LAPORAN HASIL DISKUSI
Modul Kardiovaskular
Laki-laki Umur 65 Tahun dengan Nyeri Dada
Kelompok V
Made Ayundari 03010167
Malika 03010168
Maria Christiningrum 03010170
Meikhel Alexander 03010171
Meilinda Vitta Sari 03010173
Meita Kusumo Putri 03010174
Melati Hidayanti 03010175
Melissa Mauli Sibarani 03010176
Mellisa Aslamia Aslim 03010177
Mentari 03010178
Mochamad Satrio Fais 03010179
Mochamad Haikal Bakri 03010180
Monica Olivine 03010181
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta
16 November
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung
dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain
sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris
tidak stabil, infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen
ST, dan infark miokardium tanpa elevasi segmen ST. SKA ditetapkan
sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner .
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia
lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering
karena trombus atau embolus (Dorland, 2002). Iskemia terjadi oleh
karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma dan vasokonstriksi.
Obstruksi pembuluh darah dapat disebabkan oleh embolus, trombus atau
plak aterosklerosis. Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh
tumor, volvulus atau hernia. Ruptur karena trauma disebabkan oleh
aterosklerosis dan vaskulitis.Infark miokard adalah perkembangan cepat
dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat
mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-
55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
BAB II
LAPORAN KASUS
Saudara sedang bertugas di UGD RS Trisakti. Dini hari datang
seorang laki-laki 65 tahun yang dirujuk dari rumah sakit setempat dengan
keluhan nyeri dada sejak kurang lebih 2 jam yang lalu dan masih terasa
sakit hingga sekarang. Nyeri timbul pertama kali saat pasien bekerja
memindahkan lemari. Rasa sakit seperti ditindih benda berat, menjalar ke
leher, rahang, lengan kiri, epigastrium disertai banyak keringat. Nyeri
dada baru seperti ini pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien adalah
perokok, merokok 1 bungkus per hari. Ayah penderita hipertensi meninggal
usia 78 tahun karena stroke. Ibu meninggal pada usia 50 tahun karena
serangan jantung.
BAB III
PEMBAHASAN
I. MASALAH KASUS
Masalah pada kasus ini adalah pasien mengeluh nyeri dada sejak kurang
lebih 2 jam yang lalu dan masih terasa sakit hingga sekarang. Nyeri
timbul pertama kali saat pasien bekerja memindahkan lemari. Rasa sakit
seperti ditindih benda berat, menjalar ke leher, rahang, lengan kiri,
epigastrium disertai banyak keringat. Nyeri dada baru seperti ini
pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien berjenis kelamin laki-laki,
berusia 65 tahun, dan perokok berat, dimana hal ini merupakan faktor
resiko untuk terkena penyakit jantung. Ayah pasien merupakan penderita
hipertensi yang meninggal di usia 78 tahun karena stroke, dan ibu
meninggal pada usia 50 tahun karena serangan jantung merupakan riwayat
penyakit keluarga yang juga merupakan salah satu faktor resiko untuk
terkena penyakit jantung.
II. HIPOTESIS
1. Angina Pectoris Tak Stabil
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma
iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil
dan infark miokard akut. Gejala angina pektoris pada dasarnya
timbul karena iskemik akut yang tidak menetap akibat ketidak
seimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard, seperti
didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa
sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan,
nyeri, tercekik atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi
pada leher, tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah
rahang ataupun lengan. Sewaktu angina terjadi, penderita dapat
sesak napas atau rasa lemah yang menghilang setelah angina hilang.
Dapat pula terjadi palpitasi, berkeringat dingin, pusing ataupun
hampir pingsan. (4)
2. Angina Pectoris Stabil
Pada angina pectoris stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat,
sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan
intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan, kemudian menetap
(misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul pada beban/stress
yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya).
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus
sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimptomatik, walaupun
sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG
istirahatnya, keadaan yang disebut sebagai "silent ischemia"
sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi
asimptomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru
terlihat pada stress tes. (3)
3. Infark Miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Fenton, 2009). Gejalanya adalah rasa sakit pada dada
sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau
kedua tangan, leher dan punggung. Rasa nyeri hebat sekali sehingga
penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Kulit
terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa
dingin (Antman, 2005). Infark miokard dapat disertai dengan elevasi
segmen ST ataupun tanpa elevasi segmen ST.
1) Infark Miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)
Terjadi ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi
trombus di arteri coroner sehingga pada gambaran EKG akan tampak
elevasi dari segmen ST.
2) Infark Miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
Disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.
Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen
III. ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : -
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : laki – laki
Alamat : -
Status pernikahan : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Agama : -
Anak : -
1. Riwayat penyakit
Keluhan Utama :
Nyeri dada sejak kurang lebih 2 jam yang lalu dan masih terasa
sakit hingga sekarang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri timbul pertama kali saat pasien bekerja memindahkan
lemari. Rasa sakit seperti ditindih benda berat, menjalar ke
leher, rahang, lengan kiri, epigastrium disertai banyak
keringat. Nyeri dada baru seperti ini pertama kali dirasakan.
Anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan adalah :
- Bagian dada manakah yang terasa sakit?
- Apakah nyeri dada disertai sesak napas, mual, bahkan muntah?
- Apakah pada saat keadaan istirahat nyeri dada juga terasa?
- Apakah sudah mengonsumsi obat sebelumnya untuk mengurangi
rasa nyeri di dada?
Riwayat Penyakit Dahulu :
Anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan adalah :
- Apakah pasien punya riwayat hipertensi?
- Apakah pasien penderita diabetes mellitus?
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ayah penderita hipertensi meninggal usia 78 tahun karena stroke.
Ibu meninggal pada usia 50 tahun karena serangan jantung.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien merokok 1 bungkus per hari.
Anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan adalah :
- Bagaimana pola makan? Apakah sering memakan makanan yang
banyak mengandung kolesterol?
- Bagaimana dengan intensitas olahraga?
II . PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : agak menderita
Tanda vital :
- Denyut nadi : 105 kali/menit, regular
Menandakan bahwa pasien takhicardia, dimana denyut nadi
yang normal adalah 60-100 kali/menit.
- Tekanan darah : 180/100 mmHg
Menandakan bahwa pasien hipertensi derajat III, dimana
tekanan darah yang normal adalah systole kurang dari 140 dan
diastole kurang dari 90 mmHg.
- Pernapasan : 25 kali/menit
Menandakan bahwa pasien takhipneu, dimana frekuensi
pernapasan yang normal pada pria adalah 14-18 kali/menit.
- Suhu tubuh : 36,50C
Menandakan suhu tubuh pasien normal
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 165 cm
Berdasarkan Body Mass Index, pasien termasuk obesitas,
dengan hasil 30, dimana nilai normal BMI adalah 18-25.
Kepala dan leher : JVP tidak tinggi
Menandakan tidak adanya decompensatio cordis kanan.
Inspeksi
- Tampak pucat
- Berkeringat
- Thoraks simetris
- Tidak ada edema tungkai
Palpasi
Dilakukan pada beberapa tempat , yaitu :
- Abdomen
Apakah ada atau tidaknya ascites, meraba hepar dan lien,
apakah ada pembesaran atau tidak. Dan berdasarkan pemeriksaan
fisik abdomen yang telah dilakukan, hasilnya adalah :
1. Hepatomegali (-)
2. Splenomegali (-)
- Thoraks
Meraba ictus cordis, lokasi pada orang dewasa normal
adalah 1-2 cm sebelah medial dari garis midclavicularis kiri
di sela iga V. Ictus cordis yang terletak lebih lateral dari
pada normal kemungkinan adalah decompensatio cordis kiri.
Sedangkan untuk ictus cordis yang menghilang/sulit diraba
adalah decompensatio cordis kanan. Dan berdasarkan
pemeriksaan fisik thoraks, didapatkan ictus cordis normal,
menandakan tidak terkena decompensatio cordis kiri maupun
kanan.
Perkusi
- Abdomen
Apakah adanya gas dalam usus, dan periksa kemungkinan
ascites
- Thorax
Apakah ada bunyi yang abnormal atau tidak. Jika bunyi
perkusi redup, menandakan adanya infiltrat pada jaringan paru
atau cavum pleura berisi cairan (efusi).
Auskultasi
- Paru
Apakah terdapat suara tambahan pada fase
inspirasi/ekspirasi sepersi ronkhi kering/basah, krepitasi,
ataupun suara gesek pleura (pleural friction rub). Dan pada
hasil pemeriksaan, didapatkan ronkhi basah (+) di basal kedua
paru, dimana keadaan ini menunjukkan adanya edema paru.
- Jantung
Apakah ada kelemahan atau pengerasan bunyi jantung I dan
II, apakah terdengar bunyi jantung III, IV, ataupun suara
murmur. Dan pada hasil pemeriksaan, didapatkan hasil :
1. Bunyi jantung I dan SII normal
2. Bunyi jantung III (+)
Bunyi jantung ketiga ini adalah bunyi jantung yang terjadi
pada saat rapid filling pada ventrikel. Terdengarnya bunyi
jantung ketiga ini berarti menandakan bahwa adanya
peningkatan kontraksi dari atrium saat pengisian ventrikel
sehingga aliran darah saat rapid filling dapat terdengar,
dimana secara fisiologis seharusnya tidak terdengar.
Terdengarnya bunyi jantung ketiga yang terdengar ini
biasanya terdapat pada kondisi iskemia miokard dimana
kompensasi tubuh dalam mencukupi asupan O2 dengan
peningkatan kontraksi ventrikel diikuti dengan peningkatan
rapid filling dari atrium menuju ventrikel.
3. Bunyi jantung IV (-)
4. Murmur (-)
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Hb : 15,6 g/dl normal (13-16 g/dl)
Lekosit : 12.000/ul lekositosis (5000-
10.000/ul)
Hematokrit : 45% normal (40-48%)
2. Pemeriksaan Kimia Darah
Ureum : 40 mg/dl normal (10-40 mg/dl)
Creatinin : 1,2 mg/dl normal (0,5-1,5 mg/dl)
GD sewaktu : 154 mg/dl normal ( <180 mg/dl)
Asam urat : 10,9 mg/dl meningkat (3,4-7 mg/dl)
3. Pemeriksaan Enzim Jantung
CK : 150 U/L normal (10-190 U/L)
CKMB : 50 U/L meningkat (0-24 U/L)
Troponin T : 0,1 ng/ml meningkat (0,05 ng/ml)
4. Pemeriksaan Elektrolit Darah
Na : 137 mmol/L normal (135-145
mmol/L)
K : 4,1 mmol/L normal (3,5-5
mmol/L)
5. Pemeriksaan Fraksi Lemak dalam Darah
Chol total : 275 mg/dl meningkat (<200 mg/dl)
LDL : 191 mg/dl meningkat (<150 mg/dl)
Trigliseride : 186 mg/dl meningkat (<150 mg/dl)
Berdasarkan hasil laboratorium di atas ditemukan adanya
lekositosis. Lekositosis ini menandakan timbulnya keadaan nekrosis
ataupun inflamasi pada jantung, selain lekositosis sebenarnya diikuti
dengan peningkatan LED. Keadaan lekositosis ini menunjukkan jantung
yang sudah mengalami infark atau infark miokard.
Selain itu di sini terdapat pula peningkatan enzim jantung yakni
CKMB dan Troponin T dimana peningkatan kedua enzim ini menandakan pula
infark miokard. Selanjutnya profil lipid seperti kolesterol total,
LDL, dan trigliserida pun mengalami peningkatan. Tingginya profil
lipid dalam darah menjadi faktor resiko terjadinya atherosclerosis,
dimana atherosclerosis bisa menyebabkan iskemia dan iskemia yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan infark miokard. Berikutnya
ditemukan juga kadar asam urat yang meningkat dimana asam urat
merupakan hasil metabolisme akhir dari purin. Mengonsumsi makanan yang
banyak mengandung purin dapat meningkatkan kadar asam urat dalam
darah.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan hasil EKG di atas, gambaran EKGnya ialah gelombang
sinus, ini dapat dilihat pada sandapan II, III, dan aVF dimana gelombang
P nya upright. Kemudian gelombang Q dalam gambaran normal, tidak
menunjukkan keadaan yang patologis dan pada perhitungan axis, dimana
nilai axisnya ialah 700, menunjukkan keadaan yang normal, tidak ditemukan
adanya hipertrofi jantung. Namun di sini, ditemukan adanya elevasi segmen
ST pada sandapan V1-V6. Elevasi segmen ST pada lebih dari satu atau dua
sandapan menandakan terjadinya infark miokard atau dengan kata lain STEMI
(ST Elevation Miokard Infark). Selain itu ditemukan juga secara spesifik
elevasi segmen ST pada sandapan I dan II lebih dari 2 mm dimana hal ini
menandakan infark miokard. Perlu diketahui pula selain gambaran EKG
dengan elevasi segmen ST, untuk menegakkan diagnosis infark miokard
biasanya gejala klinisnya nyeri dada seperti angina pectoris dan ditandai
peningkatan enzim jantung sebagai biomarker di pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan foto thorax, ditemukan CTR 50 % dan tampak bendungan
paru dimana menandakan bahwa infark miokard pada pasien ini sudah terjadi
komplikasi pada paru yaitu edema pulmonal sehingga pada pemeriksaan fisik
terdengar ronki basah.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan hasil pemeriksaan lab, pemeriksaan EKG dan roentgen
thorax, diagnosis yang kami tegakkan pada pasien ini ialah Infark Miokard
dengan Elevasi Segmen ST (STEMI) komplikasi edema pulmonal dengan
diagnosis bandingnya ialah ACS (Acute Coronary Syndrome) dengan UA
(Unstable Angina)
VII. KOMPLIKASI
Komplikasi dari Infark Miokard ialah (5):
1. Aritmia
Beberapa bentuk aritmia mungkin timbul pada infark
miokard. Hal ini disebabkan perubahan-perubahan listrik
jantung sebagai akibat iskemia pada tempat infark atau
pada daerah perbatasan yang mengelilingi, kerusakan
sistem konduksi, lemah jantung kongestif atau
keseimbangan elektrolit terganggu.
2. AV blok, RBBB dan LBBB
3. Edema pulmonal
4. Gagal jantung
Pada infark miokard, pump failure atau gagal jantung
kongestif dapat timbul sebagai akibat kerusakan otot
ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya dengan atau
tanpa aritmia. Penurunan cardiac output pada pump failure
akibat infark tersebut menyebabkan perfusi perifer
berkurang. Peningkatan resistensi perifer sebagai
kompensasi menyebabkan beban kerja jantung bertambah.
5. Emboli/tromboemboli
Adanya gagal jantung dengan kongesti vena, disertai
tirah baring yang berkepanjangan merupakan factor
predisposisi trombosis pada vena-vena tungkai bawah yang
mungkon lepas dan terjadi emboli paru dan mengakibatkan
kemunduran hemodinamik. Embolisasi sistemik akibat thrombus
pada ventrikrl kiri tepatnya pada permukaan daerah infark
atau thrombus dalam aneurisma ventrikel kiri.
6. Rupture miokard
Komplikasi runtura miokard mungkin terjadi pada
infark miokard dan menyebabkan kemunduran hemodinamik.
Ruptura biasanya pada batas antara zona infark dan normal.
Ruptura yang komplit menyebabkan perdarahan cepat ke dalam
cavum pericard sehingga terjadi tamponade jantung dengan
gejala klinis yang cepat timbulnya.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama tata laksana Infark Miokard Akut (IMA) adalah
diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan
implementasi strategi reperfusi miokard, menstabilkan hemodinamik,
serta tatalaksana terhadap komplikasi IMA. (2)
Di ruang UGD pasien diberikan pertolongan pertama dengan
memberikan oksigen kanul nasal 4 liter/menit, kemudian aspirin 160
mg dikunyah sebagai antiplatelet, dan isosorbid 5 mg sublingual
untuk mengatasi nyeri dada, yang dilanjutkan dengan isosorbid
dinitrat intravena dimulai 10 mcg.menit.
Dengan mempertimbangkan onset nyeri dada, dilakukan terapi
fibrinolitik dengan streptokinase 1.5 juta unit. Untuk menghindari
shock anafilaktikterhadap pemberian streptokinase, selalu diberikan
premedikasi dengan hidrokortison.
Obat-obat lain yang diberikan adalah furosemide IV 40 mg untuk
mengatasi oedem paru, atorvastatin 40 mg untuk hypercholesterolemia,
clopidogrel 1x75 mg sebagai antiplatelet, dan captopril 3x12.5 mg
sebagai ACE-inhibitor untuk mengatasi hipertensi.
IX. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien ini ialah dubia ad malam pada ad vitam, ad
functionam dan ad sanationam. Kelangsungan hidup pasien kemungkinan dapat
membaik apabila disertai dengan penanganan yang cepat, tepat dan adekuat,
namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kematian pada pasien ini
dikarenakan sudah terjadinya komplikasi edema pulmonal dan keadaan
fungsional seluruh organ pada pasien ini juga akan mengalami kemunduran
secara fisiologis. Berulangnya serangan seperti angina pectoris pada
pasien ini tidak menutup kemungkinan dapat terjadi dan menimbulkan
kematian.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANGINA PECTORIS TAK STABIL
Angina pektoris tak stabil adalah suatu spektrum dari sindroma
iskemik miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil dan
infark miokard akut. Terminologi ATS harus tercakup dalam kriteria
penampilan klinis sebagai berikut (5):
1. Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami
oleh penderita dalam priode 1 bulan terakhir
2. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik yang berubah polanya dalam 1
bulan terakhir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama,
timbul dengan pencetus yang lebih ringan dari biasanya dan tidak
hilang dengan cara yang biasa dilakukan. Penderita sebelumnya
menderita angina pektoris stabil.
3. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang
dapat menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina
sedikitnya 15 menit.
4. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.
Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi sendiri-sendiri
atau bersama-bersama tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang
terjadi pada IMA harus disingkirkan misalnya dengan pemeriksaan
enzim serial dan pencatatan EKG.
Patofisiologi
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut
yang tidak menetap akibat ketidak seimbangan antara kebutuhan dan
suplai O2 miokard. (4)
Beberapa keadaan yang dapat merupakan penyebab baik tersendiri ataupun
bersama-sama yaitu :
1. Faktor di luar jantung
Pada penderita stenosis arteri koroner berat dengan cadangan aliran
koroner yang terbatas maka hipertensi sistemik, takiaritmia,
tirotoksikosis dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik dapat
meningkatkan kebutuhan O2 miokard sehingga mengganggu keseimbangan
antara kebutuhan dan suplai O2. Penyakit paru menahun dan penyakit
sistemik seperti anemi dapat menyebabkan tahikardi dan menurunnya
suplai O2 ke miokard.
2. Sklerotik arteri koroner
Sebagian besar penderita ATS mempunyai gangguan cadangan aliran
koroner yang menetap yang disebabkan oleh plak sklerotik yang lama
dengan atau tanpa disertai trombosis baru yang dapat memperberat
penyempitan pembuluh darah koroner. Sedangkan sebagian lagi disertai
dengan gangguan cadangan aliran darah koroner ringan atau normal
yang disebabkan oleh gangguan aliran koroner sementara akibat
sumbatan maupun spasme pembuluh darah.
3. Agregasi trombosit Stenosis arteri koroner akan menimbulkan
turbulensi dan stasis aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang akhirnya membentuk trombus dan keadaan ini
akan mempermudah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah.
4. Trombosis arteri koroner
Trombus akan mudah terbentuk pada pembuluh darah yang sklerotik
sehingga penyempitan bertambah dan kadang-kadang terlepas menjadi
mikroemboli dan menyumbat pembuluh darah yang lebih distal.
Trombosis akut ini diduga berperan dalam terjadinya ATS.
5. Pendarahan plak ateroma
Robeknya plak ateroma ke dalam lumen pembuluh darah kemungkinan
mendahului dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menyebabkan
penyempitan arteri koroner.
6. Spasme arteri koroner
Peningkatan kebutuhan O2 miokard dan berkurangnya aliran koroner
karena spasme pembuluh darah disebutkan sebagai penyeban ATS. Spame
dapat terjadi pada arteri koroner normal atupun pada stenosis
pembuluh darah koroner. Spasme yang berulang dapat menyebabkan
kerusakan artikel, pendarahan plak ateroma, agregasi trombosit dan
trombus pembuluh darah.
Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko yang ada hubungannya dengan proses
aterosklerosis antara lain adalah :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah :
Umur, jenis kelamin dan riwayat penyakit dalam keluarga.
2. Faktor risiko yang dapat diubah :
Merokok, hiperlipidemi, hipertensi, obesitas dan DM.
Pengenalan klinis angina pectoris tak stabil
1. Gejala Klinis
Didapatkan rasa tidak enak di dada yang tidak selalu sebagai rasa
sakit, tetapi dapat pula sebagai rasa penuh di dada, tertekan,
nyeri, tercekik atau rasa terbakar. Rasa tersebut dapat terjadi pada
leher, tenggorokan, daerah antara tulang skapula, daerah rahang
ataupun lengan. Sewaktu angina terjadi, penderita dapat sesak napas
atau rasa lemah yang menghilang setelah angina hilang. Dapat pula
terjadi palpitasi, berkeringat dingin, pusing ataupun hampir
pingsan.
2. Pemeriksaan fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi
dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di
daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap atau
meningkat pada waktu serangan angina.
3. EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda
ergometer.
Tujuan dari stress test adalah :
- Menilai sakit dada apakah berasal dari jantung atau tidak.
- Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada
pembuluh darah utama akan memberi hasil positif kuat.
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan
cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T.
Perubahan EKG pada ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat
terjadi sendiri-sendiri ataupun sersamaan. Perubahan tersebut timbul
di saat serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal
setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan
tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q,
maka disebut sebagai IMA.
4. Enzim LDH, CPK dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi
tidak melebihi nilai 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang
paling sensitif untuk nekrosis otot miokard, tetapi dapat terjadi
positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar
enzim secara serial untuk menyingkirkan adanya IMA.
II. ANGINA PECTORIS STABIL
Pada angina pectoris stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat,
sekalipun tidak termasuk UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan
intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan, kemudian menetap (misalnya
beberapa hari sekali, atau baru timbul pada beban/stress yang tertentu
atau lebih berat dari sehari-harinya). (3)
Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus
sampai akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimptomatik, walaupun
sebetulnya adanya iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG
istirahatnya, keadaan yang disebut sebagai "silent ischemia" sedangkan
pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi asimptomatik, EKG
istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stress tes.
Pemeriksaan Fisik
Tak ada hal-hal yang khusus pada pemeriksaan fisik. Sring
pemeriksaan fisik normal pada kebanyakan pasien. Mungkin pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada waktu nyeri dada dapat menemukan adanya
aritmia, gallop, bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronkhi basah
dibagian basal paru, yang menghilang lagi pada waktu nyeri sudah
berhenti. Penemuan adanya tanda-tanda atherosclerosis umumnya seperti
sklerosis A. Carotis, aneurisma abdominal, nadi dorsum pedis/tibialis
posterior tidak teraba, penyakit valvular karena sklerosis, adanya
hipertensi, LVH, xantoma, kelainan fundus mata dan lain-lain tentu
amat membantu.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan lab yang diperlukan adalah pemeriksaan darah,
meliputi hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan pemeriksaan terhadap
faktor resiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda
inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup berat dan
lama, seperti enzim CK/CKMB, CRP, dan troponin. Bila nyeri dada tidak
mirip suatu UAP maka tidak semuanya pemeriksaan-pemeriksaan ini
diperlukan.
Diagnostik
Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium sebagai
penyebab nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan, seperti (5)
:
1. EKG Waktu Istirahat
EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat menambah kemungkinan
ditemukannya kelainan yang sesuai dengan iskemia sampai 50% lagi,
walaupun EKG istirahat masih normal. Depresi ST-T 1 mm atau lebih
merupakan petanda iskemik yang spesifik, sedangkan perubahan-
perubahan lainnya seperti takhicardia, BBB, blok fasikular dan lain-
lain, apalagi yang kembali normal pada waktu nyeri hilang sesuai
pula untuk iskemia.
2. EKG Waktu Aktivitas/Latihan
Interpretasi terhadap hasil stress test EKg hendaknya menilai
kapasitas latihan, respon hemodinamik, dan respon EKG yang
terpenting adalah depresi atau elevasi segmen ST > 1 mm. Hasil
stress test EKG positif apabila depresi segmen ST > 1 mm,
horizontal atau downsloping atau elevasi dihitung 60-80 m/s setelah
akhir kompleks QRS.
3. Stress Imaging, dengan Ekokardiografi atau Radionuklir
Pemeriksaan stress ekokardiografi bermanfaat dikerjakan pada pasien
yang dicurigai menderita Angina Pektoralis Stabil sedangkan EKG
istirahatnya menunjukan ST depresi 1 mm atau lebih atau
memperlihatkan adanya sindrom WPW. Sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan stress ekokardiografi berkisar pada 60-85%, sedangkan
pemeriksaan dengan radionuklir kira-kira berkisar antara 80-90%.
III. INFARK MIOCARD
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (Fenton, 2009).
Faktor resiko
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat
diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko
aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit
yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain
masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik (Santoso, 2005). Faktor- faktor tersebut adalah
abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes,
obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol,
dan aktivitas fisik (Ramrakha, 2006). Abnormalitas kadar lipid serum
yang merupakan faktor resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia
adalah peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas
batas normal.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung
bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan
kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan
oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena
hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia (Brown, 2006).
Patologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.
Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque
di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha,
2006).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi
menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap
faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat
disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-
molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai
vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya,
disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor,
endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan
pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel
teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah
menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan
bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan
dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor
pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika
media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan
trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya
trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau
perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri
(Price, 2006).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh
formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk
keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan
manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh
terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis
penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri
atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005). Pada saat
episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard
menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia
dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia
yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan
dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn,
2005).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme
asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar
oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa
diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini
mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel
menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan
dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir
pada infark miokard (Selwyn, 2005). Ketika aliran darah menurun tiba-
tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark
miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). (3)
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST
yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.
Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya
tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim,
2001).
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi
arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga
minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis
dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi
hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah
terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).
Gejala Klinis
Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral
yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan
punggung. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang
dengan pemberian nitrat biasa. Rasa nyeri hebat sekali sehingga
penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus
menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk
menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak
berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin (Antman, 2005).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis
otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara
jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika
didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard,
umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI (Antman,
2005).
Diagnosis
1. Elektrokardiograf (EKG)
Penegakkan diagniosis dengan menggunakan EKG dapat membedakan
apakah suatu infark miokard disertai dengan elevasi segmen ST
(STEMI) atau tanpa elevasi segmen ST (NONSTEMI). Diagnosis STEMI
ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Diagnosis Non STEMI
ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam,
bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T
yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat
presentasi. (2)
Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark
gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG
tidak menunjukkan gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada
infark miokard dengan daerah nekrotik kecil atau tersebar.
Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya 0,04 detik. Namun
hal ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1,
karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan dalam (Chou,
1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi
segmen ST, lokasi infark dapat ditentukan dari perubahan EKG.
Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan gambaran EKG dapat
dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
"Lokasi "Perubahan gambaran EKG "
"Anterior "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di "
" "V1-V4/V5 "
"Anteroseptal "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3 "
"Anterolateral "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 "
" "dan I dan aVL "
"Lateral "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 "
" "dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di"
" "I dan aVL "
"Inferolateral "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, "
" "III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL). "
"Inferior "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, "
" "III, dan aVF "
"Inferoseptal "Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, "
" "III, aVF, V1-V3 "
"True posterior "Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST "
" "depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2 "
"RV infarction "Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). "
" "Biasanya ditemukan konjungsi pada infark "
" "inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa"
" "jam pertama infark. "
2. Petanda Biomark Troponin T pada Infark Miokard
Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi
yang tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan
protein. Sitosol, yang merupakan prekursor tempat pembentukan
miofibril, memiliki 6% dari total massa troponin dalam bentuk
bebas. Sisanya (94%), cTnT berikatan dalam miofibril. Dalam keadaan
normal, kadar cTnT tidak terdeteksi dalam darah (Rottbauer, 1996).
Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT bebas
bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. (1)
Peningkatan kadar cTnT terdeteksi 3-4 jam setelah jejas miokard.
Kadar cTnT mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas. Peningkatan
terus terjadi selama 7-14 hari. cTnT tetap meningkat kira-kira 4-5
kali lebih lama daripada CKMB. cTnT membutuhkan waktu 5-15 hari
untuk kembali normal.
Diagnosis infark miokard ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT dalam
12 jam sebesar 0.03 μg/L, dengan atau tanpa disertai gambaran
iskemi atau infark pada lembaran EKG dan nyeri dada (McCann, 2009).
BAB V
KESIMPULAN
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau
retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher
dan punggung. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang
dengan pemberian nitrat biasa. Rasa nyeri hebat sekali sehingga
penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus
menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk
menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak
berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin.
Penegakkan diagniosis dengan menggunakan EKG dapat membedakan
apakah suatu infark miokard disertai dengan elevasi segmen ST (STEMI)
atau tanpa elevasi segmen ST (NONSTEMI). Diagnosis STEMI ditegakkan
jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi
segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi
miokard yang terkena.Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat
angina dan tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis infark miokard dengan ST
elevasi atau STEMI. Diagnosis ini didukung dengan gejala klinis,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menunjukkan
infark miokard. Didukung pula adanya empat factor resiko yang dimiliki
pasien yang merupakan faktor resiko infark miokard yaitu, hipertensi,
obesitas, merokok, dan riwayat keluarga penderita hipertensi. Pada
pasien ini STEMI nya sudah mengalami komplikasi edema pulmonal. Oleh
karena itu, penatalaksanaan yang cepat, tepat dan adekuat diharapkan
dapat menghasil prognosis yang lebih baik pada si pasien.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Heidenreich PA, Go A, Melsop KA, Alloggiamento T, McDonals KM, Hagan
V, et al. Prediction of risk for patients with unstable angina:
Evidence Report/Technology Assessment No. 31. Rockville: Agency for
Healthcare Research and Quality; 2000. [Accessed on 7 November 2011].
Available from url: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
2. Antman EM, Fox KM. Guidelines for the Diagnosis and Management of
uUnstable angina and non-Q-wave myocardial infarction: proposed
revisions. Am Heart J 2000;139:461-75.
3. Das R, Kilcullen N, Morrell C, Robinson MB, Barth JH, Hall AS. The
British Cardiac Society Working Group definition of myocardial
infarction: implications for practice. Heart. 2006;92(1):21-6.
4. Van de Werf F, Ardissino D, Betriu A, Cokkinos DV, Falk E, Fox KA,
et al. Management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. The Task Force on the
Management of Acute Myocardial Infarction of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J 2003;24(1):28-66.
5. Price,Wilson. Patofisiologi. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P,
Asih D,Editors. 6th ed. Jakarta: Penerbit EGC;2006.
6. Sudoya AW , Setiyohadi B , et all . Ilmu Penyakit Dalam . ed 5 .
Jakarta : Interna Publishing , 2009.