BAB II LAPORAN KASUS I. Identitas Pasien
Nama
: Ny.W
Usia
: 46 Tahun
Alamat
: Kaliampel 11/02 Malingmati
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Tanggal masuk
: 5 Juli 2017
No. RM
: 10.14.11
II. Anamnesis
1.
Keluhan Utama : Nyeri seluruh tubuh
2.
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh tubuh sekitar 3 hari, selain itu pasien juga mengeluhkan mual dan muntah kira kira 2x/hari, badan terasa bengkak di seluruh tubuh dan muncul garis garis merah kebiruan di sekitar perut,payudara dan kaki. Sempat BAB cair satu hari yang lalu. Selain keluhan di atas pasien mengeluhkan sariawan di mulut sehingga menyebabkan rasa sakit saat makan dan minum. Kini pasien semakin lemas dan sulit untuk berjalan.
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Sakit Serupa
: Disangkal
- Riwayat penggunaan obat
: Diakui, rutin minum obat pegel linu
- Riwayat perdarahan
: Disangkal
- Riwayat hipertensi
: Diakui, Jarang kontrol ke puskesmas/RS
- Riwayat DM
: Disangkal
- Riawayat penyakit hati
: Disangkal
- Riwayat penyakit ginjal
: Disangkal
- Riwayat penyakit Jantung
: Diakui, pembesaran jantung
- Riwayat alergi
: Disangkal
4.
5.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Sakit Serupa
: Disangkal
- Riwayat perdarahan
: Disangkal
- Riwayat hipertensi
: Disangkal
- Riwayat DM
: Disangkal
- Riawayat penyakit hati
: Disangkal
- Riwayat penyakit ginjal
: Disangkal
- Riwayat alergi
: Disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan di tanggung KIS. Kesan ekonomi kurang. 6.
III.
Anamnesis Sistem
- Kepala
: pusing (+) nyeri kepala (+),
- Mata
: pandangan kabur (+) mata berat
- Telinga
: berdenging (-), pendengaran berkurang (-)
- Hidung
: mimisan (-), lendir (-)
- Mulut
: bibir kering (-), sariawan (-), gusi berdarah (-)
- Sist. Respirasi
: batuk berdahak (-)
- Sist. Kardiovas
: nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
- Sist. Pencernaan
:Muntah (+) nyeri perut (-) kembung (-)
- Sist. Perkemihan
: BAK (+) normal.
- Muskuloskeletal
: nyeri kedua kaki, sulit berjalan
Pemeriksaan Fisik General
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 6 Juli 2017 Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Gizi
: Baik
Tanda vital
TD
: 140/100 mmHg
Nadi
: 75x/menit
Pernafasan
: 24x/menit
Suhu
: 36,7°C
Kepala :
Mata :konjungtiva anemis (+/+), skelra ikterik (-/-) mata sembab
Leher : pembesaran kelenjar limfonodi (-) Muka bulat terlihat seperti wajah sembab (moon face) Thoraks:
:
Jantung
Inspeksi : ictus cordis (-) Palpasi Perkusi
: thrill (-), ictus cordis teraba di 1 cm lateral linea mid clavicula SIC III : batas jantung membesar
Auskultasi :bunyi jantung I-II (N), bunyi jantung tambahan (-), bising jantung (-)
Paru : Inspeksi
: pektus ekskavatus (-), barel chest (-)
Palpasi
: fremitus taktil (n)
Perkusi
: sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi
: suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-), ronkhi
Abdomen
Inspeksi
: Bentuk cembung bergelambir, terdapat striae di perut dan di payudara
Auskultas : Bising usus 18 kali permenit Perkusi
: Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi
: Supel, nyeri tekan ringan di daerah ulu hati. Hepar: tidak teraba, Lien : tidak teraba, Ginjal : tidak teraba.
Ekstremitas
Superior
IV.
Inferior
Akral dingin
(-/-)
(-/-)
Edema
(+/+)
(+/+)
Sianosis
(-/-)
(-/-)
CRT
< 2dtk
<2dtk
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
-
Glukosa sewaktu
: 108 (<200 mg%)
-
Leukosit
: 18.800 (5000-10000/mm3)
-
Eritrosit
: 3,5 (3,6-5,2 juta/mm3)
-
Hemoglobin
: 12,8 (14-18 g/dl)
-
Hematokrit
: 32 (38-46%)
-
Trombosit
: 253.000 (150-400 ribu/mm 3)
-
Ureum
: 17 mg/dl
-
Creatinin
: 0.97 mg/dl
-
SGOT
: 28,8 u/l
-
SGPT
: 143 u/l
-
Asam urat
: 7,7 mg/dl
-
Cholesterol
: 71 mg/dl
-
Trigliserid
: 289 mg/dl
V.
Diagnosis Utama
Chusing syndrome VI.
Diagnosis Tambahan Kardiomegali, dislipidemia, Osteotritis, Gout dan Anemia ringan
VII.
Diagnosis Banding
Addison disease
VIII. Rencana Terapi
Terapi Medikamentosa : -Infus Nacl 0,9% 20 tpm
-Inj Omeprazol 1x1 -Captopril 2x 12,5mg - Fenofibrat 1x 300mg -Ketokonazol 1x200 -Meloxicam 2x15mg -Sucralfat syr 3x C1 -Candistatin 3x II tetes
Monitoring :
- Keadaan umum - Tanda vital
Edukasi
:
- Menjelaskan penyakit pasien dan faktor penyebabnya - Menjelaskan pemeriksaan lebih lanjut jika di butuhkan - Menganjurkan istirahat untuk mengembalikan stamina - Menjelaskan akan dilakukan pengambilan darah rutin untuk monitoring sel darah didalam tubuh
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom Cushing adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. (Price, 2005). Syndrome cushing adalah Gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukokortikoid plasma jangka panjang dalam dosisi farmakologik (latrogen).(Wiliam F. Ganang , Fisiologi Kedokteran, Hal 364). Syndrome cushing adalah Di sebabkan oleh skres berlebihan steroid adrenokortial terutama kortisol.(IDI). Edisi III Jilid I, hal 826). Syndrome Cuhsing adalah Akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal. (Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15 Hal 1979). Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemeberian dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. (Sylvia A. Price; Patofisiolgi, Hal. 1088)
B. Etiologi
Sindrom cushing disebabkan oleh pemberian glukortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan akibat gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (spontan). Sindrom cushing terjadi ketika jaringan tubuh yang terkena tingkat tinggi kortisol terlalu lama. Banyak orang mengembangkan sindrom cushing karena mereka mengambil hormon glukokortikoid-steroid yang secara kimiawi mirip dengan kortisol yang diproduksi secara alami seperti prednisone untuk asma, rheumatoid arthritis, lupus, dan penyakit inflamasi lainnya. Bahan tersebut juga digunakan untuk menekan sistem kekebalan tubuh setelah transplantasi untuk menjaga tubuh dari menolak organ baru atau jaringan. Orang lain mengembangkan sindrom cushing
karena
tubuh
mereka
memproduksi
terlalu
banyak
hormon
kortisol.
Penyebab paling umum dari sindrom Cushing adalah pemberian glukokortikoid eksogen ditentukan oleh seorang praktisi kesehatan untuk mengobati penyakit lain (disebut
sindrom cushing iatrogenik's). Hal ini dapat menjadi efek pengobatan steroid dari berbagai gangguan seperti asma dan rheumatoid arthritis, atau dalam imunosupresi setelah transplantasi organ. Penambahan ACTH sintetik juga mungkin, tapi ACTH kurang sering diresepkan karena biaya dan kegunaan yang lebih rendah. Meskipun jarang, Sindrom Cushing juga dapat disebabkan penggunaan medroksiprogesteron. Selain itu, beberapa kekacauan sistem tubuh sendiri akan merespon untuk mensekresi kortisol. Biasanya, ACTH dilepaskan dari kelenjar pituitari bila diperlukan untuk merangsang pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal. Dalam pituitari Cushing, seorang adenoma jinak mengeluarkan ACTH hipofisis. Ini juga dikenal sebagai penyakit Cushing dan bertanggung jawab atas 70% dari sindrom Cushing endogen's. Sindrom Cushing juga disebabkan oleh tumor hipofisis atau tumor yang melepaskan ACTH (Niemen, 2005).
Pada tumor korteks adrenal dapat terjadi tanpa bergantung pada kontrol ACTH yang dengan kemampuannya untuk menyekresi kortisol secara autonomi dalam korteks adrenal. Tumor korteks adrenal yang akhirnya menjadi sindrom cushing yang jinak (adenoma) atau yang ganas (karsinoma). Adenoma korteks adrenal dapat menyebabkan sindrom cushing berat, namun biasanya berkembang secara lamba dan gejala dapat timbul
bertahun-tahun
sebelum
diagnosis
ditegakkan.
Sebaliknya,
karsinoma
adreokortikal berkembang secara cepat dan dapat menyebabkan metastasis serta kematian (Niemen, 2005).
C. Patofisiologi
Penyebab cushing sindrom adalah peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Untuk lebih memahami manifestasi klinik sindrom chusing, kita perlu membahas akibat-akibat metabolik dari kelebihan glikokorikoid. Korteks adrenal mensintesis dan mensekresi empat jenis hormon:
a. Glukokortikoid. Glukokortikoid fisiologis yang disekresi oleh adrenal manusia adalah kortisol b. Mineralokortikoid. Mineralokortikoid yang fisiologis yang diproduksi adalah aldosteron, c. Androgen d. Estrogen Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan keadan-keadaan seperti dibawah ini: 1. Metabolisme protein dan karbohidrat.
Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein, menyebabkan menurunnya kemampuan sel-sel pembentk protein untuk mensistesis protein, sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit, otot, pembuluh darah, dan tulang. Secara klinis dapat ditemukan: Kulit mengalami atropi dan mudah rusak, luka- luka sembuh dengan lambat. Ruptura serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan tanda regang pada kulit berwarna ungu (striae). Otot-otot mengalami atropi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong vaskule menyebabkan mudah timbul luka memar. Matriks protein tulang menjadi rapuh dan menyebabkan osteoporosis, sehingga dapat dengan mudah terjadi fraktur
patologis.
Metabolisme
karbohidrat
dipengaruhi
dengan
merangsang
glukoneogenesis dan menganggu kerja insulin pada sel-sel perifer, sebagai akibatnya penderita dapat mengalami hiperglikemia. Pada seseorang yang mempunyai kapasitas produksi insulin yang normal, maka efek dari glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi insulin untuk meningkatkan toleransi glukosa. Sebaliknya penderita dengan kemampuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan tersebut, dan menimbulkan manifestasi klinik DM.
2. Distribusi jaringan adiposa. Distribusi jaringan adiposa terakumulasi didaerah sentral tubuh Obesitas Wajah bulan (moon face). Memadatnya fossa supraklavikulare dan tonjolan servikodorsal (punguk bison), Obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawah yang kurus akibat atropi otot memberikan penampilan klasik perupa penampilan Chusingoid.
3. Elektrolit
Efek minimal pada elektrolit serum. Kalau diberikan dalam kadar yang terlalu besar dapat menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium. Menyebabkan edema, hipokalemia dan alkalosis metabolic.
4. Sistem kekebalan Ada dua respon utama sistem kekebalan; yang pertama adalah pembentukan antibody humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat ransangan antigen yang lainnya tergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T yang tersensitasi.
Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibody humoral dan menghabat pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limpoid pada respon primer terhadap anti gen. Gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini: Proses pengenalan antigen awal oleh sel-sel sistem monosit makrofag. Induksi dan proleferasi limfosit imunokompeten.
Produksi
anti
bodi.
Reaksi
peradangan.
Menekan
reaksi
hipersensitifitas lambat.
5. Sekresi lambung Sekeresi asam lambung dapat ditingkatkan sekresi asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat. Faktor-faktor protekitif mukosa dirubah oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah terjadinya tukak.
6. Fungsi otak Perubahan psikologik terjadi karena kelebihan kortikosteroid, hal ini ditandai dengan oleh ketidak stabilan emosional, euforia, insomnia, dan episode depresi singkat.
7. Eritropoesis Involusi jaringan limfosit, rangsangan pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoiesis. Namun secara klinis efek farmakologis yang bermanfaat dari glukokortikoid adalah kemampuannya untuk menekan reaksi peradangan. Dalam hal ini glukokortikoid dapat menghambat hiperemia, ekstra vasasi sel, migrasi sel, dan permeabilitas kapiler, menghambat pelapasan kiniin yang bersifat pasoaktif dan menekan fagositosis. Efeknya pada sel mast; menghambat sintesis histamin dan menekan reaksi anafilaktik akut yang berlandaskan hipersensitivitas yang dperantarai anti bodi. Penekanan peradangan sangat deperlukan, akan tetapi terdapat efek anti inflamasi yang merugikan penderita. Pada
infeksi akut tubuh mungkin tidak mampu melindungi diri sebagai layaknya sementara menerima dosis farmakologik.
D. Manifestasi Klinis
Gejala sindrom cushing salah satunya adalah terjadi peningkatan berat badan yang cepat, terutama dari badan dan wajah dari anggota badan (obesitas sentral). Tanda umum lainnya adalah pertumbuhan bantalan lemak di sepanjang tulang leher dan di bagian belakang leher (punuk kerbau) dan wajah bulat sering disebut sebagai moon face. Gejala lain termasuk hiperhidrosis (keringat berlebihan), telangiectasia (pelebaran kapiler), penipisan kulit yang menyebabkan mudah memar dan kekeringan, khususnya tangan dan selaput lendir, ungu atau merah striae. Berat badan pada sindrom cushing akan meregangkan kulit yang tipis dan lemah hingga menyebabkan perdarahan pada pantat, lengan, kaki atau payudara. Selain itu, kelemahan otot proksimal (pinggul, bahu), dan hirsutisme (wajah laki-pola pertumbuhan rambut), kebotakan dan atau menyebabkan rambut menjadi sangat kering dan rapuh. Dalam kasus yang jarang terjadi, sindrom cushing dapat menyebabkan hiperkalsemia, yang dapat menyebabkan nekrosis kulit. Kelebihan kortisol juga dapat mempengaruhi sistem endokrin lainnya dan menyebabkan insomnia, menghambat aromatase, libido berkurang, impotensi, amenorea / oligomenore dan infertilitas akibat peningkatan di androgen (Govindan, 2006).
Pasien dengan sindrom cushing akan sering mengalami gangguan psikologis, mulai dari euforia ke psikosis. Depresi dan kecemasan juga umum. Perubahan kulit lainnya mencolok yang mungkin muncul dalam sindrom Cushing termasuk jerawat, kerentanan terhadap infeksi dermatofit dan malassezia dangkal, dan karakteristik keunguan, striae atrofi pada perut. Tanda-tanda lainnya termasuk poliuria, hipertensi persisten (karena peningkatan kortisol tentang efek vasoconstrictive epinefrin) dan resistensi insulin (terutama umum dalam produksi ACTH ektopik), menyebabkan hiperglikemia (gula darah tinggi) dan resistensi insulin yang dapat menyebabkan diabetes mellitus. Resistensi insulin ini disertai dengan perubahan kulit seperti nigricans acanthosis di ketiak dan di sekitar leher, serta tanda kulit di ketiak. Sindrom Cushing yang tidak diobati dapat menyebabkan penyakit jantung dan kematian meningkat. Sindrom Cushing karena kelebihan ACTH juga dapat mengakibatkan hiperpigmentasi, Hal ini disebabkan produksi hormon yang merangsang melanosit sebagai produk sampingan dari sintesis ACTH dan dari Pro-opiomelanocortin (POMC). Kortisol juga dapat menunjukkan aktivitas mineralcorticoid dalam konsentrasi tinggi, memperburuk hipertensi dan menyebabkan hipokalemia (umum di sekresi ACTH ektopik). Selanjutnya, gangguan pencernaan, infeksi oportunistik dan gangguan penyembuhan luka (kortisol adalah hormon stres, sehingga menekan respon imun dan inflamasi). Osteoporosis juga merupakan
masalah
dalam
sindrom
Cushing
karena,
sebagaimana
disebutkan
sebelumnya, membangkitkan respon stres kortisol seperti. Akibatnya, perawatan tulang (dan jaringan lainnya) menjadi sekunder untuk pemeliharaan respon stres. Selain itu, Cushing dapat menyebabkan sakit sendi, terutama di pinggul, bahu, dan punggung bawah (Govindan, 2006).
Kadar kortikosteroid tinggi setiap waktu meningkatkan tekanan darah, melemahkan tulang (osteoporosis), dan mengurangi perlawanan terhadap infeksi. Resiko terbentuknya batu ginjal dan diabetes meningkat, dan gangguan mental, termasuk depresi dan halusinasi, bisa terjadi. Wanita biasanya memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur. Anak dengan sindrom cushing lambat tumbuh dan tetap pandek. Pada beberapa orang, kelenjar adrenal juga menghasilkan androgen dalam jumlah besar (testosteron dan hormon sejenisnya), menyebabkan moon face dan bulu rambut tubuh pada wanita dan kebotakan (Govindan, 2006).
E. Diagnosis
Diagnosis sindrom Cushing bergantung pada kadar produksi kortisol dan kegagalan menekan produksi kortisol secara normal bila diberikan deksametason. Untuk skrining awal dilakukan ters supresi deksamet ason tengah malam. Pada kasus sulit (Obesitas), pengukuran kortisol bebas urin 24 jam juga bisa digunakan sebagai tes skrining awal. Bila kadar kortisol bebas urin lebih tinggi dari 275 nmol/dl (100 mikrogram/dL), diagnosis defenitif ditetapkan bila gagal menurunkan kortisol urin menuju ke <80nmol atau kortisol plasma turun ke <140nmol setelah tes supresi deksametason dosis-rendah standar (0,5 mg setiap 6 jam selama 48 jam). Langkah yang digunakan
untuk
membedakan
pasien
dengan
ACTH secreting
pituitary
microadenoma atauhypothalamic pituitary disfunction dengan bentuk sindrom Cushing yang lain adalah dengan menentukan respon pengeluaran kortisol terhadap pemberian deksametason dosis tinggi (2 mg setiap 6 jam selama 2 hari). Kadar ACTH plasma digunakan untuk membedakan berbagai penyebab sindrom Cushing, terutama memisahkan penyebab tergantung-ACTH dari tak tergantung-ACTH. Pada sindrom ACTH ektopik , kadar ACTH bisa meningkat diatas 100 pmol/L (500pg/mL), dan kebanyakan pasien kadar ACTH berada di atas 40pmol/L (200pg/mL). Pada sindrom Cushing sebagai akibat mikroadenoma atau disfungsi hipothalamik pituitari,
kadar
ACTH
berkisar
dari
6-30pmol/L
(30-150pg/mL)[normal
<14pmol/L(<60pg/mL)] Beberapa pemeriksaan tambahan seperti tes infus metirapon dan CRH, sedangkan pasien dengan tumor yang memproduksi ACTH ektopik tidak. Penggunaan tes infus
CRH tidak memastikan karena jumlah penelitian yang telah dilakukan terbatas dan CRH tidak tersedia. Diagnosis adenoma adrenal yang menghasilkan kortisol disangkatkan dengan peningkatan tidak proporsional kadar kortisol bebas basal urin dengan hanya perubahan sedang pada 17-ketosteroid urin atau DHEA sulfat plasma. Sekresi estrogen adrenal pada pasien ini biasanya menurun sehubungan dengan supresi ACTH yang diinduksi-kortisol dan involusi zona retikularis yang menghasilkan andrgogen. Diagnosis karsinoma adrenal disangkatkan dengan massa abdomen yang teraba dan peningkatan nilai basal 17-ketosteroid urin dan DHEA sulfat plasma. Evaluasi radiologik berupa CT scan bernilai untuk menemukan lokalisasi tumor adrenal dan untuk mendiagnosis hiperplasia bilateral. Semua pasien hipersekresi ACTH hipofisis harus mengalami pemeriksaan pencitraan MRI scan hipofisis dengan bahan kontras gadolinium.
F.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pada pemeriksaan laboratorium sederhana, didapati limfositofeni, jumlah netrofil antara 10.000 – 25.000/mm3. eosinofil 50/ mm3 hiperglekemi (Dm pada 10 % kasus) dan hipokalemia.
2. Pemeriksaan laboratorik diagnostik. Pemeriksaan kadar kortisol dan “overnight dexamethasone suppression test” yaitu memberikan 1 mg dexametason pada jam 11
malam, esok harinya diperiksa lagi kadar kortisol plasma. Pada keadaan normal kadar ini menurun. Pemerikaan 17 hidroksi kortikosteroid dalam urin 24 jam (hasil metabolisme kortisol), 17 ketosteroid dalam urin 24 jam.
3. Tes-tes khusus untuk membedakan hiperplasi-adenoma atau karsinoma :
a. Urinary deksametasone suppression test. Ukur kadar 17 hidroxikostikosteroid dalam urin 24 jam, kemudian diberikan dexametasone 4 X 0,5 mg selama 2 hari, periksa lagi kadar 17 hidroxi kortikosteroid bila tidak ada atau hanya sedikit menurun, mungkin ada kelainan. Berikan dexametasone 4 x 2 mg selama 2 hari, bila kadar 17 hidroxi kortikosteroid menurun berarti ada supresi-kelainan adrenal itu berupa hiperplasi, bila tidak ada supresi kemungkinan adenoma atau karsinoma.
b. Short oral metyrapone test. Metirapone menghambat pembentukan kortisol sampai pada 17 hidroxikortikosteroid. Pada hiperplasi, kadar 17 hidroxi kortikosteroid akan naik sampai 2 kali, pada adenoma dan karsinoma tidak terjadi kenaikan kadar 17 hidroxikortikosteroid dalam urine.
c. Pengukuran kadar ACTH plasma.
d. Test stimulasi ACTH, pada adenoma didapati kenaikan kadar sampai 2 – 3 kali, pada kasinoma tidak ada kenaikan (Mansjoer, 2007).
G. Penatalaksanaan
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
a. Jika dijumpai tumor hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor tranfenoida.
b. Jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis.
c. Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik.
d. Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/ terapi pembedahan.
e. Digunakan obat dengan jenis metyropone, amino gluthemide yang bisa mensekresikan kortisol H. Komplikasi
1. Osteoporosis 2. Diabetes Melitus 3. Hipertensi 4. Krisis addison
I.
Prognosis
Sindrom Cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa tahun oleh karena gangguan kardiovaskular dan sepsis. Setelah pengobatan radikal kelihatan membaik, bergantung kepada apakah gangguan kerusakan kardiovaskular irreversible. Pengobatan substitusi permanent memberikan resiko pada waktu pasien mengalami stress dan diperlukan perawatan khusus. Karsinoma adrenal atau yang lainnya cepat menjadi fatal oleh karena kakeksia dan/atau metastasis.
BAB IV KESIMPULAN
Hipotalamus mensekresi CRF, yang mengatur sekresi ACTH oleh hipofisis anterior. ACTH kemudian akan merangsang korteks adrenal menghasilkan hormone adrenokortikal. Adanya desakan massa tumor di hipofisis dalam sela tursika mengakibatkan pasien merasa pusing. Wajah moon face diakibatkan adanya penumpukan lemak khas gejala Cushing Sindrom. Striae dan lemah yang dirasakan pasien terjadi akibat mobilisasi protein dari jaringan otot. Amenore dan rambut yang tumbuh berlebih adalah konsekuensi dari berlebihnya sekresi adrenal. Hiperpigmentasi terjadi karena meningkatnya sekresi ACTH yang juga menentukan pembentukan melanin. Sifat retensi Na yang juga dimiliki oleh kortisol menyebabkan terjadi hipertensi pada kasus hiperkortisisme. Diagnosis Cushing Sindrom didasarkan pada gejala-gejala klinis, hasil pemeriksaan CT Scan, dan dexamethason- test. Penatalaksanaan primer Cushing Sindrom adalah dengan tindakan operasi tumor hipofisis atau pengangkatan kelenjar adrenal. Sedangkan pilihan kedua adalah dengan obat – obatan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, Suphohaita dan Wahyu Ika Wardhani, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua Guyton & Hall. 2006. Medical Physiology Eleventh Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi 2. Jakarta : EGC. Robbins, Cotran, Kumar. 1996. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC. Sudoyo, Aru W, dkk (editor). 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.