BAB I PENDAHULUAN
Hipertensi adalah masalah kesehatan yang paling sering ditemui dalam kehamilan. Hipertensi merupakan komplikasi kehamilan kira-kira 7-10% dari seluruh kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi morbiditas dan mortalitas ibu bersalin. Pada hipertensi dalam kehamilan juga didapati angka mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia, preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 3040% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit ini. Preeklampsia adalah suatu gangguan multisistem, bersifat spesifik pada kehamilan dan mempunyai ciri khas yaitu terdapatnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan mencapai 20 minggu. Gangguan ini terdapat pada setidaknya 5-7% pada seluruh kehamilan dengan insidensi 23.6 kasus pada 1000 kelahiran bayi di Amerika Serikat. Komplikasi dari hipertensi adalah penyebab ketiga terbesar setelah perdarahan dan embolisme yang menyebabkan kematian pada kehamilan. Preeklampsia dikaitkan dengan peningkatan resiko dari gagal ginjal akut, komplikasi serebrovaskular dan kardiovaskular, pembekuan intravaskular meluas (disseminated intravascular coagulation) dan kematian ibu hamil. Preeklampsia dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu preeklampsia ringan dan berat. Angka kejadian rekurensi preeklamsia kategori berat lebih kurang 20-25% pada kehamilan selanjutnya. Karena itu, diagnosa dini dan penanganan tepat dari preeklampsia berat menjadi hal yang sangat penting dan tidak dapat dielakkan lagi, dengan tentunya tidak mengesampingkan diagnosis dan penanganan preeklampsia ringan.
1
BAB II LAPORAN KASUS I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. MN
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan
: SMP
Suku
: Sunda
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Alamat
: Malakasari, Bale Endah
Masuk Rumah Sakit tanggal 11 Agustus 2013 pukul 16.46 ke IGD II.
ANAMNESA
Keluhan Utama : Penglihatan buram di kedua mata Riwayat Keluhan Sekarang : Seorang pasien G3P2A0 merasa hamil 9 bulan datang ke IGD diantar oleh keluarga dengan keluhan penglihatan buram di kedua mata sejak 1 hari SMRS. Keluhan terjadi berangsur-angsur dengan sangat cepat. Keluhan disertai dengan adanya pusing, nyeri ulu hati, dan lemas sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh mulas yang makin sering. Pasien mengaku keluar lendir dan bercak darah dari jalan lahir. Pasien menyangkal keluarnya cairan yang banyak dari jalan lahir. Pasien merasakan gerakan janin sejak bulan ke-5 sampai saat pemeriksaan. Pasien memiliki riwayat darah tinggi pada kehamilan yang ke-2. Tidak ada riwayat darah tinggi di luar kehamilan. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes, alergi, ataupun asthma. Tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat-obatan. Pasien menyangkal memiliki riwayat operasi sebelumnya. Riwayat Haid
Siklus
: ± 28 hari 2
Lama Menarche Disminorhea HPHT Taksiran
: ± 7 hari : saat usia pasien ± 14 tahun : disangkal : 20 – 11 – 2012 : 27 – 08 – 2013
Riwayat Pemeriksaan Kehamilan Pemeriksaan kehamilan di praktek bidan oleh bidan, teratur setiap bulan. Selama pemeriksaan pasien tidak pernah mengalami sakit berat hingga dirawat. Pasien pernah dilakukan pemeriksaan USG, dan pada pemeriksaan USG tersebut pasien dinyatakan kondisi janin baik dengan presentasi kepala. Riwayat Pengobatan
Pasien meminum obat-obatan dari Puskesmas
Riwayat Kontrasepsi
Menggunakan pil KB selama 3 tahun setelah kehamilan ke-1 Menggunakan KB suntik selama kurang lebih 5 tahun setelah kehamilan ke-2
Riwayat Pernikahan Merupakan pernikahan pertama bagi istri dan suami. Menikah sejak tahun 2001. Riwayat Obstetri No.
Kehamilan Persalinan
1. 2. 3.
Aterm Aterm Hamil ini
III.
Spontan Spontan -
Ditolong
Anak,
Usia dan
Berat
oleh
H/M
Jenis
Badan
H H -
Kelamin 11 thn, L 7 thn, L -
Lahir 3300 gr 3000 gr -
Paraji Bidan RS -
PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum
: Tampak sakit berat
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
3
Penyulit
-
Tekanan Darah
: 200/150 mmHg
Nadi
: 96 x/menit, reguler, isi cukup
Suhu
: 36,5 °C
Pernapasan
: 24 x/menit, teratur
Status Gizi o Berat badan
: 89 Kg (70 Kg)
o Tinggi Badan
: 155 cm
Kulit
: ikterik (-), sianosis (-), turgor normal, kelembaban normal
Kepala dan Leher Kepala
: Normosefali, ubun-ubun normal, edema fasialis, distribusi merata, tidak mudah dicabut, pucat
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung
: Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -/-, sekret -/-,
Mulut
: Bibir merah muda, kering (-), sianosis (-), trismus (-), halitosis (-)
Lidah
: Tidak dinilai
Tonsil
: Tidak dinilai
Tenggorokan
: Tidak dinilai
Leher
: KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, trakea letak normal
Thorax Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, simetris, pulsasi abnormal (-), gerak pernapasan simetris, irama cepat, tipe abdomino-thorakal, retraksi (-)
Palpasi
: Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
Perkusi
: Sonor di semua lapang paru
Auskultasi
: Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
4
Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
: Redup
Auskultasi
: SISII reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
: Tampak cembung
Palpasi
: NT (-), pekak samping dan pekak pindah (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Ekstremitas
: Akral hangat, edema (+), sianosis (-),CRT> 2 detik
Pemeriksaan Obstetri Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung, striae gravidarum (+), line nigra (+) Palpasi : TFU 30 cm dari simfisis pubis. LP = 105 cm, HIS (+) Auskultasi : DJJ 152x /m, reguler
Leopold
I : teraba bagian yang besar, nodular, tidak melenting (bokong) II : teraba bagian keras memanjang di sisi kanan pasien, bagian kecil
ireguler di sisi kiri pasien (puka) III : Teraba bagian bulat, keras, melenting, masih dapat digerakkan
Pemeriksaan dalam
IV.
v/v tidak ada kelainan Ketuban (+) Portio tebal, kaku Pembukaan 2 cm
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 11 Agustus 2013 Hematologi Hemoglobin
: 12.7 g/dl (11.0-16.0)
5
Leukosit
: 12.800 sel/uL (3600-10600)
Eritrosit
: 4.42 juta/ uL (3.6-5.8)
Hematokrit
: 34.1 % (35-47)
Trombosit
: 49, 000 (150000-440000)
Golongan darah
:A
Kimia Klinik SGOT
: 309 U/L (10-31)
SGPT
: 340 U/L (9-36)
Ureum
: 58 mg/dL (10-50)
Kreatinin
: 1.60 mg/dL (0.7-1.13)
GDS
: 97 mg/dL (70-200)
Urine
V.
Warna urin
: Kuning keruh
Kejernihan
: Keruh
pH
: 6.0
Berat jenis
: 1.020
Albumin urine
: POS (+++)
Glukosa
: negatif
Keton
: negatif
Nitrit
: negatif
Urobilinogen
: 4.0
Bilirubin
: POS (+)
Darah samar urin
: POS (+++)
Eritrosit
: BANYAK
Leukosit
: BANYAK
Sel epitel
: Positif 1
Kristal
: negatif
Silinder
: negatif
Jamur
: negatif
Bakteri
: negatif
RESUME 6
Seorang G3P2A0 merasa hamil 9 bulan datang ke IGD diantar oleh keluarga dengan keluhan penglihatan buram di kedua mata sejak 1 hari SMRS. Keluhan disertai dengan adanya pusing, nyeri ulu hati, dan lemas sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh mulas yang makin sering, keluar lendir dan bercak darah dari jalan lahir. Pasien menyangkal keluarnya cairan yang banyak dari jalan lahir. Pasien merasakan gerakan janin sejak bulan ke5 sampai saat pemeriksaan. Pasien memiliki riwayat darah tinggi pada kehamilan yang ke-2. Tidak ada riwayat darah tinggi di luar kehamilan. HPHT 20-11-2012. Pada pemeriksaam fisik ditemukan pasien dalam kondisi sakit berat dengan kesadaran komposmentis. Tanda vital menunjukkan adanya hipertensi berat. Terdapat edema fasialis dan edema ekstremitas. Abdomen tampak cembung dengan TFU 30cm, LP 105cm, HIS +, DJJ 152x/menit reguler. Pemeriksaan leopold ditemukan letak kepala, puka. Pemeriksaan dalam menunjukkan pembukaan 2cm, portio tebal kaku, dan ketuban (+). Pada
pemeriksaan
hematologi,
terdapat
leukositosis,
turunnya
hematokrit,
trombositopeni, kadar SGOT/PT yang meningkat drastis, dan peningkatan kadar ureumkreatinin darah. Pemeriksaan urine menunjukkan adanya proteinuria +++, bilirubin urin +, dan darah samar +++. Mikroskopis urine juga menunjukkan banyaknya kandungan eritrosit dan leukosit. VI.
DIAGNOSIS KERJA Wanita G3P2A0 parturien preterm kala I fase laten + preeklampsia berat dengan
impending eklampsia dan sindroma HELLP VII.
PENATALAKSANAAN
Rencana Diagnostik:
Observasi tanda vital, keadaan umum, dan dan jumlah urin.
Observasi BJJ
Rencana Terapi:
MgSO4 40% 10 cc per IM
Drip MgSO4 20% 10 gr dilarutkan dalam RL 500 cc, 20gtt/menit
Pasang dwelling cathether
Medikamentosa
7
Dopamet 3 x 500 mg (methyldopa) per oral
Nifedipine 2 x 10 mg per oral
Opimox 1 gr (Amoxicillin) per IV
Rencana Edukasi:
Informasikan kepada keluarga dan pasien tentang keadaan pasien dan komplikasinya.
Intervensi informed consent untuk tindakan terminasi kehamilan
VIII. SARAN
IX.
Pemasangan NST
Pro USG
Pro terminasi kehamilan
PROGNOSIS Ibu : Dubia ad bonam Anak : Dubia ad malam
X. No. 1.
2.
FOLLOW UP Tanggal 11/8/2013 Pukul 20.30 Ruang Zaitun III
12/8/13 Pukul 08.00 Ruang HCU
Follow-up S: Keluhan pusing masih terasa O: KU:CM TD: 180/130
Terapi Terapi lanjut Catapres drip 2 amp dalam D5%500 cc 15 gtt/menit sampai turun 20% dari MAP awal Bila emergency, acc pindah HCU Terapi lanjut
S: Pasien merasa pusing O: KU:CM, anemis TD: 179/128 HR: 80x/menit
Bisoprolol 1 x 5 mg Pro SC cyto
8
R: 18x/menit S: 36.8 C 3.
4.
12/8/13 Pukul 10.15 OK
12/8/13 Pukul 10.30 Ruang RR
Laporan Op SCTP: - Dilakukan anestesi NU - Dilakukan tindakan a dan antiseptik di daerah abdomen dan sekitarnya - Dilakukan insisi mediana inferior sepanjang 10 cm - Setelah peritoneum dibuka tampak dinding depan uterus - Plika vesikouterina diidentifikasi, disayat melintang - Kandung kemih disisihkan ke bawah dan ditahan dengan retraktor abdomen - SBR disayat konkaf, bagian tengahnya ditembus oleh jari penolong dan diperlebar ke kiri dan kanan - Jam 09.48 lahir bayi hidup laki-laki dengan meluksir kepala, BB 2400gr, PB 48cm - APGAR 1’=2, 5’=5 - Disuntikkan oksitosin 10 IU intramural, kontraksi baik - Jam 09.50, lahir plasenta dengan tarikan ringan pada tali pusat dgn berat 500gr - SBR dijahit secara overhecting matras. Setelah yakin tidak ada perdarahan dilakukan reperitonelisasi dengan peritoneum kandung kencing - Perdarahan dirawat - Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah - Fascia dijahit dengan safil No.1, kulit dijahit secara subkutikuler - Perdarahan selama op 300 cc - Diuresis 100 cc Dx/ P3Ao post partus prematurus dengan SC a.i. impending eklampsia + HELLP syndrome KU:CM, tidak bisa melihat dan mendengar TD: 170/110 mmHg HR: 93x/menit RR: 24x/menit Saturasi O2 : 99%
Obs KU, TTV, jalan nafas, Oksigen, perdarahan tiap jam Puasa sampai BU (+) Mobilisasi dini Transfusi trombosit 4x50cc Transfusi PRC 3x200cc Infus RL:D5% 2:1 30 gtt/menit Opimox 3x1 gr IV Metronidazole 3x500 IV Profecum supp 2x1
Obs KU dan TNRS O2 8 liter/m via MNRO2 di ICU Head up 30 derajat Cek darah rutin,elektrolit, UreumKreatinin Setiap habis 3 labu
9
darah masuk furosemide 1 amp +Ca glukonas 1 amp. (Jika TD tinggi, Ca glukonas jgn masuk) Analgesik ketesse 2amp+ Fentanyl 1 cc dalam 500 cc RL 15 gtt/menit 5.
6.
12/8/13 Pukul 15.00 Ruang ICU 13/8/13 Pukul 06.30 Ruang ICU
Hb: 8.5 L: 16.200 E: 2.92 Ht: 22.5 Trombo: 66.000 S: Belum jelas melihat dan mendengar O: KU:CM TD: 174/100 HR: 49x/menit RR: 20x/menit BU (+) Urin 100cc/jam Ureum: 70 Kreatinin: 2.0
10
Terapi lanjut Tranfusi PRC Post 2 labu, lasix 1 amp Terapi lanjut Test feeding dengan air putih. Jika baik, boleh mulai makan makanan cair Cek ulang Ureum kreatinin
BAB III PEMBAHASAN
Pasien Ny.MN, usia 29 tahun G3P2A0 datang ke rumah sakit dengan keluhan penglihatan buram di kedua mata sejak 1 hari SMRS, pusing dan nyeri ulu hati sejak 1 minggu SMRS. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis kerja G3P2A0 parturien preterm kala 1 fase laten + preeklampsia berat dengan impending eklampsia dan sindroma HELLP. Penegakkan Diagnosis Pada kasus ini, pasien masuk ke dalam definisi dan kriteria dari preeklampsia dimana preeklampsia merupakan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Kriteria minimum : -
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu
-
proteinuri ≥ 300mg/24 jam atau+1
Kriteria tambahan -
tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
-
proteinuria 2,0 gr/24 jam atau ≥ +2
-
Kreatinin serum > 1,2 mg/dL, kecuali sebelumnya memang telah meningkat
-
Trombosit < 100.000 mm3
-
Mikroangiopati hemolisis (peningkatan LDH)
-
Sakit kepala yang menetap atau gangguan serebral atau penglihatan
-
Nyeri ulu hati tetap Preeklamsia
merupakan
sindroma
spesifik
dalam
kehamilan
akibat
berkurangnya perfusi organ sekunder terhadap vasospasme dan aktivasi endothelial. Proteinuria merupakan tanda penting pada preeklamsi. Proteinuria > 300 mg/24 jam atau persistent 30 mg/dl (+1 dipstick) pada urin random. Proteinuria +2 atau lebih atau protein dalam urin 24 jam 2 gr atau lebih adalah preeklamsi berat, dimana filtrasi glomerulus terganggu dan kreatinin meningkat. 11
Nyeri epigastrium/kuadran kanan atas : akibat nekrosis hepatoseluler, iskemia dan edema karena regangan kapsul Glisson’s. Sering disertai meningkatnya enzim liver dan merupakan tanda untuk terminasi kehamilan. Nyeri akibat infark/perdarahan sama seperti karena ruptur hematoma subkapsuler. Ruptur hepar jarang dan sering berhubungan dengan hipertensi pada orang yang lebih tua dan multipara. Trombositopeni, merupakan tanda memburuknya preeklamsi akibat aktivitas platelet dan agregasi dan hemolisis mikroangiopati akibat vasospame hebat. Gross hemolisis hemoglobinemia, hemoglobinuria, hiperbilirubinemia merupakan tanda beratnya penyakit. Pada preeklampsia dapat terjadi perubahan-perubahan fungsi organ seperti yang terjadi pada kasus ini, yaitu seperti: Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia jarang terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan (Wiknjosastro, 2006). Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (1995) dalam Cunningham (2005). Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina (Wiknjosastro, 2006). Hati Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005).
12
Ginjal Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun (Cunningham, 2005). Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal (Pernoll, 1987). Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat (Cunningham, 2005). Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005). Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria (Wiknjosastro, 2006). Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal. Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi garam dan air (Wiknjosastro, 2006). Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air (Wiknjosastro, 2006). Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92 % kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34 % pada wanita hipertensif.
13
Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36 % kasus (Cunningham, 2005). Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeteksi di dalam urin (Cunningham, 2005). Plasenta dan Uterus Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin. Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus prematurus pada pasien preeklampsia (Wiknjosastro, 2006). Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta (Pernoll, 1987). Preeklampsia berat dapat dibagi dalam dua kategori yaitu : a.
Preeklampsia berat tanpa Impending Eklampsia
b.
Preeklampsia berat dengan Impending Eklampsia, dengan gejala-gejala Impending yaitu : nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium dan nyeri kuadran kanan atas abdomen, tekanan darah meningkat progresif.
Tatalaksana
Monitoring selama di rumah sakit Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik berupa nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan.
14
Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan USG.
Monitoring perawatan preeklampsia berat Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawat preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur : o
Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinali Pasien preeklampsia berat harus segera masuk RS untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi ( kiri ). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena pasien preeklampsia dan eklampsia mengalami risiko tinggi umtuk terjadinya edema paru dan oliguria yang disebabkan oleh hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid. Bila terjadi tanda-tanda edema paru segera lakukam tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa : a.
5% Ringer-dextrose atau caiaran garam faal jumah tetesan tetesan <125 cc/jam atau
b.
Infus dextrose 5% yang tiap 1 liternya diseingi dengan infus Ringer laktat (60-125cc/jam) 500 cc.
Dipasang Foley cateter untuk mengukur pengeluaran urine.Oliguria terjadi bila produksi urin <30cc/jam dalam 2-3 jam atau <500cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam. Pemberian obat antikejang o
MgSO4
o
Contoh obat-obat lain yang dipakai yaitu : Diazepam Fenitoin Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Diberikan dalam dosis 15mgkgBB dengan pemberian intravena 50mg/menit.
15
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin. Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium menggeser kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Kadar kalsium dalam darah yang tinggi dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Cara pemberian :
Loading dose, initial dose 4 gram MgSO4 (40% dalam 10cc) diberikan secara i.v. 15 menit.
Maintenance dose Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan MgSO4 4 gram i.m tiap 4-6 jam.
Syarat – syarat pemberian MgSO4 1. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10 % ( 1 gram dalam 10 cc ) diberikan i.v. dalam waktu 3 – 5 menit 2. Refleks patella ( + ) kuat 3. Frekuensi pernafasan ≥ 16 kali per menit
Syarat-syarat penghentian MgSO4 1. Ada tanda – tanda intoksikasi 2. Setelah 24 jam pasca salin atau 24 jam setelah kejang terakhir 3. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan tekanan darah (normotensif)
o Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka berikan salah satu obat berikut : tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin. o Diuretikum tidak diberikan rutin kecuali bila ada edema paru-paru, payah hantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid. o Pemberian antihipertensi
Antihipertensi lini pertama Nifedipine 10-20 mg per oral, di ulangi setelah 30 menit maksimum 120 mg dalam 24 jam
16
Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside 0,25 µg i.v./kg/menit infus ditingkatkan 0,25 µg i.v./kg/5 menit Diazokside 30-60 mg i.v/5 menit atau i.v.infus 10mg/menit/dititrasi Antihipertensi sedang dalam penelitian
Calcium channel blockers : isradipin, nimodipin o
Glukokortikoid Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
o
Sikap terhadap kehamilannya Berdasarkan Williams Obstetrics ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeklampsia
berat
selama
perawatan
maka
sikap terhadap
kehamilannya dibagi menjadi : 1.
Aktif ( aggresavie management ) berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan aktif yaitu : Ibu o umur kehamilan > 37 minggu o adanya tanda-tanda impending eclampsia o kegagalan terapi pada perawatan konservatif yaitu keadaan klinik dan laboratoruum memburuk o diduga terjadi solusio plasenta o timbul onset persalinan ketuban peca atau perdarahan Janin o Adanya tanda-tanda fetal distress o Adanya tanda-tanda intra uterine grouth restriction ( IUGR ) o Terjadinya oligohidroamnion Laboratorium o Adanya tada-tanda sindrom HELLP khusunya menurunnya trombosit dengan cepat
17
o Cara mengakhiri kehamilan dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada waktu itu apakah sudah inpartu atau belum. Seluruh wanita pada usia kehamilan 40 minggu dengan preeklamsi ringan harus diakhiri kehamilannya. Pada usia kehamilan 38 minggu dengan preeklamsi ringan dan serviks matang dapat dilakukan induksi persalinan. Pada usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan untuk terminasi dengan sebelumnya diberikan kortikosteroid. Pada ibu dengan usia kehamilan 23-32 minggu dengan preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian perinatal. Bila usia kehamilan kurang dari 23 minggu, disarankan untuk dilakukan terminasi. Cara terminasi kehamilan belum inpartu : 1.
Induksi persalinan Persalinan dapat dilakukan terlebih dahulu dengan melakukan induksi persalinan dengan menggunakan prostaglandin, sintosinon atau dengan amniotomi (pemecahan kulit ketuban). Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses persalinan. (dari tidak ada tanda-tanda persalinan, distimulasi menjadi ada). Bedakan dengan akselerasi persalinan yang merupakan suatu upaya mempercepat proses persalinan, sudah ada tanda-tanda persalinan, namun kemajuannya lambat, sehingga diakselerasi menjadi cepat. Indikasi pokok untuk induksi persalinan: 1. Untuk janin yang masih dalam kandungan, pertimbangannya adalah kondisi ekstrauterin akan lebih baik daripada intrauterin, atau kondisi intrauterin lebih tidak baik atau mungkin membahayakan. 2. Untuk ibu, pertimbangannya adalah menghindari / mencegah / mengatasi rasa sakit atau masalah lain yang dapat membahayakan nyawa ibu. Metode induksi persalinan: a.
Surgical 1.
Melepaskan
/
memisahkan
kantong ketuban dari segmen bawah uterus (stripping), atau 2. Memecahkan selaput kantong ketuban (amniotomi)
18
selaput
Stripping, dapat dengan cara : 1.
manual (dengan jari tengah / telunjuk dimasukkan dalam kanalis servikalis)
2.
dengan balon kateter Foley yang dipasang di dalam segmen bawah uterus melalui kanalis servikalis, diisi cairan (dapat sampai 100 cc pada Foley no.24), diharapkan akan mendorong selaput ketuban di daerah segmen bawah uterus sampai terlepas.
Amniotomi dilakukan dengan cara, selaput ketuban dilukai / dirobek dengan menggunakan separuh klem Kocher (ujung yang bergigi tajam), steril, dimasukkan ke kanalis servikalis dengan perlindungan jari-jari tangan. b. Medisinal Dengan menggunakan obat-obat untuk stimulasi aktifitas uterus, misalnya
spartein
sulfat,
prostaglandin
(misoprostolderivat
prostaglandin) atau oksitosin. 2.
Seksio sesarea Operasi seksio caesarea bukan merupakan indikasi pada kasus preeklampsia
dan eklampsia.
Seksio hanya
dilakukan
jika
terdapat
kontraindikasi persalinan pervaginam atau jika terdapat kegagalan dalam induksi persalinan serta adanya indikasi obstetrik tambahan.12 Indikasi dilakukannya operasi Caesar adalah : 1.
Indikasi ibu a.
CPD
b.
Bekas luka, atresia atau stenosis traktus genitalis
c.
Neoplasma
d.
Gagal dalam kemajuan perrsalinan
e.
Operasi Caesar sebelumnya sudah 2 kali dilakukan
f.
Histerektomi
g.
Miomektomi ekstensif
h.
Dalam beberapa kasus dengan jahitan serviks atau repair pada pasien yang inkompeten
i.
Hemorargik antepartum (placenta previa) 19
j.
Gagal induksi
2.
Indikasi bayi a.
Fetal distress
b.
Riwayat obstetrik
c.
Prolaps tali pusat
d.
Insufisiensi plasenta, IUGR, lebih bulan dan ketika telah diinduksi gagal
e.
Ibu dengan DM dan ketika diinduksi gagal
f.
Inkomptabiliti Rh-ketika induksi gagal dan persalinan pervaginam susah dilaksanakan dan untuk kasus sisa janin
g.
Caesaria postmortem- biasanya jarang berhasil
h.
Infeksi herpes tipe II dengan membrane yang intak
i.
Malpresentasi dan malposisi
j.
Presentasi kaki
3.
Lain-lain a.
Primitua
b.
Operasi sukses untuk kasus fistula vesikovaginal dan stress inkontinensia
c.
Anomali uterus kongenital
d.
Gagal persalinan dengan alat
Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea. Bila sudah inpartu : 1.
Pada kala I fase laten dapat dilakukan amniotomi yang dilanjutkan dengan pemberian tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop > 6. Pada fase aktif dilakukan amniotomi. Bila his tidak adekuat diberikan tetes oksitosin dan bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap dilakukan seksio sesarea. Amniotomi dan tetes oksitosin dilakukan sekurangkurangnya 15 menit setelah pemberian pengobatan medisinal.
2.
Pada persalinan pervaginam maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. 20
Dalam persalinan, usaha ibu untuk meneran terbatas karena kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan darah. Apabila syarat-syarat sudah terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan partus buatan. Meskipun demikian bila keadaan ibu dan bayi baik, usaha meneran ibu dapat dilanjutkan dan bayi dapat lahir spontan. 2.
Konservatif Indikasinya adalah bila kehamilan preterm < 37 minggu tanpa disertai tandatanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri. Pengelolaan preeklampsia dapat berupa pengobatan jalan dan di Rumah Sakit. Pengobatan jalan hanya mempunyai tempat kalau preeklampsia ringan sekali misalnya kalau tensi kurang dari 140/90 mmHg dan edema serta proteinuria tidak ada atau ringan sekali. Anjuran diberikan pada pasien semacam ini adalah :
Istirahat sebanyak mungkin di rumah
Penggunaan garam dikurangi
Pemeriksaan kehamilan harus 2 kali seminggu
Dapat juga diberikan sedativa dan obat-obat antihipertensi
Mengetahui tanda-tanda bahaya
Pengobatan di Rumah Sakit indikasinya ialah : Tensi 140/90 atau lebih Proteinuria positif kuat ( ++ ) Tambah berat 1½ kg atau lebih dalam seminggu Selanjutnya perawatan dan pengobatan dilakukan sebagai berikut : Istirahat rebah dalam kamar yang tenang dan tidak silau Makanan yang sedikit mengandung garam (3 Gram sehari); protein harus cukup Cairan yang diberikan ± 3000 cc Berikan sedasi kuat selama 24 jam untuk mencegah kejang-kejang, misalnya dengan menyuntikkan morphine 20 mg disusul dengan barbiturat (luminal
21
sodium 100 mg tiap 6 jam), walau tindakan ini sudah ditinggalkan karena ikut menimbulkan efek sedasi pada janin. Pengelolaan Obstetrik 1.
Selama perawatan konservatif, tindakan observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, termasuk pemeriksaan tes tanpa kontraksi dan USG untuk memantau kesejahteraan janin7 , pemeriksaan air ketuban dengan amniocentesis dan amnioskopi (dilakukan setelah minggu ke 32 diilangi tiap 2 hari, cephalometri mengukur diameter biparietalis sehingga induksi persalinan pada anak yang terlalu kecil dapat dihindarkan ( >9 cm), kardiografi, dan penentuan estrogen dalam urine6
2. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan selambat-lambatnya dalam waktu 24jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medokamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda-tanda preeklampsia ringan. Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin, usaha utama ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita eklampsia. Berikut adalah beberapa komplikasi yang ditimbulkan pada pre-eklampsia berat dan eklampsia :1 o Solutio Plasenta, Biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. o Hipofibrinogemia, Kadar fibrin dalam darah yang menurun. o Hemolisis, Penghancuran dinding sel darah merah sehingga menyebabkan plasma darah yang tidak berwarna menjadi merah. o Perdarahan Otak Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita eklampsia o Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung selama seminggu. o Edema paru, pada kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena penyakit jantung. o Nekrosis hati, nekrosis periportan pada pre-eklampsia, eklamsi merupakan akibat vasopasmus anterior umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia.
22
o Sindrome Hellp, Hemolysis, elevated liver enymes dan low platelete. o Kelainan ginjal, kelainan berupa endoklrosis glomerulus, yaitu pembengkakkan sitoplasma sel endotial tubulus. Ginjal tanpa kelainan struktur lain, kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal. o Komplikasi lain, lidah tergigit, trauma dan faktur karena jatuh akibat kejang kejang preumania aspirasi, dan DIC (Disseminated Intravascular Coogulation) o Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uteri. Pada pasien di kasus terjadi kondisi yang dinamakan HELLP syndrome, dimana merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering terlambat. Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi (Tabel 1). Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.
Sindroma HELLP merupakan salah satu keadaan preeklampsia yang memburuk yang dapat didiagnosis dengan parameter laboratorium, sementara proses kerusakan
23
endotel juga terjadi diseluruh sistem tubuh, karenanya diperlukan suatu parameter yang lebih dini dimana preeklampsia belum sampai menjadi perburukan, dan dapat ditatalaksana lebih awal yang akan menurunkan terutama morbiditas dan mortalitas ibu, dan mendapatkan janin se-viable mungkin. Pada pemeriksaan darah tepi terdapat bukti-bukti hemolisis dengan adanya kerusakan sel eritrosit, antara lain burr cells, helmet cells. Hemolisis ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH). Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate transaminase (AST/GOT), Alanin Transaminase (ALT/GPT), dan juga peningkatan LDH. Semakin lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi dan hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, bila keadaan semakin parah dimana trombosit sampai dibawah 50.000 /ml biasanya akan didapatkan hasil-hasil degradasi fibrin dan aktivasi antitrombin III yang mengarah terjadinya Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC). Insidens DIC pada sindroma hellp 438%. Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis.
1. Hemolisis Kelainan apusan darah tepi Total bilirubin > 1,2 mg/dl Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L 2. Peningkatan fungsi hati Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L 3. Jumlah trombosit yang rendah Hitung trombosit < 100.000/mm Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasikan dengan nama “ klasifikasi Mississippi “ CLASS Kelas I
DESCRIPTION Kadar trombosit ≤ 50.000/ml LDH ≥600 IU/l AST dan atau ALT ≥40IU/l
24
Kelas II
Kadar trombosit antara >50.000 ≤100.000/mm
Kelas III
LDH ≥600 IU/l AST dan atau ALT ≥40IU/l Kadar trombosit antara >100.000 ≤150.000/mm LDH ≥600IU/l AST dan atau ALT ≥40IU/l Tabel 2. Klasifikasi sindrom Hellp
Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal.Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III. GEJALA KLINIS Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP. Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain. Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolic
110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolic 90
mmHg. PENATALAKSANAAN Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah. Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv. Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio
25
plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol, Normodyne dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan. Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat. Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason. Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup, pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP. Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan
26
aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam. Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik. Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari. Penanganan sindrom HELLP post partum sama dengan
pasien sindrom HELLP
anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.
27
Tabel 3. Penanganan Sindrom HELLP
KOMPLIKASI Komplikasi terhadap ibu Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati.
Komplikasi terhadap bayi Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernafasan (RDS).
28
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
1.
Cunningham FG, Leveno KJ, Gant NF, Gilstrap L.C, Houth J.C, Wenstrom K.D. William Obstetrics 21th¬ ed.London: McGraw-Hill,2001: 567-618.
2.
James DK, Steer PJ, Weiner CP, Gonik B. High Risk Pregnancy, Management Options 2nd ed. London : WB Sounders Company, 2001 : 639- 51.
3.
Roeshadi RH. Hipertensi dalam kehamilan : Bandung, 2000
4.
Prawirohardjo, Sarwono : Hipertensi Dalam Kehamilan dalam Ilmu Kebidanan, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010\
5.
Report of the Working Group on Research on Hypertension During Pregnancy (2001). National Heart, Lung and Blood Institute. Retrieved October 24, 2004 from : http://www.nhlbi.nih.gov/resources/hyperten-preg/#background
6.
Report of the National High Blood Presure Education Program Working Group on High Blood Presure in Pregancy, 2001, Am Fam Physician
29