kuning + tepung
tempe rendah lemak diformulasi kembali dengan bahan-bahan penyusun lainnya, yaitu tepung susu skim, minyak kelapa, maltodekstrin, dan gula pasir. Komposisi formula enteral tiap taraf perlakuan disajikan pada Tabel 2. Pembuatan formula enteral instan dilakukan melalui prosedur sebagai berikut: Bahan-bahan ditimbang sesuai dengan Tabel 2. untuk tiap taraf perlakuan Mencampurkan tepung labu kuning + tepung tempe, tepung susu skim, maltodekstrin dan gula pasir Homogenisasi dengan menggunakan dough mixer dan menambahkan minyak kelapa sedikit demi sedikit Formula enteral yang dihasilkan ditimbang sebanyak 60 gram untuk masingmasing taraf perlakuan, dikemas, dan diberi label Penyajian formula enteral dilakukan dengan cara menyeduh 60 gram formula dengan air hangat hingga mencapai 250 ml larutan
Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Formula Enteral DM
Selanjutnya dilakukan analisis mutu fisik (viskositas), nilai gizi (energi, karbohidrat, protein, lemak, beta karoten, isoflavon), dan kepadatan energi formula enteral pengembangan.
G. Metode Analisis 1.
Analisis Mutu Fisik
Analisis mutu fisik meliputi viskositas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) yang disajikan pada Lampiran 1. 2.
Analisis Nilai Gizi
Analisis nilai gizi dilakukan secara empiris dengan cara melihat nilai gizi bahan makanan yang ada pada DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan) (2004) dan berbagai hasil penelitian, dimana kandungan gizi masing-masing bahan disajikan pada Lampiran 2.
3.
Analisis Kepadatan Energi
Analisis kepadatan energi formula enteral DM ditetapkan menggunakan faktor Atwater melalui perhitungan yang disajikan pada Lampiran 3.
H. Instrumen Analisis Data
Instrumen untuk analisis data adalah laptop, Microsoft Word 2007 , Microsoft Excel 2007 , SPSS 17.0 dan alat tulis.
I.
Rencana Penyajian Hasil
Mutu fisik (viskositas), nilai gizi (energi, karbohidrat, protein, lemak, beta karoten, isoflavon), dan kepadatan energi disajikan dalam bentuk grafik.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Viskositas Formula Enteral Pengembangan
Viskositas formula enteral yang dihasilkan berkisar antara 4-14 centipoise (cPs). Hasil analisis viskositas untuk masing-masing taraf perlakuan disajikan pada Gambar 5.
14 14 12
) s P 10 c ( s 8 a t i s 6 o k s i 4 V
8 7 4
2 0 P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 5. Viskositas Formula Enteral Pengembangan
Gambar 5. menunjukkan bahwa viskositas mengalami penurunan seiring dengan penurunan komposisi campuran tepung labu kuning dan tepung tempe. Hal tersebut disebabkan oleh sifat bahan, yaitu labu kuning yang bersifat polimerik, semakin polimerik suatu bahan, viskositas akan semakin meningkat, begitu juga sebaliknya semakin elemental suatu bahan, viskositas akan semakin rendah. Sifat polimerik pada labu kuning berkaitan erat dengan kandungan pati di dalamnya. Saat proses pengolahan (pemanasan), pati akan mengalami gelatinisasi, sehingga dapat meningkatkan viskositas sistem koloid. Sebagaimana dijelaskan Luh (1980) dalam Pudjirahaju et al . (2008) bahwa dalam keadaan dingin, besarnya viskositas sistem terdispersi pati-air hanya berbeda sedikit dengan viskositas air. Hal ini disebabkan oleh ikatan antara pati-pati masih cukup kuat sehingga air sulit diserap.
Dalam granula pati, molekul-molekul amilosa dan amilopektin terikat melalui ikatan hydrogen dengan gugus hidroksil pada molekul lain. Apabila dipanaskan, ikatan antara molekul pati menjadi lemah dan mudah dilalui air sehingga molekul air bebas masuk di antara molekul pati. Ukuran partikel menjadi besar dan terjadi pengembangan. Viskositas merupakan salah satu karakteristik yang paling penting pada makanan semi padat dan formula enteral (Howard, 1987). Hal ini dikarenakan viskositas sangat berpengaruh pada keberhasilan formula enteral untuk dapat melewati pipa karet dengan penampang diameter 4 mm (Purnawan, 1982) tanpa mengalami penjendalan.
B. Nilai Gizi Formula Enteral Pengembangan 1.
Energi Formula Enteral Pengembangan per Sajian (60 gram)
Kandungan energi dalam formula enteral berkisar antara 258,4 – 259,1 kkal. Meskipun dengan rentang peningkatan yang kecil (0,2 – 0,3 kkal), peningkatan komposisi tepung susu skim cenderung meningkatkan nilai energi formula pengembangan. Kandungan energi formula pengembangan masing-masing taraf perlakuan disajikan pada Gambar 6.
258.4
258.7
258.9
259.1
P1
P2
P3
P4
270 240 210 ) l a 180 k k ( 150 i g r 120 e n 90 E 60 30 0
Taraf Perlakuan
Gambar 6. Nilai Energi Formula Enteral Pengembangan
Gambar 6. menunjukkan bahwa kandungan energi dalam formula enteral pengembangan mengalami peningkatan yang sangat sedikit, yaitu
0,2-0,3 kkal, sehingga dapat dikatakan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Kandungan energi formula enteral pengembangan relatif sama dengan kandungan kalori formula enteral Diabetasol, yaitu 254 kkal. Kandungan energi yang relatif tidak mengalami perubahan disebabkan karena komposisi susu skim yang diberikan tidak terlalu banyak, meskipun kandungan lemak pada susu skim cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak.
2.
Karbohidrat Formula Enteral Pengembangan
Kandungan karbohidrat dalam formula enteral pengembangan berkisar antara 40,7 – 41,0 g, dan cenderung mengalami penurunan seiring dengan menurunnya komposisi campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak. Kandungan karbohidrat formula enteral pengembangan disajikan pada Gambar 7.
41.0
40.9
40.8
40.7
40
) g 30 ( t a r d i h 20 o b r a K 10 0 P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 7. Kandungan Karbohidrat Formula Enteral Pengembangan
Gambar 7. menunjukkan bahwa penurunan komposisi campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak cenderung menurunkan kandungan karbohidrat formula enteral pengembangan namun hanya sedikit, yaitu sekitar 0,1 g sehingga dapat dikatakan tidak mengalami penurunan yang berarti. Kandungan karbohidrat dalam formula enteral pengembangan masih sesuai dengan standar kebutuhan Diabetes Melitus
menurut Perkeni, yaitu sebanyak 60-70%, begitu pula dengan formula enteral Diabetasol yang memenuhi kebutuhan karbohidrat sebanyak 62%. Kandungan karbohidrat yang relatif tetap disebabkan oleh penurunan komposisi campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak yang sedikit, meskipun kandungan karbohidrat campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak (55,31 g/100g) lebih besar daripada tepung susu skim (51,5 g/100g).
3.
Protein Formula Enteral Pengembangan
Kandungan protein pada formula enteral pengembangan berkisar antara 8,4-8,6. Meskipun nampak terjadi peningkatan, kandungan protein cenderung tetap dan tidak mengalami perubahan. Kandungan protein formula enteral pengembangan disajikan pada Gambar 8.
8.4
8.5
8.5
8.6
9.0 7.5
) g 6.0 ( n i 4.5 e t o r P 3.0 1.5 0.0 P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 8. Kandungan Protein Formula Enteral Pengembangan
Gambar 8. menunjukkan bahwa proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak tidak berpengaruh pada kandungan protein formula enteral, karena kecenderungan peningkatan protein sangat kecil, yaitu hanya 0,1 g. Kandungan protein formula enteral pengembangan sudah sesuai dengan standar kebutuhan protein bagi Diabetes Melitus menurut Perkeni, yaitu 10-15%. Kandungan protein pada formula enteral Diabetasol tidak dapat dianalisis karena tidak didapatkan data mengenai kadar protein pada kemasan Diabetasol. Kandungan protein yang relatif
tetap disebabkan oleh komposisi susu skim yang diberikan hanya sedikit, meskipun kandungan protein susu skim (35,7 g/100g) lebih besar dibandingkan campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak (32,49 g/100g).
4.
Lemak Formula Enteral Pengembangan
Kandungan lemak formula enteral pengembangan adalah 6,8 g, dan sama pada masing-masing taraf perlakuan. Kandungan lemak disajikan pada Gambar 9.
6.8
6.8
6.8
6.8
7.0 6.0 5.0
) g ( k 4.0 a m3.0 e L 2.0 1.0 0.0 P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 9. Kandungan Lemak Formula Enteral Pengembangan
Gambar 9. menunjukkan bahwa kandungan lemak pada formula enteral tidak mengalami perubahan pada masing-masing taraf perlakuan. Hal ini berarti proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak tidak
berpengaruh
pada
kandungan
lemak
formula
enteral
pengembangan. Kandungan lemak dalam formula pengembangan tersebut sudah memenuhi syarat kebutuhan lemak bagi Diabetes menurut Perkeni, yaitu 20-25%. Kandungan lemak pada formula enteral Diabetasol tidak dapat dianalisis karena tidak didapatkan data kandungan lemak pada kemasan. Kandungan lemak yang cenderung tetap disebabkan oleh rendahnya komposisi susu skim yang diberikan,
meskipun kandungan lemak pada susu skim (2,10 g/100g) lebih besar daripada campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak (0,84 g/100g).
5.
β-karoten Formula Enteral Pengembangan
Kandungan beta karoten formula pengembangan berkisar antara 57.1 mg. Kandungan beta karoten mengalami penurunan sebesar 0,7 pada masing-masing taraf perlakuan, sebagaimana disajikan pada Gambar 10.
8.0
7.1 6.4
7.0
5.7
) g 6.0 m ( n 5.0 e t o r 4.0 a k 3.0 a t e B 2.0
5.0
1.0 0.0 P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 10. Kandungan Beta-karoten Formula Enteral Pengembangan
Gambar 10. menunjukkan bahwa kandungan beta karoten mengalami penurunan seiring dengan penurunan komposisi campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak, yaitu dengan penurunan sebesar 0,7 mg tiap taraf perlakuan. Meskipun mengalami penurunan, rentang beta-karoten pada formula pengembangan masih memenuhi
syarat
kandungan
beta
karoten
per
sajian
formula
pengembangan, yaitu 3-6 mg. Institut of Medicine mengemukakan bahwa mengkonsumsi beta karoten sebanyak 3 – 6 mg dapat berefek antioksidan. Penurunan kadar beta karoten disebabkan oleh menurunnya komposisi tepung labu kuning, dimana tepung labu kuning merupakan bahan sumber beta karoten pada formula enteral pengembangan.
6.
Isoflavon Formula Enteral Pengembangan
Kandungan isoflavon pada formula enteral pengembangan berkisar antara 4,0 – 5,7
dengan peningkatan sebesar 0,5 – 0,6 tiap taraf
perlakuan, sebagaimana disajikan pada Gambar 11.
5.7 6.0
5.1 4.5
5.0
4.0
) g m4.0 ( n o 3.0 v a l f 2.0 o s I 1.0 0.0 P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 11. Kandungan Isoflavon Formula Enteral Pengembangan
Gambar 11. menunjukkan bahwa kandungan isoflavon pada formula
pengembangan
mengalami
penurunan
seiring
dengan
menurunnya komposisi tepung tempe yang diberikan, yaitu dengan penurunan sebesar 0,5 – 0,6 tiap taraf perlakuan. Hal ini berarti proporsi tepung labu kuning + tepung tempe dan tepung susu skim berpengaruh pada kandungan isoflavon formula enteral. Namun, meskipun mengalami penurunan
kandungan
isoflavon
formula
pengembangan
masih
memenuhi syarat konsumsi maksimum isoflavon per sajian formula, yaitu 7 mg. Nakajima (2005) menyatakan bahwa konsumsi maksimum isoflavon orang dewasa per hari adalah 40 mg, jika formula diberikan sebanyak 6 kali, maka konsumsi isoflavon tiap penyajian adalah 7 mg. Penurunan isoflavon tiap taraf perlakuan disebabkan oleh menurunnya komposisi tepung tempe, dimana tepung tempe merupakan sumber isoflavon pada formula pengembangan.
C. Kepadatan Energi Formula Enteral Pengembangan
Kepadatan
energi
formula
enteral
cenderung
tidak
mengalami
perubahan, yaitu 1,03 kkal/ml pada masing-masing taraf perlakuan, sebagaimana disajikan pada Gambar 12.
) l m1.1 / l 1 a k 0.9 k ( 0.8 i g r 0.7 e n 0.6 E 0.5 n a t 0.4 a d 0.3 a 0.2 p e 0.1 K
1.0337673
1.03469481
1.03562232
1.03654983
0
P1
P2
P3
P4
Taraf Perlakuan
Gambar 12. Kepadatan Energi Formula Enteral Pengembangan
Gambar
12.
menunjukkan
bahwa
kepadatan
energi
formula
pengembangan cenderung tetap pada tiap taraf perlakuan, yaitu sebesar 1,03 kkal/ml. Hal ini berarti proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak tidak berpengaruh pada kepadatan energi yang dihasilkan. Kepadatan energi formula pengembangan juga relatif sama dengan formula enteral Diabetasol, yaitu sebesar 1,02 kkal/ml. Kepadatan energi tersebut sesuai dengan syarat formula enteral diabetes melitus, yaitu 1 kkal/ml (AsDi, 2005). Kepadatan energi yang relatif tetap disebabkan oleh rendahnya komposisi susu skim pada formula pengembangan. Meskipun nilai energi susu skim (367,7 kkal/100g) lebih besar daripada campuran tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak (358,7 kkal/100g), penambahan energi dari susu skim tidak terlalu tinggi, sehingga energi yang dihasilkan relatif sama tiap taraf perlakuan.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengembangan formula, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak dan tepung susu skim berpengaruh pada viskositas formula pengembangan, dimana semakin tinggi komposisi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak, semakin tinggi pula viskositas yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya.
2.
Proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak dan tepung susu skim tidak berpengaruh pada kandungan energi, karbohidrat, protein, lemak, dan kepadatan energi formula pengembangan.
3.
Proporsi tepung labu kuning + tepung tempe rendah lemak dan tepung susu skim berpengaruh pada kandungan beta karoten dan isoflavon formula pengembangan, dimana semakin sedikit proporsi tepung labu kuning + tepung tempe, semakin kecil pula kandungan beta karoten dan isoflavon.
B. Saran
Sebaiknya kandungan lemak pada tepung tempe yang digunakan tidak dihilangkan, karena diduga banyak zat gizi yang ikut hilang, seperti vitamin A, dan asam lemak linoleat dan linolenat yang juga bermanfaat untuk mengontrol kadar kolesterol darah.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2010. Position Statement. Standards of Medical Care in Diabetes 2010. Diabetes Care: 33 (Suppl. 1) Aminah, Siti., Wikanastri Hersoelistyorini., 2012, „Karakteristik Kimia Tepung Kecambah Serealia dan Kacang-kacangan dengan Variasi Blanching‟. Hasil Penelitian. Seminar Hasil-Hasil Penelitian – LPPM UNIMUS. 5 Januari 2013, http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/513/562 AsDI, 2005, Panduan Pemberian Makanan Enteral, Jaya Pratama, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, „Teknologi Tepung Labu Kuning‟, Agro Inovasi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), 2004, LIPI, Jakarta. Dewi, Sri Sinto., 2012, „Efek Ekstrak Etanol Morinda citrifolia L. terhadap Kadar Gula Darah, Jumlah Neutrofil, Fibronektin Glomerulus Tikus Diabetes Mellitus‟, Thesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Semarang. 29 Desember 2012, http://repository.ipb.ac.id/ Kamsiati, Elmi., 2010, „Labu Kuning untuk Bahan Fortifikasi Vitamin A‟, [Online], Available : http://kalteng.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&vie w=article&id=135:labu-kuning-untuk-bahan-fortifikasi-vitamina&catid=28:artikel&Itemid=80 [5 Januari 2013] Levy, Yishai., Haya Zaltzberg, Ami Ben-Amotz, Yoram Kanter, Michael Aviram., 1999, „Β-Carotene Affects Antioxidant Status in Non-InsulinDependent-Diabetes Mellitus‟, Jurnal Pathophysiology (6): 157-161. 9 Nopember 2012, http://www.pinnaclife.com/sites/default/files/research/Beta_carotene_and_di abetes.pdf Maritim, A., Dene BA, Sanders RA, Watkins JB 3 rd., 2002, „Effect of BetaCarotene on Oxidative Stress in Normal and Diabetic Rats ‟, Journal Biochemistry Mol. Toxicol . Vol 16 (4): 203-208. Muchtadi, Deddy., 1992, ‟Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta Pengembangan Olahannya untuk Golongan Rawan Gizi‟ , [Online], Available : http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/11405 [2 Januari 2013]
Nakajima, Nobuyoshi., Nobuyuki Nozaki, Kohji Ishihara, Akiko Ishikawa, Hideaki Tsuji, 2005, „Analysis of Isoflavone Content in Tempeh, a Fermented Soybean and Preparation of a New Isoflavone-Enriched Tempeh‟, Journal of Bioscience and Bioengineering Vol. 100 (6) : 685-687. 2 Januari 2013, www.jstage.jst.go.jp/article/jbb/100/6/100_6_685/_pdf Muchtadi, Tien R., Sugiyono., 1992, Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan, IPB, Bogor. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2, PERKENI, Jakarta. Pudjirahaju, Astutik., Etik Sulistyowati, Agus Heri Santoso, 2008, „Studi Pengembangan Tepung Tempe sebagai Bahan Substitusi pada Formula Enteral Rumah Sakit ( Hospital Made)‟, Jurnal Kesehatan, Vol. 6 (2) : 119129. 14 September 2012, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6208119129_1693-4903.pdf Tilak, J.C., and Devasagayam, T.P.A. 2006. Oxidative Damage to Mitochondria. In Singh, K.K., editor. Oxidative Stress, Disease and Cancer. Singapura: Mainland Press, p.85-150. Unitly, Adrien Jems Akiles, 2008, „Efektivitas Pemberian Tepung Kedelai dan Tepung Tempe terhadap Kinerja Uterus Tikus Ovariektomi‟, Thesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 5 Januari 2013, http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/41428 Yasa, I Wayan Putu Sutirta., Anak Agung Gde Sudewa Djelantik, Ketut Suastika, Nyoman Mantik Astawa, Ignatius Ferdi Yuatmadja, 2009, „Hubungan Jumlah Limfosit T CD8 + Pada Ulkus Kaki Diabetik Derajat 3, 4, 5 dan Ulkus Non Diabetik‟, Jurnal Penyakit Dalam Volume 10 Nomor 1: 11-17. 5 Nopember 2012, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/101091117.pdf
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Viskositas (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)
Analisis viskositas dilakukan dengan cara menempatkan viscometer (VT.03) pada tiang penyangga dengan posisi seimbang (gelembung berada di tengah lingkaran), kemudian memasang rotor no. 4 pada viscometer dengan kecepatan putar 100 rpm. Sebanyak ±500 ml larutan formula enteral DM dimasukkan pada tabung viscometer 500 ml (suhu ±40 – 50 °C), dan dipasang pada viscometer. Tabung harus diisi penuh hingga rotor tercelup sampai tanda batas. Posisi rotor dan tabung viscometer diatur hingga rotor berada tepat dibagian tengah tabung. Mengatur knob pengatur nol sehingga display menunjukkan angka 00,00. Menekan knob pada posisi “on”. Membaca skala yan g ditunjukkan pada display, mencatat angka yang relatif stabil dengan satuan mPas. Memindahkan knob ke posisi “off”. Menghitung viskositas formula enteral DM.
Lampiran 2. Kandungan Gizi Bahan Penyusun Formula Enteral
1.
Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning Komponen Jumlah Karbohidrat (%) 78,77 * Protein (%) 3,74 * Lemak (%) 1,34 * Serat (%) 3,48 ** Air (%) 12,01 ** β-karoten (µg/g) 222,81 ** Sumber : * Kamsiati, 2010 ** Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2.
Kandungan Gizi Tepung Tempe Komponen Karbohidrat (%) Protein (%) Lemak (%) Serat (%) Abu (%) Isoflavon (mg/100g bk) Sumber: * Muchtadi, 1992 ** Unitly, 2008
Jumlah 13,50 * 48,00 * 24,70 * 2,50 * 2,30 * 77,98 **
3.
Kandungan Gizi Tepung Susu Skim per 100 gram bahan (DKBM, 2004) Komponen Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)
4.
Kandungan Gizi Minyak Kelapa per 100 gram bahan (DKBM, 2004) Komponen Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)
5.
Jumlah 388 97 0 0
Kandungan Gizi Gula Pasir per 100 gram bahan (DKBM, 2004) Komponen Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)
7.
Jumlah 891 0 0 99
Kandungan Gizi Maltodekstrin per 100 gram bahan (DKBM, 2004) Komponen Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)
6.
Jumlah 367.7 51.5 35.7 2.1
Jumlah 388 97 0 0
Kandungan Gizi Diabetasol per sajian (60 gram) Komponen Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Vitamin A (IU)
Jumlah 254.00 37.92 925.00
Lampiran 3. Analisis Kepadatan Energi (Faktor Atwater)
Kepadatan energi formula enteral DM dapat ditetapkan menggunakan faktor Atwater melalui perhitungan menurut kadar karbohidrat, protein, dan lemak, serta nilai energi faali formula enteral DM.
*, ()- , () , ()-+