BAB I PENDAHULUAN
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count) merupakan suatu variasi dari preeklamsia berat yang disertai trombositopenia, hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Sindrom HELLP juga merupakan suatu komplikasi obstetri yang mengancam jiwa. Sindrom HELLP dulu dikenal sebagai edema-proteinuria-hipertensi pada awal abad ke 20 dan kemudian berganti nama pada tahun 1982 oleh Louis Weinstein. 1-.3 Dahulu penyakit ini dianggap sebagai misdiagnosis preekampsia atau sebagai variasi unik dari suatu preeklamsia. Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus preeklamsia berat, eklampsia dengan komplikasi trombositopenia, kelainan sediaan apusan darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Weinstein menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala ini benar benar terpisah dari preeklamsia berat dan membentuk suatu istilah Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, Low Platelet). 4 Kejadian sindrom HELLP HELLP pada saat kehamilan (70%) paling sering terjadi pada usia kehamilan 27 – 35 minggu (70%) dan 30% terjadi pasca persalinan. Angka kejadian dilaporkan sebesar 0,2 - 0,6% dari seluruh kehamilan, dan 10 - 20% terjadi pada pasien dengan komorbid preeklamsia. Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan kematian perinatal berkisar 30-40%. Sindrom HELLP secara signifikan terbanyak pada wanita w anita berkulit putih dan wanita keturunan Eropa. Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia ibu yang lebih tua, dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya, preeklamsia paling sering terjadi pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata, rata -rata, 19 tahun).2,3 Penanganan sindrom HELLP masih kontroversial antara perawatan konservatif atau terminasi kehamilan yang jauh dari aterm. Sindrom HELLP merupakan komplikasi yang berat dari kehamilan yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal. Sindrom ini juga dihubungkan dengan keadaan penyakit yang berat atau akan berkembang menjadi lebih berat serta dengan prognosis maternal dan perinatal yang lebih buruk, walaupun angka kematian maternal dan perinatal yang dikemukakan masih sangat bervariasi mengingat perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan serta saat diagnosis ditegakkan. Penggunaan steroid diduga akan memperbaiki keadaan hematologi dan nilai biokimia pada penderita sindrom HELLP yang akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada penderita sindrom HELLP.1-3,5
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Definisi dari sindrom HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut Godlin (1982) sindrom HELLP merupakan bentuk awal dari preeklamsia berat. Weinstein (1982) melaporkan sindrom HELLP merupakan varian yang unik dari preeklamsia tetapi Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindrom ini tidak berhubungan dengan preeklamsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindrom HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated Intravascular Coagulation Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat. Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi terhadap sindrom ini, karena adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan pada waktu penelitian. Walaupun hampir semua peneliti sepakat bahwa sindrom ini merupakan petanda keadaan penyakit yang berat dan dengan prognosis yang jelek. Secara garis besar, berdasarkan terminologinya, sindrom HELLP dapat didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala hemolisis ( Hemolysis), Hemolysis), peningkatan enzim hati ( Elevated Elevated Liver Enzyme), Enzyme), dan penurunan jumlah faktor pembekuan darah ( Low ( Low Platelets Count ). ). 6 2.2.Epidemiologi
Sindrom HELLP didapati pada nulipara 68% dan pada multipara 34%. Pada nulipara usia rerata 24 tahun (16 – 40 40 tahun), dengan usia kehamilan rerata 32,5 minggu (24 – 36,5 36,5 minggu). Sedangkan pada multipara umur rerata 25,6 tahun (18 – 38 tahun) dengan usia kehamilan rerata 33,3 minggu (25 – 39 minggu). Karakteristik penderita sindrom HELLP berkulit putih, multipara dengan riwayat luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25 tahun, dan gejala muncul sebelum kehamilan aterm (<36 minggu). Gejala dapat muncul antepartum dan postpartum. Gejala sindrom HELLP pada antepartum dijumpai 69%, dimana 4% pada usia kehamilan 17-20 minggu, 11% pada usia kehamilan 21 – 26 26 minggu, dan selebihnya muncul pada pertengahan trimester ketiga. 31% gejala timbul pada postpartum Pada kasus postpartum timbulnya bervariasi antara beberapa jam sampai 6 hari setelah persalinan. Sebahagian besar muncul pada 48 jam postpartum. Pada kelompok ini, 79% penderita sindrom HELLP telah menderita preeklamsia sebelum persalinan. Namun 21% tidak menderita preeklamsia baik sebelum maupun pada saat persalinan. 7
2
2.3.Faktor Resiko
Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklamsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke III, walaupun pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post partum.2,3 2.4.Patofisiologi
Etiologi dan patogenesis dari sindrom HELLP ini selalu dihubungkan dengan preeklamsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklamsia sampai saat ini juga belum dapat diketahui dengan pasti. Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kemungkinan merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas.1,6 Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk mengungkapkan patogenesis dari preeklamsia, namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi sel endotel. Tetapi penyebab dari perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklamsia, yaitu: iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik. Sindrom HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular. 1,6,9 Sindrom ini menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler. Aktivasi platelet akan menyebabkan pelepasan tromboksan A dan serotonin, dan menyebabkan terjadinya vasospasme, aglutinasi, agregasi platelet, serta kerusakan endotelial lebih lanjut. Kaskade ini hanya bisa dihentikan dengan terminasi kehamilan.9 Kelainan hematologis timbul pada beberapa perempuan dengan preeklamsia. Salah satu kelainan yang lazim dijumpai adalah trombositopenia, yang sesekali dapat sangat hebat, sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar beberapa faktor pembekuan darah dalam 3
plasma dapat berkurang, dan eritrosit dapat memperlihatkan bentuk abnormal serta mengalami hemolisis cepat.6 Trombositopenia. Trombositopenia yang menyertai eklamsia telah digambarkan
paling tidak sejak tahun 1922 oleh Stancke. Karena lazim terjadi, hitung trombosit secara rutin diperiksa pada perempuan dangan hipertensi gestasional jenis apapun. Frekuensi dan keparahan trombositopenia bervariasi dan bergantung pada keparahan dan durasi sindrom preeklamsia, serta pada frekuensi dilakukannya pemeriksaan hitung trombosit, semakin tinggi angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Pada sebagian besar kasus, disarankan untuk dilakukan terminasi kehamilan karena trombositopenia yang terus memburuk. Setelah persalinan, hitung trombosit dapat terus menurun pada hari pertama atau beberapa hari pertama. Setelah itu, hitung trombosit biasanya meningkat secara progresif hingga mencapai nilai normal, umumnya dalam 3-5 hari. Pada sindrom HELLP, hitung trombosit terus berkurang seteah persalinan. Pada beberapa perempuan yang tidak mencapai hitung trombosit terendah dalam 48 hingga 72 jam pascapelahiran, sindrom preeklamsia dapat salah diduga sebagai salah satu mikroangiopati trombotik. 6 Hemolisis. Preeklamsia berat sering disertai oleh tanda-tanda hemolisis yang diukur
secara semikuantitatif menggunakan kadar laktat dehidrogenase dalam serum. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin. Adanya timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar, akibatnya enzim hepar akan meningkat. Proses ini terutama terjadi di hati, dan dapat menyebabkan terjadinya iskemia yang mengarah kepada nekrosis periportal dan akhirnya mempengaruhi organ lainnya. Bukti lain hemolisis tampak dari gambaran sferositosis, skizositosis, dan retikulosis dalam darah tepi. Gangguan ini disebabkan salah satunya oleh hemolisis mikroangiopati akiat kerusakan endotel disertai perlekatan trombosit dsn penimbunan fibrin. Peningkatan fluiditas membran eritrosit pada sindrom HELLP disebabkan oleh gangguan pada kadar lipid serum. Perubahan membran eritrosit, peningkatan daya lekat, dan agregasi dapat juga mempermudah terjadinya kondisi hiperkoagulabilitas. Terjadi peningkatan transaminase hepar dalam serum lazim ditemukan pada preeklamia berat dan merupakan penanda nekrosis hepatoseluler.6 Koagulasi. Perubahan ringan yang sesuai dengan koagulasi intravaskular dan yang
lebih jarang, apoptosis eritrosit lain lazim ditemukan pada preeklamsia dan khususnya eklamsia. Beberapa perubahan ini termasuk peningkatan konsumsi faktor VIII, peningkatan kadar fibrinopeptida A dan B serta produk degradasi fibrin, serta penurunan kadar protein pengatur antitrombin III, serta protein C dan S. Penyimpangan pada sistem koagulasi 4
umumnya ringan kecuali bila disertai solusio plasenta, kadar fibrinogen plasma biasanya tidak berbeda bermakna dengan kadar yang ditemukan pada kehamilan normal, dan produk degradasi fibrin hanya sesekali ditemukan meningkat. Pemeriksaan laboratorium termasuk prothrombin time, activated pertial thromboplastin time, dan kadar fibrinogen plasma, tidak diperlukan pada tatalaksana penyakit hipertensi dalam kehamilan. Faktor-faktor pembekuan lain seperti, trombofilia adalah defisiensi faktor pembekuan yang menyebabkan kondisi hiperkoagulabilitas.6 2.5.Klasifikasi
Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindrom HELLP, yaitu: 10 1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati. Pembagian sindrom HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang di dapati yaitu :
Sindrom HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu : hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr cell, schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT> 70 IU/L ; bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 .
Sindrom HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak ketiga parameter sindrom HELLP. Lebih jauh lagi sindrom HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H), Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL).
2. Berdasarkan jumlah dari trombosit. Martin (1991) mengelompokkan penderita sindrom HELLP dalam 3 kelas yaitu : kelas I jumlah trombosit £ 50.000/mm3, kelas II jumlah trombosit > 50.000 - £ 100.000/mm3 kelas III jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3
5
Tabel 1. Klasifikasi Sindrom HELLP. 1 2.6.Manifestasi Klinis
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai daignostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP. Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau kuadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%). Mual dan atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus, terdapat hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%). 1,4 Hubungan antara kenaikan tekanan darah dengan jumlah trombosit. Dimana di temukan tekanan darah sistolik berbeda secara bermakna pada ketiga kelompok pasien. Pasien dengan Kelas I (jumlah trombosit £ 50.000/mm3) ternyata lebih sering dengan tekanan darah £ 150 mmHg dibanding dengan pasien kelas II (jumlah trombosit > 50.000 - £100.000/mm3 ) dan kelas III (jumlah trombosit > 100.000 - £ 150.000/mm3), walaupun rerata puncak tekanan sistolik postpartum tidak berbeda secara bermakna. Hipertensi berat ternyata tidak dijumpai pada semua penderita dengan sindrom ini. Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice, perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai hipoglikemia, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal dan diabetes insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai pada 6
kasus sindrom HELLP yang timbulnya postpartum atau antepartum yang ditangani secara konservatif.10 2.7.Pemeriksaan Penunjang
Proses yang dinamis dari sindrom ini, sangat mempengaruhi gambaran parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. Pemeriksaan laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas mengenai nilai untuk masing-masing parameter. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian terhadap sindrom HELLP yang bertujuan untuk membuat suatu keputusan nilai batas dari masing-masing parameter.4
Gambar 1. Kriteria diagnosis Sindrom HELLP.4 a.
Hemolisis Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis, adalah dengan
didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell . Gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya hemolisis pada sindrom HELLP. Proses hemolisis pada sindrom HELLP oleh karena kerusakan dari sel darah merah intravaskuler, menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin-haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar bilirubin berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi, dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma lactic dehidrogenase (LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya peroses hemolisis. Pada wanita hamil normal kadar
7
LDH berkisar 340 – 670 IU/L. Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L.11 b.
Peningkatan Kadar Enzim Hepar. Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat oksaloasetat
transaminase/SGOT)
dan
alanine
aminotranferase
(serum
glutamat
piruvat
transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada Preeklamsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Menurut penelitian kadar SGOT lebih tinggi dari SGPT pada sindrom HELLP. Peninggian ini menunjukkan fase akut dan progresivitas dari sindrom ini. Peningkatan SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya ruptur kapsul hepar. Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 – 35 IU/L . Dan pada sindrom HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. Lactat Dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH menggambarkan terjadinya kerusakan pada sel hepar, walaupun peningkatan kadar LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. Pada sindrom HELLP kadar puncak LDH 581 – 2380 IU/L dengan rerata 1369 IU/L, dimana kadar puncak ini didapatkan pada 24 – 48 jam post partum. LDH dapat dipergunakan untuk mendeteksi hemolisis dan kerusakan hepar. Oleh sebab itu parameter ini sangat berguna dalam mendiagnosis sindrom HELLP. Peningkatan bilirubin pada preeklamsia sangat jarang, pada kasus eklampsia hanya 4 – 20%. Dan peningkatan ini jarang sampai lima kali lipat. Hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi menunjukkan hemolisis intra vaskuler. Hiperbilirubinemia yang terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada perenkim hepar.11 c.
Jumlah Trombosit yang Rendah Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang spesifik.
Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata menurun selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Pada wanita hamil normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm3. Dan pada sindrom HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3. Martin dkk (1991) melaporkan dari 158 preeklamsia berat dengan sindrom HELLP didapatkan kadar trombosit berbeda-beda. Didapatinya 19% pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit > 150.000/mm3, 35% antara 100.000 – 150.000/mm3, 31% antara 50.000 – 100.000/mm3 dan 15% <50.000/mm3. 11
8
2.8.Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklamsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah. 4 Sampai saat ini penanganan sindrom HELLP masih kontroversi. Beberapa penelitian menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta buruknya komplikasi perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu. Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif pada penelitian terhadap 128 pasien Preeklamsia dengan sindrom HELLP melaporkan bahwa dengan menunda terminasi kehamilan pada sindrom HELLP lebih aman dan berguna untuk ibu dan janin. Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu dengan pemberian kortikosteroid. 1,6,12
9
Gambar 3. Alur penanganan Sindrom HELLP. 4 Pemberian kortikosteroid baik bethametason maupun deksametason meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah trombosit, mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT, SGPT dan menurunkan LDH) serta memungkinkan untuk pemberian anastesia regional. Pemberian kortikosteroid antepartum, bethametason 12 mg / IM yang diulang 24 jam kemudian dan diberikan tiap minggu sampai persalinan pada kehamilan 26 sampai 34 minggu dapat meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian kortikosteroid antepartum, deksametason 10 mg / IV / 12 jam diberikan sampai persalinan pada kehamilan <32 minggu, mendapatkan persalinan terjadi 41 ± 15 jam setelah pemberian kortikosteroid. Mereka berpendapat dengan pemberian kortikosteroid dapat menunda persalinan, memaksimumkan status hematologis ibu, memaksimumkan sistim organ pada janin dan ibu dapat dirujuk ke pusat pelayanan dengan aman. Pemberian kortikosteroid post partum, Deksametason 10 mg / 12 jam 2 kali pemberian, dilanjutkan dengan 5 mg / 12 jam pada 24 jam dan 36 jam post 10
partum, mendapatkan penurunan tekanan darah dan peningkatan jumlah trombosit pada 24 jam post partum serta penurunan LDH dan SGOT pada 36 jam post partum. Penelitian prospektif tentang efikasi dari Deksamethason dan Betametason. Dilaporkan bahwa pemberian Deksametason 10 mg/12 jam/IV lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Betametason 12 mg/24 jam/IM. Pemberian Deksametason dapat diberikan langsung kedaerah intravaskular,dimana Betametason (tidak dapat diberikan secara intravena) harus diabsorbsi terlebih dahulu setelah pemberian secara intramuskuler. Hal ini menyebabkan terlambatnya onset of action atau berkurangnya efektifitas obat waktu sampai di pembuluh darah. Prinsip penanganan pada sindrom HELLP sama dengan preeklamsia berat. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap abnormalitas pembekuan darah. 1,6,12 Penatalaksanaan Sindrom HELLP. 12 1. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu : a. Bila terdapat DIC, koreksi faktor pembekuan b. Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus c. Penanganan hipertensi berat d. Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai e. CT- scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar subkapsular 2. Evaluasi kesejahteraan janin: a. Non Stress Test b. Profil biofisik c. Ultrasonografi biometri 3. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu a. Jika paru telah matang, segera lahirkan b. Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan Jika usia kehamilan 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan Adanya sindrom HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk terminasi kehamilan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan.1,12
11
2.9.Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, acute respiratory distress syndrome, kegagalan hepatorenal, edema paru, heatom subkapsular, dan ruptur hati. Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksia intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernapasan (RDS). 4 2.10.
Prognosis
Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko sampai 43% untuk mendapat preeklamsia pada kehamilan berikutnya. Sindrom HELLP kelas I merupakan resiko terbesar untuk berulangnya sindrom ini pada kehamilan selanjutnya. Penderita dengan normotensif sebelum menderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklamsia, 27% terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita sindrom HELLP dengan riwayat kronik hipertensi sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklamsia dan 5% kemungkinan terjadi sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya. Angka kematian ibu pada sindrom HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%), gagal ginjal akut ( 7,7%), edema pulmonum (6%), hematom hepar subkapsular (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). Isler dkk (1999) melaporkan penyebab kematian ibu pada sindrom HELLP adalah perdarahan intrakranial atau stroke ( 45%), gagal jantung paru (40%), DIC (39%), sindrom gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%), perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari kematian ibu dengan sindrom HELLP kelas I. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindrom HELLP akan mengalami pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan sindrom kegagalan pernafasan. Angka kematian bayi 5,5 %, dari 269 bayi dengan ibu sindrom HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindrom gagal nafas. Morbiditas dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan daripada ada atau tidaknya sindrom HELLP. 12
12
BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny.E
Umur
: 38 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
No. CM
: 1062556
Alamat `
: Aceh Jaya
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan
: 31-08-2015
3.2 Anamnesis Keluhan Utama : Tekanan darah tinggi dalam kehamilan Keluhan Tambahan : Bengkak kaki kiri 10 hari SMRS setelah terkena paku Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien G4P3A0 mengaku hamil 8 bulan, HPHT 15 Januari 2015, TTP 22 Oktober 2015 hamil 32 minggu. Selama ini pasien ANC teratur di bidan 4x, pasien belum pernah USG ke dokter spesialis. Pasien datang dengan tekanan darah tinggi sejak 6 hari yang sebelum masuk rumah sakit. Tekanan darah di RS 160/90 mmHg. Keluhan mules-mules ingin melahirkan disangkal, keluar air-air disangkal, keluar lendi bervampur darah disangkal. Pasien tidak mengeluhkan pandangan kabur, nyeri epigastrium, nyeri kepala, mual dan muntah. Pasien merasakan gerakan janin. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, diabetes melitus, aler gi dan asma. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama seperti pasien, riwayat hipertensi, diabetes melitus, alergi dan asma disangkal. Riwayat Penggunaan Obat
Pasien mendapatkan Vitamin selama kehamilan 13
Riwayat Kontrasepsi :
Pasien tidak menggunakan kontrasepsi.
Riwayat Menstruasi
Menarche
: usia 14 tahun
Siklus
: 28 hari
Lamanya
: 5 hari
Banyaknya
: 3-4 x/hari
Dismenore
: Tidak ada
Riwayat Perkawinan
1 kali perkawinan usia 20 tahun Riwayat Persalinan
1. Anak ke 1, laki-laki umur 16 tahun dengan BBL 3000 gr, lahir normal pv dibidan. 2. Anak ke 2, laki-laki umur 15 tahun dengan BBL 2800 gr, lahir normal pv dibidan. 3. Anak ke 3, laki-laki umur 12 tahun dengan BBL 3100 gr, lahir normal pv dibidan. 4. Anak ke 4, hamil ini.
3.3 Pemeriksaan Umum dan Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum
: Kompos mentis
Pemeriksaan Umum Tanda Vital
Tekanan Darah
:140/90 mmHg
Nadi
: 98 x/menit
Suhu
: 36,5 ºC
Pernafasan
: 20 x/menit
Tinggi Badan
: 155cm
Berat Badan
: 68 kg
BMI
: 28,3 kg/m² 14
Kepala
Mata
: Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga: Dalam batas normal
Hidung : Konka nasi inferior dalam batas normal
Mulut : swelling (-), stomatitis (-), leukoplakia (-),
Leher : Fraktur servikal (-), massa (-), pemb. kelenjar getah bening (-), TVJ R-2 cmH2O
Thoraks
Paru-paru
: Simetris, Sf kanan = Sf kiri, sonor (+/+), vesikuler (-/-), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
: BJ I> BJ II, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Asimetris sesuai masa kehamialan, distensi (-), striae alba (-), spidernaevy (-),
Palpasi
: Nyeri tekan (-). Leopold 1 presentasi bokong, TFU: 26 cm, TBJ: 2015 Leopold 2 punggung kanan, DJJ : 136x/i Leopold 3 presentasi kepala Leopold 4 belum masuk pintu atas panggul.
Perkusi
: Tidak dilakukan.
Auskultasi
: Tidak dilakukan.
Pemeriksaan dalam
: I : V/U tenang Io : Portio licin, OUE tertutup, flour albus (+), fluxus tidak ada, valsava test (+) VT: Kenyal, arah posterior, 3cm, pembukaan tidak ada.
15
Ekstremitas
Akral hangat, ekstermitas edema pada kaki sinsitra, tampak eritema pada pergelangan kaki, nyeri tekan (+), refleks patella (+)/(+) 3.4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (28 Agustus 2015) Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Hemoglobin
12,0
12,0-15,0
g/dL
Hematokrit
35
37-47
%
Eritrosit
3,8
4,2-5,4
10 6/mm³
Trombosit
277
150-450
10³/mm³
Leukosit
12,2
4,5-10,5
10³/mm³
MCV
91
80-100
Fl
MCH
32
27-31
Pg
MCHC
35
32-36
%
LED
46
<20
mm/jam
Waktu Perdarahan
2
1-7
Menit
Waktu Pembekuan
7
5-15
Menit
Eosinofil
1
0-6
%
Basofil
0
0-2
%
Darah Lengkap
Faal Hemostasis
Hitung Jenis :
16
Netrofil Batang
0
2-6
%
Netrofil Segmen
87
50-70
%
Limfosit
9
20-40
%
Monosit
3
2-8
%
Bilirubin Direct
0,50
<0,52
mg/dL
AST/SGOT
151
<31
U/L
ALT/SGPT
177
<34
U/L
Glukosa Darah Sewaktu
122
<200
mg/dL
HbA1c
5,10
<6,5
%
Ureum
11
13-43
mg/dl
Kreatinin
0,38
0,51-0,95
mg/dl
KIMIA KLINIK
HATI & EMPEDU
DIABETES
Ginjal-Hipertensi
Pemeriksaan laboratorium urinalisis (28-08-2015): Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Berat jenis
1,025
1,003-1,030
pH
6,0
5,0-9,0
Urinalisis
Makroskopik:
17
Satuan
Leukosit
Negatif
Negatif
Protein
Positif
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Keton
Negatif
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Positif
Negatif
Bilirubin
Positif
Negatif
Darah
Positif
Negatif
Mikroskopik: Sedimen urin:
Leukosit
4-6
0-5
LPB
Eritrosit
40-50
0-2
LPB
Epitel
20-25
0-2
LPK
Pemeriksaan USG
Janin tunggal hidup presentasi kepala Plasenta korpus posterior Amnion cukup BPD 84 cm FL 6,33 DJJ + AC 792 TBJ 2010 gr Kesan: janin tunggal hidup presentasi kepala 32 minggu ICA cukup.
18
3.5 Diagnosis
PEB pada G4P3A0 hamil 32 minggu JPKTH dengan selulitis + partial HELLP syndrome. 3.6 Rencana Terapi
MgSO4 4 gram bolus, maintenance 1 gram/jam selama 24 jam
Nifedipin 4x10 mg titrasi/20 menit, maintenance adalat oros 1x30 mg
NaCl 4x600
Vit. C 2x400 mg
Dexamethasone 2x6mg selama 2 hari
Ampicilin 4x500 mg
Gentamicin 2x10 mg
Bila terdapat tanda perburukan, SC cito
3.7. Tindakan
Telah dilakukan Sectio Caesarea pada pasien ini pada tanggal 28 Agustus 2015 pukul 23.00 atas indikasi PEB + Partial HELLP syndrome Lahir bayi perempuan dari Ny. E dengan : Berat Badan
: 2100 gr
Panjang Badan
: 42 cm
Apgar Score
: 8/10
Dari pemeriksaan fisik dalam batas normal HR
: 120 x/i
RR
: 88 x/i
Temperature
: 35,9 C
Tali Pusat
: Segar dan putih mengkilat
dan bayi dirawat di NICU level I dengan diagnosa Neonatus Kurang Bulan- Sesuai Masa Kehamilan dan Berat Badan Lahir Rendah + RDS
19
Terapi yang diberikan: CPAP IVFD Dex 10% Inj Cefotaxime 100 mg/ 12 jam Diet ASI 3cc/3jam Inj Gentamicin 10 mg/ 24 jam Inj Neo K 1 mg IM
20
BAB IV ANALISIS KASUS
Pasien wanita 38 tahun, hamil 32 minggu dengan hipertensi selama kehamilan. Pasien mengetahui hipertensi selama kehamilan dari hasil pemeriksaan di Rumah Sakit dengan tekanan darah 160/90 mmHg. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. Keluhan nyeri pada ulu hati disangkal, keluhan mata kabur disangkal, keluhan mual-muntah disangkal, dan keluhan nyeri kepala disangkal. Pasien juga mengeluh nyeri, bengkak, dan panas pada kaki kiri. Pasien mengaku sebelumnya kaki pasien tertusuk paku dan tidak diberikan penanganan dan pengobatan yang memadai. Pasien di diagnosis PEB pada G4P3A0 hamil 32 minggu dengan selulitis. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah pada 28 Agustus 2015, didapatkan adanya peningkatan enzim hati dengan SGOT 151 U/L dan SGPT 177 U/L, nilai trombosit normal. Sehingga pasien juga didiagnosis partial HELLP sindrom. Pasien kemudian dilakukan tindakan seksio sesasera cito atas indikasi partial HELLP sindrom tersebut. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan HbsAg dan anti-HbC untuk menyingkirkan penyebab lain dari peningkatan enzim hati. Hasil yang didapatkan negatif, sehingga pasien dapat didiagnosis sebagai partial HELLP sindrom. Dari penjelasan sebelumnya, HELLP sindrom terbagi menjadi HELLP sindrom murni dan HELLP sindrom parsial. HELLP sindrom ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan peningkatan enzim hati, trombositopenia, dan peningkatan LDH. HELLP sindrom murni adalah apabila ketiga kategori HELLP sindrom terdapat pada pasien tersebut, sedangkan HELLP sindrom parsial ditegakkan apabila hanya satu atau dua dari tiga kategori tersebut yang ada. HELLP sindrom merupakan komplikasi dari preeklamsia. Pada pasien ini, terlihat bahwa partial HELLP sindrom yang dialami didahului oleh preeklamsia. Pasien dirawat dan diobservasi untuk mencegah terjadinya perburukan dari preeklamsia dan HELLP sindrom yang diderita. Terhadap pasien ini juga dilakukan tatalaksana terhadap selulitis pedis dengan tindakan debridement, perawatan luka, dan pemberian antibiotik adekuat.
21
BAB V PENUTUP
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count) merupakan suatu variasi dari preeklamsia berat yang disertai trombositopenia, hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP. Gambaran klinis Sindrom HELLP bervariasi. Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan penunjang untuk mediagnosis Sindrom HELLP. Pasien-pasien dengan faktor risiko, diharapkan melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) secara teratur. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip dengan sindrom HELLP. Pengobatan sindrom HELLP juga harus memperhatikan cara-cara perawatan dan pengobatan pada preeklamsia dan eklamsia.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, S. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK-UI. 2009 : 530-60 2. Jayakusuma A. Sindrom HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK – UNUD. 2005. 25 – 43 3. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR. 2003: 10-19 4. Rambulangi, J. Sindrom HELLP. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. No. 151. 2006 5. Weinstein L. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy. AmJ Obstet Gynecol 1982 ; 142 : 159 – 67. 6. Cunningham, FG. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2013. 740-786. 7. Hohllagschwandtner M, Todesca DB. HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Needs Help. AmJ Obstet Gynecol 2000:182. 8. Sofoewan S. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia With and Without HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung. 2001 9. Lockwood CJ, Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In : Cohen WR. Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams Wilkins. 2000 : 207 – 26. 10. Van Dam P, Reiner M, Baekelandt M, etal. Disseminated Intravascular Coagulation and The Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit in Severe Preeclampsia. Obstet Gynecol 1989 : 73 : 97-102. 11. Bowers D, Wenk RE. Clinical Laboratory Referent Values. In : Cohen WR. Complication in Pregnancy. Ed. 5th. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000 : 873 – 81. 12. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2007.
23