LAPORAN AKHIR
PRAKTIKUM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN LIMBAH CAIR GORENGAN (STREET (STREET FOOD) FOOD)
Disusun oleh : Matius Inda Tatontos 12.70.0062 Eliza Shinta M.
12.70.0088
Francisca Sari K.D.
12.70.0157
Raphael Elhan A.
12.70.0158
Ernadya Eka P.
12.70.0176
Kelompok F5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2014
1
1.
DESKRIPSI LIMBAH
1.1. Data Sampel Limbah 1.1.1. Jenis Limbah
Pada praktikum ini menggunakan limbah cair gorengan ( street ( street food ). ). Limbah ini didapatkan dari minyak bekas pada penggorengan yang telah di bilas dengan air, sehingga di dapatkan air.
1.1.2. Waktu Pengambilan
Limbah cair diambil pada hari Minggu, 13 September 2014 sekitar pukul 20.00 WIB. Jumlah limbah yang diambil adalah 4 liter dengan 2 liter untuk kelompok F4 dan 2 liter untuk kelompok F5.
1.1.3. Tempat Pengambilan Limbah
Limbah cair diambil dari pedagang gorengan pinggir jalan yang berlokasi di Jalan Gajah Raya, Semarang.
1.1.4. Debit Limbah per Hari
Debit limbah cair per hari adalah sebanyak 12 liter per hari.
1.2. Karakterisitk Karakterisitk Limbah 1.2.1. Karakterisitik Karakterisitik Umum
Limbah merupakan buangan atau bekas yang berbentuk cair, gas dan padat. Limbah cair adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat yang terdiri dari air yang telah dipergunakan yang mengandung sekitar 0.1 % benda padat yang didalamnya terdapat zat organik dan non organik. Nitrogen, lemak, karbohidrat, sabun merupakan zat oraganik yang ada pada sampah. Memiliki sifat yang dapat menjadi busuk dan mengeluarkan bau yang tidak sedap (Mahida, 1992). Menurut Sugiharto (1987), limbah cair mempunyai komposisi yang sangat bervariasi tergantung dari sumber asalnya. Akan tetapi secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam limbah cair dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1
3
Limbah Air (99,9%)
Cair
Padatan (0,1%)
Organik
Anorganik
Protein (65%)
Butiran
Karbohidrat (25%)
Garam
Lemak (10%)
Logam
Gambar 1. Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam limbah c air
Bahan kimia yang berbahaya dan sukar dhilangkan biasanya terdapat pada air limbah. Dengan adanya bahan kimia, kuman-kuman dapat hidup dan dapat menyebabkan tipus, kolera, disentri, dsb. Pengolahan air limbah dapat mencemari dan membahayakan lingkungan sehingga perlu dilakukan pengolahan air limbah. Untuk mengolah air limbah dilakukan tahap-tahap tertentu yaitu dapat secara fisikawi, kimiawi, dan biologi, dalam suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Tujuan dari pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel yang terlarut, dan dapat untuk membunuh mikroorganisme patogen. Selain itu pengolahan selanjutnya berfungsi menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan tidak terdegradasi agar konsentrasinya menurun. Pengolahan air limbah dilakukan secara bertahap agar bahan bahan berbahaya dapat berkurang (Sugiharto, 1987). Menurut Suratno (1998), spesifikasi jumlah bahan pencemar yang dibolehkan untuk dibuang ke lingkungan disebut baku mutu lingkungan.
Perubahan air yang diamati, adalah suhu air berubah, pH berubah, warna, bau, rasa berubah merupakan tanda atau indikator bahwa air telah tercemar (Suriawiria, 1996). Menurut Sugiharto (1987), bau yang muncul dapat dikarenakan adanya kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu. Selain itu, reaksi kimia yang terjadi dapat timbul dan muncul bau gas. Unsur N pada limbah juga dapat mengakibatkan bau
4
busuk di tempat pembuangan limbah tersebut. Unsur N yang ada di dalam limbah bisa berupa asam amino atau senyawa organik lainnya, apabila senyawa organik tersebut sampai diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, maka akan menghasilkan bau busuk yang mengganggu. Ditambahkan pula kekeruhan pada dasarnya dasarn ya disebabkan oleh adanya terapungnya zat yang sering disebut zat koloidyang terurai secara halus, jasad jasad renik atau benda lain yang tidak mengendap segera. Warna air berkaitan erat dengan zat-zat koloid yang tersuspensi di dalamnya. Masalah warna dan bau dapat dilacak dari bermacam-macam zat pencemar, misalnya zat kimia pembersih maupun zat kimia terlarut mengandung bau.
Limbah dapat masuk ke dalam lingkungan dapat dikarenakan oleh:
Pengaruh yang besar tidak pada lingkungan, dapat dikarenakan kecilnya volume limbah.
Dapat menimbulkan pencemaran.
Kualitas limbah juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a. Volume pada air limbah b. Adanya bahan pencemar pencemar yang terkandung c. Frekuensi pembuangan air limbah (Kristanto, 2002).
Menurut Mahida (1992), limbah yang dapat dibuang ke saluran umum juga memiliki syarat-syarat tertentu yaitu : -
Suhu pada air limbah tidak boleh terlalu tinggi, sekitar 100-110ºF. Air limbah yang panas dapat merusak logam dan beton.
-
Sifat yang terlalu asam atau terlalu basa tidak diperbolehkan pada air limbah, pH yang baik antara sekitar 5,5 dan 9.
-
Pada air limbah, zat yang berlemak maksimum konsentrasinya adalah 100 mg/l.
-
Gas beracun, berbau tengik, tidak diperbolehkan terkandung pada air limbah
4
-
Zat padat yang bisa mengendap dan memiliki berat spesifik yang tinggi seperti pasir juga tidak diperbolehkan terkandung pada air limbah
Menurut teori dari Jenie & Rahayu (1993), Pembolahan pada limbah cair, biasanya rendahnya kandungan nitrogen yang ada, BOD dan padatan tersuspensi yang tinggi, dan proses dekomposisi dapat berlangsung dengan cepat. Selain itu, limbah cair yang segar nilai pH dapat mendekati netral dan pH akan menurun selama proses penyimpanan. Jika oksigen yang terlarut dalam ai r habis karena adanya bahan organik yang tinggi maka dapat timbul bau yang busuk dan warna dari air dapat menjadi keruh atau gelap. Pengolahan limbah dapat dikelompokkan menjadi 6 tahapan, yaitu penanganan pendahuluan ( pre treatment ), ), penanganan primer ( primary treatment ), ), penanganan sekunder ( secondary treatment ), ), penanganan tersier (tertiary (tertiary treatment ), ), desinfeksi, dan penanganan lanjutan.
Ada beberapa tingkatan dalam proses pengolahan air limbah yaitu: 1. Pretreatment Untuk melakukan pengolahan awal, yaitu menghilangkan zat-zat padat baik yang melayang ataupun mengendap maka dapat dilakukan beberapa perlakuan yaitu penyaringan dan sedimentasi (Mahida, 1992). Padatang yang yang besar yang berukuran 0,7 mm dapat hilang dengan adanya proses penyaringan. Proses penyaringan tersebut dapat lebih baik dengan dilakukannya tahap koagulasi, padatan yang terlarut susah dipisahkan. Pada pengolahan pre treatment biasanya digunakan saringan agak kasar tapi dipilih yang tidak mudah berkarat. Saringan ini harus
5
diperiksa setiap hari untuk mengambil bahan yang terjaring sehingga tidak sampai membuat kemacetan aliran air. Pengolahan tingkat pretreatment tingkat pretreatment akan akan berpengaruh pada hasil pengolahan tingkat primer primer (Gintings, 1992). 2. Primary Treatment Padatan halus, zat warna yang larut maupun tersuspensi yang tidak terjaringpada penyaringan pendahuluan perlu dihilangkan untuk memudahkan pengolahan selanjutnya (Kusnaedi, 1998). 1998). Primary treatment dilakukan dengan dua metode yaitu pengolahan secara kimia maupun secara fisik. Pengolahan secara fisik adalah pengendapan yang terjadi secara gravitasi. Sedangkan pengolahan kimia yaitu dengan menambahakan bahan kimia untuk mengendapkan bahan padatan. Butiran yang bertambah besar (BJ lebih besar daripada air) diakibatkan oleh reaksi antara senyawa kimia dengan bahan pengendap. Namun tidak semua reaksi berjalan dengan sempurna karena untuk bahan tertentu semacam senyawa kimia organik tidak akan mengendap. Pengendapan terjadi bila senyawa pencemar limbah terdiri dari bahan-bahan organik seperti aluminium, besi, plumbum, nikel, dan lain-lain. Penambahan bahan pengendap akan mengakibatkan perubahan alkalinitas air. Buangan air yang diinginkan dalam badan air selalu netral, untuk itu perlu netralisasi sesuai dengan tingkat keasaman yang dikehendaki. Pengolahan cara fisika dimungkinkan bagi bahan kasar yang telah diolah dengan pengendapan atau pengapungan. Pengendapan (tanpa penambahan bahan kimia) menyediakan kolam seluas ukuran tertentu sementara air mengalir dan partikel-partikel akan mengendap.
Keberhasilan
pengendapan
tergantung
pada
ukuran
partikel,
konsentrasi padatan, berat jenis partikel, temperatur air limbah, retention time, time, dan banyaknya udara yang kontak dengan air limbah. 3. Secondary Treatment Secondary treatment biasanya dilakukannya proses biologis dan dapat bertujuan untuk menghilangkan bahan organik dengan biokimia oksidasi. Reaktor lumpur aktif dan trickling filter dapat digunakan pada proses biologis. Pada lumpur aktif, air buangan yang masuk ke dalam tangki aerasi tempat beradanya mikroorgansime mengkonsumsi buangan organis untuk membentuk sel-sel baru. Sebagai hasilnya
6
adalah endapan pada dasar bak. Bagian yang tebal pada dasar kemudian diambil kembali. 4. Tertiary Treatment Pada tingkat tertiary treatment bertujuan bertujuan untuk senyawa kimia anorganik dihilangkan seperti kalsium, kalium, sulfat nitrat, phospor, serta senyawa organik. Proses fisikawi, kimawi, dan biologis yang terjadi pada pengolahan tingkat lanjut ini adalah filtrasi, destilasi, pengapungan, pembekuan, dll. Proses kimianya adalah adsorbsi karbon aktif, pengendapan kimia, pertukaran ion, elektrokimia, oksidasi dan reduksi. Sedangkan, proses biologis meliputi proses penelitian bakteri dan algae nitrifikasi. 5.
Desinfeksi Tujuan dilakukannya desinfeksi adalah agar dapat menghilangkan mikroorganisme patogen pada limbah pangan. Menurut Volk & Wheeler (1993), mekanisme mekanis me kerja dari desinfektan adalah dengan cara merusak membran sel atau biasa disebut protein sel sehingga terjadi kematian atau mutasi. Klorin dan komponennya merupakan zat pembunuh kimia yang dapat mematikan bakteri dengan cara merusak atau menginaktifkan enzim utama sehingga dinding sel akan rusak seperti yang dilakukan dengan menggunakan bahan radiasi atau panas. Metode merusak langsung dinding sel seperti yang dilakukan bila menggunakan panas merupakan metode lain dari desinfektasi. Daya racun yang ada pada zat kimia tersebut, kontak waktu yang diperlukan, endahnya dosis, tidak toksik terhadap manusia, efektifitas, dan hewan, tahan terhadap air, dan biaya murah jika dipakai yang bersifat massal. Hal tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan saat memilih bahan kimia sebagai desinfeksi (Sugiharto, 1987). Proses netralisasi diperlukan agar pH air limbah sebelum dilepas atau dibuang telah sesuai dengan BML (Baku Mutu Limbah) yang diterapkan oleh negara Indonesia. pH untuk limbah domestik yang sesuai dengan BML adalah 6 – 9, 9, sehingga pH air limbah setelah didesinfeksi harus dikondisikan pada range pH tersebut. Setelah melalui berbagai proses pengolahan dan dilakukan penambahan klorin, biasanya pH air limbah menjadi sangat asam, sehingga perlu dilakukan penambahan Ca(OH) 2 agar pH meningkat dan bisa berada
pada
range
7
pH yang diperbolehkan. Ca(OH) 2 mempunyai sifat yang basa, maka jika ditambahkan dalam air limbah yang bersifat asam, akan dapat meningkatkan nilai pHnya. Prinsip dari proses netralisasi adalah penambahan senyawa asam atau basa ke dalam air limbah sehingga pH air limbah menjadi mendekati 7. Proses netralisasi ini dilakukan karena diharapkan air yang akan dibuang ke dalam badan air selalu netral. Sebab jika pH air limbah yang akan dibuang asam atau basa, maka akan menggangu kehidupan biota air (Gintings, 1992). 6. Pengolahan Lanjutan ((Ultimate Ultimate disposal ) Perlakuan terhadap air limbah menggunakan cara fisika, yaitu proses pengolahan dengan cara mekanis tanpa penambahan bahan kimia meliputi penyaringan, perataan air, pencampuran, penggumpalan, penghancuran, pengendapan, pengapungan, dan penapisan.
1.2.2. Karakteristik Karakteristik Fisikawi
Limbah mempunyai karakteristik fisikawi yang dapat diamati secara langsung dengan alat indera manusia. Adanya sifat fisik yang terlihat dapat menentukan derajat kekotoran limbah cair. Sifat fisik limbah cair meliputi adanya kandungan zat padat, suhu, kekeruhan, warna dan bau (Utomo, 1998). Sifat-sifat fisik air limbah menurut Sugiharto (1987): Sifat
Penyebab
Suhu
Kondisi sekitarnya,
air
Pengaruh
Cara mengukur
udara
Mempengaruhi
Dengan
panas
kehidupan
biologis,
yang dibuang ke saluran
kelarutan
dari rumah atau industri
lain, kerapatan air, daya viskositas permukaan
oksigen
dan
/gas
tekanan
termometer (skala celcius atau fahrenheit)
8
Kekeruh
Benda-benda tercampur
Memantulkan
an
seperti
mengurangi
Warna
limbah
padat,
dan
penyerapan perubahan
oksigen yang dihasilkan
pada
organik halus dari buah-
tanaman,
skala standar
buahan asli, alga dan
pemandangan,
organisme kecil
mengganggu kehidupan
Benda terlarut seperti
Umumnya
tidak
sisa bahan organik dari
berbahaya
dan
daun
berpengaruh
dan
tanaman,
Bahan
volatil,
mengotori
terhadap
Penyerapan skala
pada
perubahan
standar
kualitas keindahan air adanya
Kepekaan terhadap
hasil
pembusukan air limbah,
bau dari manusia
bahan
untuk itu perlu adanya
terhadap
organik, minyak utama
pengolahan,
dari bau
dari mikroorganisme.
keindahan
Bahan penghasil bau,
Mempengaruhi
benda
dan
keindahan air
dan
Mempengaruhi
jumlah
Teknik
analisis
garam,
gravitasi,
jumlah
terlarut, pembusukan
Rasa
produksi
Pembiasan cahaya
garam tanah liat, bahan
buangan industri Bau
sinar,
terlarut
gas
Petunjuk
merusak
kualitas
tingkat
Tidak diukur pada air limbah
beberapa ion Benda
Benda
organik
padat
anorganik yang terlarut
organik
/tercampur
juga merupakan petunjuk
zat padat, SS, DS,
pencemaran
TSS
padat,
kepekatan
atau limbah
meningkat
1.2.2.1. Bau
Limbah industri pangan sebagian besar berupa limbah organik yang mempunyai sifatbiodegradable sifatbiodegradable (mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi) artinya dapat diuraikan melalui alam dengan dibantu mikroorganisme. Proses penguraian kembali ini terjadi dengan melibatkan proses pembusukan yang menimbulkan bau kurang enak (Sugiharto, 1987). Bau kurang enak tersebut timbul karena terjadi kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik dan menghasilkan gas tertentu. Di
9
samping juga diakibatkan karena terjadinya reaksi kimia yang dapat menimbulkan gas. Menurut Gintings (1992) kuat atau tidak nya bau dari hasil limbah ini bergantung pada banyaknya gas dan jenis gas yang timbul. Pengukuran bau dapat dilakukan dengan: evaluasi sensori (indera pembau) dan GC (Gas ( Gas Chromatography) Chromatography ) yang dapat menganalisa senyawa-senyawa penyebab bau (Suhardi, 1991).
Bau dapat menunjukkan apakah suatu limbah cair masih baru/ telah membusuk. Bau limbah yang busuk disebabkan karena adanya campuran dari nitrogen, sulfur, fosfor dan juga berasaldari pembusukan protein dan bahan organik yang terdapat di dalam limbah (Mahida, 1992). Ginting (1992) ini menyatakan bahwa karena adanya aktivitas mikroorganisme
yang
berperan
dalam
menguraikan
gas
tertentu,
sehingga
menimbulkan bau.
Limbah cair gorengan ( street food ) yang digunakan sebagai sampel dalam percobaan ini agak berbau. Biasanya bau yang tidak sedap itu disebabkan karena adanya campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor dan juga berasal dari pembusukan protein dan bahan organik lain yang terdapat dalam air limbah, bau yang paling menyerangberasal dari hidrogen sulfida. Konsentrasi amoniak kira-kira 0,037 mg/l dapat menimbulkan bau amoniak yang sedikit menyengat, konsentrasi hidrogen sulfida 0,0011 mg/l menyebabkan bau khas telur busuk; dan karbon disulfida sebanyak 0,0026 mg/l akan menghasilkan bau yang sangat tidak enak. Bau-bauan yang tidak enak itu, meskipun tidak menyenangkan tetapi tidak mengganggu kesehatan masyarakat kecuali apabila mereka memancar keluar dari gas-gas dan uap yang beracun (Mahida,1992).
10
1.2.2.2. Warna dan kekeruhan
Warna limbah cair menunjukkan kandungan zat organik atau anoganik yang terlarut ataupun tersuspensi (Suhardi, 1991). Limbah cair yang masih baru berwarna abu-abu, sedangkan limbah yang sudah basi/ busuk berwarna gelap (Mahida, 1981). Warna dari limbah cair tidak dapat menjadi patokan bahwa limbah tersebut berbahaya atau tidak. (Jenie&Rahayu, 1993). Namun, warna dari air limbah dapat menunjukkan kekuatannya, apabila limbah cair mempunyai mempunyai warna gelap maka maka dapat dipastikan limbah tersebut sudah busuk. Bahaya tidaknya suatu limbah dapat dilihat pada warna limbah, apabila warna limbah hitam maka kandungan Pb tinggi, apabila warna limbah kuning maka kandungan Fe tinggi, dan apabila warna limbah biru maka kandungan Cu tinggi (Suhardi, 1991).
Dalam menentukan limbah cair, skala standar dan komparator dapat digunakan. Jika tidak ada komparator warna Secchi, Secchi, penentuan warna dapat dilakukan dengan memegang tabung reaksi yang penuh dengan contoh air dan diamati dengan
11
latar belakang putih. Setelah itu diamkan dulu contoh air agar terjadi pengendapan dan nyatakan warna hasil pengamatan, jika perlu kata “muda”, “medium”, atau “tua” (Sastrawijaya, 1991).Standar warna limbah, meliputi coklat muda, berumur 6 jam; abu-abu tua, merupakan air limbah yang sedang mengalami pembusukan; hitam, air limbah yang membusuk oleh bakteri anaerob (Hadihardja, 1997).
Kekeruhan adalah menggunakan efek cahaya merupakan dasar untuk mengukur keadaan air sungai, apabila terdapat benda koloid yang bercampur di dlaam air, maka akan meyebabkan kekeruhan (Sugiharto, 1987). Adanya zat-zat koloid yang terapungserta terurai secara halus menyebabkan terjadinya kekeruhan. Zat-zat tersebut muncul karena kehadiran zat-zat organik yang terurai halus, jasad renik, lumpur, tanah liat, dan benda terapung (zat koloid) yang tidak segera mengendap. Semakin keruh suatu limbah, berarti semakin kuat limbah tersebut (Mahida, 1981).
Kekeruhan bukan merupakan polutan, sifat ini disebabkan adanya bahan tersuspensi (bahan organik, mikroorganisme dan partikel-partikel cemaran lain). Kekeruhan merupakan bersifat optik dari contoh kemudian menyebabkan sinar tersebar dan atau diserap. Dapat diukur dengan turbidimeter lilin. Namun, yang biasa digunakan untuk mengindikasi bahan tersuspensi adalah metode gravimetri, karena dasar dari metode turbidimeter ini adalah berat partikel dan dasar dari kekeruhan adalah sifat optik. Tingkat kekeruhan dapat dilihat dari keberadaan padatan organik maupun anorganik dalam limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan adalah spektrofotometer. Apabila masih keruh maka harus dijernihkan dengan diendapkan kemudian setelah itu diukur kembali dengan menggunakan spektrofotometer (Suhardi, 1991).
Tingkat kekeruhan ini dapat dilakukan dengan menggunakan penglihatan langsung oleh mata manusia. Standard dari karakteristik fisik limbah pada warna yaitu kekeruhan. Sebenarnya tingkat kekeruhan dapat diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Apabila
masih
keruh
maka
harus
dijernihkan
dengan
12
diendapkan,
kemudian
setelah
itu
diukur
kembali
dengan
menggunakan
spektrofotometer (Suhardi, 1991). Kekeruhan dapat diukur dengan turbidimeter dan dinyatakan dalam satuan miligram setiap liter (mg/l) limbah cair (Suhardi, 1991). Selain melihat tingkat kekeruhan limbah cair, dapat diketahui pula keberadaan padatan organik maupun anorganik pada limbah cair tersebut (Jenie & Rahayu, 1993).
Fungsi dari proses penyerapan atau adsorbsi adalah untuk menjernihkan limbah cair. Proses penjernihan air limbah berfungsi untuk mengurangi pengotoran partikel termasuk benda yang tidak dapat diuraikan ( nonbiodegradable) nonbiodegradable) dan bahan organik atau gabungan dari bau, warna dan rasa. Menurut Sugiharto (1987), proses penyerapan (adsorbsi) yaitu proses untuk mengumpulkan benda – benda – benda terlarut yang terdapat pada larutan antar dua permukaan. Proses penyerapan terjadi pada seluruh permukaan benda, dan biasanya terjadi penyerapan partikel pada bahan padat di dalam air limbah. Bahan yang diserap disebut adsorbate adsorbate atau solute solute dan bahan penyerapannya dikenal adsorbent . Fungsi dari bahan padat adalah bahan penyerap agar kekruhan dapat dikurangi darisuatu cairan. Pembelahan bahan adsorbent ini dapat meningkatkan luas permukaan.
Karbon aktif alamiah merupakan butiran karbon serta bubuk karbon untuk mengolah limbah dan setelah digunakan kemudian diaktifkan kembali. Karbon biasanya dibuat melalui pembuatan arang yang terbuat dari batubara atau bahan kayu.Kemudian bahan dibakar hingga berwarna merah. Kemudian ditambahkan gas oksigen pada tekanan tinggi untuk melakukan pengaktifan partikel batu bara. Akibat penambahan gas oksigen ini strukur rongga pada batubara/arang akan mengalami pengambahan sehingga dapat memperluas permukaan. Karbon aktif ini dapat mengikat benda organik dan partikel – – partikel lain dengan baik pada luas permukaan yang besar karena memiliki daya serap yang baik (Sugiharto, 1987).
Limbah cair gorengan yang digunakan sebagai sampel dalam praktikum ini berwarna agak keruh. Warna keruh yang terbentuk disebabkan karena terlarutnya bagian – bagian
13
dari minyak saat pengolahan. Berdasarkan analisa, limbah ini tidak terlalu keruh dan cukup jernih. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya limbah ini tidak terlalu banyak mengandung padatan tersuspensi dalam air selama proses penggorengan gorengan.
1.2.2.3.Suhu
Suhu dapat dipergunakan untuk melihat kecenderungan aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan permukaan, dan nilai-nilai penjenuhan dari benda padat, dan gas. Aktivitas kimiawi biologis pada benda padat dan gas dalam air dapat dilihat dari perubahan suhu yang terjadi (Gintings, 1992). Pengentalan biasanya dipakai untuk
mengatur sedimentasi, pada suhu tinggi pengentalan
berkurang dan menghasilkan peningkatan sedimentasi. Tingkat oksidasi zat organik pada suhu tinggi lebih besar daripada suhu rendah. Suhu yang tinggi juga dapat membunuh mikroorganisme pengurai sehingga aktivitas biologis menurun (Mahida, 1992).
Menurut
Gintings
(1992),
temperatur
limbah
cair
dapat
mempengaruhikecepatan reaksi kimia dan tata kehidupandalam air. Tingkatan oksidasi zat organik ini akan terjadi kekeruhan pada suhu yang sangat tinggi. Begitu pula dengan pembusukkan.
Limbah domestik biasanya mempunyai suhu mendekati netral (antara 15 – 25oC). Apabila suhu berada dibawah optimum, maka akan terjadi pertumbuhan bakteri tetapi tidak menjadi masalah utama dalam operasi perancangan unitnya (Jenie & Rahayu, 1993). Pada suhu tinggi ( 60°C) maka akan menunjukkan bahwa adanya aktivitas biologis yang semakin meningkat, sedangkan pada suhu ruang ( 27°C) maka akan menunjukkan adanya proses pembusukan limbah tersebut (Mahida, 1992). Biasanya proses pengolahan dilakukan dengan menggunakan suhu yang tinggi dan hal ini akan mengakibatkan suhu limbah menjadi lebih tinggi daripada suhu normal. Pada limbah sisa pengolahan pada umumnya memiliki suhu yang tinggi. Hal itu disebabkan karena adanya reaksi eksotermis dengan penggunaan bahan kimia lainnya. Suhu yang tinggi pada buangan atau limbah ini harus diwaspadai karena dapat mengancam kelangsungan hidup biota yang ada di badan air dan juga dapat memacu perkembangan
mikrobia
yang
tidak
menguntungkan
(Sastrawijaya,
1991).
14
Limbah cair gorengan ( street food ) memiliki temperatur 29°C. Pengukuran suhu limbah ini dilakukan dengan menggunakan alat thermometer. Suhu yang terukur ini termasuk tidak terlalu tinggi, karena menurut Mahida (1992) pada suhu tinggi ( 60oC) maka akan menunjukkan bahwa adanya aktivitas biologis yang semakin meningkat, sedangkan pada suhu ruang ( 27oC) maka akan menunjukkan adanya proses pembusukan limbah tersebut.
1.2.2.4 Analisa Total Padatan
Dalam air limbah biasanya terdapat padatan terapung atau kotoran yang melayang ikut bersama air. Padatan ini dapat sejenis lumpur, sisa kain, potongan kayu, pasir. Penghilangan padatan terapung atau melayang ini penting agar proses pengelolaan limbah tahap selanjutnya tidak terganggu. Oleh karena itu padatan tersebut perlu dihilangkan untuk mempermudah pengolahan berikutnya (Gintings, 1992). Padatan yang terkandung dalam limbah bisa dalam bentuk terlarut maupun bentuk tersuspensi(Anonim, 2007). Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan cara kimia, yaitu koagulasi dengan bahan bahan kimia tertentu (koagulan) (koagulan) (Gintings, 1992). 1992). Menurut Sugiharto (1987), proses pengolahan secara kimia yaitu penggunaan bahan kimia berfungsi dengan konsentrasi zat pencemar dalam limbah akan berkurang. Dengan menggunakan bahan kimia berarti akan terjadi unsur baru dalam air buangan yang mungkin sebagai katalisator.
Proses pengolahan pada limbah akan terhambat apabila terdapat padatan yang ada di dalam larutan limbah tersebut. Oleh karena itu, padatan tersebut perlu dihilangkan untuk mempermudah pengolahan berikutnya. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan cara kimia, yaitu koagulasi dengan bahan kimia tertentu (koagulan) (Gintings, 1992). Menurut Sugiharto (1987), proses pengolahan cara kimia adalah menggunakan bahan kimia untuk mengurangi konsentrasi zat pencemar dalam limbah. Dengan menggunakan bahan kimia berarti akan terjadi unsur baru dalam air buangan yang mungkin sebagai katalisator.
15
Untuk memisahkan larutan dan juga padatan yang terdapat didalam limbah dilakukan proses penyaringan. Proses penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring yang berukuran 0,7 mm atau dapat juga lebih besar. Penyaringan yang baik apabila ditambahkan satu tahap pendahuluan yaitu koagulasi, karena padatan terlarut sulit dipisahkan dari bagian cair. Kemudian benda – benda padat yang melalui saringan tersebut kemudian diendapkan dalam tanki – tanki – tanki tanki sedimentasi (Mahida, 1992).
Di dalam padatan biasanya terkandung berbagai endapan yang terdiri atas fitoplankton, zooplankton, lumpur, kotoran manusia dan hewan, serta limbah industri dan sisa tanaman maupun hewan. Padatan tersuspensi total sebagai contoh air adalah jumlah berat bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu diberikan dalam miligram per liter atau bagian per juta (bpj). Padatan tersuspensi total merupakan residu yang tidak lolos saringan, ditetapkan dengan cara menyaring sejumlag air limbah melalui filter membran. Berat keringnya diperoleh setelah satu jam pada suhu 103-105oC (Sugiharto, 1987) & (Jenie & Rahayu, 1993). Padatan terlarut dan padatan yang tidak terlarut mengacu pada materi yang tertahan dan melewati filter. Bahan yang tidak terlarut (residu yang tidak tersaring) tidak ditentukan secara langsung tetapi dihitung dengan mengurangkan konsentrasi padatan tersuspensi dari konsentrasi padatan total (Hammer & Hammer, 1996). Fraksi padatan yang dapat melewati saringan terdiri atas padatan koloid dan padatan padatan terlarut.
Fraksi padatan koloid
merupakan padatan yang mempunyai diameter sekitar 1 milimikron hingga 1 mikron. Sedangkan, padatan terlarut tersusun atas ion-ion dan molekul-molekul organik maupun anorganik yang terlarut dalam air. Fraksi padatan koloid tidak dapat dipisahkan dengan pengendapan tanpa perlakuan khusus. Umumnya, oksidasi biologi atau koagulasi, yang diikuti dengan pengendapan, diperlukan untuk memisahkan partikel tersebut (Tehobanoglous, 1981). 1981).
Padatan terlarut didalam larutan dapat dipergunakan untuk menentukan jumlah kepekatan dalam suatu contoh air, juga dinyatakan dalam mg per liter atau dalam bagian juta. Penentuan padatan terlarut total dapat dengan cepat menentukan kualitas
16
air limbah. Ketransparanan dan warn air ini dipengaruhi oleh padatan terlarut dan tersuspensi. Produktivitas berhubungan dengan sifat transparan. Apabila cahaya tidak dapat tembus banyak maka bahan tersebut memiliki konsetrasi tersuspensi tinggi. Warna air juga ada hubungan dengan kualitas air (Sastrawija ya, 1991).
Konsentrasi total padatan dihitung menggunakan rumus : Total padatan =
Berat residu keri x 1 volu sam
(Sugiharto, 1987).
Total padatan (Total (Total Solid / TS) adalah bahan yang tertinggal setelah evaporasi sampel air atau air limbah dan pengeringan dalam oven. Pengukuran total padatan dilakukan dengan cara sejumlah volume tertentu diletakkan dalam cawan porselen. Air diuapkan dari cawan dengan pengeringan dalam oven sedikitnya 1 jam pada 103-105 C, kemudian didinginkan dalam desikator dalam berat konstan. Miligram total residu sama dengan perbedaan antara berat cawan setelah didinginkan dengan berat cawan kosong.Total padatan tersuspensi (Total ( Total Suspended Solid / TSS) adalah bahan yang tertahan filter standar. Pengukuran total padatan tersuspensi dilakukan dengan filtrasi, dimana filter dikeringkan dan ditimbang untuk menentukan peningkatan berat sebagai hasil dari residu yang tertahan. Perhitungan total padatan tersuspensi sama dengan perhitungan total padatan. Bahan terlarut (residu yang tidak tersaring) tersa ring) tidak ditentukan secara langsung tetapi dihitung dengan mengurangi konsentrasi padatan total dengan konsentrasi padatan tersuspensi (Hammer & Hammer, 1996). Perlu adanya perlakuan untuk mengurangi jumlah TSS jika hasil yang didapat terlalu tinggi a gar sesuai dengan Baku Mutu Limbah. Dengan demikian limbah aman dilepas ke lingkungan.
Koagulasi adalah proses penggumpalan dengan menggunakan reaksi kimia. Reaksi koagulasi berjalan dengan cara membubuhkan zat perekasi (koagulan) yang sesuai dengan zat terlarut. Koagulan sering digunakan adalah kapur, tawas dan kaporit, karena garam-garam Ca, Fe dan Al mempunyai sifat tidak larut dalam air
17
sehingga dapat mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa. Hasil reaksi koagulan selanjutnya endapan yang terbentuk dipisahkan dengan filtrasi maupun sedimentasi. Konsentrasi ion-ion yang larut, dan konsentrasi yang sesuai dengan standar baku dan jenisnya dalam air olahan dapat digunakan untuk menentukan banyaknya koagulan. Pengadukan dengan mixer statis statis maupun rapid mixer dapat dapat mempercepat proses koagulasi dalam air limbah (Kusnaedi, 1998).
Proses
koagulasi
menggunakan
Ca(OH) 2 yang
dapat
menggumpalkan
dan
mengendapkan padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut. Padatan padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut akan bergabung menjadi satu sehingga berat jenisnya menjadi besar dan dapat diendapakan. Karbon aktif yang digunakan pada proses adsorpsi memiliki atom-atom yang bersifat saling tarik menarik. Ketika karbon aktif dimasukkan ke dalam limbah cair mie ayam, tidak ada partikel padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut yang menarik atom karbon aktif tersebut, sehingga karbon aktiflah yang menarik padatan-padatan tersuspensi dan padatan-padatan terlarut (Gintings, 1992). Proses koagulasi berkaitan dengan pengaruh yang dihasilkan dari penambahan bahan kimia kepada dispersi kolid yang mengakibatkan ketidakstabilan partikel oleh pengurangan gaya-gaya yang cenderung membuat partikel terpisah. Salah satu sifat penting dari keadaan koloid adalah bahwa partikel koloid itu sendiri masing-masing mempunyai muatan listrik yang menyebabkan koloid saling tolak-menolak, sehingga tidak terjadi penggabungan menjadi partikel yang lebih besar yang dapat mengendap melainkan tetap dalam bentuk tersuspensi (Birdi, 1979).
Zat-zat yang digunakan menggumpalkan dapat disebut koagulan. Dalam proses pemurnian air digunakan bahan koagulan koagulan utama yaitu chlorinated copperas (campuran antara feri klorida dan feri sulfit, aluminium sulfat (Al 2(SO4)3.14H2O), feri sulfat (Fe2(SO4)3), copperas (FeSO copperas (FeSO4.7H2O), feri klorida (FeCl 3), serta silikat aktif (Winarno, 1986). Bahan penggumpal merupakan reaksi antara garam logam dengan basa yang terjadi di dalam air maka akan dihasilkan kumpulan hidroksida logam yang tidak mudah larut (Buckle et al ., ., 1987).
18
Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi : 1. Efek pH Untuk setiap jenis air terdapat sedikitnya satu range pH yang tepat untuk koagulasi dan flokulasi dalam waktu singkat dengan dosis yang diberikan. Dengan dilaksanakan dalam zona optimum. 2. Efek garam Pengaruh garam pada koagulasi untuk merubah beberapa point yang yang dapat disebutkan di bawah ini : -
Rentang pH untuk koagulasi
-
Waktu flokulasi
-
Dosis koagulan optimum
-
Sisa koagulan dalam air setelah pengolahan
3. Efek pengadukan Pengadukan yang cepat dibutuhkan pada penambahan koagulan agar distribusi koagulan lebih merata. Pada tahap kedua pengadukan kedua dimaksudkan untuk proses koagulasi dengan kecepatan rendah untuk menghasilkan kesatuan dari koloidkoloid yang tidak stabil. Proses penyaringan adalah proses awal ( primary treatment ), ), contohnya penyaringan dari hasil proses koagulasi (Kusnaedi, 1998). Penyaringan bertujuan untuk memisahkan padatan tidak terlarut, sehingga padatan yang berukuran besar tertahan dan filtratnya turun (Gintings, 1992).
Sedimentasi merupakan proses untuk memisahkan partikel – partikel – partikel partikel yang mengendap ataupun yang berbentuk gumpalan dengan bagian yang larut atau cairnya. Jumlah bahan kimia yang tepat untuk suatu jenis limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pH, alkalinitas, kadar padatan, konsentrasi phosphat dan faktor – faktor – faktor faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan akan koagulan (Jenie & Rahayu, 1993). Proses sedimentasi yang tidak dibantu oleh gaya pengental merupakan suatu proses yang sejati. Dengan adanya proses sedimentasi, maka dapat menghilangkan benda – benda – benda benda padat sebanyak 80 % dan 35 – 40 % senyawa – senyawa organik. mempercepat proses sedimentasi (Mahida, 1992).
Proses koagulasi dapat
19
Reaksi dari FeCl3 dengan adanya basa adalah : FeCl3 + 3HCO3 –
Fe(OH)3(s) + 3CO2 + 3Cl –
tanpa basa : FeCl3 + 3H2O
Fe(OH)3(s) + 3HCl
Membentuk HCl yang dapat menurunkan pH. Garam – Garam – garam garam ferri umumnya mempunyai range pH yang lebih luas untuk koagulasi yang efektif yaitu dari 4 – 4 – 9. 9. Sedangkan range pH yang efektif untuk ferri chlorida antara 5,5 – 5,5 – 7,0 7,0 (Davis & Cornwell, 1998). Reaksi feri klorida: FeCl3 + 3 H2O
Fe(OH)3 + 3 H+ 3 Cl
3 H+ 3 HCO3
3 H2CO3
FeCl3 + 3 Ca(OH)2
3 CaCl2 + 2 Fe(OH)3
(Gintings, 1992).
1.2.3. Karakteristik Karakteristik Kimiawi Ki miawi
Penentuan analisa kimiawi limbah cair didasarkan atas unsur-unsur yang mempunyai bahaya yang ditimbulkan oleh zat beracun yang terdapat pada limbah, serta upaya pembenahan limbah. Analisa kimiawi pada limbah cair bertujuan untuk dapat menentukan konsentrasizat kimia, mengetahui ada atau tidaknya bahan-bahan yang beracun yang berada di dalam limbah (Utomo, 1998). 1998).
Menurut Ryadi (1984), sifat kimia limbah cair meliputi pH, COD, dan BOD. Limbah industri pangan identik dengan kandungan organik yang cukup besar. Pengukuran yang paling penting untuk mengukur kadar organik adalah pengukuran BOD 5, BOD dan COD. Banyak air limbah yang memiliki BOD rendah dan COD tinggi diakrenakan terdapat bahan organik yang tidak mudahdipecah. Analisis BOD dalam penanganan air limbah akan memberikan indikasi awal adanya bahan toksik. Bila air limbah mempunyai COD yang tinggi, dan BOD yang rendah, maka studi toksisitas mungkin diperlukan (Jenie & Rahayu, 1993).
20
1.2.3.1. pH
Keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer dapat dinyatakan dengan pH. Larutan-larutan yang netral mempunyai nilai pH 7. Normalnya air limbahmemiliki kandungan alkali yang sedikit (Mahida, 1981). Air limbah yang bersifat basa bersumber dari buangan yang mengandung bahan anorganik contohnya senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida. Air limbah yang bersifat asam dapat berasal buangan yang mengandung mengandung asam sulfat, asam khlorida dll (Rahayu, 2009).
Nilai keasaman limbah cair ditentukan oleh banyaknya ion hidrogen yang larut dalam air. Keasaman mempunyai nilai antara 1 – 14. Konsentrasi air normal tingkat keasamannya berkisar antara 6,5 – 8,5. 8,5. Air yang mempunyai tingkat keasaman yang tinggi dapat berakibat kehidupan makhluk hidup yang berada di air menjadi terancam. Air menjadi asam karena adanya buangan yang mengandung pH rendah atau asam misalnya asam sulfat dan asam klorida. Sedangkan buangan yang bersifat basa (alkalis) bersumber dari buangan yang mengandung bahan organik seperti senyawa karbonat, bikarbonat dan hidroksida (Hammer &Hammer, 1996). Keasaman atau alkalinitas air dapat diukur dengan pHmeter (Sugiharto, 1987).
Menurut teori dari Suhardi (1991), kadar ion H yang ada dalam larutan dapat ditera atau diukur dengan beberapa cara antara lain memakai alat pH meter yang terdiri atasalat penera ( potensiometer potensiometer ) dan dua buah elektroda. Sebuah pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga maka terdapat rantai tertutup. Sehingga akan ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besarnya kadar ion H.Kadar pH yang baik yaitu kadar dimana masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air berjalan baik. pH yang baik bagi limbah cair adalah pH netral. Semakin kecil nilai pH maka limbah cair tersebut
makin
21
asam dan akan menyulitkan proses biologis sehingga mengganggu proses penjernihan (Sugiharto, 1987).
Pengawasan pH penting untuk melindungi sistem saluran kotoran serta bangunan bangunan lainnya disamping juga untuk mencegah terganggunya proses-proses penanganan (Sugiharto, 1987).pH limbah cair gorengan ( street food ) adalah 5,71 dan 5,85 maka rata-rata pH nya masih di bawah pH netral yaitu 5,78. Jadi limbah li mbah ini masih cenderung asam, sehingga bila akan diproses perlu dinetralkan dengan penambahan basa. Limbah hasil penggorengan gorengan umumnya mendekati netral atau sedikit basa, berkaitan dengan dekomposisi material berprotein (Anonim, 2007). Tetapi pH ini tetap harus dipertahankan supaya saat dilepas ke badan air nantinya, limbah berada pada pH yang netral. pH yang netral (7) merupakan pH yang baik bagi air limbah. J ika nilai pH semakin kecil, maka air tersebut akan menjadi asaam (Sugiharto, 1987). Pada umumnya pH limbah diatur sekitar kenetralan, biasanya antara 6 dan 8 (Mahida, 1981).
1.2.3.2. Chemical Ox ygen ygen D emand (COD)
COD (Chemical (Chemical Oxygen Demand ) merupakan banyaknya oksigen dalam ppm ataupun dalam mg/L yang dibutuhkan untuk menguraikan benda organik secara kimiawi. Terlarutnya oksigen ini digunakan sebagai tanda derajat pengotoran limbah. Jika terlarutnya oksigen semakin berat, maka menunjukkan derajat pengotor yang kecil (Sugiharto, 1987).Cara menguraikan benda organik tersebut dengan oksidasi menggunakan agen oksidasi kuat yang berada di dalam suasana asam (Suhardi, 1991).
Menurut Hammer & Hammer (1996), COD (Chemical ( Chemical Oxygen Demand ) digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi kimia bahan bahanorganik dalam sampel menjadi air dan karbondioksida. Langkah untuk uji ini adalah dengan caralarutan dikromat standar ditambahkan, reagen asam sulfat yang mengandung
perak
sulfat
dimasukkan
ke dalam suatu wadah. Uji COD dilakukan juga sampel blanko yang berisi air destilasi. Tujuan dari blankoadalah agar kesalahn yang muncul dapat dikoreksi karena adanya kandungan bahan organik dalam reagen. Rumus perhitungan COD:
22
COD
blanko blanko
sampel molaritas titran 8000 pengenceran ml sampel
COD (Chemical (Chemical Oxygen Demand ) atau kebutuhan oksigen kimia adalah suatu jumlah oksigen (miligram O 2) yang diperlukan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam 1 liter sampel air, dimana larutan kalium dikromat (K 2Cr 2O7) digunakan sebagai sumber oksigen (Jenie & Rahayu, 1993). Nilai COD yang tinggi dapat digunakan indikasi adanya pencemaran air oleh zat-zat organik dan misalnya berasal dari limbah pabrik, limbah rumah tangga, dll. Jumlah volume KMnO 4 atau K 2Cr 2O7merupakan banyaknya total zat organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi (Suhardi, 1991).Bahan organik yang teroksidasi dianggap sebanding dengan kalium dikromat yang digunakan dalam reaksi oksidasi. Pada uji COD, sebagian besar senyawa teroksidasi, termasuk senyawa-senyawa yang tidak dapat mengalami biodegradasi (Sastrawijaya, 1991).
Menurut Suhardi (1991), zat organik dapat dihilangkan dandibutuhkan penambahan zat-zat penggumpal. Zat yang digunakan sebagai penggumpal adalah:
Campuran ferosulfat dengan kapur (FeSO 4 + CaO).
Natrium-aluminat
Aluminium sulfat (Al 2(SO4)3)
Bahan-bahan oksidasi yang digunakan untuk uji COD antara lain: kalium bikromat, suatu campuran yang relatif mudah yang dapat diperoleh dalam keadaan yang sangat
23
murni. Tujuan penambahan larutan kalium bikromat dan merkuri sulfat adalah untuk menyebabkan terjadi reaksi reduksi-oksidasi menghasilkan On yang merupakan oksigen bebas yang nantinya diukur dengan titrasi iod. Reaksi oksidasi-reduksi inidapat terjadi karena kalium bikromat merupakan senyawa yang bersifat oksidator kuat. Reaksi oksidasi-reduksi tersebut dapat berlangsung optimal dalam kondisi asam (Suhardi, 1991). Penggunaan katalis perak sulfat dan merkuri sulfat diperlukan untuk mengatasi gangguan klorida dan menjamin oksidasi senyawa-senyawa benzene dan amonia tidak diukur dalam uji ini (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut Baku Mutu Limbah, batas maksimum COD yang boleh ada dalam suatu limbah adalah 100 mg/liter (Annas, 2007).
COD merupakan parameter yang menunjukkan tekanan bahan organik li mbah cair dan tingkat polusinya. COD berupa kuantitas oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi secara kimia senyawa organik dalam sampel limbah cair (Sugiharto, 1987). COD digunakan untuk mengukur senyawa-senyawa organik yang tidak dapat dipecah seperti yang diukur dalam uji BOD (Suhardi, 1991). Nilai BOD lebih kecil daripada nilai COD yang diukur pada senyawa organik yang dapat diuraikan maupun senyawa organik yang tidak dapat terurai (Gintings, 1992). Menurut Jenie & Rahayu (1993), nilai-nilai
CODlebih
tinggi
daripada
nilai
BOD.
Faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan perbedaan tersebut antara lain:
Bahan kimia yang mudah teroksidasi secara kimia
Adanya bahan toksik dalam air limbah yang akan mengganggu uji BOD
Proses pemanasan dapat meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia karena suhu tinggi akan menyebabkan membesarnya energi kinetik masing – masing masing molekul dari kedua senyawa yang bereaksi sehingga terjadinya tumbukan atau reaksi dari kedua
24
molekul tersebut akan semakin besar, sehingga senyawa akhir reaksi akan semakin cepat terbentuk (Graham, 1956). Bahan zat pengoksid kuat dapat dianalisis dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan menitrasi iod. Dengan penambahan KI ini akan menyebabkan terjadi reaksi antara ion K dengan oksigen yang dibebaskan dari reaksi oksidasi (On) (Petrucci, 1990).
Reaksi tersebut akan menghasilkan ion iodida bebas yang jumlahnya ekuivalen dengan jumlah ion yang membebaskannya. Jumlah ion iodida yang bebas tersebut dapat ditentukan banyaknya melalui titrasi dengan Na 2S2O3 dengan indikator amilum (Day& Underwood, 1992). Adanya reaksi antara ion iodida bebas tersebut dengan indikator amilum yang digunakan akan menghasilkan warna biru tua. Warna biru ini timbul karena adanya reaksi antara molekul-molekul pati dengan iodin. Iodin dapat masuk ke dalam struktur molekul pati yang berbentuk helix dan helix dan membentuk ikatan. Ikatan antara struktur molekul pati dengan iodin dapat menghasilkan warna biru tua (Graham, 1956). Apabila terbentuknya warna biru ini tidak hilang kembali, maka menunjukkan titik akhir dari titrasi, dan jumlah volume Na 2S2O3 yang dibutuhkan untuk menangkap semua iod sama dengan dengan jumlah iod yang bebas dan sebanding dengan jumlah On atau oksigen yang terkandung dalam limbah li mbah (Sudarmadji et al .,1996). .,1996).
BOD atau Biochemical Oxygen Demand atau BOD adalah sejumlah oksigen dalam sistem air yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk menstabilkan atau menetralisir bahan-bahan organik dalam air melalui proses oksidasi biologis secara dekomposisi aerobik. Uji BOD melibatkan pengenceran air limbah dengan air yang mengandung oksigen terlarut dalam jumlah yang telah diketahui dan mencatat hilangnya oksigen
25
setelah penyimpanan. Penyimpanan biasanya dilakukan selama 5 hari pada 20 oC dalam botol gelap yang tertutup rapat (Laws, 1993). Menurut Sugiharto (1987), BOD5adalah banyaknya oksigen dalam satuan ppm atau mg/L yang dibutuhkan oleh bakteri untuk dapat menguraikan bahan bahan organik sehingga limbah dapat menjadi jernih.
Menurut Alaerts & Santika (1984), analisa BOD dapat dilakukan melalui 2 cara yakni : Analisa dengan titrasi Winkler
Analisa ini memiliki prinsip yaitu oksigen akan mengoksidasi MnSO 4 yang telah ditambahkan ke dalam larutan alkalis, sehingga dapat terjadi endapan Mn0 2. Reaksi tersebut dapat ditulis: MnSO4 + 2 KOH
Mn(OH)2 + K 2SO4
Mn(OH)2 + ½ O2
MnO2 + H2O
MnO2 + KI + 2 H 2O
Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 S2O3 – 2
S4O6- + 2 I –
Titrasi oleh Natrium Thiosulfat akan dikontrol oleh indicator amilum. Selama proses berlangsung, I 2 dan I- yang terbentuk akan mebentuk beberapa I 3- di dalam larutan. I 3yang terbentuk ini dengan amilum akan membentuk senyawa biru kompleks. Hasilakhir titrasi menunjukkan perubahan warna akhir menjadi tidak berwarna (Anonim, 2007).
Kelemahan uji BOD yaitu fase lag yang tidak bisa diduga panjangnya terjadi sebelum pertumbuhan aktif dimulai. Panjang lag l ag tersebut dapatberpengaruh pada nilai BOD 5 hari dengan cara menggeser kurva sepanjang sumbu waktu (Jenie & Rahayu, 1993). Selama 5 hari tersebut, oksidasi berlangsung sebesar 60-70%. Penggunaan temperatur yang berbeda menghasilkan hasil yang berbeda dikarenakan reaksi biokimia bergantung pada suhu atau temperatur (Tchobanoglous, (Tchobanoglous, 1981).
Semakin besar angka BOD maka derajat pengotoran limbah cair semakin besar. Umumnya nilai BOD5 adalah sekitar 400-1000 mg/l pada inlet dan dibawah 50 mg/l pada oulet tangki aerasi (Tehobanoglous, 1981). Tes BOD digunakan untuk menentukan kebutuhan oksigen relatif dari effluent yang telah diolah dan air yang
26
terpolusi, tetapi bagaimanapun juga tes ini nilainya terbatas dalam mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air, danperhitungan tes yang menunjukkan aliran kebutuhan oksigen yang sesungguhnya sangat dipertanyakan karena lingkungan laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia dan biologis yang sama sam a seperti di alam. BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme dalam oksidasi aerob bahan – bahan organik dalam sampel air limbah pada temperatur 19 – 21 oC dalam inkubator atau waterbath (Hammer & Hammer, 1996).
Angka BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagaimana zat organik tersebut tersuspensi dalam air. Pemeriksaan BOD digunakan untuk menentukan beban pencemaran sistem- sistem pengolahan air yang tercemar secara biologi. Penentuan BOD merupakan cara menentukan zat oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik secara biokimiawi atau mengukur banyaknya oksigen yang dibutuhkan populasi mikrobia heterogen untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik selama masa inkubasi (Suhardi, 1991). Secara teoritis dibutuhkan suatu jangka waktu yang cukup lama untuk oksidasi biologis yang sempurna. Namun untuk tujuan-tujuan praktis, reaksi itu dianggap telah lengkap
dalam
5
hari,
sebab
pengalaman
menunjukkan
bahwa
sebagian
besarpersentase BOD digunakan dalam masa 5 hari. Bagaimanapun juga, nilai BOD selama 5 hari itu hanya dapat mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD secara lengkap, oleh karena itu BOD 5 bukan merupakan suatu ukuran yang lengkap dari kekuatan air limbah, mutu air limbah atau tingkat pencemarannya (Mahida, 1992).
Ada 5 jenis gangguan yang umunya terdapat dalam analisa BOD ini yakni : a. Proses nitrifikasi proses nitrifikasi ini dapat terjadi di dalam botol dari hari ke – 2 s/d hari ke 10. Proses ini juga membutuhkan oksigen. Semakin banyak reaksi nitrifikasi terjadi, maka oksigen yang akan dianalisa dalam tes BOD akan semakin tidak teliti. Oleh karena itu dalam analisa BOD, pertumbuhan bakteri penyebab nitrifikasi harus dihalangi dengan inhibitor, walaupun kemungkinan suhu yang tinggi seperti di daerah tropis juga akan meningkatkan proses nitrifikasi ini.
26
b. Zat beracun zat beracun dapat memperlambat pertumbuhan bakteri sehingga analisa BOD menjadi tidak teliti lagi. c. Keluarnya oksigen dari dalam botol untuk mencegah keluarnya oksigen di dalam botol maka botol harus ditutup rapat – rapat, gelembung udara tidak boleh berada di dalam botol. Hal ini disebabkan karena adanya gelembung udara akan menyebabkan kemungkinan terjadinya penggunaan oksigen oleh kontaminan seperti ganggang dan lumut. Oleh karena itu penyimpanan botol harus harus diletakkan di tempat yang gelap. d. Nutrien nutrien merupakan salah satu syarat kehidupan bakteri – bakteri yang akan dianalisa kebutuhan oksigennya. e. Cara pembenihan bakteri yang cocok dalam air limbah dalam limbah katering ini banyak mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri, yaitu banyak mengandung lemak dan protein. Oleh karena ituseharusnya limbah ini mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme, sehingga memiliki BOD yang cukup tinggi (Alaerts & Santika, 1984). 1.2.4. Karakteristik Karakteristik Biologis
Karakteristik biologi diperlukan untuk memeriksa adakah bakteri-bakteri patogen dalam limbah cair, selain itu juga untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada dalam limbah cair. Untuk membunuh mikroorganisme patogen, maka dilakukan desinfeksi (Gintings, 1992). Pemeriksaan biologis dapat meliputi pemeriksaan bakteri, jamur, ganggang, protozoa ganggang, protozoa,, porifera, porifera, crustaceae, crustaceae, serta virus (Utomo, 1998).
Umumnya bakteri kemoheterotrofik, merupakanbahan
organik yang digunakan
sebagai sumber energi dan karbon. Ada juga yang bersifat fotosintetik, yaitu dengan menggunakan sinar matahari. Bakteri kemoheterotrof penting dalam penanganan limbah karena dapat memecah bahan organik (Jenie & Rahayu, 1993).
Kapang merupakan mikroba nonfotosintesis, bercabang,bersel banyak, berfilamen, dan memetabolisme makanan terlarut. Pada limbah dengan pH 4-5, kadar air rendah, kadar nitrogen rendah sering ditumbuhi dengan kapang (Jenie & Rahayu, 1993).
27
Menurut pernyataan Sunu (2001) Jumlah air dan jenis mikroorganisme dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaiut: 1. Sumber air Jenis mikroorganime di dalam air dipengaruhi oleh sumber misalnya air tanah, tanah, air hujan, air permukaan, dsb. 2. Komponen nutrien dalam air Kehidupan mikroorganisme ditunjang dengab keberadaan air yang mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh spesies mikroorganisme tertentu. 3.Organisme air Misalnya protozoa dan plankton yang dapat membunuh bakteri.
Desinfeksi merupakan proses untuk membunuh jasad renik patogen baik secara kimia maupun fisik(Fardiaz, 1992). Metode lain dari desinfeksi ialah jika terkena panas akan merusak dinding sel (Sugiharto, 1987).Proses desinfeksi bertujuan untuk mengurangi konsentrasi bakteri dan untuk mebunuh atau menghilangkan bakteri patogen. Penggunaan desinfeksi dapat mengatasi mikroba patogen yang spesifik. Metode desinfeksi lain dengan berbagai bahan kimia seperti klorin, iodium ozon, senyawa amonium kwatener dan lampu ultra violet. BOD menurun karena adanya klorin.Keefektifan penggunaan klorin dapatdikarenakan jumlah dan jenis klorin yang digunakan, suhu, dan jenis serta konsentrasi mikroba(Jenie & Rahayu, 1993).
Klorin merupakan oksidator dan akan melakukan reaksi dengan komponen organik limbah cair. Klorin banyak digunakan untuk mencegah bau yang timbul dari limbah. Klorin memiliki peran dalam mengatasi limbah pertanian yaitu untuk mengurangi konsentrasi bakteri.
2. MATERI DAN METODE TREATMENT
2.1. Pengolahan Pendahuluan (Pretreatment ) 2.1.1. Penyaringan
Limbah cair gorengan ( street food ) mengandung minyak. Hal ini jelas karena bahan utama yang digunakan untuk menggoreng adalah minyak. Karena adanya minyak, jika dibuang langsung ke sungai akan menyebabkan pencemaran air. Jika dibuang ke tanah dapat menyebabkan adanya reaksi penyabunan yang menyebabkan pH tanah menjadi terlalu basa. Oleh karena itu perlu dilakukan proses penyaringan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Berdasarkan Mahida (1992), tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan partikel padatan dengan cairan dan mengurangi total padatan terlarut pada limbah cair. Untuk padatan tersuspensi dipisahkan melalui koagulasi pada tahap selanjutnya. Proses penyaringan dilakukan sebanyak 3 kali, 2 kali dengan menggunakan kain saring dan 1 kali dengan menggunakan kertas saring. Hal ini bertujuan agar diperoleh limbah cair yang cukup jernih.
2.1.1.1.Tujuan
Tujuan tahap penyaringan adalah mengurangi partikel yang berukuran besar, padatan terlarut, dan padatan tersuspensi agar diperoleh limbah cair yang cukup jernih atau mengurangi kekeruhan limbah cair.
2.1.1.2.Materi 2.1.1.2.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah 2 kain saring, kertas saring, corong, erlenmayer, dan ember.
28
29
2.1.1.2.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah 2 liter limbah cair gorengan ( street ( street food ). ). 2.1.1.3.Metode
Disiapkan 2 buah ember. Ember 1 untuk menampung limbah cair, ember 2 untuk menampung hasil penyaringan. Kain saring diletakkan di mulut ember 2, sehingga siap digunakan untuk penyaringan. Limbah cair dari ember 1 dimasukkan ke ember 2secara perlahan dengan melalui kain saring. Setelah semua selesai, ember 1 dicuci bersih. Kemudian penyaringan diulangi lagi dengan memasukkan limbah cair penyaringan 1 ke ember 1 hingga diperoleh limbah cair yang cukup jernih. Kemudian limah dari ember 1 di saring kembali menggunakan kertas saring dengan menggunakan erlenmayer dan corong.
Treaetment 2.2. Pengolahan Pertama ( Pr im ary Treaetment )
2.2.1. Koagulasi
Pada tahap ini dilakukan pengendapan atau koagulasi. Hal ini dilakukan karena ada padatan, zat warna, padatan tersuspensi yang lolos dari tahap penyaringan dan perlu dihilangkan sebelum masuk tahap selanjutnya. Penghilangan bahan-bahan ini menurut Gintings (1992) dapat dilakukan secara kimiawi dengan penambahan Ca(OH) 2 dan FeSO4. Ditambahkan Ca(OH) 2 jika pH limbah tersebut asam atau FeSO 4 jika limbah tersebut basa. Senyawa koagulan seperti Ca(OH)2 jika pH limbah tersebut asam atau FeSO4 akan membuat partikel tersuspensi saling terikat. Dengan begitu ukurannya menjadi lebih besar, mudah disaring, dan dipisahkan. Hal ini karena senyawa kimia menyebabkan butiran bahan bertambah besar. Jika semakin besar maka berat jenis partikel menjadi lebih besar daripada air dan akhirnya mengendap. Kemudian dilakukan pengadukan perlahan agar semakin banyak partikel yang mengendap.Proses koagulasi ini sesuai dengan Kusnaedi (1998) yang mengatakan bahwa jika limbah cair yang disaring mengandung butiran halus atau bahan terlarut, sebaiknya dilakukan koagulasi atau netralisasi. Hal ini karena koagulasi dapat menghasilkan endapan. 2.2.1.1.Tujuan
Tujuan koagulasi adalah untuk mengurangi padatan tersuspensi, mengurangi padatan terlarut, dan menghilangkan menghilangkan zat organik yang yang masih lolos dari tahap pr-treatment
30
2.2.1.2.Materi 2.2.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah beaker glass, glass, pipet volume, pompa pilleus, gelas ukur, erlenmeyer, pengaduk, kertas saring, jar saring, jar tester , corong, timbangan analitik dan pH meter. 2.2.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil pretreatment , aquadest, dan Ca(OH) 2. 2.2.1.3.Metode
Limbah cair diukur terlebih dahulu pH nya. Karena pH nya asam, maka ditambahkan Ca(OH)2 sebanyak 0 ppm, 10000ppm, 20000 ppm, 30000ppm, 40000ppm, dan 50000 ppm. Setelah itu dilakukan jar test dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit kemudian 25 rpm selama 15 menit sampai terbentuk flokulasi yang lebih besar. Diamkan selama 30 menit sampai membentuk endapan. Filtrat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Difoto dan diuji dengan turbidimeter.
2.3. Pengolahan Kedua ( Secondar y Tr eatment ) 2.3.1. Aerasi
Limbah cair gorengan ( street food ) selain mengandung minyak, juga mengandung banyak komponen organik, seperti karbohidrat dan protein yang berasal dari tepung dan bahan yang digoreng. Komponen organik ini dapat digunakan oleh mikroba pembusuk sehingga menimbulkan aroma yang tidak sedap. Pada secondary treatment digunakan proses biologis untuk menghilangkan bahan organik melalui biokimia oksidasi. Berdasarkan Kusnaedi (1998) dalam tahap ini digunakan reaktor lumpur aktif dan “trickling “trickling filter ”. ”. Air buangan akan masuk ke dalam tangki aerasi. Tangki aerasi ini adalah tempat mikroorgansime mengkonsumsi buangan organik. Dengan demikian akan didapatkan endapan pada dasar bak.
31
Secondary treatment biasanya dilakukan dengan aerasi. Aerasi adalah sistem pemasukan oksigen pada limbah cair dengan menangkap O 2 dari udara. Dengan masuknya oksigen akan menimbulkan kondisi yang optimal bagi mikroorganisme aerob untuk menguraikan zat organik pada limbah cair. Tujuan pemasukan oksigen ini adalah agar oksigen bereaksi dengan kation pada limbah olahan. Reaksi kation dengan oksigen akan menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga menghasilkan endapan. Salah satu kegunaan kegunaan utama aerasi adalah untuk menurunkan kadar Fe dan Mg. Hal ini karena kation Fe 2+dan Mg2+akan membentuk Fe 2O3 danMgO jika disemburkan ke udara. udar a. Selain itu aerasi akan menurunkan COD yang tidak terlalu terla lu tinggi di dalam limbah cair. Proses aerasi harus diikuti proses filtrasi atau pengendapan (Kusnaedi, 1998).
2.3.1.1.Tujuan
Tujuan aerasi adalah untuk menghilangkan zat organik biodegradable dan padatan tersuspensi, mengurangi aroma busuk dan menyengat, meningkatkan kandungan oksigen dalam limbah cair, dan meningkatkan efektifitas tahap berikutnya.
2.3.1.2.Materi 2.3.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah beaker glass, glass, kertas saring, dan aerator . 2.3.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair gorengan ( street ( street food ) hasil tahap primary tahap primary treatment . 2.3.1.3.Metode
Limbah cair hasil primary treatment dimasukkan dimasukkan dalam beaker glass. glass. Setelah itu dimasukkan selang aerator pada beaker glass glass hingga dasar beaker glass. glass. Aerator dinyalakan dan ditunggu sampai terjadi gelembung-gelembung udara. Proses aerasi dilangsungkan selama 30 menit. Setelah proses aerasi selesai, limbah cair disaring lagi dengan kertas saring untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya.
32
2.4. Pengolahan Ketiga (Ter ) Ter tiar y Tr eatment atment 2.4.1. Adsorbsi
Limbah cair gorengan ( street food ) mengandung banyak minyak bekas sehingga memiliki bau menyengat. Adsorbsi dilakukan dengan menggunakan karbon aktif atau adsorbent . Adsorbent dapat dapat menjernihkan limbah cair dengan mengurangi bahan organik, partikel, benda yang tidak terurai, bau, warna, dan rasa. Senyawa karbon aktif akan membuat partikel – – partikel dalam air limbah yang tidak terurai menjadi terurai. Dengan begitu limbah cair menjadi lebih jernih dan tidak berbau terlalu menyengat. Penggunaan karbon aktif digunakan sebagai pelengkap proses pengolahan limbah secara biologi. (Mahida ,1992). 2.4.1.1.Tujuan
Tujuan proses adsorbsi adalah menguraikan partikel agar limbah cair menjadi lebih jernih, menyerap gas sehingga mengurangi bau busuk, mengurangi bahan organik pengotor, dan benda benda yang tidak dapat diuraikan. 2.4.1.2.Materi 2.4.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah beaker glass, glass, corong, kertas saring, cling wrap, wrap, kain saring, pengaduk, gelas ukur, timbangan analitik, dan erlenmeyer. 2.4.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah limbah cair gorengan ( street ( street food ) hasil secondary hasil secondary treatment dan dan karbon aktif serbuk atau arang aktif. 2.4.1.3.Metode
Limbah cair gorengan ( street food ) hasil secondary treatment ditambahkan karbon aktif. Setiap 200 ml limbah cair ditambahkan 3 gram karbon aktif. Diaduk hingga larutan homogen. Diamkan sehingga karbon aktif yang tidak larut akan mengendap. Disaring menggunakan kain saring sebanyak 1 kali. Setelah itu disaring dengan kertas saring 1 kali untuk karbon aktif serbuk. Filtrat akan masuk ke tahap pengolahan selanjutnya.
33
2.5. Perlakuan Tambahan
Tujuan dari perlakuan tambahan adalah untuk memastikan limbah cair tidak mengandung senyawa dan mikroorganisme pencemar serta aman untuk dibuang ke lingkungan. 2.5.1. Disinfeksi
Disinfeksi adalah proses menghilangkan atau membunuh jasad renik patogen secara kimia
maupun
fisik.
Tujuan
disinfeksi
adalah
untuk
menurunkan
jumlah
mikroorganisme pada limbah cair. Mekanisme penghilangan atau pembunuhan. mikroorganisme dipengaruhi oleh zat pembunuh dan mikroorganisme tersebut. Jika ingin merusak dinding sel secara langsung, maka dapat dilakukan dengan bahan radiasi atau panas. Jika ingin menginaktivasi enzim utama yang kemudian akan merusak dinding sel dapat dilakukan dengan menggunakan klorin. Klorin yang digunakan dapat berbentuk klorin bebas, klorin terikat, asam hipoklorit, dan ion hipoklorit. Selain itu menurut Jenie & Rahayu (1993) juga dapat digunakan iodium, ozon, senyawa amonium kuartener, dan lampu ultraviolet. Berdasarkan Sugiharto (1987) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan kimia untuk disinfeksi :
-
Waktu kontak
-
Efektivitas
-
Dosis
-
daya racun zat kimia
- biaya murah untuk pemakaian masal -
tidak toksik terhadap manusia dan hewan
-
tahan air
2.5.1.1.Tujuan
Tujuan disinfeksi adalah untuk menurunkan dan menghilangkan senyawa pencemar dan mikroba patogen pada limbah cair sehingga limbah cair aman saat dibuang ke lingkunga
34
2.5.1.2.Materi 2.5.1.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah ember, beaker glass, glass, pengaduk, kain saring, dan kertas saring.
2.5.1.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair gorengan ( street ( street food ) hasil tertiary treatment dan dan klorin. 2.5.1.3.Metode
Limbah cair gorengan ( street food ) hasil tertiary treatment ditambahkan klorin sebanyak 10% dari volume limbah cair. Diaduk hingga homogen selama 10 menit. Limbah cair disaring dengan menggunakan kain saring sebanyak 1 kali. Setelah itu disaring dengan kertas saring sedikit demi sedikit. Filtrat masuk ke tahap selanjutnya.
2.5.2. Netralisasi
Tahap terakhir dari perlakuan tambahan adalah netralisasi. Sebelum dibuang ke lingkungan, limbah cair harus diukur terlebih dahulu pH nya agar sesuai dengan Baku Mutu Limbah (BML). Berdasarkan BML, pH limbah cair gorengan untuk dibuang ke lingkungan adalah 6,0 – 9,0. Menurut Mahilda (1992), jika limbah cair terlalu asam atau terlalu basa akan mengganggu kehidupan biota air.Jika pH limbah cair asam maka ditambahkan Ca(OH)2. Jika pH limbah cair basa ditambahkan FeCl 3 (Sastrawijaya, 1991). 2.5.2.1.Tujuan
Tujuan netralisasi adalah untuk memastikan pH limbah cair agar sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan (BML) sehingga aman saat dibuang ke lingkungan. 2.5.2.2.Materi 2.5.2.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah ember, pipet tetes, dan pH meter.
35
2.5.2.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair gorengan ( street ( street food ) hasil disinfeksi, NaOH 5%, dan HCl 5%. 2.5.2.3.Metode
Limbah cair diletakkan pada ember. Dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan pH meter. Jika pH asam (kurang dari 6), maka ditambahkan NaOH 5%. Jika pH limbah cair basa (lebih dari 9) ditambahkan HCl 5%. Dilakukan penambahan NaOH dan HCl hingga didapatkan kisaran pH 6,0 - 9,0. Dilakukan dua kali ulangan.
2.6. Pengujian Parameter Akhir
Setelah
melewati
berbagai
macam
pengolahan,
limbah
cair
perlu
diuji
karakterisitiknya apakah sudah sesuai dengan Baku Mutu Limbah (BML). Pengujian parameter akhir terdiri dari : 2.6.1. Karakterisitik Karakterisitik Fisik 2.6.1.1.Bau 2.6.1.1.1. Materi 2.6.1.1.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah beaker glass. glass. 2.6.1.1.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment . 2.6.1.1.2. Metode
Sampel limbah cair hasil treatment dimasukkan dalam beaker glass. glass. Dilakukan penciuman dengan indera penciuman.
2.6.1.2.Warna dan Kekeruhan 2.6.1.2.1. Materi 2.6.1.2.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah beaker glass. glass.
36
2.6.1.2.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment . 2.6.1.2.2. Metode
Sampel limbah cair hasil treatment dimasukkan dalam beaker glass. glass. Dilakukan pengamatan dengan indera penglihatan. 2.6.1.3.Suhu 2.6.1.3.1. Materi 2.6.1.3.1.1.
Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah termometer dan beaker glass. glass. 2.6.1.3.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment . 2.6.1.3.2. Metode
Sampel limbah cair hasil treatment dimasukkan dalam beaker glass. glass. Dilakukan pengukuran suhu menggunakan menggunakan termometer. Dilakukan dua kali kali ulangan. 2.6.1.4.Analisa Padatan Soli d 2.6.1.4.1. Analisa Total Soli (TS) (TS)
2.6.1.4.1.1.
Materi
2.6.1.4.1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah cawan porselen, timbangan analitik, oven, pipet volume, dan desikator. 2.6.1.4.1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment .
37
2.6.1.4.1.2.
Metode
Cawan porselin dioven selama 1 jam pada suhu 105°C. Dimasukan dalam desikator selama 15 menit. Ditimbang hingga beratnya konstan. Diambil 2 ml sampel limbah cair dan dimasukkan dalam cawan porselen. Sampel beserta cawan dimasukkan dalam oven suhu 105°C selama 24 jam. Dimasukkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Rumus :
TS =
(A - B) ml sampel
1000
Keterangan : A
: berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan (mg)
B
: berat cawan kosong (mg)
TS
: total solid / padatan padatan total (ppm)
uspended Sol Solii d 2.6.1.4.2. Analisa Total Suspended (TSS) (TSS)
2.6.1.4.2.1.
Materi
2.6.1.4.2.1.1. Alat
Alat yang digunakan adalah cawan porselen, oven, desikator, pipet volume, corong, pengaduk, timbangan analitik, erlenmeyer, dan kertas saring. 2.6.1.4.2.1.2. Bahan 2.6.1.4.2.2.
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil
treatment .Metode Kertas saring dimasukkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105°C. Dimasukan dalam desikator selama 15 menit. Ditimbang hingga beratnya konstannya. Diambil sebanyak 50 ml sampel limbah cair. Limbah cair disaring menggunakan kertas saring. Kertas saring dan residu diletakkan pada cawan porselin. Kemudian dimasukkan dalam oven bersuhu 105°C selama 24 jam. Dimasukkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dilakukan dua kali ulangan. Rumus : Perhitungan : TSS =
(B - A) ml sampel
1000
38
Keterangan : A
: berat kertas saring kosong (mg)
B
: berat kertas saring berisi residu (mg)
TSS
: total suspended solid / padatan tersuspensi total (mg/L).
2.6.2. Karakteristik Karakteristik Kimiawi ygen D emand 2.6.2.1.Analisa kandungan Chemical Ox ygen (COD) (COD)
2.6.2.1.1. Materi 2.6.2.1.1.1.
Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah erlenmeyer, buret, statif, pipet tetes, pipet volume, pompa pilleus, beaker glass, glass, pemanas, pengaduk, labu takar, dan gelas ukur.
39
2.6.2.1.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment , HgSO4 pekat, amilum, K 2Cr 2O7, KI 10%, , Na 2S2O3. 0,1 N dan aquades. 2.6.2.1.2. Metode
Sebanyak 10 ml sampel limbah cair dimasukkan ke dalam labu takar. Diencerkan sampai 100 ml. Hasil pengenceran diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmenyer. Ditambahkan 1 ml HgSO 4 pekatdan 20 ml K 2Cr 2O7. Dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100°C. Diambil 10 ml larutan tersebut dan ditambahkan 1,5 ml KI 10%. Sebelum titrasi, ditambahkan 2 ml amilum. Larutan dititrasi dengan Na 2S2O3 0,1 N hingga dicapai titik akhir titrasi yaitu biru bening. Kemudian volume Na 2S2O3 0,1 N yang digunakan untuk titrasi dicatat. Dilakukan dua kali ulangan dan satu blanko. Untuk blanko tidak disertai perlakuan pemanasan.
ochemi cal Oxygen Oxygen D emand 2.6.2.2.Analisa kandungan Bi ochemi (BOD) (BOD)
2.6.2.2.1. Materi 2.6.2.2.1.1.
Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah 2.6.2.2.1.2.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah limbah cair hasil treatment .
2.6.2.2.2. Metode
Sebanyak 15 ml limbah cair hasil treatment dimasukkan ke dalam beaker glass. glass. Diencerkan dengan aquades hingga 750 ml. Diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit. Diukur dengan DO meter. Setelah pengukuran, limbah cair disimpan dalam botol gelap dan tidak terdapat gelembung udara. Botol disimpan d dalam ruang gelap selama 5 hari. Setelah 5 hari, sampel dituangkan ke erlenmeyer. Diaduk menggunakan magnetic stirrer selama selama 10 menit. Diukur dengan DO meter. Rumus : BOD5 = (DOsi – DO DO bi) +
Vb Vs
(DO bf – DO DOsf )
40
DOsi = Oxygen Demand sampel mula-mula Keterangan: DOsf = Oxygen Demand sampel setelah 5 hari DO bf = Oxygen Demand blanko mula-mula DO bf = Oxygen Demand blanko setelah 5 hari Vb
= Volume botol
Vs
= Volume sampel air limbah
3.HASIL PENGAMATAN
3.1. Kelompok F4 3.1.1.
Data Hasil Pengukuran Parameter Awal
3.1.1.1.Karakteristik 3.1.1.1.Karakteristik Fisik
Bau
: +++
Warna
:+
Kekeruhan
: ++
Keterangan : Bau : + : tidak bau ++ : agak bau +++ : berbau ++++ : sangat berbau +++++ : sangat berbau sekali
Suhu/ temperatur
Warna + ++ +++ ++++ +++++
: : bening : kuning : kuning kecoklatan : coklat : coklat kehitaman
Kekeruhan : + tidak keruh ++ agak keruh +++ keruh ++++ sangat keruh +++++ sangat keruh sekali
:
Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :
Tabel 1. Hasil Pengamatan suhu Sampel Ulangan I Ulangan II Rata-rata
Suhu (oC) 29 29 29
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa suhu pada ulangan I dan ulangan II adalah 29oC serta suhu rata-ratanya adalah 29oC.
41
42
3.1.1.2.Analisa Padatan 3.1.1.2.1. Jar Tes Testin g
Hasil pengamatan Jar pengamatan Jar Testing dapat dilhat pada tabel di bawah ini
Tabel 2. Hasil Pengamatan Jar Pengamatan Jar Testing Konsentrasi Absorbansi (ppm) F4 0 10,37 F4 2 15,11 F4 4 10,38 F5 6 10 F5 8 4,14 F5 10 9,3 Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa hasil absorbansi dari jar dari jar testing pada pada kelompok Kelompok
F4 dan F5 berbeda-beda. Nilai absorbansi untuk konsentrasi 0 ppm, 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm dan 10 ppm secara berurutan adalah 10,37; 15,11; 10,38; 10; 4,14; dan 9,3.
Soli d (TS) 2.1.1.1.1. Analisa Total Soli
Hasil pengamatan analisa toal solid toal solid dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 3. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid Samp el Ulang an 1 Ulang an 2 Ratarata
Volume Sampel (ml)
Berat Cawa n (gr)
Cawan + padata n (gr)
Padat an (gr)
TS (mg/L)
50
24,78
25,2
0,42
210000
50
23,18
23,6
0,42
210000
50
23,98
24,4
0,42
210000
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai TS (total (total solid ) dari ulangan 1, ulangan 2 dan rata-rata adalah sama, yaitu 210000 mg/L.
43
uspended Sol Solii d 2.1.1.1.2. Analisa Total Suspended (TSS) (TSS)
Hasil pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS) dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 4. Hasil pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TSS) (TSS) Volume Sampel
Sampel (ml)
Kertas
Kertas saring
Saring (gr)
+ padatan (gr)
Padatan (gr)
TSS (mg/L)
Ulangan 1
50
0,74
2,0
1,26
25200
Ulangan 2
50
0,79
1,6
0,81
16200
Rata-rata
50
0,765
1,8
1,035
20700
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai dari TSS ( total suspended solid ) dari ulangan I, ulangan II dan rata-rata adalah berbeda-beda. Nilai TSS untuk ulangan 1 adalah 25200 mg/L, kemudian untuk ulangan 2 diperoleh nilai sebesar 16200 mg/L. Lalu untuk rata-rata diperoleh nilai sebesar 20700 mg/L.
2.1.1.1.3. Analisa Total Di ssolved (TDS) (TDS) olved Soli Soli d
Hasil pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS) dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 5. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid (TDS) (TDS) Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
TS (mg/l) 210000 210000 210000
TSS (mg/l) 25200 16200 20700
TDS (mg/L) 184800 193800 189300
Dari tabel di atas dapat diperoleh nilai dari TDS (total ( total dissolved solid ) yang berbeda beda. Untuk ulangan 1 diperoleh nilai TDS sebesar 184800 mg/L. Untuk ulangan 2 diperoleh nilai sebesar 193800 mg/L. Dan untuk rata-rata diperoleh sebesar 189300 mg/L.
44
2.1.1.2.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
2.1.1.2.1. Pengukuran pH
Hasil pengamatan pengukuran pH dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 6. Hasil pengamatan pengukuran pH Sampel pH Ulangan I 5,71 Ulangan II 5,85 Rata-rata 5,78 Dari tabel di atas dapat diperoleh nilai pH dari tiap ulangan yang berbeda-beda, yaitu 5,17 untuk ulangan I dan 5,85 untuk ulangan II. Sedangkan untuk rata-ratanya diperoleh nilai pH sebesar 5,78.
2.1.1.2.2.
ygen D emand Analisa Kandungan Chemical Ox ygen (COD) (COD)
Hasil pengamatan COD dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengamatan COD Sampel Blanko Ulangan I Ulangan II Rata-rata
Volume Sampel (ml) 10 10 10 10
Na2S2O3 (ml)
COD (mg/l)
61,7 75 59 67
-10640 2160 -4240
Berdasarkan tabel kandungan COD (chemical ( chemical oxygen demand ) yang bervariasi dan berbeda-beda. Untuk blanko tidak diperoleh nilai COD. Untuk ulangan I diperoleh nilai COD sebesar -10640 mg/L. Sedangkan untuk ulangan II diperoleh nilai sebesar 2160 mg/L. Dan untuk rata-ratanya diperoleh nila i -4240 mg/L.
2.1.2.
Data Hasil Pengukuran Parameter Parameter Akhir (Setelah Treatment )
2.1.2.1.
Karakteristik Karakteristik Fisik
Bau
: +++++
Warna
:+
Kekeruhan
:+
45
Keterangan : Bau : + = Tidak bau/netral ++ = Agak berbau +++ = Berbau ++++ = Sangat berbau +++++ = Sangat bau sekali
Warna: + ++ +++ ++++ +++++
= Bening = Kuning = Kuning kecoklatan = Coklat = Coklat kehitaman
Kekeruhan: + = Tidak keruh ++ = Agak keruh +++ = Keruh ++++ = Sangat keruh +++++ = Sangat keruh sekali
Suhu/temperatur Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini :
Tabel 8. Hasil Pengamatan suhu o
Sampel Ulangan I Ulangan II Rata-rata
Suhu ( C) 29 29 29
Berdasarkan data hasil pengamatan di atas dapat diperoleh bahwa suhu pada ulangan 1 maupun ulangan 2 adalah 29 oC.
2.1.2.2.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
2.1.2.2.1. Analisa Padatan 2.1.2.2.1.1.
ochemi cal Oxygen Oxygen D emand (BOD) Analisa Bi ochemi
Hasil pengamatan BOD dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil pengamatan BOD Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Volume Sampel
100
Na2S2O3 Titrasi 1 Titrasi 2 (ml) (ml) 25 25,3
BOD (mg/L)
-3
100
26,5
28,4
-24
100
25,75
26,85
-11
Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dapat diperoleh volume titrasi 1 dan volume titrasi 2, semuanya lebih tinggi volume titrasi 2. Untuk ulangan 1 titrasi 1 dan titrasi 2 secara berurutan adalah 25 dan 25,3. Untuk ulangan 2 secara berurutan adalah 26,5 dan 28,4. Dan untuk rata-rata dari keduanya yaitu 25,75 dan 26,85. Sedangkan
46
untuk nilai BOD ulangan 1, ulangan 2 dan rata-rata secara berurutan adalah (-3), (-24), dan (-11). ygen D emand (COD) 2.1.2.2.1.2. Analisa Kandungan Chemical Ox ygen
Hasil pengamatan BOD dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pengamatan COD Vol. Sampel
Sampel
(ml)
Na2S2O3
COD (mg/L)
Ulangan 1
10
33,4
720
Ulangan 2
10
32,9
1120
Rata-rata
10
33,15
920
Blanko
10
34,3
-
Berdasarkan data tabel hasil pengamatan di atas, dapat diperoleh volume Na 2S2O3 untuk ulangan 1, ulangan 2, rata-rata dan blanko secara berurutan adalah 33,4; 32,9; 33,15; dan 34,3. Dan untuk nilai COD ulangan 1, ulangan 2, dan rata-rata secara berurutan adalah 720, 1120, dan 920.
Soli d (TS) 2.1.2.2.1.3. Analisa Total Soli
Hasil pengamatan TS dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil pengamatan TS
Sampel
Vol. Sam pel (ml)
Ulangan 1
2
Ulangan 2
2
Rata-rata
2
Berat Cawa n (g)
20, 12 2 23, 63 0 21, 87 8
Berat Cawan + Padatan (g)
Padatan
TS (mg/L )
20,26 0
0,138
69.00 0
23,82 0
0,190
95.00 0
22,04 0
0,162
82.00 0
47
Dari tabel hasil pengamatan di atas, dapat diperoleh nilai berat cawan, berat cawan + padatan dan nilai padatan. Untuk ulangan 1 secara berurutan adalah 20,122; 20,260;dan 0,138. Untuk ulangan 2 yaitu 23,630; 23,820; dan 0,190. Untuk rata-rata yaitu 21,878; 22,040; dan 0,162. Sedangkan untuk nilai TS dari ulangan 1, ulangan 2 dan rata-rata adalah 69.000, 95.000, dan 82.000.
uspended Soli Soli d 2.1.2.2.1.4. Analisa Total Suspended (TSS) (TSS)
Hasil pengamatan TSS dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil pengamatan TSS
Samp el
Ulanga n1 Ulanga n2 Ratarata
Vol. Samp el (ml)
Berat Kerta s Sarin g (g)
Kertas Saring + Padata n (g)
50
0,578
0,62
0,042
840
50
0,577
0,62
0,043
860
50
0,577 5
0,62
0,0425
850
Padata n (g)
TSS (mg/ L)
Berdasarkan hasil pengamatan yang dapat diperoleh adalah nilai berat kertas sampel, kertas saring + padatan, padatan, dan nilai TSS. Untuk ulangan 1 secara berurutan adalah 0,578; 0,62; 0,042; dan 840. Sedangkan untuk ulangan 2 yaitu 0,577; 0,62; 0,043; dan 860. Sedangkan untuk rata-ratanya adalah 0,5775; 0,62; 0,0425; dan 850.
olved Soli Soli d (TDS) 2.1.2.2.1.5. Analisa Tol tal D i ssolved
Hasil pengamatan TDS dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil pengamatan TDS Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
TS (mg/L) 69.000 95.000 82.000
TSS (mg/L) 840 860 850
TDS (mg/L) 68.160 94.140 81.150
48
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa nilai TS, TSS, dan TDS dari tiap ulangan. Untuk ulangan 1 secara berurutan adalah 69.000, 840, dan 68.160. Untuk ulangan 2yaitu 95.000, 860, dan 94.140. Sedangkan untuk rata-rata yaitu 82.000, 850, dan 81,150.
2.1.2.3.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
2.1.2.3.1. Pengukuran pH
Hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil pengukuran pH Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
pH 7,2 7,4 7,3
Dari tabel pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa pH untuk ulangan 1 yaitu 7,2 dan pH untuk ulangan 2 yaitu 7,4. Dan hasil rata-rata dari kedua ulangan adalah 7,3.
2.2. Kelompok F5 2.2.1. Data Hasil Pengukuran Parameter Awal 2.2.1.1.
Karakteristik Karakteristik Fisikawi
Bau
: +++
Warna
:+
Kekeruhan
: ++
Keterangan : Bau :
Warna
:
Kekeruhan :
+ ++ +++ ++++ +++++ + ++ +++ ++++ +++++ + ++ +++ ++++ +++++
tidak bau agak bau berbau sangat berbau sangat berbau sekali bening kuning kuning kecoklatan coklat coklat kehitaman tidak keruh agak keruh keruh sangat keruh sangat keruh sekali
49
Suhu/temperatur Hasil pengamatan karakteristik fisikawi terutama suhu dapat dilhat pada tabel 15 dibawah ini
Tabel 15. Hasil Pengamatan Suhu Sampel
Suhu
Ulangan 1
29o C
Ulangan 2
29o C
Rata-rata
29o C
Dari data di atas dapat diketahui bahwa limbah minyak bekas penggorengan memiliki bau pada tingkat 3, warna pada tingkat 1, dan kekeruhan pada tingkat 2. Pada pengukuran suhu dengan dengan 2 kali ulangang didapatkan suhu suhu yang sama yaitu 29 o C.
2.2.1.2.
Analisa Padatan
Testin g 2.2.1.2.1. Jar Tes
Hasil pengamatan jar pengamatan jar testing dapat dilihat pada tabel 16 dibawah ini
Tabel 16. Hasil Pengamatan Jar Pengamatan Jar Testing Kelompok
Konsentrasi (ppm)
Absorbansi
F4
0
10,37
F4
2
15,11
F4
4
10,58
F5
6
10
F5
8
4,14
F5
10
9,3
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi, maka absorbansi semakin kecil. Ada beberapa data yang ekstrim, yaitu pada kosentrasi 2 ppm dan 8 ppm. Hubungan antara konsentrasi koagulan dengan tingkat kekeruahan dapat dilihat pada Grafik 1.
50
Dari Grafik 1. dapat dilihat bahwa turbiditas limbah cair gorengan ( street ( street food ) fluktuatif. Turbiditas meningkat dari konsentrasi 0 ppm menuju 2 ppm. Dari 2 ppm mengalami penurunan sampai konsentrasi 8 ppm. Penurunan paling ekstrim terjadi pada 6 ppm menuju 8 ppm. Kemudian dari 8 ppm turbiditas meningkat kembali pada 10 ppm.
2.2.1.2.2.
Analisa Total Soli Soli d (TS)
Hasil pengamatan analisa total solid dapat dilihat pada tabel 17 di bawah ini
Tabel 17. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS) (TS)
Sampel
Volume Sampel (ml)
Berat Cawan
Cawan+Padatan
Padatan
(gr)
(gr)
(gr)
TS (mg/L)
Ulangan 1
2
25,17
25,20
0,03
15000
Ulangan 2
2
21,88
21,90
0,02
10000
Rata-rata
2
23,485
23,55
0,065
12500
Berdasarkan data di atas, dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Berat kertas saring ratarata adalah 0,785 gram, berat padatan rata-rata adalah 1,015 gram. Total Suspended Solid adalah adalah 20300 mg/L.
2.2.1.2.3.
olved Soli Soli d (TDS) Analisa Total Di ssolved
Hasil pengamatan analisa total dissolved solid dapat dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini
51
Tabel 19. Hasil Pengamatan Analisa Total Dissolved Solid Sampel
TS (mg/L)
TSS (mg/L)
TDS (mg/L)
Ulangan 1
15000
20400
-5400
Ulangan 2
10000
20200
-10200
Rata-rata
12500
20300
-7800
Berdasarkan data di atas, analisa Total Dissolved Solid didapatkan rata-rata sebanyak – sebanyak – 7800 mg/L. Hasil tersebut telah dihitung sesuai dengan rumus, dengan diketahui Total Solid sebanyak 12.500mg/L, dan Total Suspended Solid sebanyak 20300 mg/L.
2.2.1.3.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
2.2.1.3.1. Pengukuran pH
Hasil pengamatan pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 20 di bawah ini
Tabel 20. Hasil Pengamatan Pengukuran pH Sampel
pH
Ulangan 1
5,71
Ulangan 2
5,85
Rata-rata
5,78
Berdasarkan data pengukuran pH di atas, dapat terlihat bahwa rata-rata pH adalah 5,78.
2.2.1.3.2.
ygen D emand Analisa Kandungan Chemical Ox ygen (COD) (COD)
Hasil pengamatan analisa kandungan chemical oxygen demand (COD) dapat dilihat pada tabel 21 di bawah ini
52
Tabel 21. Hasil Pengamatan Analisa Chemical Oxygen Demand (COD) (COD) Volume Sampel
Sampel
(ml)
Na2S2O3
COD (mg/L)
Blanko
10
61,7
-
Ulangan 1
10
51,5
8160
Ulangan 2
10
55,6
4880
Rata-rata
10
53,55
6520
Berdasarkan data di atas, analisa kandungan Chemical Oxygen Demand rata-rata adalah 6520 mg/L.
2.2.2.
Data Hasil Pengukuran Parameter Parameter Akhir (Setelah Treatment )
2.2.2.1.
Karakteristik Karakteristik Fisikawi
Bau
: ++
Warna
:+
Kekeruhan
: +
Keterangan : Bau : + : tidak berbau/netral ++ : agak berbau +++ : berbau ++++ : sangat berbau +++++ : sangat berbau sekali
Warna + ++ +++ ++++ +++++
: : bening : kuning : kuning kecoklatan : coklat : coklat kehitaman
Kekeruhan: + : tidak keruh ++ : agak keruh +++ : keruh ++++ : sangat keruh +++++ : sangat keruh sekali
Suhu/temperatur Hasil pengamatan suhu atau temperatur limbah cair dapat dilihat pada tabel 22 berikut ini.
Tabel 22. Hasil Pengamatan Suhu Limbah Cair Sebelum Treatment Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata – Rata – rata rata
Suhu (ºC) 30oC 30oC 30oC
Berdasarkan tabel data hasil pengamatan diatas, dapat dilihat bahwa pada ulangan 1 dan ulangan 2 memiliki suhu masing-masing adalah 30 oC. Sehingga rata-rata suhu pada
ulangan
1
dan
ulangan
2
adalah
30 oC.
53
2.2.2.2.
Analisa Padatan
2.2.2.2.1. Bi ochemi BOD BOD ochemi cal Oxygen Oxygen D emand
Analisa padatan Biochemical Oxygen Demand (BOD) dapat dilihat pada tabel 23 dibawah ini
Tabel 23. Hasil Pengamatan Analisa Padatan BOD Vol. Sampel
Sampel
(ml)
Na2S2O3 Titrasi 1
Titrasi 2
(BOD0)
(BOD5)
BOD (mg/L)
Ulangan 1
100
26,5
14,5
120
Ulangan 2
100
30
17
130
Rata-rata
100
28,25
15,75
125
Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dilakukan titrasi sebanyak 2 kali, yaitu pada BOD0 dan BOD5,dengan volume sampel sebanyak 100 ml yang dititrasi menggunakan Na 2S2O3. Pada titrasi BOD 0 dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali dengan hasil masing-masing pengulangan adalah 25, 5 ml dan 30 ml. Didapatkan ratarata sebanyak 28,25ml. Titrasi BOD 5 memiliki hasil pada ulangan 1 adalah 14,5 ml dan ulangan 2 yaitu 17 ml, sehingga didapatkan rata-rata 15,75 ml. Sehingga pengulangan 1 memiliki nilai BOD sebanyak 120 mg/L dan ulangan 2 sebanyak 130 mg/L. 2.2.2.2.2.
Soli d (TS) Analisa Total Soli
Hasil pengamatan analisa total solid dapat dilihat pada tabel 24 dibawah ini
54
Tabel 24. Hasil Pengamatan Analisa Total Solid (TS)
Sampel
Vol. Sampel (ml)
Berat cawan
Cawan+ padatan
Padatan
TS (mg/L)
Ulangan 1
2
23,267
23,40
0,133
66.500
Ulangan 2
2
22,880
23,00
0,120
60.000
Rata-rata
2
23,073
23,20
0,127
63.500
Data hasil pengamatan diatas dilakukan dengan volume sampel sebanyak 2 ml. Pada ulangan 1 didapatkan total solid limbah cair yaitu 66.500 mg/L pada ulangan 1 dan ulangan 2 sebanyak 60.000 mg/L. Sehingga diperoleh rata-rata total solid limbah cair ini sebanyak 63.500 mg/L.
2.2.2.2.3.
uspended Soli Soli d (TSS) Analisa Total Suspended
Hasil pengamatan analisa total suspended solid dapat dilihat pada tabel 25 dibawah ini
Tabel 25. Hasil Pengamatan Analisa Total Suspended Solid (TS) Kertas
K. saring +
saring
padatan
Padatan
TSS
Sampel
Vol. Sampel (ml)
Ulangan 1
50
0,574
0,61
0,036
720
Ulangan 2
50
0,519
0,61
0,091
1820
Rata-rata
50
0,547
0,61
0,063
1260
(mg/L)
Dari data hasil pengamatan limbah cair total suspended solid diperoleh diperoleh dengan volume sampel sebanyak 50 ml. Dengan nilai Total Suspended Solid pada pengulangan 1 adalah 720 mg/L, dan pengulangan 2 adalah 1820 mg/L. Dari data tersebut didapatkan hasil rata-rata limbah cair yaitu 1260 mg/L.
2.2.2.2.4.
Analisa Total Di solved olved Soli Soli d (TDS)
Hasil pengamatan analisa total disolved solid dapat dilihat pada tabel 26 berikut ini
55
Tabel 26. Hasil Pengamatan Analisa Total Disolved Solid Sampel
TS (mg/L)
TSS (mg/L)
TDS (mg/L)
Ulangan 1
66.500
720
65.780
Ulangan 2
60.000
1820
58.180
Rata-rata
63.500
1260
62.240
Berdasarkan data di atas, bahwa nilai TS dan TSS yang telah diketahui akan mendapatkan nilai TDS. Pada ulangan 1 didapatkan nilai TDS sebesar 65.780 65.780 mg/L, sedangkan pada ulangan 2 didapatkan nilai sebesar 58.180 mg/L. Sehingga dapat diketahui rata-rata sari setiap ulangan adalah 62.240 mg/L.
2.2.2.3.
Analisa Kimia
2.2.2.3.1. Pengukuran pH
Hasil pengamatan pengukuran pH dapat dilihat pada tabel 27 dibawah ini
Tabel 27. Hasil Pengamatan Pengukuran pH Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
pH 7,8
7,3 7,5
Data hasil pengamatan pengukuran pH diatas, ulangan 1 dengan pH 7,8 dan ulangan 2 dengan pH 7,3. Sehingga didapatkan hasil rata-rata sebanyak 7,5.
2.2.2.3.2.
Analisa Kandungan Chemical Ox ygen ygen D emand (COD)
Hasil pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dapat dilihat pada tabel 28 dibawah ini
56
Tabel 28. Hasil pengamatan Analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) Vol. Sampel
Sampel
(ml)
Na2S2O3
COD (mg/L)
Blanko
10
36,5
-
Ulangan 1
10
28,3
6.560
Ulangan 2
10
29,0
6.000
Rata-rata
10
28,65
6.280
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, dengan volume sampel sebanyak 10 ml didapatkan blanko sebesar 36,5 ml. Ulangan 1 didapatkan sebanyak 28,3 dengan nilai COD sebanyak 6.560 mg/L. Ulangan 2 didapatkan 28,3 dengan nilai COD sebanyak 6.000 mg/L. Sehingga didapatkan nilai rata-rata limbah cair pada analisa Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) ini adalah 6.280 mg/L.
2.3.
Perbandingan Data Keseluruhan Keseluruhan
Hasil pengamatan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Hasil pengamatan keseluruhan Kelompo
Parameter
Keterangan Keterangan
k
F4
Bau
Sebelum
Setelah
Treatment
Treatment
Sangat bau
Berbau
sekali Warna
Bening
Bening
Kekeruhan
Tidak Keruh
Agak keruh
1
29 oC
29oC
2
29oC
29oC
Rata-rata
29oC
29oC
1
5,71
7,2
2
5,85
7,4
Rata-rata
5,78
7,3
1
-10640 mg/L
720 mg/L
2
2160 mg/L
1120 mg/L
Suhu
pH
COD
57
Rata-rata
-4240 mg/L
920 mg/L
1
-
-3 mg/L
2
-
-24 mg/L
Rata-rata
-
-11 mg/L
1
210000 mg/L
69.000 mg/L
2
210000 mg/L
95.000 mg/L
Rata-rata
210000 mg/L
82.000 mg/L
1
25200 mg/L
840 mg/L
2
16200 mg/L
860 mg/L
Rata-rata
20700 mg/L
850 mg/L
1
184800 mg/L
68.160 mg/L
2
193800 mg/L
94.140 mg/L
Rata-rata
189300 mg/L
81.150 mg/L
Bau
Berbau
Agak Berbau
Warna
Bening
Bening
Kekeruhan
Agak Keruh
Tidak Keruh
1
29 oC
30oC
2
29oC
30oC
Rata-rata
29oC
30oC
1
5,71
7,8
2
5,85
7,3
Rata-rata
5,78
7,5
1
8160 mg/L
6560 6560 mg/L
2
4880 mg/L
6000 mg/L
Rata-rata
6520 mg/L
6280 mg/L
1
-
120 mg/L
2
-
130 mg/L
Rata-rata
-
125 mg/L
1
15000 mg/L
66500 mg/L
2
10000 mg/L
60000 mg/L
Rata-rata
1250 mg/L
63500 mg/L
BOD
TS
TSS
TDS
F5
Suhu
pH
COD
BOD
TS
58
TSS
TDS
1
20400 mg/L
720 mg/L
2
20200 mg/L
1820 mg/L
Rata-rata
20300 mg/L
1260 mg/L
5400 mg/L
65780 mg/L
10200 mg/L
58.180 mg/L
7800 mg/L
62240 mg/L
1
-
2 Rata-rata
-
1.
PEMBAHASAN
Berdasarkan Sugiharto (1987), limbah adalah buangan yang dapat berbentuk padat, cair, dan gas. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) limbah cair pengolahan makanan dapat dihasilkan dari proses pencucian, pemotongan, blanching , pasteurisasi, pembersihan peralatan pengolahan, dan pendinginan produk.Limbah cair atau padat mengandung 65% protein, 25%karbohidrat, 10% lemak, serta bahan anorganik seperti garam dan logam.Jenie & Rahayu (1993) mengatakan bahwa limbah cair pengolahan pangan berbeban rendah, volume cairan tinggi, dan kandungan bahan organik cukup tinggi. Kandungan bahan organik yang cukup tinggi ini akan dipakai oleh mikroorganisme sebagai sumber nutrisi.
Berdasarkan Gintings (1992), kekeruhan, warna, rasa, dan bau adalah ciri fisik limbah yang tercemar.Pada limbah cair dapat timbul bau busuk, hal ini menurut Gintings (1992) disebabkan karenakegiatan mikroorganisme menguraikan zat organik sehingga menghasilkan gas. Jeani & Rahayu (1993) menambahkan bahwa protein pada limbah yang mengandung sulfur atau sulfat alami akan bereaksi menghasilkan hidrogen sulfida yang menyebabkan bau dan menghitamkan warna.
Unsur N berupa nitrat akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh berkembang. Jadi jika limbah banyak mengandung N, maka akan menjadi sumber makanan bagi mikroorganisme. Gintings (1992) mengatakan bahwa sumber makanan yang besar tersebut, akan membuat pertumbuhan mikroorganisme sangat cepat. Hal ini akan mereduksi oksigen terlarut air. Terlebih lagi dapat terjadi ledakan ganggang jika pada limbah terdapat nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan ganggang. Peristiwa ini disebut eutrofikasi, yaitu ledakan populasi ganggang yang menyebabkan penuruan kadar oksigen dalam air. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) air mengandung sekitar 8 ppm oksigen terlarut dan standar minimum oksigen untuk ikan adalah 5 ppm. Jika terjadi eutrofikasi, maka kadar oksigen akan semakin menurun karena digunakan oleh ganggang. Hal ini akan menyebabkan kematian ikan dan biota air lain.
Limbah yang digunakan pada praktikum ini adalah limbah cair gorengan ( street ( street food ). ). Limbah cair ini diambil dari pedagang gorengan pinggir jalan yang berlokasi di Jalan
59
60
Gajah Raya, Semarang. Limbah cair gorengan ( street food ) yang dihasilkan adalah sebesar 12 liter per hari. Jika dibandingkan dengan baku mutu lingkungan, debit maksimumnya adalah 5m 3/ton produk. Maka pembuangan limbah ini dalam hal debit masih memenuhi standar yang ada. Jika dilihat data dari uji pendahuluan (sebelum treatment ) limbah cair gorengan ( street food )berbau, )berbau, bening, agak keruh, dan suhu 29oC.
Menurut Gintings (1992) dan Sugiharto (1987), ada beberapa tahapan untuk proses pengolahan limbah, diantaranya adalah :
Pretreatment Berdasarkan Mahida (1992), pretreatment dapat dilakukan dengan penyaringan dan pengendapan. Bahan yang dihilangkan pada tahap ini misalnya seperti lapisan minyak dan lemak pada permukaan, sisa tepung, padatan terapung lumpur, potongan kayu, pasir, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan,yaitu proses penyaringan untuk memisahkan minyak pada permukaan. Tujuan utama penyaringan adalah membuang benda – benda yang mengambang, memisahkan padatan tidak terlarut dan bahan kasar lain. Alat yang digunakan adalah kain saring dan kertas saring. Penyaringan ini akan menghilangkan padatan-padatan berukuran besar, yaitu sekitar 0,7 mm atau lebih. Pada skala pabrik, alat penyaring yang digunakan harus diperiksa setiap hari diperiksa untuk memastikan tidak terjadi kemacetan aliran air.
Primary Treatment
Hasil dari tahap pretreatment dilanjutkan pada tahap ini. Pada tahap primary treatment , limbah diendapkan terlebih terle bih dahulu dengan penambahan koagulan kemudian disaring. Hal ini sesuai dengan Mahida (1992) yang mengatakan bahwa penyaringan akan lebih efektif jika melalui proses pendahuluan, pendahuluan, koagulasi. koagulasi. Koagulasi dilakukan karena padatan terlarut sulit dipisahkan dari bagian cairnya. Penambahan koagulan, menurut Jenie & Rahayu (1993) dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ph. Koagulan yang biasa digunakan adalah kapur, tawas, dan kaporit karena garam Ca, Fe, dan Al tidak larut air sehingga mampu mengendap bila bertemu dengan sisa basa. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan pada praktikum yaitu dengan menambahkan Ca(OH)2 40000 ppm. Penambahan Ca(OH) 2 sebagai koagulan akan
61
menyebabkan reaksi antara limbah dengan koagulan. Hal ini menyebabkan butiran bertambah besar dan berat jenisnya menjadi lebih besar daripada air. Dengan begitu akan terjadi pengendapan karena gaya gravitasi yang menyebabkan benda jatuh. Setelah itu dilakukan jar-testing dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit dan diperlambat dengan kecepatan 25 rpm selama 15 menit. Hal ini sesuai dengan Kusnaedi (1998) yang mengatkan bahwa koagulasi akan berjalan lebih cepat jika dilakukan pengadukan menggunakan
mixer statis atua rapid mixer . Tujuan
pengadukan jar testing secara cepat adalah meningkatkan kontak limbah dengan koagulan sehingga terbentuk mikroflok-fikroflok. Sedangkan pengadukan secara lambat bertujuan untuk untuk menghomogenkan limbah dengan koagulan koagulan dan membentuk membentuk ikatan pada mikroflok-mikroflok hingga menjadi makroflok sehingga tidak pecah.Selanjutnya didiamkan selama 30 menit sampai terbentuk endapan dan kemudian disaring dengan kertas saring.
Secondary treatment
Pada tahap ini dilakukan pengolahan biologi dengan bantuan sistem aerasi. Aerasi adalah penangkapan O 2 dari udara pada air yang akan diproses. Tujuan aerasi adalahsupaya O2 dapat bereaksi dengan kation dalam air olahan. Saat kation bertemu dengan oksigen akan terjadi oksidasi logam yang sukar larut air, sehingga akan terbentuk endapan. Selain itu aerasi bertujuan untuk menurunkan Fe dan Mg. Kation Fe2+dan Mg2+ akan membentuk oksida Fe 2O3 dan MgO jika disembur ke udara.Kusnaedi (1998) menambahkan bahwa aerasi harus diikuti oleh filtrasi atau pengendapan. Proses pengendapan ini dapat menurunkan nilai COD dan BOD. Menurut Sastrawijaya (1991) aerasi akan meningkatkan jumlah oksigen terlarut karena aerasi akan memerangkap oksigen.
Proses aerasi termasuk proses penting karenaproses ini dapat mengambil zat pencemar seperti gas, ion, dan koloid. Dengan begitu, konsentrasi zat pencemar dapat dikurangi dan dihilangkan. Aerasi yang dilakukan pada praktikum ini adalah dengan aerator selama 30 menit. Hal ini sesuai dengan Sugiharto (1987) yang mengatakan bahwa oksigen murni dapat dimasukkan dengan benda porous atau nozzle. nozzle. Nozzle
62
akan meningkatkan kecepatan kontak gelembung gelembung udara dengan air limbah. Dengan begitu, pemberian oksigen berjalan dengan cepat.
Selain itu, Sugiharto (1987) mengatakan bahwa aerasi dapat mengurangi bahan organik pada limbah cair. Dengan adanya aerasi diharapkan akan memperbanyak mikroorganisme aerobik yang mencerna limbah. Jika mikroba semakin banyak,maka dapat mengurangi kandungan bahan organik pada limbah. Bahan organik akan dioksidasi menjadi bentuk yang lebih sederhana (Jenie & Rahayu ,1993).Dua hal yang perlu diperhatikan pada proses aerasi adalah penambahan oksigen dan pembunuhan bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses proses pengolahan biologis ini adalah :
jumlah air limbah
tingkat kekotoran
jenis kotoran yang ada
Tertiary treatment
Secara umum tertiary treatment bertujuan untuk menghilangkan senyawa kimia anorganik seperti kalsium, kalium, sulfat, nitrat, fosfor, dan senyawa organik. Berdasarkan Gintings (1992), tertiary treatment dapat dilakukan dengan tiga tahap, yaitu fisika, kima, dan biologis. Metode yang dilakukan adalah dengan adsorbsi menggunakan karbon aktif. Tujuannya adalah untuk menghilangkan padatan terlarut dan menjernihkan air limbah, sehingga limbah siap dibuang. Untuk mengurangi kekeruhan dan bau dari limbah, menurut Mahida (1992) perlu penambahan adsorbent. Adsorbent digunakan digunakan untuk menjernihkan air limbah. Adsorbent akan mengurangi bahan organik pengotor, partikel (unbiodegradable),dan unbiodegradable),dan gabungan antara bau, warna dan rasa. Adsorbent rasa. Adsorbent yang digunakan pada praktikum ini adalah karbon aktif. Karbon aktif akan mengurangi kadar benda organik terlarut dan menjernihkan warna limbah. Penambahan karbon aktif adalah proses pelengkap pengolahan limbah secara biologi. Gintings
(1992)
menambahkan
bahwa
adsorpsi
dapat
menurunkan
BOD,
menghilangkan warna, rasa, dan bau.Untuk kelompok F4 menggunakan karbon aktif granula, sedangkan F5 karbon aktif bubuk. Berdasarkan Sugiharto (1987), karbon aktif alamiah terbuat dari arang atau kayu yang dibakar sampai berwarna merahkemudian diaktifkan dengan menambah gas oksigen pada tekanan tinggi. Gas oksigen ini akan
63
mengembangkan
struktur
rongga
pada
batubara/arang
sehingga
memperluas
permukaan. Dengan permukaan yang luas ini karbon aktif mempunyai daya serap ser ap dan dapat mengikat benda organik serta partikel lain dengan baik.
Desinfeksi
Tujuan proses ini adalah untuk menurunkan atau menghilangkan mikroorganisme patogen pada limbah. Menurut Volk & Wheeler (1993) desinfektan dapat merusak membran sel, protein sel, atau gen yang akan menyebabkan kematian atau mutasi. Pada praktikum ini desinfeksi dilakukan dengan penambahan klorin sebesar 10% dari volume limbah. Menurut Sugiharto (1987), klorin membunuh bakteri dengan menginaktivasi enzim utama sehingga terjadi kerusakan dinding sel. Selain itu, menurut Jenie & Rahayu (1993) klorin dapat mengatasi bau.
Pengolahan Lanjutan
Proses ini dimaksudkan agar sisa lumpur dapat dimanfaatkan untuk pupuk, membuat kolam, penimbunan dan pengisian tanah yang cekung ( land filling ). ). Tapi, pada praktikum tidak dilakukan pengolahan lumpur karena lumpur pada limbah hanya sedikit.
Netralisasi
Netralisasi bertujuan agar tingkat keasaman sesuai atau tidak berbahaya bagi lingkungan. Pada praktikum ini, jika limbah terlalu asam, akan diberi tambahan NaOH 5%. Sementara jika limbah terlalu basa ditambahakan HCl 5%. Menurut Volk & Wheeler (1993) pH normal air limbah berkisar antara 6,5 – 8,5. Jika keasaman air limbah terlalu tinggi akan membahayakan kehidupan air. Berdasarkan baku mutu limbah cair gorengan ( street street food ) pH harus mendekati pH netral, yaitu pH 7.
Setelah mengalami seluruh proses treatment , limbah dianalisis secara fisik, padatan, dan kimiawi, lalu dibandingkan dengan karakteristik limbah sebelum treatment . Pengolahan limbah ini dilakukan agar limbah aman untuk dibuang ke perairan. Berikut ini adalah karakteristik limbah yang aman dibuang ke lingkungan : Temperatur tidak terlalu tinggi
64
Kisarannya adalah 100-110ºF. jika limbah terlalu panas, akan merusak beton dan logam di saluran. Tidak terlalu asam atau basa
Kisaran pH limbah yang aman adalah 5,5-9. Konsentrasi lemak tidak lebih dari 100 mg/l. Tidak mengandung gas beracun, berbau tengik, berbau keras, mengandung gas yang
dapat terbakar atau meledak. Tidak mengandung zat padat yang dapat mengendap dan berat spesifik tinggi seperti
pasir dan silikon, wol, rambut, kain, dan dan bahan kasar lainnya. Memiliki ukuran yang seragam dari kecepatan hidrolisis dan komposisi limbahnya
(Mahida, 1992).
4.1. Karakteristik Karakteristik Fisikawi 4.1.1. Warna, Kekeruhan, Bau, dan Suhu Air Limbah
Pada limbah sebelum treatment , limbah cair berbau, berwarna kuning kecoklatan, agak keruh, dan mempunyai suhu 29°C. Sedangkan setelah treatment , limbah cair agak bau, berwarna bening, tidak keruh, dan bersuhu 30°C.Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa proses treatment efektif untuk mengolah limbah cair gorengan ( street ( street food ). ). Dapat dilihat terutama pada tingkat kekeruhan, dikatakan oleh Suhardi (1991) bahwa standar dari karakteristik fisik limbah adalah kekeruhan. Treatment yang dilakukan efektif untuk menjernihkan cairan limbah. Pada tahap pretreatment dilakukan penyaringan. Proses penyaringan ini menahan senyawa yang tidak larut air limbah. Dengan begitu cairan limbah menjadi lebih jernih. Pada tahap primary treatment menjernihkan menjernihkan larutan limbah cair. Hal ini terjadi pada saat dilakukan jar dilakukan jar test dan pengendapan. Pada primary treatment ditambahkan ditambahkan Ca(OH)2 40000 ppm sebagai koagulan. Pada saat koagulasi, senyawa organik pada limbah cairberikatan dengan koagulan dan membentuk flok-flok. Kemudian dilakukan proses penyaringan yang akhirnya memisahkan flok ini dari limbah cair. Tahap tertiary treatment yang menggunakan karbon aktif juga mendukung kejernihan pada cairan limbah. Penggunaan karbon karbon aktif akan menyerap partikel warna, bau, dan benda yang tidak dapat diuraikan (nonbiodegradable (nonbiodegradable)) pada limbah. Dengan begitu cairan limbah
65
menjadi lebih jernih. Penyerapan ini dapat berlangsung karena ada molekul yang saling tarik menarik. Gaya tarik menarik yang terjadi di permukaan adsorbent ini tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini karena pada suatu daerah disekeliling bahan tidak ada molekul yang menarik. Hal ini menyebabkan zat adsorbent akan akan menarik molekul gas atau solute atau solute..
Treatment juga juga efektif untuk menghilangkan bau pada limbah. Bau yang tidak sedap pada limbah menurut Mahida (1992) disebabkan karena campuran nitrogen, sulfur, fosfor, dan pembusukan pembusukan protein serta bahan lain pada limbah. Bau paling menyengat menyengat adalah yang berasal dari hidrogen sulfida. Bau ini dapat dihilangkan dengan proses pengolahan. Hal ini sesuai dengan Sugiharto (1987) yang mengatkan bahwa limbah industri pangan bersifat biodegradable biodegradable (karbohidrat dan protein tinggi) dapat diuraikan oleh mikroorganisme, mikroorganisme, sehingga terjadi pembusukan yang yang menimbulkan bau kurang sedap.Setelah treatment , dihasilkan limbah yang hanya agak bau. Hal ini terutama disebabkan karena proses desinfeksi yang menggunakan klorin. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) klorin dapat mereduksi senyawa dalam air limbah. Hal ini menyebabkan bau pada limbah yang telah diolahmenjadi lebih baik.
Karakteristik yang terakhir adalah suhu limbah. Jika suhu tinggi tingkat oksidasi zat organik akan besar. Selain itu suhu tinggi akan mematikan mikroorganisme pengurai karena menurunkan aktivitas biologisnya. Menurut Jenie & Rahayu (1993) pengukuran suhu seharusnya dilakukan dengan menggunakan permistor permist or dalam derajat Fahrenheit dan Celcius. Dari data, limbah cair yang yang dihasilkan memiliki suhu yang yang normal.
4.1.2. Analisa Padatan Soli d 4.1.2.1.Total Soli (TS) (TS)
Menurut pendapat dari Hammer & Hammer (1996) (1996) & Jenie & Rahayu (1993), total padatan atau TS merupakan bahan atau
yang masih tertinggal setelah evaporasi
sampel air limbah dan yang telah mengalami pengeringan dalam oven. Cara kerja dalam pengukuran total padatan adalah 2 ml air limbah dimasukkan ke dalam cawan dan dioven selama 1 malam. Setelah 1 malam kemudian dimasukkan dalam desikator
66
selama 15 menit. Pada analisa ini dilakukan proses pengeringan cawan dengan menggunakan oven. Selain itu, cawan yang dikeluarkan dari oven harus segera dimasukkan ke dalam desikator. Hal tersebut dikarenakan karena benda kering akan bersifat higroskopis atau sangat mudah menyerap air dari lingkungan (Volk & Wheeler, 1993). Miligram total residu sama dengan perbedaan antara berat cawan setelah didinginkan dengan berat cawan kosong dan dapat dihitung dengan rumus:
TS
=
()
Keterangan: A = berat cawan kosong (mg) B = berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan pengeringan (mg) TS = Total Solid (mg/L)
Pada hasil pengamtan, untuk data sebelum treatment didaptakan hasil total solid (TS) pada kelompok F4 adalah 210.000 mg/L dan setelah treatment adalah 82.000 mg/L. Padakelompok F5 didapatkan rata-rata sebelum treatment yaitu 12.500 mg/L. Sedangkan pada data setelah treatment didapat rata-rata yaitu 63.500 mg/L. Pada kelompok F5 mengalami peningkatan, peningkatan ini dapat terjadi karena sampel limbah awal. Menurut teori dari Jenie & Rahayu (1993), setelah mengalami koagulasi, total padatan tidak hanya dari partikel-partikel yang telah tersuspensi tetapi pada waktu pengolahan juga dilakukan beberapa bahan kimia pada proses koagulasi yaitu Ca(OH)2 dan pada desinfeksi adalah klorin. Untuk kelompok F4, setelah melalui treatment mengalami penurunan. Penurunan ini dapat dikarenakan karena adanya proses koagulasi sehingga dapat memperbesar ukuran partikel sehingga dapat diakibatkan padatan yang elbih banyak mengendap. Dilakukan proses penyaringan setelah koagulasi, tujuannya adalah untuk memisahkan partikel yang mengendap sehingga padatan pada air limbah tersebut dapat berkurang.
Suspended nded Soli Soli d (TSS) 4.1.2.2.Total Suspe
Pada percobaan selanjutnya, dilakukan analisa untuk dapat mengetahui jumlah Total Suspended Solid (TSS) pada air limbah gorengan. TSS adalah residu yang tidak lolos saringan dan dilakukan dengan cara menyaring dengan mengeringkan filter membran
67
yang berisi TSS air limbah (Sugiharto, 1987). Cara kerja dalam uji total padatan tersuspensi adalah 50 ml air limbah disaring dengan menggunakan kertas saring kemudian kertas saring yang digunakan untuk menyaring dimasukkan dalam oven selama 1 malam. Sebelum itu kertas saring kosong terlebih dahulu ditimbang beratnya. Residu yang tidak dapat disaring dan tertinggal dalam membran filter inilah yang disebut dengan padatan terlarut total. tota l. TSS ditentukan dengan menggunakan rumus:
TSS
=
()
Keterangan: A = berat kertas saring kosong (mg) B = berat kertas saring berisi residu (mg) TS = Total Suspended Solid (mg/L)
Pada kelompok F4, untuk data sebelum treatment diperoleh rata-rata 20.700 mg/L dan untuk setelah treatment adalah 850 mg/L. Untuk kelompok F5 pada data sebelum treatment diperoleh 20.300 mg/L dan setelah treatment adalah 1.260 mg/L. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa setelah melalui treatment nilai TSS mengalami penurunan. Untuk nilai baku mutu limbah pada makan gorengan adalah 100 mg/L sehingga pada limbah percobaan ini dilakukan treatment karena nilai TSS yang didapat melebihi dari nilai baku mutu limbah. Menurut Hammer & Hammer (1996), jika limbah ini berada di lingkungan (limbah dengan TSS tinggi), dapat menyebabkan polusi akibat dari pembusukkan benda-benda berbentuk organik yang mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Dalam praktikum ini, dilakukan proses koagulasi agar dapat mengurangi jumlah padatan yang terdapat pada air limbah. l imbah. Di tahap koagulasi, jumlah partikel yang dapat diendapkan pada air limbah bergantung pada bahan dan jenis bahan kimia yang ditambahkan, pH larutan dan jenis komponen yang ada pada limbah tersebut (Jenie & Rahayu, 1993). Setelah melakukan berbagi macam treatment dari pretreatment, primary treatment, secondary treatment, tertiary treatment , dan juga perlakuan tambahan seperti desinfeksi dan netralisasi, selanjutnya dilakukan pengukuran parameter
akhir,
diantaranya
adalah
TS,
TSS,
dan
TDS.
68
Pada pengukuran TS, TSS, air limbah yang sebelum diberi treatment diketahui bahwa air limbah yang ada mengandung padatan. Padatan tersebut dapat dihilangkan untuk dapat mempermudah proses selanjutnya. Menurut teori dari Gintings (1992), jika terdapat padatan yang ada dalam larutan limbah tersebut maka proses pengolahan pada limbah dapat terhambat.
olved Soli Soli d (TD S) 4.1.2.3.Total Di ssolved
Berdasarkan Hammer & Hammer (1996) TDS (Total ( Total Dissolved Solid ) atau padatan terlarut total merupakan hasil yang didapatkan dari nilai TS dan TSS. Sedimentasi dilakukan dengan menginkubasi limbah yang telah ditambah koagulan selama 24 jam. Penambahan koagulan ini menurut Mahidi (1992) akan mempercepat sedimentasi. Setelah itu, cairan limbah difiltrasi dengan kertas saring. Tujuan penyaringan adalah menangkap padatan yang mengendap sebelumnya. Padatan terlarut total (TDS) dikatakan sebagai bahan yang dapat melewati filter standar. Padatan terlarut total atau residu yang dapat disaring, ditetapkan dengan berat contoh yang telah disaring dan dievaporasi atau sebagai perbedaan antara berat residu setelah evaporasi dan berat padatan tersuspensi total (Jenie & Rahayu, 1993). Analisa TDS adalah selisih antara TS dengan TSS. Rumus perhitungannya: TDS = TS - TSS Keterangan : TDS
= Total Disolved Solid atau atau padatan terlarut total (ppm)
Jika dilihat, TDS rata-rata sebelum treatment (uji pendahuluan) untuk kelompok F4 adalah mg/L 189300 mg/L dan F5 adalah – 7800 7800 mg/L. Setelah treatment TDS ratarata untuk kelompok F4 F4 mg/L adalah 81150 mg/Ldan F5 adalah 62240 mg/L. mg/L. Untuk TDS tidak terdapat pada baku mutu limbah cair, oleh karena itu tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu limbah cair.
Pada kelompok F4 sebelum treatment didapatkan hasil TDS yang sangat besar. Setelah dilakukan treatment , terjadi penurunan yang sangat besar pula. Pada F5 setelah treatment juga juga menghasilkan TDS yang rendah. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan treatment yang telah dilakukan memberikan efek yang efektif pada
69
penurunan TDS. Pada kelompok F5, terdapat kesalahan pada sebelum treatment karena hasil yang didapatkan mencapai nilai minus (-). Hal ini dapat disebabkan karena kesalahan atau ketidaktelitian pada saat melakukan percobaan, misalnya penyaringan yang tidak sempurna s empurna sehingga total padatan yang tersaring ters aring hanya sedikit. Dapat juga disebabkan karena proses pengeringan atau penimbangan kertas saring yang tidak sempurna sehingga mempengaruhi hasil akhir perhitungan TDS.
4.2. Analisa Kimiawi 4.2.1. pH
Menurut Mahida (1992), pH menyatakan keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan yang encer dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. Pengukuran pH ini dilakukan karena air buangan yang memiliki pH tinggi atau rendah dapat menjadikan air buangan yang steril dan sebagai akibatnya dapat membunuh mikroorganisme. Pada treatment terakhir adalah netralisasi. Proses ini dilakukan sampai pH limbah mencapai pH 7 dan menggunakan alat pH meter. meter . Prinsip Pri nsip kerja k erja alat pH meter adalah sebuah pH meter dihubungkan dengan sumber tenaga maka terdapat rantai tertutup. Oleh karena itu, ada aliran listrik yang dapat diketahui dari goyangan jarum yang terdapat pada alat penera dimana menggambarkan besarnya kadar ion H.Netralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 5% dan HCl 5%.
pH yang didapat sebelum dilakukan treatment adalah 5,78 dan setelah dilakukan treatment adalah 7,5. Pada nilai baku mutu limbah, pH berkisar antara 6,0 – 9,0. Sehingga pada pengukuran pH tersebut setelah dilakukan treatment sudah memenuhi nilai baku mutu limbah yang ada. Dengan memenuhi nilai baku mutu limbah tersebut maka limbah aman bila dibuang ke badan air dan tidak mengganggu atau merusak kehidupan biota air (Sugiharto, 1987).
4.2.2. Bi ochemi (BOD) (BOD) ochemi cal Oxygen Oxygen D emand
Biochemical Oxygen Demand (BOD) (BOD) adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasisenyawa organik pada limbah dengan temperatur 19-21 oC dalam inkubator atau waterbath. waterbath. Berdasarkan Hammer & Hammer (1996) uji
70
BOD bertujuan untuk menentukan kebutuhan oksigen oksigen relatif dari effluent yang yang telah diolah dan air yang terpolusi.
Sebanyak 100 ml limbah setelah treatment diencerkan diencerkan menggunakan air aerasi hingga 1000 ml. Pengenceran ini sesuai dengan Jenie & Rahayu (1993) yang mengatakan bahwa sampel limbah harus diencerkan sebanyak 1 : 100 hingga 1 : 1000. Selain itu penggunaan air aerasi sesuai dengan Jenie J enie & Rahayu (1993) yang mengatakan bahwa tujuan penambahan air aerasi adalah untuk mengantisipasi limbah yang berkekuatan tinggi. Selain itu, air aerasi digunakan untuk menjamin penyediaan udara. udara. Dengan begitu akan mencegah terbentuknya endapan. Cara Car a pembuatan air aerasi adalah 1000 mL aquades dicampur dengan 1 mL buffer phosphate, 1 mL MgSO 4, 1 mL CaCl 2, dan 1 mL FeCl 3. Menurut Suhardi (1991) temperatur aquades yang digunakan harus diperhatikan, yaitu 20 1 C.
Dari 1000 ml ini, sebanyak seban yak 600 ml dimasukkan ke botol coklat untuk diinkubasi 5 hari pada suhu 20°C untuk uji BOD 5. Tujuan penyimpanan dalam botol gelap menurut Tchobanoglous (1981) adalahsupaya temperatur sampel terjaga dalam nilai konstan, sehingga hasil akurat. Jika temperatur berubah, dapat terjadi reaksi biokimia yang mempengaruhi hasil.Temperatur yang biasa digunakan adalah sekitar 20
0
C.
Berdasarkan Alaerts & Santika (1984) gangguan yang biasa dialami saat pengukuran BOD adalah terjadi nitrifikasi dan pengeluaran oksigen dari botol. Nitrifikasi biasa terjadi pada botol hari ke 2 sampai 10. Nitrifikasi juga memerlukan oksigen, oleh karena itu akan mempengaruhi BOD. Nitrifikasi juga dipengaruhi oleh temperatur. Maka dari itu, jika botol terpapar matahari, akan terjadi peningkatan temperatur pada botol yang akan mempengaruhi BOD. Selain itu, cahaya caha ya matahari juga dapat memicu timbulnya gelembung udara. Gelembung ini dapat menyebabkan oksigen digunakan oleh ganggang dan lumut.
Sisa 400 ml dari pengenceran awal dilakukan uji BOD 0. Berdasarkan teori, butuh waktu lama untuk melakukan oksidasi biologis yang sempurna. Agar lebih praktis, reaksi dianggap sempurna dalam 5 hari. Menurut Tchobanoglous (1981)selama 5 hari, oksidasi berlangsung sekitar 60-70%. Sebenarnya jika sampel disimpan selama 20
71
hari, proses oksidasi berlangsung sekitar 95-99 %. Maka dari itu, Mahida (1992) mengatakan bahwa nilai BOD5 bukan ukuran lengkap dari kekuatan air limbah, mutu air limbah atau tingkat pencemarannya. Hal ini karena nilai BOD 5 hanya mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD. Untuk BOD 0 dapat langsung diukur, sedangkan BOD5 mengalami proses penyimpanan selama 5 hari dalam botol gelap. Berdasarkan Sastrawijaya (1991) uji BOD yang diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang akan habis dalam 5 hari oleh mikroorganisme pengurai aerobik pada suhu 20 oC dan dinyatakan dalam ppm.
Langkah untuk uji BOD 5 dan BOD 0 sama yaitu sebagai berikut. Sebanyak 400 ml sampel limbah diambil. Ditambahkan dengan 3 ml KI dan 3 ml MnSO 4. Didiamkan selama 15 menit. Kemudian ditambahkan dengan 3 ml H 2SO4 pekat dan dikocok perlahan.
MnSO4akan dioksidasi oleh oksigen pada keadaan alkalis, yang
menyebabkan terbentuk endapan MnO 2. Penambahan kalium iodida dan asam sulfat akan membebaskan iodin yang setara dengan oksigen terlarut.Setelah itu diambil sebanyak 20 ml dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Larutan dititrasi dengan menggunakan Na 2S2O3 0,01 N sampai warna pucat. Setelah warna pucat, ditambah dengan 0,2 ml (2 tetes) amilum. Larutan segera dititrasi kembali dengan Na 2S2O3 0,01 N. Titrasi dihentikan ketika tercapai TAT, yaitu bening.Titik akhir titrasi akan memberikan hasil warna bening. Berdasarkan Anonim (2007) hal ini terjadi karenapenambahan MnSO4 dan KI akan menghasilkan senyawa I dalam dua bentuk, yaitu I2 dan I-. Kedua senyawa ini akan bergabung membentuk I3-. I 3 bertemu dengan
amilum akan membentuk warna biru kompleks. Jika bereaksi dengan larutan standar thiosulfat akan membentuk warna bening.Nilai BOD dihitung dengan rumus:
BOD = (Vol titrasi BOD 0 – Vol Vol titrasi BOD5) x Faktor Pengenceran Keterangan: 1 ml Na 2S2O3 = 1 mg/L BOD
Rata-rata BOD0 untuk F4 adalah 25,75 mg/Ldan F5 adalah 28,25 mg/L. Sedangkan rata-rata BOD5 untuk F4 adalah 26,85 mg/Ldan F5 adalah 15,75 mg/L. Dari kedua data tersebut dihitung nilai BOD sesuai dengan rumus. Rata-rata nilai BOD untuk F4 adalah -11 mg/L, sedangkan F5 adalah 125 mg/L.Menurut baku mutu limbah, untuk
72
limbah cair street food kadar maksimal BOD 5 adalah 50 mg/L. Jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan, maka untuk kelompok F4 dan F5 pada uji BOD 5 telah memenuhi standar baku mutu limbah. Ini berarti treatment yang dilakukan efektif. Untuk nilai BOD, kelompok F4 mendapatkan nilai negatif. Nilai BOD seharusnya tidak negatif. Hal ini dapat disebabkan karena terjadi nitrifikasi dan masuknya oksigen ke dalam botol. Berdasarkan Alaerts & Santika (1984) semakin banyak reaksi nitrifikasi yang terjadi, maka hasil pengukuran semakin tidak tepat. Maka dari itu, bakteri penyebab nitrifikasi harus dihambat menggunakan
inhibitor. Selain itu
kesalahan ini dapat disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada negara tropis. Alaerts & Santika (1984) juga mengatakan bahwa temperatur tinggi akan meningkatkan proses nitrifikasi sehingga mempengaruhi hasil BOD. Hal lain yang dapat menyebabkan kesalahan ini adalah adanya gelembung udara dalam botol. Berdasarkan Alaerts & Santika (1984) gelembung udara dapat menyebabkan oksigen digunakan oleh ganggang dan lumut. Hal lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam analisa BOD ini adalah adanya zat racun dan nutrisi kurang sehingga memperlambat pertumbuhan bakteri.
ygen D emand 4.2.3. Chemical Ox ygen (COD) (COD)
ChemicalOxygenDemand (COD) berdasarkan Sugiharto (1987) adalah banyaknya oksigen (ppm atau milligram/liter) yang diperlukan bahan kimia untuk menguraikan senyawa organik secara kimiawi. Analisa COD termasuk penentuan total zat organik secara tidak langsung. Hal ini karena karena yang diukur adalah kebutuhan O 2 untuk menambah zat organik secara kimiawi.
Nilai yang dihasilkan dari analisa BOD sangat terbatas untuk mengukur kebutuhan oksigen sesungguhnya pada permukaan air di alam. Menurut Hammer & Hammer (1996) hal ini karena laboratorium tidak dapat menciptakan kondisi fisika, kimia, dan biologis seperti di alam. Maka dari itu perlu dilakukan analisa COD. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) pengujian COD memilikibeberapa keunggulan dibanding BOD. Beberapa diantaranya adalah ada senyawa kimia (lignin) yang tahan terhadap oksidasi biokimia tapi tidak tahan dengan oksidasi kimia, ada senyawa kimia (selulosa, lemak rantai panjang, dan sel mikroba) yang dapat dioksidasi secara kimia
73
dan biokimia tapi tidak untuk BOD 5, serta bahan toksik yang akan mengganggu pada uji BOD, tapi tidak untuk uji COD.
Pertama-tama 10 ml limbah diencerkan sampai 100 ml dengan aquades. Setelah itu diambil 10 ml. Larutan ini ditambahkan dengan 1 ml HgSO 4 pekat dan 20 ml K 2Cr 2O7. K 2Cr 2O7 ditambahkan untuk menyebabkan terjadinya reduksi – oksidasi yang menghasilkan On. On ini merupakan oksigen bebas yang akan diukur dengan titrasi iod. Reaksi redoks dapat terjadi karena K 2Cr 2O7adalah oksidator kuat. Volume K 2Cr 2O7 yang ditambahkan ekuivalen dengan total zat organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi. HgSO4 pekat ditambahkan untuk menciptakan kondisi asam karena menurut Suhardi (1991) reaksi redoksakan optimal pada kondisi asam. Selain itu pengkondisian asam dilakukan karena penguraian senyawa organik secara oksidasi menggunakan agen oksidasi kuat dalam suasana asam. Kemudian larutan dipanaskan 100°C selama 10 menit. Perlakuan pemanasan ini sesuai dengan Graham (1956) yang mengatakan bahwa pemanasan akan meningkatkan kecepatan reaksi karena energi kinetik molekul dari kedua senyawa akan semakin besar. Dengan begitu reaksi kedua molekul tersebut akan semakin besar, sehingga senyawa akhir reaksi lebih cepat terbentuk.
Kemudian diambil 10 ml larutan dan ditambahkan dengan 1,5 ml KI 10% dan 2 ml amilum. Penggunaan KI 10% sesuai dengan Petrucci (1990) yang mengatakan bahwa zat pengoksida kuat dapat dianalisis dengan penambahan KI berlebih kemudian menitrasi iod yang bebas karena banyak zat pengoksida yang menuntut larutan asam untuk bereaksi dengan iodin. KI akan menyebabkan reaksi antara ion K dengan oksigen bebas dari reaksi oksidasi (On). Dari reaksi ini akan dihasilkan ion iodida bebas yang ekuivalen dengan jumlah ion yang membebaskannya. Penggunaan indikator amilum sesuai dengan Day & Underwood (1992) yang mengatakan bahwa jumlah iodida bebas dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan indikator i ndikator amilum. Selain itu, menurut Graham (1956) ion iodida bebas yang bertemu dengan amilum akan membentuk warna biru tua. Hal ini karena iodin masuk ke dalam struktur molekul pati yang berbentuk helix, helix, sehingga terbentuk ikatan yang berwarna biru tua.
74
Kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai titik akhir titrasi. Hal ini sesuai dengan Day & Underwood (1992) yang mengatakan bahwa jumlah ion iodida bebas ditentukan dengan titrasi menggunakan larutan Na 2S2O3. Titik akhir titrasi adalah biru bening. Berdasarkan Berdas arkan Sudarmadji et al . ( 1996) 1996) perubahan warna larutan menunjukkan bahwa semua iodin bebas sudah bereaksi dengan Na2S2O3. Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sebanding dengan dengan jumlah iod bebas dan jumlah oksigen dalam limbah.Untuk sampel blanko tidak dilakukan perlakuan pemanasan. Blanko perlu dibuat untuk mengkoreksi kesalahan karena ada bahan organik lain pada reagen. COD dihitung dengan rumus : COD (ppm) =
(blanko sampel sampel ) x N Na 2 S 2 O3 x 8000 x pengenceran ml sampel sampel
(Hammer & Hammer, 1996).
Rata-rata COD F4 sebelum treatment (uji pendahuluan) adalah -4240 mg/L dan F5 sebesar 6520 mg/L. Setelah treatment , rata-rata COD untuk F4 adalah 920 mg/L dan F5 adalah 6280 mg/L.Dapat dilihat pada F5 bahwa sebelum treatment , nilai COD sangat tinggi. Menurut Gintings (1992) hal ini disebabkan karenaadacemaran oleh zat organik dari berbagai macam sumber. Setelah treatment, terjadi penurunan pada COD F5 menjadi 6280 mg/L, sedangkan pada F4 COD nya jauh lebih rendah lagi, yaitu 920 mg/L.Menurut Baku Mutu Air Limbah, nilai COD maksimal pada limbah cair street food adalah 100 mg/L. Jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan, maka nilai pada kelompok F4 dan F5 jauh melebihi baku mutu air limbah, sehingga limbah ini belum layak untuk dibuang ke lingkungan. Kesalahan ini dapat disebabkan karena kesalahan pada saat treatment , misalnya tidak teliti saat penambahan senyawa. Berdasarkan Jenie & Rahayu (1993) penambahan senyawa kimia dapat meningkatkan konsentrasi senyawa kimia dalam air. Untuk menguraiakn senyawa kimia ini dibutuhkan oksigen. Maka dari itu, hal ini turut mempengaruhi nilai COD.
Jika dicermati, hasil nilai hasil uji COD lebih besar daripada BOD. Hasil ini sesuai dengan Gintings (1992) (1992) yang mengatakan bahwa permintaan permintaan oksigen oleh senyawa organik lebih tinggi daripada mikroorganisme. Sedangkan menurut Hammer & Hammer (1996) nilai COD yang lebih besar ini disebabkan karena oksidasi kimia
75
dapat mendekomposisi bahan organik non – biodegradable, sedangkan pengukuran BOD didasarkan pada oksigen yang digunakan mikroorganisme selama 5 hari.
5. KESIMPULAN
Tujuan umum pengolahan limbah adalah agar limbah yang akan dibuang sesuai dengan Baku Mutu Limbah.
Pengolahan
limbah
terdiri
dari
tahap
pretreatment ,
primarytreatment ,
secondarytreatment , tertiarytreatment , pengolahan tambahan, desinfeksi, dan netralisasi.
Tujuan pretreatment Tujuan pretreatment adalah adalah menghilangkan padatan yang berukuran besar.
Tujuan primary Tujuan primary treatment adalah menggumpalkan partikel terlarut dan tersuspensi.
Koagulasi dapat mengendapkan zat organik dan suspended dan suspended solid pada pada limbah.
Tujuan secondary Tujuan secondary treatment adalah adalah memperbanyak jumlah mikroorganisme aerobik yangmampu mencerna limbah sehingg cemaran limbah berkurang.
Aerasi
dapat
mengurangi
bahan
organik
dalam
limbah
dengan
bantuan
mikroorganisme.
Tujuan dari tertiarty treatment adalah menghilangkan padatan terlarut dan menjernihkan limbah.
Tertiary treatment dilakukan dilakukan dengan menggunakan karbon aktif.
Tujuan desinfeksi adalah membunuh bakteri dengan merusak dinding sel secara langsung atau menginaktifkan enzim utamasehingga merusak dinding sel.
Klorin dapat merusak membran sel atau protein sel secara langsung.
Tujuan netralisasi adalah agar limbah tidak terlalu asam atau basa.
Setelah treatment limbah menjadi agak berbau, bening, agak keruh, dan bersuhu 29°C.
Setelah treatment , kandungan TS, TSS, dan TDS mengalami penurunan.
BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasisenyawa organik pada limbah dengan temperatur 19-21
o
C dalam
inkubator atau waterbath. waterbath.
Nilai BOD5 hanya mewakili sebagian kecil dari seluruh BOD.
Setelah treatment , nilai BOD5 telah sesuai dengan baku mutu lingkungan.
COD adalahbanyaknya oksigen (ppm atau milligram/liter) yang diperlukan bahan kimia untuk menguraikan senyawa organik secara kimiawi.
76
Setelah
treatment,
nilai
COD
76
mengalami
penurunan.
77
Nilai COD selalu lebih besar daripada BOD karena permintaan oksigen oleh senyawa organik lebih tinggi daripada mikroorganisme.
Semarang, 27 September 2014
Asisten Dosen :
Praktikan, Kelompok F5
- Melita Noveliani Atmaja
Matius Inda Tatontos 12.70.0062
- Chyntia Christinne
Eliza Shinta M.
12.70.0088
- Jong Epha Yosia
Francisca Sari K.D.
12.70.0157
- Tesyara Danesh Angelina
Raphael Elhan A.
12.70.0158 12.70.0158
- Vania Eka Cahyani
Ernadya Eka P.
12.70.0176
- Yuni Rusiana
6.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G. & S.S. Santika. (1984). Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Suraba ya. Annas. (2007). Pencemaran Air Yogyakarta Sungai Winongo(Analisis Winongo( Analisis Valuasi Ekonomi Pencemaran Air terhadap Kesejahteraan Masyarakat Yogyakarta). http://insidewinme.com/2007/12/pencemaran-air-yogyakarta-sungai.html Anonim. (2007). Waste Water Treatmen in The Fisfhery Industry. http://www.fao.org/ DOCREP/003/V9922E/V9922E09.htm. diakses DOCREP/003/V9922E/V9922E09.htm. diakses pada tanggal 25 September 2014. Birdi, G. S. (1979). Water Supply and Sanitary Engineering. Dhanpat Rai & Sons. New Delhi. Buckle, K.A.; R. A. Edwards; G.H. Fleet;& N.Wooton. (1987). Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Day, B.A. & A.L. Underwood. (1992). Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta. Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Gintings, P. (1992). Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Graham, R P. (1956). The Essentials of Chemistry. Clarke-Irwin Company. United States of America. Hadiharja, J. (1997). Rekayasa Lingkungan. Gunadarma. Jakarta. Hammer, M. J. & M. J. Hammer Jr. (1996). Water and Wastewater Technology 3 rd ed. Prentice – Prentice – Hall. Hall. New Jersey. Ibrahim, B, Erungan A. C, Heriyanto. (2009). Nilai Parameter Biokinetika Proses Denitrifikasi Limbah Cair Industri Perikanan pada Rasio COD / TKN yang Berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol XII . Jenie, B. S. L. & W. P. Rahayu. (1993). Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. Kristanto, P. (2002). Ekologi (2002). Ekologi Industri. Industri. LPPM. Penerbit ANDI Yogyakarta. Kusnaedi. (1998). Mengolah Air Gambut dan Air Kotor Untuk Air Minum. Penebar Swadaya. Jakarta. Mahida, U. N. (1992). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV. Rajawali. Jakarta
78
79
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah. (2012). http://blhblitar.ppejawa.com/get.php?file=74289Lampiran%20Perda-5-2012BMAL.pdf . diakses pada tanggal 2 September 2014 Petrucci, R.H. (1990). Kimia Dasar Prinsip Dan Terapan Modern Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Rahayu, Suparni S. (2009). Karakteristik limbah Kimia Cair. http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia-industri/limbah-industri/karakteristik-kimia-limbahcair/ Romayanto, Muhammad Eko Wibowo, Wiryanto, dan Sajidan. (2006). Pengolahan Limbah domestik dengan aerasi dan penambahan bakteri Pseudomonas putida. putida . Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Sastrawijaya, A. T. (1991). Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Sugiharto. (1987). Dasar – Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia. Jakarta. Suhardi. (1991). Petunjuk Laboratorium Analisa Air dan Penanganan Limbah. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Sunu Pramudya, 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Penerbit PT Grasindo. Jakarta : Gramedia. Suratno, F.G. 1998. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Lingkungan . Universitas Gajah Mada Press. Cetakan 8. Yogjakarta. Suriawiria, U., 1996. Mikroba Air dan Dasar-dasar Pengolahan Bahan Buangan Secara Biologis. Biologis. Bandung : Alumni Tchobanoglous, G. (1981). Waste Water Engineering: Treatment , Disposal, Reuse. Tata McGraw. Hill Publishing Company Ltd. New Delhi. Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar . Erlangga Wulandari, Desi dan Riska Hesti Marlitasari. (2011). Proses Pengolahan Limbah Cair Domestik Secara Anaerob. Universitas Diponegoro. Semarang.
7.
LAMPIRAN
7.1. Baku Mutu Limbah
LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH
Parameter
Kadar Maksimum (mg/L)
Beban Penc. Maks. (kg/ton)
BOD5
50
0,25
COD
100
0,50
TSS
100
0,50
Minyak dan Lemak
2
0,01
pH
6,0 – 6,0 – 9,0 9,0
6,0 – 6,0 – 9,0 9,0
Debit Debit maks. maks.
5 m /ton /ton produk produk
5 m /ton /ton produk produk
7.2. Perhitungan
Rumus:
a.) TS =
B
A 1000
volume sampel sampel ( L)
Keterangan: A = berat cawan kosong (mg) B = berat cawan berisi air limbah setelah pengeringan (mg) TS = Total Solid (ppm) (ppm)
b.) TSS =
( B A ) x 1000 L sampel sampel
80
81
Keterangan : B
: berat kertas saring berisi residu (mg)
A
: berat kertas saring kosong (mg)
TSS : total suspended solid atau atau padatan tersuspensi total (ppm) c.) TDS = TS – TS – TSS TSS d.) COD (ppm) =
() ()
Keterangan: Blanko
= 42 ml
N Na2S2O3
= 0,1
Volume sampel = 10 ml e.) BOD5 = ( volume titrasi BOD 0 – volume volume titrasi BOD 5) x f p f p= faktor pengenceran, 1 ml Na 2S2O3 = 1 mg / lt BOD f p = 102 = 100
7.2.1.Kelompok 7.2.1.Kelompok F4 7.2.1.1. 7.2.1.1.1.
Analisa Pengujian Limbah Sebeleum Treatment Karakteristik Karakteristik Fisik
Soli d (TS) 7.2.1.1.1.1. Analisa Total Soli
Ulangan I
=
Ulangan II
=
Rata-rata
=
() )
= 210000 mg/L
() )
= 210000 mg/L
( )
= 210000 mg/L
82
uspended Soli Soli d (TSS) 7.2.1.1.1.2. Analisa Total Suspended
Ulangan I
=
Ulangan II
=
Rata-rata
=
( )
= 25200 mg/L
( )
= 16200 mg/L
( )
= 20700 mg/L
7.2.1.1.1.3. Analisa Total Di ssolved olved Soli Soli d (TDS)
Ulangan I
TDS = 210000 – 210000 – 25200 25200 = 184800 mg/L
Ulangan II
TDS = 210000 – 210000 – 16200 16200 = 193800 mg/L
Rata-rata
TDS = 210000 – 210000 – 20700 20700 = 189300 mg/L
7.2.1.1.2.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
7.2.1.1.3.
Analisa Chemical Ox ygen (COD) (COD) ygen D emand
Ulangan I
COD =
Ulangan II
COD =
Rata-rata
COD =
() () ) ()
= -10640 mg/L = 2160 mg/L
- 4240 mg/L
7.2.1.2. Analisa Pengujian Limbah Setelah Treatment 7.2.1.2.1.
Karakteristik Karakteristik Fisik
Soli d (TS) 7.2.1.2.1.1. Analisa Total Soli
Ulangan I
Ulangan II
Rata-rata
( ) () ) ( )
= 69000 mg/L = 95000 mg/L = 82000 mg/L
uspended Soli Soli d (TSS) 7.2.1.2.1.2. Analisa Total Suspended
Ulangan 1
( )
= 840 mg/L
83
Ulangan 2
Rata – Rata – rata rata
( )
= 860 mg/L
( )
= 850 mg/L
olved Soli Soli d (TDS) 7.2.1.2.1.3. Analisa Total Di ssolved
Ulangan 1
TDS = 69000 – 69000 – 840 840 = 68160 mg/L
Ulangan 2
TDS = 95.000 – 95.000 – 860 860 = 94.140 mg/L
Rata – Rata – rata rata
TDS = 82.000 – 82.000 – 850 850 = 81.150 mg/L
7.2.1.2.2.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
7.2.1.2.2.1. Analisa Chemical Ox ygen (COD) (COD) ygen D emand
Ulangan 1
COD =
Ulangan 2
COD =
Rata-rata
COD =
()
= 720 mg/L
()
= 1120 mg/L
() )
= 920 mg/L
ochemi cal Oxygen Oxygen D emand 7.2.1.2.2.2. Analisa Bi ochemi (BOD) (BOD)
Rumus = (volume titrasi BOD 0- volumet titrasi BOD 5) x faktor pengenceran
Ulangan 1
BOD5 = (25- 25,3) x 10= -3 mg/L
Ulangan 2
BOD5 = (26,5-28,4) x 10 = -24 mg/L
Rata-rata
BOD5 = (25,75 – (25,75 – 26,85) 26,85) x 10 = - 11 mg/L
7.2.2.
Kelompok F5
7.2.2.1. Analisa Pengujian Limbah Sebelum Treatment
84
7.2.2.1.1.
Karakteristik Karakteristik Fisik
7.2.2.1.1.1. Analisa Total Soli Soli d (TS)
Ulangan I Ulangan II Rata-rata =
( )
( ) () )
= 12500 mg/L
Tot al Suspended Suspended Sol Solii d (TSS) 7.2.2.1.1.2. Analisa Total
Ulangan I Ulangan II Rata-rata =
( ) () )
= 20300 mg/L
7.2.2.1.1.3. Analisa Total Di ssolved olved Soli Soli d (TDS)
Ulangan I
TDS = 15000 – 15000 – 20400 20400 = - 5400 mg/L
Ulangan II
TDS = 10000 – 10000 – 20200 20200 = - 10200 mg/L
Rata-rata
TDS = 12500 – 12500 – 20300 20300 = -7800 mg/L
7.2.2.1.2.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
7.2.2.1.2.1. Analisa Chemical Ox ygen (COD) (COD) ygen D emand
Ulangan I
COD =
Ulangan II
COD =
Rata-rata
COD =
()
= 8160 mg/L
()
= 4880 mg/L
()
= 6520 mg/L
7.2.2.2. Analisa Pengujian Limbah Setelah Treatment 7.2.2.2.1.
Karakteristik Karakteristik Fisik
Soli d (TS) 1.1.2.2.1.2. Analisa Total Soli
Ulangan I
() )
= 66500 mg/L
85
Ulangan II
Rata-rata
( ) () )
= 60000 mg/L = 63500 mg/L
uspended Soli Soli d (TSS) 1.1.2.2.1.3. Analisa Total Suspended
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata – Rata – rata rata
( )
= 721 mg/L
( )
= 1820 mg/L
( )
= 1260 mg/L
olved Soli Soli d (TDS) 1.1.2.2.1.4.Analisa Total Di ssolved
Ulangan 1
TDS = 66500 – 66500 – 720 720 = 65780 mg/L
Ulangan 2
TDS = 60000 – 60000 – 1820 1820 = 58180 mg/L
Rata – Rata – rata rata
= 62240 mg/L TDS =
1.1.2.2.2.
Karakteristik Karakteristik Kimiawi
ygen D emand 1.1.2.2.2.1. Analisa Chemical Ox ygen (COD) (COD)
Ulangan 1
COD =
Ulangan 2
COD =
Rata-rata
COD =
()
= 6560 mg/L
()
= 6000 mg/L
() )
= 6280 mg/L
ochemi cal Oxygen Oxygen D emand 1.1.2.2.2.2. Analisa Bi ochemi (BOD) (BOD)
Rumus = (volume titrasi BOD 0- volumet titrasi BOD 5) x faktor pengenceran
Ulangan 1
BOD5 = (26,5- 14,5) x 10= 120 120 mg/L
Ulangan 2
BOD5 = (30-17) x 10 = 130 mg/L
Rata-rata
BOD5 = (28,25 – (28,25 – 15,75) 15,75) x 10 = 125 mg/L
86
7.3. Foto
Limbah setelah treatment
COD
Limbah setelah netralisasi
87
BOD
7.4. Laporan Sementara 7.5. Report Vi per per