LAPORAN KASUS ASMA
Pembimbing:
dr. Ratu Wulandari
Disusun oleh :
dr. Adi Tri Pamungkas
PROGRAM DOKTER INTERNSIP UPT PUSKESMAS KAMPUNG SAWAH-TANGERANG SELATAN PERIODE FEBRRUARI - JUNI 2018
DAFTAR ISI DAFTAR ISI BAB I. LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien …………………………………………………………………………….4 2. Anamnesis ………………………………………………………………………….....4 3. Pemeriksaan Fisik …………………………………………………………………………….5 4. Resume ……………………………………………………………...…………......6 5. Diagnosa Kerja …………………………………………………………………...………..6 6. Diagnosa Banding …………………………………………………………………………….6 7. Terapi …………………………………………………………………….………6 8. Prognosis ………………………………………………………………………….....7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi ………………………………………………………………………………..8 Epidemiology ……………………………………….…………………………………….....8 Patogenesis ………………………………………………………………………………..9 Klasifikasi ……………………………………………………….………………………16 Gambaran Klinis ………………….…………………………………………………………….17
2
Diagnosis ……………………………………………………………………………..17 Diagnosis Banding ……………………………………………………………………………..18 Penatalaksanaan ……………………………………………………………………………..19 Komplikasi ……………………………………………………………………………..23 Prognosis ……………………………………………………………………………..23
BAB III Kesimpulan
…………..…………………………………………………………………………25 BAB IV Daftar Pustaka
……………………………………………………………………………………..26
3
BAB I Laporan Kasus
Identitas Pasien
Nama
: Ny. L
Umur
: 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Status
: Menikah
Alamat
: Kp. Sawah
ANAMNESIS Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas disertai bunyi ”ngik ngik ”. Sesak nafas tersebut hilang timbul, pasien mengeluhkan sesak hampir setiap hari dan terasa lebih berat pada dini hari sehingga mengganggu aktivitas dan tidur . Sesak napas timbul saat cuaca dingin dan hujan serta saat pasien banyak melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan batuk tidak berdahak. Pasien merasa lebih nyaman dengan posisi duduk. Pasien terakhir kali mengeluhkan sesak tiga bulan yang lalu, Pasien pernah beberapa kali berobat jalan di rumah sakit dan didiagnosis asma. Pasien diberi obat ventolin, metilprednisolon, dan obat batuk ada perbaikan setelah minum obat tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi terhadap cuaca dingin dan hujan. Riwayat asma (+), Hipertensi (-), Diabetes melitus (-). Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tua menderita asma
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan 4
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak merokok, dan tidak minum alkohol. Pemeriksaan Umum
- Kesadaran
: Komposmentis
- Keadaan umum
: tampak sakit sedang
- Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
- Nadi
: 88x/menit
- Napas
: 32x/menit
- Suhu
: 36,6 C
Pemeriksaan Fisik Kepala
-
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat, isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya +/+.
-
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Toraks
- Paru:
Inspeksi
: bentuk thorax normal, gerakan dada kanan = kiri
Palpasi
: fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi
: sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
:ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronkhi (-/-)
- Jantung :
Inspeksi
: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Dalam batas normal
Perkusi
: Dalam batas normal
Auskultasi
: Suara jantung normal, murmur dan gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: perut datar, venektasi (-)
Palpasi
: Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai (-), clubbing finger (-),CRT <2 detik 5
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
RESUME
Ny. L, 36 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Sesak nafas tersebut hilang timbul, sesak nafas muncul hampir setiap hari dan terasa lebih berat pada dini hari. Sesak napas muncul saat cuaca dingin dan hujan serta saat pasien banyak melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan batuk tidak berdahak. Pasien berobat ke dokter dan diberi obat ventolin, metilprednisolon, dan obat batuk. Dengan minum obat tersebut, sesak nafasnya berkurang. Terakhir pasien mengalami sesak 3 bulan yang lalu. Jika pasien tidak minum obat, sesak nya kambuh. Orang tua pasien menderita asma. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ekspirasi memanjang, suara nafas tambahan yaitu wheezing.
Diagnosis
Asma Bronkial sedang pada asma persisten sedang
Diagnosis Banding
Bronkitis Kronis CHF
Penatalaksanaan
Farmakologi : -
O2 3 L/menit
- Nebulizer combivent 1 Amp -
Salbutamol 2x1 4mg
Non Farmakologi :
Hindari faktor pencetus
Kontrol poli umum
6
PROGNOSIS
Ad vitam
: ad bonam
Ad functionam
: ad bonam
Ad sanationam
: dubia
7
BAB II Tinjauan Pustaka
I.
Difinisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. II.
Epidemiologi
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian
asma
bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian. Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai me tode dan kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma bronkial sebesar
5-15%
pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada wanita dibandingkan lakilaki. Menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2 – 5 % penduduk Indonesia menderita asma. Berdasarkan laporan Heru Sundaru (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM), prevalensi asma di Bandung (5,2%), Semarang (5,5%), Denpasar (4,3%) dan Jakarta (7,5%)8. Di Palembang, pada tahun 1995 didapatkan prevalensi asma pada siswa SMP sebesar 8,7% dan siswa SMA pada tahun 1997 sebesar 8,7% dan pada tahun 2005 dilakukan evaluasi pada siswa SMP didapatkan prevalensi asma sebesar 9,2%. Penyakit Asma dapat mengenai segala usia dan jenis kelamin, 80-90% gejala timbul sebelum usia 5 tahun. Pada anak-anak, penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan,
8
sedangkan pada usia dewasa terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada anak dan bayi lebih tinggi daripada orang dewasa. Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi) dan 50% pasien asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma bronkial atopi ditandai dengan timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen seperti debu, tungau rumah, bulu binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen. Prevalensi asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. Asma bronkial merupakan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Data pada penelitian saudara kembar monozigot dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial dit urunkan sebesar 60-70%.
III. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik. Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4 + dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
9
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator . Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang
10
sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid Adapun Patogenesis asthma seperti pada gambar 2
Gambar 2 Patogenesis Asthma (Global Initiative for Asthma 2005) Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.
Faktor Risiko
Faktor Risiko Inflamasi
Hiperaktivitas
Obstruksi
Bronkus
Bronkus Faktor Risiko
Gejala
Tabel 1. Proses Terjadinya Asthma ( Departemen Kesehatan RI ;2009) Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi . Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat
11
reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
III.I Obstruksi Saluran Respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler. Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan
mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara
mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.
12
Gambar 4. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
III.II Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan penyempitan saluran napas sampai s aat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut. Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.
III.IV Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan 13
dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.
III.V Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator. Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis. Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar
yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.
III.VI Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada elastik dan hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel.
14
III.VII Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling sering adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan
derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat
hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma.
IV.
Klasifikasi
Berdasarkan derajatnya, asma dapat dibagi menjadi: 1. Intermiten a.
Gejala klinis < 1 kali/minggu
b.
Gejala malam < 2 kali/bulan
c.
Tanpa gejala di luar serangan
d.
Serangan berlangsung singkat
e.
Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f.
Variabilitas APE < 20%
2. Persisten ringan a.
Gejala klinis > 1 kali/minggu tetapi < 1 kali/hari
b.
Gejala malam > 2 kali/bulan
c.
Tanpa gejala di luar serangan
15
d.
Serangan dapat menggangu aktivitas tidur dan tidur
e.
Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) > 80% nilai prediksi atau arus puncak ekspirasi (APE) > 80% nilai terbaik
f.
Variabilitas APE 20%-30%
3. Persisten sedang a.
Gejala setiap hari
b.
Gejala malam > 2 kali/minggu
c.
Sering dapat menggangu aktivitas dan tidur
d.
Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) 60%-80% nilai prediksi atau arus puncak ekspirasi (APE) 60%-80% nilai terbaik
e.
Variabilitas APE > 30%
4. Persisten berat a.
Gejala terus menerus
b.
Gejala malam sering
c.
Sering kambuh
d.
Aktivitas fisik terbatas
e.
Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) < 60% nilai prediksi atau arus puncak ekspirasi (APE) < 60% nilai terbaik
f.
V.
Variabilitas APE > 30%
Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala tergantung dari berat ringannya pada waktu serangan. Pada serangan asma bronkial yang ringan dan tanpa adanya komplikasi, keluhan dan gejala tak ada yang khas. Keluhan yang timbul :
Nafas berbunyi
Sesak nafas
Batuk Tanda-tanda fisik :
Cemas/gelisah/panik/berkeringat
Tekanan darah meningkat
Nadi meningkat
16
Pulsus paradoksus : penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada waktu inspirasi
Frekuensi pernafasan meningkat
Sianosis
Otot-otot bantu pernafasan hipertrofi Paru :
Didapatkan ekspirium yang memanjang
Wheezing
VI.
Diagnosis
Diagnosis dari asma umunya tidak sulit, diagnosis asma didasari oleh gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. a. Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi.
b. Pemeriksan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran nafas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang disertai ronki kering, mengi (wheezing ) dapat dijumpai pada pasien asma.
c. Pemeriksaan laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot Leyden). d. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran nafas yang merupakan ciri kahs asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
17
2. Uji provokasi bronkus Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokais bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran nafas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu Uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin. 3. Foto toraks Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
VII.
Diagnosis Banding
Bronkitis kronis Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sediknya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disetai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
Emfisema paru Sesak nafas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya.
Gagal Jantung kiri Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari disebut paroxysmal noctrunal dispnea. Pasien tiba-tiba terbangun pad malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
Emboli paru Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping
gejala
sesak
nafas,
pasien
batuk
dengan
disertai
darah
(haemoptoe).
18
VIII.
Penatalaksanaan
Tujuan
utama
penatalaksanaan
asma
adalah
meningkatkan
dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma: a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma b. Mencegah eksaserbasi akut c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin d. Mengupayakan aktivitas normal e. Menghindari efek samping obat f. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) g. Mencegah kematian karena asma Penatalaksanan asma bronkial terdiri dari pengobatan non medikamentosa dan pengobatan medikamentosa : 1. Pengobatan non medikamentosa Pengobatan non medikamentosa terdiri dari : -
Penyuluhan
-
Menghindari faktor pencetus
-
Pengendalian emosi
-
Pemakaian oksigen
2. Pengobatan medikamentosa Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi dua golongan yaitu antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan pengobatan saat serangan untuk mencegah eksaserbasi/serangan dikenal dengan pelega. 1. Antiinflamasi (pengontrol) -
Kortikosteroid Kortikosteroid adalah agen anti inflamasi yang paling potensial dan
merupakan anti inflamasi yang secara konsisten efektif sampai saat ini. Efeknya secara umum adalah untuk mengurangi inflamasi akut maupun kronik, menurunkan gejala asma, memperbaiki aliran udara, mengurangi hiperresponsivitas saluran napas, mencegah
eksaserbasi
asma,
dan
mengurangi
remodelling
saluran
napas.
Kortikosteroid terdiri dari kortikosteroid inhalasi dan sistemik. -
Kromolin 19
Mekanisme yang pasti kromolin belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi non steroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast. -
Metilsantin Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. -
Agonis beta-2 kerja lama Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Pada pemberian jangka lama mempunyai efek anti inflamasi walau pun kecil. -
Leukotriene modifiers Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek anti inflamasi.
20
Tabel 1. Obat-obat antiinflamasi pada asma bronkial
2. Bronkodilator (pelega) -
Agonis beta 2 kerja singkat Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping yang minimal. -
Metilxantin
21
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibanding agonis beta 2.
-
Antikolinergik Pemberian secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus vagal intrinsik, selain itu juga menghambat reflek bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.
22
Tabel 2. obat-obat bronkodilator pada Asma bronkial
IX. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 1. Status asmatikus 2. Atelektasis 3. Hipoksemia 4. Pneumothoraks 5. Emfisema
X. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak-kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan. 23
Pada penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan) angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka kematiannya 9%.
24
BAB III KESIMPULAN
Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan peranan banyak sel dan elemen seluler.Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang : mengi, sesak napas; dada terasa berat, dan batuk – batuk khususnya pada malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Secara etiologis, asma adalah penyakit yang heterogen, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik (atopik, hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan ras) dan faktor-faktor lingkungan (infeksi virus, pajanan dari pekerjaan, rokok, alergen, dan lain-lain). Kontrol pemeriksaan diri harus secara teratur dilakukan agar asma tidak menjadi berat dan pengobatan yang paling baik adalah menghindari faktor pencetusnya.
25
BAB IV Daftar Pustaka 1. Perkumpulan
Dokter
Paru
Indonesia.
ASMA
Pedoman
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta :, 2003. 2. Surjanto E. Derajat Asma dan Kontrol Asma. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28. 88-95. 3. Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28. 165-73. 4. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari-Desember 2005. Pekanbaru: FK UNRI, 2006. 5. Ward JPT. Ward J, Leach RM, Wiener CM. at a glance Sistem Respirasi. Jakarta: Erlangga. 54-55.
26