BLOK MEDICAL BLOK MEDICAL EMERGENCY EMERGENCY LAPORAN CASE STUDY-3 “AVULSI DAN DISLOKASI TMJ”
Tutor / Pembimbing : drg. Yudi Prasetya Safari
Disusun Oleh : Aristy Tresnahadi Rizki Surya Nugraha Deni Hermansyah Ika Mayasari Farikha Liqna Nailufar Ichma Amarviana Bekti Fida Thahirah Windha Kusumaningtyas Novita Dwi Saputri Pratidina Fitri Ramadhani Gelar S. Ramdhani
G1G010001 G1G010003 G1G010012 G1G010018 G1G010023 G1G010024 G1G010025 G1G010038 G1G010039 G1G010048 G1G009020
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN GIGI 2014
1
A. Avulsi 1. Definisi Avulsi didefinisikan sebagai keluarnya seluruh gigi dari soket akibat trauma. Secara klinik dan foto ronsen, gigi tidak berada di dalam soket
(Dalimunte,
2003).
Tulang
alveolar,
sementum,
ligament
periodontal, gingiva, dan pulpa akan mengalami kerusakan pada sa at gigi secara total keluar dari soketnya. Avulsi adalah Tercabutnya gigi dari soketnya akibat trauma yang menyebabkan terputusnya ligament-ligamen periodontal dan suplai darah ke jaringan pulpa. Sebagai akibatnya pulpa gigi mengalami nekrosis dan periodonsium rusak parah (Ram D, 2004). Kehilangan gigi tersebut signifikan dan dapat menimbulkan dampak negatif. Selain mengalami gangguan fungsi dan estetis, psikologis juga dapat terganggu karena akan merasa tidak percaya diri akibat hilangnya gigi (Dalimunte, 2003).
2. Etiologi Menurut Dalimunte (2003)
penyebab gigi avulsi adalah: (1)
Kecelakaan lalu lintas; (2) Perkelahian; (3) Jatuh; (4) Kecelakaan olahraga; (5) Kerusakan jaringan periodontal; dan (6) Penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus. Avulsi pada gigi permanen biasanya terjadi pada anak lelaki usia 710 tahun. Penyebab yang khas biasanya karena kecelakaan bersepeda, bermain skateboard dan olahraga-olahraga lain. Pada usia 7-10 tahun, akar pada gigi permanen belum sepenuhnya matur, struktur jaringan periodontal masih longgar dan hubungan akar dengan tulang alveolar masih lemah, serta tulang alveolar relatif lunak. Berbeda dengan orang dewasa yang memiliki akar yang sudah matur, jaringan periodontal yang kuat, serta tulang alveolar yang kuat sehingga lebih cenderung mengalami fraktur gigi daripada avulse (King dan Henretig, 2008).
2
3. Penatalaksanaan Avulsi adalah keluarnya seluruh gigi dari soketnya. Tindakan yang diperlukan untuk menangani gigi yang avulsi yaitu replantasi gigi atau mengembalikan gigi ke dalam soketnya seperti semula. Keberhasilan perawatan dari gigi yang avulsi dipengaruhi faktor yaitu berapa lama terjadinya, tempat kejadian, tindakan apa yang dilakukan pertama kali ketika terjadinya gigi avulsi dan bagaimana cara penanganan gigi avulsi tersebut. Prognosis perawatannya dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: tingkat kerusakan atau luas dari kerusakan yang dialami, apakah kerusakan yang dialami meliputi jaringan lain di sekitar gigi, seperti jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang rahang, kualitas dan kesegeraan dari perawatan yang dilakukan setelah terjadi trauma, serta evaluasi dari penatalaksanaan selama masa penyembuhan. Gigi yang akan dilakukan replantasi mempunyai golden periode yaitu 2 jam setelah gigi itu terlepas. Apabila gigi direplantasi lebih dari 2 jam, kemungkinan gigi akan menjadi non vital sehingga gigi tersebut perlu mendapat perawatan endodontik setelah difiksasi. Syarat-syarat gigi yang akan di replantasi, yaitu: a. Gigi yang avulsi sebaiknya sehat dan tidak terdapat karies yang luas b. Tulang alveolar harus tetap utuh agar dapat menahan gigi,tidak ada fraktur atau penyakit periodontal c. Gigi yang avulsi sebaiknya berada pada posisi yang baik dalam lengkungnya tanpa kelainan ortodonsi d. Ligamen periodontal tidak tergores
Tata laksana avulsi gigi a. Gigi di masukkan kedalam larutan salin (sedikit garam dimasukkan pada air menghasilkan salinitas 0,7%) b. Pegang gigi pada bagian mahkota, jangan pada bagian akar karena akan merusak sel-sel yang diperlukan untuk perlekatan gigi pada dinding soket
3
c. Cuci gigi pada air mengalir atau larutan salin atau susu tanpa digosok, irigasi soket tanpa menyentuh dinding soket d. Lakukan penanaman kembali (replantasi), lakukan reposisi gigi dengan meletakkan gigi pada soket dengan tekanan secara lembut untuk mengembalikan gigi ke posisi semula, rahang atas dan rahang bawah dioklusikan kemudian segera lakukan splinting e. Splinting dilakukan dengan menggunakan metode essig, langkahlangkahnya: 1) Persiapan alat 2) Adapasikan kawat primer pada semua gigi yang terlibat, menyusur daerah singulum, kedua ujung kawat ditautkan 3) Kawat sekunder dimasukkan dari arah palatal/lingual sebelah apikal dan insisal kawat primer ke labial melalui daerah titik kontak, kedua ujung kawat ditautkan dan dipelintir searah dengan jarum jam, ditarik dan dipotong 3-4 mm, kemudian diselempitkan ke arah interdental. f. Peringatkan pasien dan orang tuanya akan bahaya terjadinya nekrosis pulpa, resorpsi akar, atau ankilosis. g. Berikan medikasi pada pasien berupa analgesik dan antibiotik h. Edukasi yang diberikan pada pasien berupa; 1) Jangan menggunakan gigi yang baru saja direplantasi untuk menggigit 2) Konsumsi makanan lunak 3) Menjaga kebersihan rongga mulut 4) Jangan berkumur sesaat setelah replantasi, berkumur dengan air garam hangat dapat dilakukan sekitar 6 jam setelah replantasi. Berkumur
setiap
2
jam
untuk
mencegah
terjadinya
pembengkakan pada area sekitar gigi yang di replantasi 5) Kontrol 1 minggu kemudian (Grossman, 1995)
4
B. Dislokasi TMJ 1. Definisi Dislokasi mandibula adalah suatu gangguan yang terjadi karena pergeseran sendi. Dislokasi temporomandibular joint (TMJ) adalah suatu gangguan yang terjadi karena pergeseran sendi antara tulang temporal dengan tulang rahang (mandibula). Dislokasi dapat pula didefinisikan sebagai pergerakan kondilus kearah depan dari eminensia artikularis yang memerlukan beberapa bentuk manipulasi untuk mereduksinya (Pedersen, 2003). Dislokasi dapat terjadi satu sisi (unilateral) atau dua sisi (bilateral) dan dapat bersifat akut atau emergensi, kronis atau long-standing serta kronis yang bersifat rekuren yang dikenal dengan dislokasi habitual, sehingga penderita akan mengalami kelemahan yang sifatnya abnormal dari kapsula pendukung dan Ligamen. Pada sebagian besar kasus, dislokasi terjadi secara spontan saat membuka mulut terlalu lebar, misalnya menguap, berteriak, makan, bernyanyi atau pada saat perawatan gigi (Pedersen, 2003).
2. Etiologi Terdapat beberapa etiologi terjadinya dislokasi TMJ diantaranya yaitu: a. Pasien mempunyai fosa mandibular yang dangkal serta kondilus yang tidak berkembang dengan baik; b. Anatomi yang abnormal serta kerusakan dari stabilisasi ligament yang akan mempunyai kecenderungan untuk terjadi kembali (rekuren); c. Membuka mulut yang terlalu lebar atau terlalu lama; d.
Kelemahan kapsuler yang dihubungkan dengan subluksasi kronis;
e. Diskoordinasi
otot-otot
karena
pemakaian
obat-obatan
atau
gangguan neurologis. Dislokasi kronis rekuren berhubungan dengan kelemahan kapsula dan ligament yang diakibatkan oleh penyembuhan yang tidak adekuat dari penyakit degenerative, hipermobiliti serta adanya trama dan oklusal
5
disharmoni, yang akan menyebabkan spasme dari oto-otot masetter dan pterygoid lateralis. Problem emosional dan gangguan neurofisiologi adalah factor lain yang berhubungan.
3. Klasifikasi Jenis dislokasi dibedakan berdasarkan letak condylus terhadap fossa temporalis tulang temporal (Okeson, 2003) , sebagai berikut : a. Dislokasi anterior Dislokasi anterior biasanya terjadi akibat interupsi pada sekuens normal kontraksi otot saat mulut tertutup setelah membuka ekstrim. Muskulus masseter dan temporalis mengangkat mandibula sebelum muskulus pterygoideus lateral berelaksasi, mengakibatkan condylus mandibularis tertarik ke anterior tonjolan tulang dan keluar dari fossa temporalis. Dislokasi anterior dibedakan menjadi 3, yaitu : 1) Dislokasi akut Dislokasi akut terjadi akibat trauma atau reaksi distonik namun biasanya disebabkan oleh pembukaan mulut yang berlebihan seperti menguap, anestesi umum, ekstraksi gigi, muntah, kejang, dan pada saat prosedur endoskopik. 2) Dislokasi kronik akut Dislokasi kronik akut terjadi karena mekanisme yang sama
pada
pasien
dengan
faktor
resiko
seperti
fossa
mandibularis yang dangkal (kongenital), kehilangan kapsul sendi
akibat
riwayat
dislokasi
sebelumnya
(sindrom
hipermobilitas). 3) Dislokasi kronik Dislokasi kronik terjadi karena dislokasi TMJ yang tidak ditangani sehingga condylus tetap berada dalam posisinya yang salah dalam waktu lama. Pada umumnya dibutuhkan reduksi terbuka.
6
b. Dislokasi posterior Dislokasi posterior pada umumnya terjadi akibat trauma fisik langsung pada dagu dimana condylus mandibulariss tertekan ke posterior ke arah mastoid. Dislokasi posterior dapat menyebabkan jejas pada meatus acusticus externus akibat condylus. c. Dislokasi superior Dislokasi superior terjadi akibat trauma fisik langsung pada mulut yang sedang berada dalam posisi terbuka. Sudut mandibula pada posisi ini menjadi faktor pendukung pergeseran condylus ke arah superior dan dapat mengakibatkan kelumpuhan nervus fasialis, kontusio serebri dan gangguan pendengaran. d. Dislokasi lateral Dislokasi lateral biasanya terkait dengan fraktur mandibula dimana condylus bergeser ke arah lateral dan superior serta sering dapat dipalpasi pada permukaan temporal kepala.
4. Faktor Resiko TMJ Menurut Ugboko (2005), Terdapat beberapa faktor risiko dislokasi TMJ, antara lain: a. Fossa mandibularis yang dangkal b. Condylus yang kurang berkembang sempurna c. Ligamen TMJ yang longgar d. Penyakit jaringan ikat, misalnya sindrom Marfan, sindrom EhlersDanlos
5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dislokasi TMj tergantung pada tingkat keparahan dislokasi, apakah bersifat akut atau kronis. Pada keadaan akut yang masih memungkinkan untuk dilakukan reposisi secara manual sebaiknya sesegera mungkin sebelum spasme otot bertambah dalam. Sedangkan, pada dislokasi kronis rekuren diperlukan prosedur pembedahan dan non bedah lainnya untuk menghindari redislokasi.
7
Prosedur terapi manual : a. Operator berada didepan pasien b. Letakkan ibu jari pada daerah retromolar pad (gigi molar terakhir) pada kedua sisi mandibula dan jari-jari yang lain memegang permukaan bawah dari mandibula c. Berikan tekanan pada gigi molar rahang bawah untuk membebaskan kondilus dari posisi terkunci didepan eminensia artikularis d. Dorong mandibula ke belakang untuk mengembalikan ke posisi anatominya e. Reposis yang berhasil ditandai dengan gigi – gigi kembali beroklusi dengan cepat karena spasme dari otot masseter f. Pemasangan barton headbandage untuk mencegah redislokasi dan membatasi pasien untuk tidak membuka mulut terlalu lebar dalam 24-48 jam g. Pemberian obat berupa analgesik dan pelemas otot
Prosedur manual yang lain yaitu operator berdiri dibelakang pasien kemudian ibu jari diletakkan pada retromolar pad dan jari-jari yang lain memegang mandibula bagian depan, lalu mandibula ditekan ke arah bawah dan biasanya akan tertarik dengan sendirinya ke posterior (Bradley, 1994). Terapi dislokasi kronis dalam pengertian telah berlangsung
lama
(long
standing)
atau
terlambat
dalam
penatalaksanaannya, menurut Bradley dkk (1994), yaitu a. Reduksi secara manual b. Reduksi secara tidak langsung dengan penarikan melalui sudut atau prosesus coronoideus serta penekanan pada kondilus c. Reduksi secara langsung melalui pembedahan pada sendi d. Condylotomy, condylectomy, dan osteotomy
Pada dislokasi rekuren, penatalaksanaanya dapat dilakukan secara konservatif dengan immobilisasi menggunakan interdental wiring selama 4-6 minggu atau dengan menggunakan cairan sklerosing yang
8
disuntikkan inta artikular. Penatalaksanaan dislokasi rekuren dengan pembedahan, berdasarkan lima metode dasar bedah, yaitu : a. Pengencangan mekanis dari kapsul b. Mengikat bagian sendi atau mandibula ke struktur yang terfiksasi c. Membuat hambatan mekanis pada jalur kondilus d. Mengurangi gangguan pada jalur kondilus e. Mengurangi tarikan dari otot Prosedur
pembedahan
yang
dapat
dilakukan
diantaranya
augmentasi eminensia, blocking hipertranslasi kondilus, myotomy otot pterygoideus lateralis dan eminoplasty. Jika dislokasi diakibatkan oleh trauma,
maka
reposisi
harus
diikuti
dengan
tindakan
untuk
penatalaksanaan fraktur yang mengakibatkan dislokasi tersebut.
C. Analisa Kasus 1. Skenario Seorang pelajar SMP (perempuan usia 12 tahun) datang ke IGD RSGMP Unsoed karena giginya lepas dan tidak dapat menutup mulut akibat kecelakaan motor 20menit yang lalu. Pasien datang diantar oleh ayahnya dan
orang yang menabraknya. Gigi yang terlepas telah
dibungkus tisu dan diserahkan pada perawat. Terdapat luka gores pada pelipis pasien. Tidak ada luka berat di anggota tubuh lain. Dokter spesialis bedah mulut yang kebetulan saat itu sedang jaga di poli gigi segera datang ke IGD dan meminta perawat untuk segera mengantar pasien ke ruang foto rontgen setelah luka goresnya dirawat dan mengontrol perdarahan dari mulutnya. Hasil pemeriksaan intra oral didapatkan gigi 11 mengalami avulsi, gingiva hiperemi dan nyeri di sekitar soket (+). Pasien juga tidak dapat mengoklusikan giginya. Pembukaan mulut tampak deviasi ke arah kanan dan palpasi preaurikular lunak. Hasil foto rontgen tampak jaringan periodontal di sekitar gigi avulsi masih baik dan posisi kondilus mandibula kiri berada di anterior eminensia artikulare.
9
2. Pemeriksaan Subjektif Identitas pasien CC
: Perempuan , 12 tahun
: Gigi lepas dan tidak dapat menutup mulut karena kecelakaan motor 20 menit yang lalu.
PI
: Gigi dibungkus dengan tissue dan terdapat luka gores pada pelipis. Tidak ada luka berat di anggota tubuh lain.
PMH
: Tidak diketahui
PDH
: Tidak diketahui
FH
: Tidak diketahui
SH
: Pelajar SMP
3. Pemeriksaan Klinis a. Gigi 11 avulsi b. Gingiva hiperemi c. Nyeri sekitar soket (+) d. Pasien tidak dapat oklusi e. Pembukaan mulut deviasi ke arah kanan f. Palpasi preaurikular lunak
4. Pemeriksaan Radiografi a. Jaringan periodontal disekitar gigi avulsi baik. b. Kondilus mandibula kiri berada di anterior eminensia artikularis.
10
5. Diagnosa a. Dislokasi anterior unilateral b. Avulsi gigi 11 et causa trauma
6. Rencana Perawatan Penanganan Avulsi Gigi
a. Ketika pasien datang ke klinik, gigi segera diletakkan pada gelas yang berisi larutan saline b. Lakukan anamnesa, jelaskan rencana perawatan avulsi pada pasien, dan lakukan foto ronsen pada gigi secepat mungkin. c. Irigasi soket dengan air saline, jangan sampai menyentuh dinding soket nya d. Replantasi gigi pada soket nya, dengan cara memegang bagian mahkota gigi dan tidak pada akar nya karena hal tersebut dapat merusak sel-sel yang diperlukan untuk perlekatan pada dinding soket. e. Lakukan splinting pada gigi tersebut dengan menggunakan metode essig. f. Edukasikan pada pasien untuk menghindari makanan yang keras, jangan mengunakan gigi yang baru direplantasi untuk mengigit, dan tidak berkumur selama 24 jam, tidak menekan saat menyikat gigi pada bagian gigi yang di splinting, dan berkumur air garam setelah 24 kemudian. g. Kontrol 1 minggu kemudian. h. Memberi resep obat analgesik yaitu paracetamol atau ibu profen dan antibiotik spektrum luas.
Penanganan deviasi mandibula
a. Jika kemungkinan ada fraktur, perlu dilakukan ronsen foto terlebih dahulu. Jika tidak ada trauma, dapat dilakukan penanganan proses secara langsung.
11
b. Pasien diletakkan pada kursi yang tidak bersandaran dan menempel dinding sehingga punggung dan kepala pasien bersandar pada dinding. c. Balut ibu jari dengan kasa yang agak tebal untuk mencegah tergigit nya ibu jari karena setelah ada dalam posisi yang benar maka rahang akan mengatup dengan cepat dan keras. Setelah itu gunakan sarung tangan. d. Posisikan operator ada di depan pasien. e. Letakkan ibu jari di belakang retromolar pad (dibelakang gigi molar terakhir) pada kedua sisi mandibula setinggi siku-siku operator dan jari-jari lain memegang permukaan bawah mandibula.
f. Edukasikan pada pasien untuk diet lunak (makan makanan yang lunak), meminum obat secara teratur, tidak membuka mulut terlalu lama dan terlalu sering. g. Pasien kontrol kembali 2 hari kemudian untuk mengevaluasi perkembangan keadaan TMJ nya dan memeriksa keadaan replantasi gigi apakah terdapat pus atau tidak. Pada saat ini, keberhasilan replantasi gigi belum bisa diketahui. Kemudian, pasien kontrol kembali 1 minggu kemudian untuk mengevaluasi vitalitas gigi avulsi, apakah gigi tersebut masih vital atau tidak. Apabila gigi tersebut nantinya non vital dapat dilakukanya perawatan saluran akar. h. Pada kasus ini, perawatan saluran akar dilakukan pada gigi permanen muda sehingga perlu dilakukan apeksifikasi.
12
Apeksifikasi merupakan perawatan gigi permanen muda yang non vital dengan ujung apeks masih terbuka dengan tujuan menutup apeks gigi yang masih terbuka. Apeksifikasi dilakukan setelah diketahui bahwa gigi yang direplantasi telah non vital saat dilakukan tes vitalitas 1 minggu pasca replantasi. Apeksifikasi merupakan perawatan
pendahuluan
pada
perawatan
endodontik
dengan
menggunakan calxyl, CMCP, cresatin dan barium sulfat sebagai bahan pengisi saluran akar yang bersifat sementara pada gigi non vital dengan apeks masih terbuka. Tujuan dilakukannya apeksifikasi adalah untuk memicu terbentuknya ujung akar supaya pengisian saluran
akar
gigi
dapat
hermentis.
Prosedur
dilakukannya
apeksifikasi adalah; 1) Kunjungan pertama a) Dilakukan foto rontgen terlebih dahulu pada gigi yang akan di apeksifikasi b) Buka kamar pulpa c) Melakukan preparasi biomekanis, yaitu membersihkan sisa jaringan pulpa menggunakan barbed broach dan file (2 mm dari ujung apeks) d) Mengaplikasikan cresatin, Zink Oxide Eugenol pada kamar pulpa dan saluran akar e) Tutup dengan tumpatan sementara 2) Kunjungan kedua a) Setelah 2 minggu, ambil bahan sterilisasi dari saluran akar b) Lakukan pengulangan preparasi c) Saluran akar dikeringkan dengan paper point d) Aplikasikan
calxyl
+
CMCP
(Champorated
Para
Chlorophenol) + cresatin + barium sulfat + kapas e) Tutup dengan tumpatan sementara f) Dilakukan evaluasi dalam jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun untuk melihat proses apeksifikasi pada gigi yang avulsi tersebut
13
g) Jika perawatan berhasil maka dilakukan pengambilan bahan pengisi saluran akar tersebut dan dilakukan obturasi dengan guta percha (Bakar, 2012).
14
SIMPULAN
Pemeriksaan yang dilakukan pada anak yang baru mengalami cedera traumatik meliputi anamnesa yang terdiri dari riwayat medis dan riwayat kesehatan gigi, serta pemerikasaan klinis meliputi pemeriksaan ekstraoral, pemeriksaan intraoral dan pemeriksaan radiografi. Melalui pemeriksaan tersebut, pasien pada skenario case study 3 kali ini dapat didiagnosa avulsi gigi 11 et causa traumatik dan dislokasi temporomandibular joint. Pada kasus tersebut terdapat dua diagnosa yang masing-masing harus ditangani secara tepat dan cepat karena bersifat darurat. Hal yang pertama dilakukan pada pasien tersebut adalah melakukan replantasi pada gigi avulsi terlebih dahulu, kemudian dilakukan reposisi TMJ yang mengalami dislokasi. Hal tersebut dikarenakan gigi yang mengalami avulsi hanya memiliki golden time 2 jam dan mencegah nekrosis pada jaringan sekitar gigi sehingga penanganan lebih didahulukan. Setelah melakukan replantasi dan reposisi TMJ, pasien diberi edukasi agar perawatan maksimal dan diminta untuk kontrol sehari setelah perlakuan untuk evaluasi TMJ, dan 1-2 minggu untuk evaluasi replantasi gigi, dan kontrol rutin secara berkala untuk melihat perkembangan gigi, apakah gigi masih vital atau menjadi non vital dan terjadi ankilosis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, A. 2012. Kedokteran Gigi Klinis. Yogyakarta: Quantum Sinergis Media. Bradley P, James D, Norman Je. 1994. Injuries of the condylar and coronoid processes. Dalam Williams JL. Philadelphia. WB Saunders Co, Dalimunte, Taqwa .2003. Replantasi Gigi Sulung yang Avulsi, Dentika Dent J Grossman LI, Oliet S, Del Rio C E. 1995. Ilmu Endodontik Dalam Praktek Edisi kesebelas. Jakarta: EGC King C, Henretig FM, eds. Textbook of pediatric emergency procedures, 2nd ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins 2008: 515 – 521 Okeson JP. 2003. Management of Temporomandibular Disorder and Occlusion. St. Louis Mosby Ram D, Cobenca N. 2004. Treatment per AvulsedPermanent teeth, therapeutic Protocols For Avulsed PermanentTeeth. Review and Clinical update Pediatric Dent J Ugboko VI, Oginni FO, Ajike SO, Olasoji HO, Adebayo ET. Asurvey of temporomandibular joint dislocation : aetiology, demographics, risk factors and management in 96 nigerian cases . International journal of oral and maxillofacial surgery, 2005;34(5):499-502. Diunduh dari: http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=16863452.
16