LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II ANTIKOAGULAN ANTIKOAGULAN DAN ANTIHIPERTENSI
Disusun Oleh : Kelas : C Golongan/Kelompok : IV / 3
Nama 1. 2. 3. 4.
Agatha Losita Claudya Nanda K Rizki Rahmadani Nur Ainin Sofia
Hari / Tanggal Pratikum Dosen Jaga Asisten Jaga Asisten Koreksi
NIM
Tanda Tangan
13/ /FA/ 13/352014/FA/09731 13/352014/FA/09731 13/ /FA/ 13/ /FA/
: Senin / 27 Oktober 2014 : : :
Laboratorium Farmakologi Farmakologi dan Toksikologi Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM 2014
PERCOBAAN IV ANTIHIPERTENSI
TUJUAN Mahasiswa mampu melakukan percobaan dengan hewan laboratorium untuk melihat efek obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah secara in vivo.
DASAR TEORI Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008). The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO dengan International Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90 mmHg atau l ebih atau sedang memakai obat anti hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008). Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk stroke, infark miokard (serangan jantung), gagal jantung, aneurisma arteri (misalnya aneurisma aorta), penyakit arteri perifer , dan penyebab penyakit ginjal kronik . Bahkan peningkatan sedang tekanan darah arteri terkait dengan harapan hidup yang lebih pendek. Perubahan pola makan dan gaya hidup dapat memperbaiki kontrol tekanan darah dan mengurangi resiko terkait komplikasi kesehatan. Meskipun demikian, obat seringkali diperlukan pada sebagian orang bila perubahan gaya hidup saja terbukti tidak efektif atau ti dak cukup. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal. 1. Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000). 2. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial antara lain : 1. Curah jantung dan tahanan perifer Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus i ni semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible (Gray, et al . 2005). 2. Sistem Renin-Angiotensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang
penting
dalam
pengontrolan
tekanan
darah.
Renin
disekresi
oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005). Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu: a.
Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat
dan
tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan,
volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah. b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al . 2005). 3. Sistem Saraf Otonom Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al . 2005). 4. Disfungsi Endotelium Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al . 2005). 5.
Substansi vasoaktif Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al . 2005).
6.
Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh
darah
(disfungsi
endotelium
atau
kerusakan
sel
endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al . 2005). 7. Disfungsi diastolik Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al . 2005). Faktor Risiko Hipertensi
Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain 1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal (tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun (Julius, 2008). b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah. Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008). c.
Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55 tahun tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah umur 65
tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko hipertensi bertambah dengan semakin bertambahnya umur (Gray, et al . 2005) 2.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2 bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer (Gray, et al . 2005). b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing – masing individu. Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan efektif untuk menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan (Haffner, 1999). c.
Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan binatang tersebut menjadi hipertensi (Pickering, 1999). Secara farmakologis pengobatan hipertensi berdasarkan pada tiga tujuan utama ialah mengurangi volume cairan tubuh dan sekaligus mengurangi volume darah, mengurangi tahanan pembuluh darah perifer, dan menurunkan curah jantung (cardiac output ). Senyawa obat yang mampu menurunkan tekanan darah biasanya digunakan untuk pengobatan hipertensi. Obat-obat yang mampu mengurangi volume cairan tubuh adalah golongan diuretika. Diuretika adalah suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urin (diuresis) dengan jalan menghambat reabsorpsi air dan natrium serta mineral lain pada tubulus ginjal. Dengan demikian bermanfaat unyuk menghilangkan
udema dan mengurangi free load. Kegunaan diuretika terbanyak adalah untuk antihipertensi dan gagal jantung. Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau bahkan menghilangkan cairan yang terakumulasi dijaringan dan paru-paru. Disamping itu, berkurangnya volume darah akan mengurangi kerja jantung. Dalam kondisi tertentu, diuretik juga diresepkan untuk sindrom nefrotik (gangguan ginjal yang menyebabkan udem), sirosis hati (cairan terakumulasi dalam rongga lambung),sindrom
sebelum
menstruasi/ premenstruasi
(karena
aktivitas
hormon
yang
menyebabkan retensi cairan dan bloating ) dan juga untuk terapi galukoma. Penggolongan obat diuretika berdasarkan mekanisme kerja dan tempat kerja: 1. Diuretika yang bekerja pada tubulus proksimal
Diuretika osmotik : manitol,urea
Karbonat anhidrase inhibitor : asetazolamida, metazolamida
Senyawa lain : alkaloid xantin
2. Diuretika yang bekerja pada Loop of Henle
Diuretika kuat : furosemida, torsemida, asam etakrinat
mercaptomerin
3. Diuretika yang bekerja pada tubulus distal
Diuretika tiazida : klorotiazida, kloroatalidon, hidroklorotiazida
Sulfonamida : indapamid
4. Diuretika yang bekerja pada system collecting duct
Diuretika hemat kalium : antagonis aldosteron (spironolakton), triemteren, amilorid
Antagonis ADH : garam litium, demeklosiklin
Obat-obat yang mampu mengurangi tahanan pembuluh darah perifer biasanya mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah tersebut. Oleh sebab itu golongan obat ini sering disebut sebagai vasodilatator. Terdapat tiga mekanisme cara kerja vasodilatator. Golongan pertama adalah obat-obat yang mampu menghambat kanal ion kalsium (Ca) atau sering disebut Calsium Chanel Blocker (CCB). Apabila influk ion Ca di dalam sel-sel otot polos pembuluh darah dihambat maka tidak terjadi kontraksi otot. Contoh obat dari golongan ini adalah nifedipin dan amlodipin. Golongan kedua vasodilatator
adalah
yang
bekerja
menghambat
enzim
pengubah
angiotensin
atau
AngiotensinConverting Enzyme Inhibitor (ACEI). Seperti dikertahu angiotensin II adalah sebuah vasokonstriktor yang dapat dibiosintesis dari angiotensi I. Apabila enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II ini dihambat maka pembentukan angiotensin II juga terhambat dan vasokonstriksi tidak terjadi. Contoh dari golongan ini adalah captopril dan lisinopril. Golongan ketiga vasodilatator adalah obat yang mampu memblok reseptor angiotensin, sehingga efek angiotensin sebagai vasokonstriktor tidak terjadi. Contoh dari golongan ketiga ini adalah losartan dan valsartan.
Golongan obat lain yang sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah yang berlebih adalah obat yang mampu mengurangi curah jantung. Golongan ini bekerja dengan jalan menghambat kerja reseptor β-adrenergik, utamanya reseptor β1, pada otor jantung. Apabila reseptor β1 pada otot jantung dihambat maka kekuatan dan frekuensi kontaksi otot jantung berkurang, sehingga jumlah darah yang dipompa keluar jantung per satuan waktu juga berkurang. Contoh obat-obat yang termasuk golongan ini adalah propanolol, acebutolol, metoprolol dan praktolol. Diantara obat-obat penekan reseptor β-adrenergik ini ada yang tidak/kurang selektif karena dapat menekan reseptor β1 maupun reseptor β2 yang dapat menurunkan denyut jantung dan menyebabkan bronkokonstriksi. Karena dapat menimbulkan bronkokonstriksi, penggunaan β bloker non selektif pada penderita asma,bronchitis, dan penyakit pada pernapasan lain harus dihindarkan. Selain itu harus juga hati-hati penggunaan β bloker pada penderita DM karena tanda-tanda hipoglikemia seperti palpitasi dan tremor tertutupi (sukar dideteksi). Obat β bloker non selektif diantaranya labetalol, nadolol, propanolol, timolol, dan pindolol.
Gambar aksi obat antihipertensi pada sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (diambil dari : buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)
CARA KERJA Disiapkan hewan coba dan masing-masing ditimbang bobot badannya
Hewan coba harus diperlakukan dengan kasih saying, hati-hati, tidak di sakiti, tidak dibuat stress serta dilakukan di dalam kotak-kotak plastic yang telah disediakan untuk percobaan
Hewan coba dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah jenis obat yang akan diuji dan ditambahkan satu kelompok untuk hewan yang tidak diberi obat (kontrol)
Masing-masing kelompok terdiri dari 1 hewan coba
Masing-masing senyawa uji ditentukan dosisnya berdasarkan dosis lazim pada manusia dan dikonversikan ke dosis tikus
Larutan obat (suspensi) disiapkan sesuai dengan dosis yang akan diberikan
Diukur tekanan darah hewan uji dengan NonInvasive Blood Pressure System
Masing-masing hewan uji diberi senyawa uji (nifedipin) secara per oral ditunggu 15 menit
Kelompok kontrol hanya diberi pelarut melalui per oral dengan volume yang sama dengan yang diberikan pada kelompok uji
Diukur tekanan darah hewan coba pada 30 menit setelah pemberian obat (fenilefrin) secara sub kutan
Dicatat apakah ada perbedaan tekanan darah masing-masing hewan uji antara sebelum diberi obat dan sesudah diberi obat
ANALISIS DATA Antihipertensi Dicatat apakah ada perbedaan tekanan darah masing-masing hewan uji antara sebelum diberi obat dan sesudah diberi obat
Apakah ada perbedaan tekanan darah antara kelompok kontrol dengan tekanan darah masing-masing kelompok hewan uji
DATA DAN PERHITUNGAN
-
DATA a.
Kelompok 1 : Kontrol 1 Pra-kontrol 1 Diastolik
Sistolik
82
94
126
149
126
148
120
141
Rata-rata : 101
131
Pasca kontrol 1 Diastolik
Sistolik
102
136
b. Kelompok 2 : Kontrol 2 Pra-kontrol 2 Diastolik
Sistolik
145
176
Pasca kontrol 2
c.
Diastolik
Sistolik
97
132
66
142
100
137
85
136
87
123
76
122
84
135
102
138
87
126
94
134
Rata-rata : 87,8
132,5
Kelompok 3 : Nifedipin + Fenilefrin Pra-perlakuan Diastolik
Sistolik
110
144
148
167
124
150
122
142
115
132
115
134
113
130
Rata – rata : 121
143,43
Pasca perlakuan Diastolik
Sistolik
99
129
99
125
98
127
101
126
100
126
100
128
97
125
100
126
101
128
99
128
Rata – rata : 99,4
126,8
d. Kelompok 4 : Kontrol Negatif (Fenilefrin) Pra-kontrol Negatif Diastolik
Sistolik
87
116
85
116
77
113
85
113
82
109
67
104
87
115
88
116
70
107
88
118
Rata-rata : 81,6
112,7
Pasca Kontrol Negatif Diastolik
Sistolik
108
131
112
122
110
126
Rata-rata : 110
126,3
PERHITUNGAN
Dosis lazim Nifedipin (manusia) = 10 mg Dosis lazim Nifedipin (tikus) = 10mg x 0,018
⁄ ⁄ = ⁄ Dosis lazim Fenilefrin (tikus) = =
Volume pemberian = 1.
= 0,2 ml
= 0,168 ml
Nifedipin + fenilefrin Volume =
4.
Tikus kontrol 2 Volume 2 =
3.
Tikus kontrol 1 Volume 1 =
2.
= 0,173 ml
Tikus kontrol negatif (Fenilefrin) Volume =
= 0,14 ml
Data percobaan antihipertensi Vol. Pemejanan
Tekanan darah sebelum
Tekanan darah setelah
(mL)
pemberian obat
pemberian obat
222,4
0,2
131/101
136/102
187,5
0,168
176/145
132,5/87,8
192,4
0,173
143,43/121
126,8/99,4
150,5
0,14
112,7/81,6
126,3/110
Obat
BB (kg)
Kontrol 1 Kontrol 2 Nifedipin + Fenilefrin Fenilefrin
DAFTAR PUSTAKA Bakri, S., Lawrence, G.S., 2008, Genetika Hipertensi, USU Press, Medan
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2006. The Heart. In: Schmitt, W., Gruliow, R., eds. Textbook of th
Medical Physiology. 11 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
Pickering, T.G., Ogedegbe, G., 2008. Epidemiology of Hypertension. In: Fuster, V., et al., th
eds. Hurst’s the Heart . Volume 2. 12 ed. USA: McGraw-Hill
Sherwood, L., 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Tim Dosen Farmasi UGM, 2013, Petunjuk Praktikum Farmakologi Eksperimental II, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ganong WF. Review of Medical Physiology. 22nd ed. Singapore: McGrawHill; 2005. p. 148-70.
Tjay,Hoan,Tan.,2007. Obat-Obat Penting . Gramedia; Jakarta
Yogyakarta, 10 November 2014 Praktikan, Agatha Losita
13/
Claudya Nanda K
13/352014/FA/09731
Rizki Rahmadani
13/
Nur Ainin Sofia
13/