Warna
Rata-rata
Tekstur
Rata-rata
Kenampakan
Rata-rata
Tesktur
Rata-rata
Warna
Rata-rata
Rasa
Rata-rata
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Astawan (2004), daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada bagian kerangka. Daging merupakan jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan yang sesuai serta dapat dimakan dengan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi (Soeparno,1998). Terdapat beberapa jenis daging yaitu daging ayam, sapi dll.
Terdapat beberapa jenis daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia yaitu daging ayam, sapi, domba, kambing dan babi. Menurut Lawri (2003), produksi ayam, sapi, domba, kambing dan babi di Indonesia pada tahun 1999 secara berturut-turut ±682.000 ton, ±354.000 ton, ±37.000 ton, ±47.000 ton dan ±138.000 ton. Jumlah produksi yang tinggi tersebut tidak sesuai dengan jumlah pemanfaatan dalam bentuk produk. Sebagian besar produk yang dihasilkan berupa lauk pauk. Hal ini tidak sejalan dengan kandungan gizi tinggi yang terdapat pada daging. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemanfaatan jenis sumber daya hewani ini. Salah satu pemanfaatannya adalah dengan menggunakan daging sebagai bahan dalam pembuatan cilok.
Cilok merupakan makanan yang berasal dari Jawa Barat yang berasal dari kata aci dicolok. Cilok merupakan makanan yang berasal dari Jawa Barat dengan bahan utama berupa kanji. Penggunaan bahan berupa kanji menyebabkan kandungan gizi yang dimiliki oleh bahan rendah sehingga diperlukan adanya diversisifikasi. Peningkatan gizi dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi misalnya daging ayam dan daging sapi. Pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol yang terbuat dari tepung kanji, berasa gurih dankenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari JawaBarat, namun sekarang sudah mulai merambah kedaerah-daerah lain. Perlu diwaspadai akan kemanan pangan dari pentol cilok tersebut, karena biasanya pentolcilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalam waktu yang lama, sehingga memungkinkan terjadinyacemaran oleh mikroba. Cemaran oleh mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selaincemaran oleh mikroba, keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan bahan yang digunakan,kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan makananan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
Tujuan
Mengetahui bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cilok.
Mengetahui kandungan gizi bahan yang digunakan dalam pembuatan cilok.
Mengetahui perubahan yang terjadi selama proses pembuatan cilok.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Cilok dan Kandungan Gizi Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol yang terbuat dari tepung kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa Barat, namun sekarang sudah mulai merambah ke daerah-daerah lain. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan cilok, yaitu: tepung kanji,tepung terigu, air, merica, garam,wortel dan bawang putih. Bahan kimia yang digunakan dalam analisis total karoten adalah petroleum eter dan aseton (Sabathani, 2013).
Cilok yang merupakan singkatan dari "Aci dicolok" ini adalah makanan yang sangat digemari oleh semua kalangan. Terbuat dari aci (tapioka) yang dibuat bulat-bulat kemudian diisi sedikit daging cincang/lemak ayam (gajih) lalu dikukus. Cilok ini biasanya "dicolok" (ditusuk) oleh bambu. Untuk tambahannya biasanya disiram dengan saus kacang dan kecap. Rasanya kenyal dan sangat nikmat bila disantap hangat. Pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol yang terbuat dari tepung kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa Barat, namun sekarang sudah mulai merambah ke daerah-daerah lain (Rohmah dan Handayani, 2013).
Cilok merupakan makanan jajanan (street food) khas provinsi jawa barat, tepatnya dari daerah Bandung. Yang dimaksud dengan makanan jajanan adalah makanan jajanan yang sehat, aman, dan bergizi adalah makanan yang halal, mengandung zat gizi yang diperlukan tubuh, disajikan dalam wadah atau kemasan tertutup, tidak mengandung bahan tambahadn makanan yang berbahaya dan atau dalam jumlah yang berlebihan serta tidak basi atau rusak secara fisik. (Widjanti, 1998).
Cilok juga mengandunng beberapa nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh, terutama energi. Kandungan cilok diantaranya: Kandungan gizi cilok per 100 gram (g) :
Informasi Gizi
per 100 gram (g)
Energi
1113kj
266 kkal
Lemak
2,57 g
Lemak Jenuh
0,526 g
Lemak tak Jenuh Ganda
0,642 g
Lemak tak Jenuh Tunggal
1,168 g
Kolesterol
41 mg
Protein
2,45 g
Karbohidrat
58,17 g
Serat
0,8 g
Gula
2,43 g
Sodium
221 mg
Kalium
48 mg
Sumber: Rohmah dan Handayani (2013).
2.2 Fungsi Penamnahan Bahan
2.2.1 Tapioka
Tapioka merupakan pati yang berasal dari hasil ekstaksi singkong. Jenis singkong yang digunakan adalah singkong yang berusia 18-20 bulan (Grace, 1977 dalam Rahman, 2011). Tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan dari ubi kayu.Tepung tapioka umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi singkong (Astawan, 2009).
Bahan baku dalam pembuatan tepung tapioka adalah singkong atau ubi kayu. Bahan pangan ini merupakan pati yang diekstrak dengan air dari umbi singkong (ketela pohon).Setelah disaring, bagian cairan dipisahkan dengan ampasnya.Cairan hasil saringan kemudian diendapkan, bagian yang mengendap tersebut selanjutnya dikeringkan dan digiling hingga diperoleh butiran-butiran pati halus berwarna putih, yang disebut tapioka (Astawan, 2009). Bahan ini dapat digunakan sebagai bahan pengikat adonan (Astawan, 2003).
Tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental dan bahan pengikat dalam industri makanan.Sedangkan ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak.Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus.Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi (Astawan, 2009).
Kualitas tapioka dapat ditentukan dari komposisi kimia yang terdapat didalamnya. Adapun komposisi kimia pada tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia tapioka dalam 100 gram bahan
Komposisi
Jumlah
Kalori (per 100 gr)
363
Karbohidrat (%)
88.2
Kadar air (%)
9,0
Lemak (%)
0,5
Protein (%)
1,1
Ca (mg/100gr)
84
P (mg/100gr)
125
Fe (mg/100gr)
1,0
Vitamin B1(mg/100gr)
0,4
Vitamin C (mg/100gr)
0
Sumber: Soemarno, 2007
2.2.2 Terigu
Tepung terigu merupakan hasil ekstraksi dari proses penggilingan gandum (T. sativum) yang tersusun oleh 67-70 % karbohidrat, 10-14 % protein, dan 1-3 % lemak (Taggart, P. 2004). Terigu berasal bahasa postugis yaitu trigo yang berarti gandum, terigu merupakan bubuk halus yang berasal dari biji gandum. Jenis tepung ini memiliki kandungan pati dan protein dalam bentuk gluten. Kedua jenis senyawa tersebut memiliki peranan sebagai pembentuk kekenyalan pada makanan (Salam, dkk., 2012).
Menurut Damodaran and Paraf (1997) pada sebagaian besar produk makanan, pati terigu terdapat dalam bentuk granula kecil (1-40 m) dan dalam suatu sistem, contohnya adonan, pati terigu terdispersi dan berfungsi sebagai bahan pengisi.Protein dari tepung terigu membentuk suatu jaringan yang saling berikatan (continous) pada adonan dan bertanggung jawab sebagai komponen yang membentuk viscoelastik.
Gluten merupakan protein utama dalam tepung terigu yang terdiri dari gliadin (20-25 %) dan glutenin (35-40%).Sekitar 30% asam amino gluten adalah hidrofobik dan asam-asam amino tersebut dapat menyebabkan protein mengumpul melalui interaksi hidrofobik serta mengikat lemak dan substansi non polar lainnya.Ketika tepung terigu tercampur dengan air, bagianbagian protein yang mengembang melakukan interaksi hidrofobik dan reaksi pertukaran sulfydryl-disulfide yang menghasilkan ikatan seperti polimerpolimer. Polimer polimer ini berinteraksi dengan polimer lainnya melalui ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, dan disulfide cross-linking untuk membentuk seperti lembaran film (sheet-like film) dan memiliki kemampuan mengikat gas yang terperangkap (Fennema, 1996 )
Kualitas terigu dapat ditentukan dari komposisi kimia yang terdapat didalamnya. Adapun komposisi kimia pada tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia terigu dalam 100 gram bahan
Komposisi
Jumlah
Kalori (Kal)
365
Protein (g)
8,9
Lemak (g)
1,3
Karbohidrat (g)
77,3
Kalsium (mg)
16
Fosfor (mg)
106
Besi (mg)
1,2
Vit. B1(mg)
0,12
air (g)
12
Sumber: Departemen Kesehatan RI (1996)
2.2.3 Daging Ayam
Menurut Astawan (2004), daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada bagian kerangka. Daging merupakan jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan yang sesuai serta dapat dimakan dengan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi (Soeparno, 1998). Terdapat beberapa jenis daging yaitu daging ayam, sapi dll.
Ayam dipelihara terutama untuk digunakan daging dan telurnya dan merupakan sumber penting protein hewani.Daging ayam memiliki kandungan gizi yang tinggi. Daging ayam kaya kandungan protein dan merupakan sumber fosfor dan mineral lain serta vitamin B-kompleks (Surisdiarto dan Koentjoko. 1990 : 58).
Ditinjau dari segi mutu, daging ayam memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya. Daging ayam mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, komposisi protein ini sangat baik karena mengandung semua asam amino esensial yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh, akan tetapi daging ayam juga mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya (Surisdiarto dan Koentjoko. 1990 : 58).
Daging ayam merupakan salah satu produk yang memiliki kandungan protein tinggi (Astawan dan Mita 1998). Pada pembuatan cilok daging ayam berfungsi sebagai sumber protein. Adapun kandungan kimia daging ayam dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia daging ayam dalam 100 gram bahan
Komposisi
Jumlah
Kalori (kal)
302
Protein (g)
18,2
Lemak (g)
25
Kalsium (mg)
14
Fosfor (mg)
400
Besi (mg)
1,5
Nilai Vit. A (SI)
820
Vitamin B1 (mg)
0,08
Air (g)
55,9
Bdd (%)
58
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996
2.2.4 Daging Sapi
Menurut Astawan (2004), daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada bagian kerangka. Daging merupakan jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan yang sesuai serta dapat dimakan dengan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi (Soeparno,1998). Terdapat beberapa jenis daging yaitu daging ayam, sapi dll.
Daging adalah sekumpulan otot yang melekat pada kerangka.Istilah daging dibedakan dengan karkas.Daging adalah bagian yang sudah tidak mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari tulang atau kerangkanya.Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi.Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dari pada yang berasal dari nabati (Koswara, 2009).
Menurut Astawan (2007), daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna dibanding protein yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40 persen, tergantung pada jenis dan spesies, makanan dan umur ternak.
Protein merupakan komponen bahan kering yang terbesar dari daging.Nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.Selain protein, otot mengandung air, lemak, karbohidrat dan komponen anorganik. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin (Soeparno, 1992 dalam Riyanto, I. 2006.).
Daging sapi merupakan jenis daging yang berwarna merah yang memiliki kandungan protein tiggi. Kadar mioglobin pada daging bervariasi, tergantung pada spesies, umur dan jenis otot. Reaksi perubahan warna dalam daging segar adalah reaksi yang dapat balik dan bersifat dinamis dengan interkonversi konstan dari tiga bentuk pigmen: mioglobin oksimioglobin dan metmioglobin (Fox, 1966). Daging sapi memiliki bentuk serat yang lebih besar dan kasar sedangkan daging kambing dan ayam memiliki serat yang lebih halus dari daging sapi (Lewry, 2003).
Daging sapi merupakan jenis daging yang berwarna merah yang memiliki kandungan protein tiggi. Pada pembuatan cilok daging sapi berfungsi sebagai sumber protein. Adapun komposisi kimia pada daging sapi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi kimia pada daging sapi dalam 100 gram
Zat Gizi
Jumlah
Air (gram
66,0
Protein (gram)
18,8
Energi (kal)
207,0
Lemak (gram)
14,0
Kalsium (mg
11,0
Besi (mg
2,8
Vit A (SI)
30,0
Sumber : (Hasbullah, 2008).
2.2.5 Bawang Putih
Bawang putih merupakan salah datu jenis umbi lapis yang dapat digunakan sebagai bumbu masak. Penggunaan bahan tersebut sebagai bumbu masak adalah sebagai pemberi aroma pada produk (Vincent dan Yamaguchi, 1997). Bawang putih memiliki kandungan gizi yang bermanfaat bagi kesehatan yang berfungsi sebagai antibakteri, antibiotic, merangsang pertumbuhan sel tubuh (Vincent dan Yamaguchi, 1997).
Menurut Lewis (1984) karakteristik bau yang kuat dari bawang putih disebabkan oleh adanya senyawa volatile sekitar 0,1% yang mengandung senyawa sulfur. Senyawa tersebut terbentuk ketika sel terpecah, sehingga terjadi reaksi antara precursor yang disebut allin dan enzim allinase. Terbentuknya substansi yang disebut allicin (diali tiosulfat), menimbulkan bau yang segar dari bawang putih. Allicin mengalami degradasi non enzimatik untuk membentuk metal dan allil mono, di dan trisulfit dan sulfur oksida.
Bawang putih (Allium sativum L.) berfungsi sebagai penambah aroma serta untuk meningkatkan citarasa produk. Bawang putih merupakan bahan alami yang ditambahkan ke dalam bahan makanan guna meningkatkan selera makan serta untuk meningkatkan daya awet bahan makanan (bersifat minyak volatil yang mengandung komponen sulfur (Palungkun et al, 2011).Adapun kandungan gizi bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan gizi bawang putih dalam 100 gram bahan
Komposisi
Jumlah
Air (g)
58,58
Energi (kkal)
149
Protein (g)
6,36
Total lipid (g)
0,5
Karbohidrat (g)
33,06
Serat (g)
2,1
Gula (g)
1
Kalsium (mg)
181
Iron, Fe (mg)
1,7
Magnesium (mg)
25
Fosfor (mg)
153
Potassium (mg)
401
Sodium (mg)
17
Zn (mg)
1,16
Cu (mg)
0,299
Mangan (mg)
1,672
Selenium (mg)
14,2
Vitamin C (mg)
31,2
Vitamin B6 (mg)
1,235
Beta karoten (mcg)
5
Vitamin A (IU)
9
Vitamin E (alpha-tokoferol) (mg)
0,08
Triptofan (g)
0,066
Threonin (g)
0,157
Isoleusin (g)
0,308
Lisin (g)
0,273
Metionin (g)
0,076
Sistein (g)
0,065
Sumber: USDA National Nutrien database for standar reference, 2013
2.2.6 Garam
Garam merupakan padatan yang berbentuk kristal dan memiliki sifat higroskopis (Burhanuddin, 2001). Penggunaan garam dalam bahan pangan adalah memperbaiki citarasa, pengikat air, pengawet dan menghambat pertumbuhan mikroba (Eddy dan Lilik, 2007; Suyanti, 2008).
Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan digunakan sebagai penegas cita rasa dan bahan pengawet. Penggunaan garam tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi asin. Konsentrasi garam yang ditambahkan biasanya berkisar 2 sampai 3% dari berat daging yang digunakan (Afiati, Fifi. 2009.).
Garam mempunyai peran yang cukup menentukan yaitu memberikan kelezatan produk, mempertahankan flavor dari bahan-bahan yang digunakan, berfungsi sebagai pengikat adonan sehingga mengurangi kelengketan. Selain itu, garam juga dapat membantu mencegah berkembangnya mikroba yang ada dalam adonan (Hui, 1992)
Pada pembuatan cilok dilakukan penambahan garam yang bertujuan untuk memberikan cita rasa yang diinginkan. Penggunaan garam dengan konsentrasi yang tinggi dapat mengawetkan makan. Penggunaan garam dalam bahan pangan adalah memperbaiki citarasa, pengikat air, pengawet dan menghambat pertumbuhan mikroba (Eddy dan Lilik, 2007; Suyanti, 2008).
2.2.7 Daun Bawang (Bawang Prei)
Bawang merupakan salah satu jenis umbi lapis yang sister perakarannya serabut. Penggunaan daun bawang dalam pembuatan cilok adalah sebagai peningkat aroma dan sebagai bumbu. Daun bawang merupakan jenis sayuran dari kelompok bawang yang banyak digunakan dalam masakan. Dalam seni masak Indonesia, daun bawang bisa ditemukan misalnya dalam martabak telur, sebagai bagian dari sop, atau sebagai bumbu tabur seperti pada soto. Daun bawang sebenarnya istilah umum yang dapat terdiri dari spesies yang berbeda.Jenis yang paling umum dijumpai adalah bawang daun (Allium fistulosum), kadang-kadang bawang prei juga disebut sebagai daun bawang (Zulfanita, 2012).
2.2.8 Air
Air vital dan besar peranannya pada produk cilok karena dalam proses pembuatan cilok air digunakan dalam pembuatan adonan serta proses perebusan. Fungsi air dalam pembuatan cilok sebagai berikut :
Diperlukan dalam pembuatan adonan dan pembentukan gluten.
Menentukan konsistensi dan karakteristik rheologis adonan
Menentukan kemudahan penanganan adonan selama proses
Menentukan mutu produk yang dihasilkan.
Berfungsi sebagai pelarut bahan – bahan seperti garam, gula, susu dan mineral sehingga bahan tersebut menyebar merata dalam tepung.
Mempertahankan rasa lezat cilok lebih lama bila dalam roti terkandung cukup air.
Penggunaan air es berfungsi meningkatkan air ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu, dalam pembuatan adonan cilok, dapat ditambahkan es sebanyak 15-20% atau bahkan 30% dari berat daging (Wibowo,1999).
2.3 Teknologi Pengolahan Cilok
Prinsip pengolahan cilok pada dasarnya sama dengan proses pengolahan bakso. Adapun beberapa tahap pengolahan adalah;
Pencucian Daging
Daging terlebih dahulu dilakukan pencucian untuk memisahkan kotoean yang menempel pada permukaan daging
Penggilingan
Penggilingan bertujuan agar tekstur daging menjadi lebi halus dan lembut sehingg memudahkan dalam proses selanjutnya
Pengulenan
Proses pengulenan dilakukan untuk menghomogenkan adonan dan bumbu.
Pencetakan
Pencetakan dilakukan dengan pembentukan cilok menjadi bulat kecil.
Perebusan
Perebusan dilakukan selama 5 menit, proses ini bertujuan untuk melunakkan dan mengenyalkan tekstur cilok.
Cara pembuatan cilok yang telah dipaparkan diatas tidak jauh berbeda dengan literatur dari Prayitno (2016):
Penghalusan daging, jika menggunakan daging ayam dan sapi, maka daging bisa langsung digiling, tapi jika menggunakan daging ikan, maka harus dilakukan pemfiletan terlebih dahulu untuk memisahkan duri dari daging ikan.
Pencampuran daging dengan tepung dan bahan lainnya.
Pengulenan hingga kalis agar semua bahan dapat tercampur merata.
Pencetakan adonan menjadi bulat seperti bakso yang berukuran kecil.
Pemasukan adonan yang telah di bentuk bulatan cilok kedalam air mendidih dan angkat saat sudah matang (cilok dengan sendirinya naik ke permukaan air). Setelah selesai di rebus, sajikan dengan sambal kacang atau kecap manis.
2.4 Reaksi Setiap Tahapan dan Perubahan Yang Terjadi
2.4.1 Penambahan Air
Pada tahapan penambahan air dan campuran adonan mengalami hidrasi. Selain itu, pada tahap pengadukan menyebabkan ikatan yang memanjang dan mampu mengikat air serta udara (Winarno, 1995). Kapasitas hidrasi menunjukkan jumlah air yang dapat diserap oleh tepung. Sifat demikian memberi pengaruh besar terhadap sifat adonan yang terbentuk (Sutardi dan Supriyanto, 1996).
2.4.2 Perebusan
Perebusan dilakukan dengan menggunakan pemanasan (heating processes) dengan suhu tinggi dan penambahan air. perebusan menyebabkan interaksi antara air dan pati yang terdapat pada bahan sehingga menyebabkan gelatinisasi pati. Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati sehingga tidak dapat kembali pada kondisi awal (Winarno, 2004).
Pengembangan molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus reaktif yang terdapat pada rantai polipeptida. Kemudian terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama. Semakin banyak jumlah ikatan yang terbentuk maka protein tidak dapat terdispersi sebagai koloid sehingga menyebabkan koagulasi. Ikatan reaktif protein yang menahan cairan akan menyebabkan pembentukan gel. Namun, apabila cairan dan protein yang terkoagulasi terpisah maka akan terbentuk endapan (Winarno, 2004).
Perebusan juga menyebabkan terjadinya reaksi mailadr hal ini juga didukung oleh literatur dari ( Schwedt, 2005) bahwa reaksi pembentukan aroma yang terjadi antara gula reduksi dengan asam amino disebut dengan reaksi Maillard. Reaksi tersebut dapat menghasilkan perubahan warna dan aroma dan merupakan indikator untuk suatu proses pemanasan bahan pangan.
2.4.3 Efek Pengolahan Terhadap Protein
Pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya. Denaturasi pertama terjadi pada suhu 45ºC yaitu denaturasi myosin dengan adanya pemendekan otot.Aktomiosin terjadi denaturasi maksimal pada suhu 50-55ºC dan protein sarkoplasma pada suhu 55-65ºC (Aprianto, 2005).
2.4.5 Efek Pengolahan Terhadap Karbohidrat
Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena karbohidrat merupakan sumber kalori.Pemasakan juga membantu pelunakan dinding sel dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein.Bila pati dipanaskan, granula-granula pati membengkak dan pecah dan pati tergalatinisasi.Pati masak lebih mudah dicerna dari pada mentah (Aprianto, 2005).
2.4.6 Penggilingan
Pada proses penggilingan terjadi perluasan permukaan daging sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak akan berubah menjadi mikro partikel. Proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air dingin sebanyak 20% dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan Rahayu 1994).
2.4.7 Pengadonan
Pada tahapan pengadonan tepung, air dan campuran bumbu-bumbu lainnya terjadi pemerataan atau homogenisasi bahan-bahan. Selain itu tepung terigu yang mengandungn protein akan membentuk gluten. Glutenin dan gliadin, apabila dicampur dengan air dan diadon akan membentuk massa yang elastis dan ekstensibel, yang disebut gluten (Sumirin, 2006).Sifat demikian memberi pengaruh besar terhadap sifat adonan yang terbentuk (Sutardi dan Supriyanto, 1996).
BAB 3 METODOLOGI PRAKTIKUM
Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Baskom
2. Piring
3. Food Processor
4. Sendok
5. Kompor
6. Neraca
7. Panci
8. Pisau
9. Talenan
10. Gelas Ukur
3.1.2 Bahan
1. Tepung Tapioka 75 gr
2. Terigu 25 gr
3. Bawang putih
4. Bawang Prei
5. Garam
6. Daging sapi
7. Daging Ayam
8. Lada
9. Air
10. Label
11. Tissue
12. Kuisioner
3.2.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Tahap awal yang dilakukan pada praktikum pembuatan cilok adalah menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan terlebih dahulu agar mempermudah jalannya praktikum. Selanjutnya dilakukan penghalusan daging ayam, daging sapi dan bawang putih dengan menggunakan food proccessor. Tujuan dari proses penggilingan terjadi perluasan permukaan daging sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak akan berubah menjadi mikro partikel.Stelah proses penggilingan selesai selanjutnya dilakukan pencampuran bahan seperti tepung terigu, tapioka, garam, lada dalam wadah plastik sambil dilakukan penambahan air es . Pencampuran bahan dilakukan hingga terbentuk adonan. Setelah terbentuk adonan maka adonan harus terus dilakukan pengulenan hingga menjadi kali. Proses pengulenan dilakukan untuk menghomogenkan adonan tepung, daging dan bumbu. Selain itu pada proses pengulenan juga dilakukan penambahan air es secukupnya. Es ini berfungsi mempertahankan suhu dan menambah air ke dalam adonan agar adonan tidak kering dan rendemennya tinggi (Wibowo .2006).
Setelah adonan kalis tahap selanjutnya adalah pencetakan ,adonan dibentuk menjadi bulatan kecil seukuran kelereng.Kemudian adonan diletakkan pada air hangat baru direbus.Penggunaan air hangat yang dilanjutkan dengan perebusan menggunakan suhu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein dan glatinisasi pada pati.. Perebusan menyebabkan interaksi antara air dan pati yang terdapat pada bahan sehingga menyebabkan gelatinisasi pati. Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati sehingga tidak dapat kembali pada kondisi awal sehingga membuat tekstur menjadi kenyal(Winarno, 2004). Perebusan dilakukan selama 20-25 menit. Perebusan dianggap selesai apabila cilok memilik sifat sebagai berikut :jika diiris, bekas irisan cilok yang sudah matang tampak mengilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lagi dan cilok dianggap sudah matang.Kemudian dilakukan pengujian organoleptik oleh panelis meliputi (warna, kenampakan, aroma, dan tekstur) pengujian tekstur (rheotex), pengujian warna (colour reader).
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Uji Organoleptik
Warna
No
Nama Panelis
Kode
492
675
1
Dwi Tari Wulandari
2
3
2
Yayuk Febrianti Nurhidayah
3
4
3
Shara Indriati Pramono
3
4
4
Danar Ilma Firdaus
3
4
5
Anindya Ayu Savira
5
4
6
Sri Dewi Maulida
4
3
7
Wailatul Imma
4
3
8
Rado Heksa Sampurna
4
2
9
Dwi Putri Wulandari
3
2
10
Putri Qori A.K
4
2
11
Vika Nurlufiyani N
2
3
12
Ina'atun Nisa
3
3
13
Gustika Umiyati
2
4
14
Reny Dwi Anggraeni
2
3
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
Rasa
No
Nama Panelis
Kode
492
675
1
Dwi Tari Wulandari
2
3
2
Yayuk Febrianti Nurhidayah
2
3
3
Shara Indriati Pramono
3
2
4
Danar Ilma Firdaus
3
3
5
Anindya Ayu Savira
4
4
6
Sri Dewi Maulida
3
3
7
Wailatul Imma
2
3
8
Rado Heksa Sampurna
4
3
9
Dwi Putri Wulandari
2
2
10
Putri Qori A.K
2
1
11
Vika Nurlufiyani N
1
3
12
Ina'atun Nisa
3
3
13
Gustika Umiyati
1
3
14
Reny Dwi Anggraeni
2
4
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
Aroma
No
Nama Panelis
Kode
492
675
1
Dwi Tari Wulandari
3
3
2
Yayuk Febrianti Nurhidayah
3
3
3
Shara Indriati Pramono
4
3
4
Danar Ilma Firdaus
3
3
5
Anindya Ayu Savira
5
4
6
Sri Dewi Maulida
3
3
7
Wailatul Imma
3
4
8
Rado Heksa Sampurna
3
3
9
Dwi Putri Wulandari
2
3
10
Putri Qori A.K
2
1
11
Vika Nurlufiyani N
2
2
12
Ina'atun Nisa
3
2
13
Gustika Umiyati
2
3
14
Reny Dwi Anggraeni
3
3
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
Tekstur
No
Nama Panelis
Kode
492
675
1
Dwi Tari Wulandari
2
3
2
Yayuk Febrianti Nurhidayah
3
4
3
Shara Indriati Pramono
5
3
4
Danar Ilma Firdaus
3
4
5
Anindya Ayu Savira
4
3
6
Sri Dewi Maulida
3
4
7
Wailatul Imma
2
4
8
Rado Heksa Sampurna
3
2
9
Dwi Putri Wulandari
2
2
10
Putri Qori A.K
3
3
11
Vika Nurlufiyani N
1
2
12
Ina'atun Nisa
3
3
13
Gustika Umiyati
2
4
14
Reny Dwi Anggraeni
2
3
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
Kenampakan
No
Nama Panelis
Kode
492
675
1
Dwi Tari Wulandari
2
3
2
Yayuk Febrianti Nurhidayah
3
4
3
Shara Indriati Pramono
3
2
4
Danar Ilma Firdaus
3
4
5
Anindya Ayu Savira
5
4
6
Sri Dewi Maulida
4
3
7
Wailatul Imma
4
3
8
Rado Heksa Sampurna
4
2
9
Dwi Putri Wulandari
2
4
10
Putri Qori A.K
3
2
11
Vika Nurlufiyani N
2
4
12
Ina'atun Nisa
4
3
13
Gustika Umiyati
3
4
14
Reny Dwi Anggraeni
2
4
4.1.2 Uji Fisik
1. Uji Warna (Colour reader)
Pengulangan
Kode
492
675
L
a
b
L
a
b
1
31,1
5,1
19,9
34,3
3,8
19,9
2
39,8
3,7
18,0
34,1
4,0
19,7
3
31,8
19,9
19,6
38,8
2,9
19,5
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
2. Uji Tekstur (Rheotex)
Pengulangan
Kode
492
675
1
0,20
0,45
2
0,45
0,39
3
0,18
0,36
4
0,48
0,56
5
0,28
0,49
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
4.2 Hasil Perhitungan
4.2.1 Uji Organoleptik
1. Uji Warna
Warna
Kode
492
675
Rata-rata
3.1
3.1
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
2. Uji Rasa
Rasa
Kode
492
675
Rata-rata
2.4
2.8
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
3. Uji Aroma
Aroma
Kode
492
675
Rata-rata
2.9
2.8
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
4. Tekstur
Tekstur
Kode
492
675
Rata-rata
2.7
3.1
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
5. Kenampakan
Kenampakan
Kode
492
675
Rata-rata
3.1
3.2
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
4.2.2 Uji Fisik
1. Uji Warna (Colour Reader)
Warna
Kode
492
675
Rata-rata tingkat kecerahan (L)
34.2
35.7
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
2. Uji Tekstur (Rheotex)
Tekstur
Kode
492
675
Rata-rata
0.31
0.45
Ket: kode 492 = cilok daging sapi
kode 675 = cilok daging ayam
BAB.5. PEMBAHASAN
5.1 Uji Organoleptik
5.1.1 Warna
Produk pangan mempunyai nilai mutu subjektif yang lebih dan dapat diukur dengan instrumen fisik (manusia). Sifat subjektif ini umumnya pada tingkat kesukaan yang melibatkan warna, aroma, rasa dan tekstur (Soekarto, 1990:67). . Pada praktikum uji organoleptik rasa cilok yang dilakukan dengan menggunakan 14 panelis. Kode 492 merupakan kode untuk cilok yang terbuat dari daging sapi sedangkan kode 675 merupakan kode untuk cilok yang terbuat dari daging ayam.
Berdasarkan diagram batang diatas, dapat diketahui bahwa warna cilok daging sapi dan cilok daging ayam, secara organoleptik memiliki rata-rata penilaian yang sama, yaitu 3,1. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sampel cilok sama-sama disukai oleh panelis. Artinya dari total 14 panelis, 7 orang panelis menyukai warna cilok daging sapi dan 7 orang panelis menyukai warna cilok daging ayam .Akan tetapi uji warna secara fisik dengan menggunakan colour reader menunjukkan bahwa cilok daging ayam memiliki warna yang lebih cerah. Menurut (Herviana ferazuma dkk 2011) warna cilok dipengaruhi oleh bahan pembuatan adonan seperti tepung tapioka, tepung terigu dan jenis daging. Hal tersebut juga sejalan dengan literatur Menurut Wagino,( 2008) yang menyatakan cilok dengan bahan subtitusi daging ayam memiliki warna putih pucat sedangkan cilok dengan subtitusi daging sapi memiliki warna merah pucat hingga merah. Warna daging ayam yang putih menyebabkan cilok dengan bahan daging ayam memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cilok berbahan daging sapi. Hal ini juga diperkuat dengan literatur menurut kegelapan Lanier 2000 dalam Astuti, 2009 yang menyatakan bahwa Daging sapi mengalami perubahan warna karena proses heme protein (hemoglobin pada darah dan mioglobin pada daging merah). Proses denaturasi menyebabkan ikatan antara heme protein dan protein miofibril. Juga diperkuat dengan literatur menurut Soeparno (1994) bahwa warna daging sapi segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin, warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen, warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak.
Data yang diperoleh dari praktikum tidak sesuai dengan literatur yang ada dikarenakan panelis memiliki tingkat kepekaan yang berbeda- beda. Hal sejalan dengan literatur menurut Susiwi (2009) dikarenakan tingkat kepekaan dan kesukaan masing-masing panelis berbeda-beda.Tingkat kepekaan panelis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kepekaan stimulus, lingkungan hidup, usia, jenis kelamin.
5.1.2 Rasa
Produk pangan mempunyai nilai mutu subjektif yang lebih dan dapat diukur dengan instrumen fisik (manusia). Sifat subjektif ini umumnya pada tingkat kesukaan yang melibatkan warna, aroma, rasa dan tekstur (Soekarto, 1990:67). Daya terima terhadap rasa merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang penelis atau penguji mutu dari suatu komoditi atau produk makanan yang akan diuji. Indera pengecap sangat berperan dalam uji ini (Soekarto, 1990:78). Penentuan penerimaan panelis terhadap rasa adalah asin, asam, manis dan pahit (Winarno, 1997).
Pada praktikum uji organoleptik rasa cilok yang dilakukan dengan menggunakan 14 panelis. Kode 492 merupakan kode untuk cilok yang terbuat dari daging sapi sedangkan kode 675 merupakan kode untuk cilok yang terbuat dari daging ayam. Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa bahwa rasa yang dihasilkan oleh cilok dengan bahan daging ayam lebih disukai dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini disebabkan karena daging ayam memiliki kandungan lemak yang besar diandingkan dengan daging sapi. Hal ini sejalan dengn literatur menurut Surisdiarto dan Koentjoko. (1990) yang menyatakan bahwa daging ayam mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi sebesar 25 % dibandingkan hewan ternak lainnya citarasa Menurut Hadiwiyoto ( 2007) semakin tinggi kandungan lemak dalam suatu bahan pangan akan membuat menjadi gurih. Hal ini yang membuat panelis lebih menyukai cilok daging ayam dibandingkan cilok daging sapi. Selain itu sebagian besar panelis terbiasa mengkonsumsi daging ayam hal ini juga mempengaruhi tingkat penerimaan dan kepekaan panelis terhadap daging sapi.
Faktor lain yang membuat cilok daging ayam lebih disukai panelis karena daging ayam memliki serat yang halus sedangkan daging sapi memiliki serat kasar , ketika dilakukan penggilingan serat daging ayam akan lebih mudah hancur.Pada saat dijadikan cilok serat daging ayam akan menyatu dengan bahan-bahan lain sedangkan serat daging akan tetap terasa walau sudah dicampur dengan bahan lain. Hal ini sejalan dengan literatur menurut Winarno (1997) yang menyatakan bahwa Daging ayam memiliki serat yang halus, apabila dilakukan penggilingan serat pada ayam mudah hancur berbeda dengan danging sapi yang memiliki serat yang besar, apabila dibuat untuk produk pangan akan mempengaruhi rasa karena apabila dimakan serat masih terasa.
5.1.3 Aroma
Produk pangan mempunyai nilai mutu subjektif yang lebih dan dapat diukur dengan instrumen fisik (manusia). Sifat subjektif ini umumnya pada tingkat kesukaan yang melibatkan warna, aroma, rasa dan tekstur (Soekarto, 1990:67).Sifat mutu daya terima adalah sifat mutu produk yang hanya dapat diukur atau dinilai dengan uji atau penilaian kesukaan, salah satunya aspek aroma. Daya terima terhadap aroma merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang panelis atau penguji mutu. Kepekaan indra pembauan sangat berperan penting dalam penilaian daya terima aroma (Soekarto, 1990:77).
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa aroma cilok daging sapi lebih diukai oleh panelis dibandingkan cilok daging ayam. Hal dikarenakan dikarnakan daging sapi memiliki serat yang lebih besar dan kasar sehingga dapan memerangkap aroma dari bumbu-bumbu yang ditambahkan. Hal ini sejalan dengan literatur menurut Lewry (2003) yang menyatakan bahwa daging sapi memiliki bentuk serat yang lebih besar dan kasar sedangkan daging kambing dan ayam memiliki serat yang lebih halus dari daging sapi. Penambahan bawang putih (Allium sativum L.) berfungsi sebagai penambah aroma serta untuk meningkatkan citarasa produk. Sedangkan penambahan lada untuk memberikan aroma pedas yang khas. Walaupun begitu menurut Suparno (2005) aroma dan flavor daging adalah sensasi komplek dan sangat terkait bau dan rasa paling sukar untuk didefinisikan secara objektif. Faktor lain yang mempengaruhi panelis lebih menyukai aroma cilok daging sapi dibandingkan aroma cilok daging ayam karena adanya kandungan lemak esensial yang membuat aroma yang kuat dan khas pada produk lahan daging sapi.Hal ini sejalan dengan literatur menurut Lawrie, (1995) yang menyatakan bahwa daging sapi merupakan daging merah yang memiliki kandungan lemak esensial kompleks yang membuat aroma dan cita rasa daging sapi lebih kuat.
5.1.4 Tekstur
Produk pangan mempunyai nilai mutu subjektif yang lebih dan dapat diukur dengan instrumen fisik (manusia). Sifat subjektif ini umumnya pada tingkat kesukaan yang melibatkan warna, aroma, rasa dan tekstur (Soekarto, 1990:67).Daya terima terhadap tekstur merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang penelis atau penguji mutu dari suatu komoditi atau produk makanan yang akan diuji. Yaitu dengan mengemukakan tanggapan pribadi yakni kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai (Soekarto, 1990:78). Menurut Meilgaard et al. (2000) faktor tekstur diantaranya adalah rabaan oleh tangan, keempukan, kemudahan dikunyah serta kerenyahan makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat mempengaruhi kualitas tekstur makanan yang dihasilkan.
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa bahwa tekstur yang dihasilkan oleh cilok dengan bahan daging ayam lebih disukai dibandingkan dengan daging sapi. Hal ini dikarenakan daging daging ayam memiliki kandungan lemak yang tinggi hal ini juga berpengaruh terhadap produk olahan yang dihasilkan. Menurut Surisdiarto dan Koentjoko. (1990) yang menyatakan bahwa daging ayam mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi sebesar 25 % dibandingkan hewan ternak lainnya. Pada saat pengujian cilok daging ayam disajikan dalam keadaan dingin, ketika keadaan dingin (pada suhu ruang) lemak akan memadat yang membuat tekstur cilok daging ayam lebih kenyal apabila dibandingkan dengan cilok daging sapi. Hal ini sejalan dengan literatur menurut (Lies Suprapti, 2005:28) yang menyatakan bahwa lemak pada bahan pangan pangan memiliki sifat mudah teroksidasi (tengik), tidak larut dalam air, berbentuk padat pada suhu ruang 280C-340C dan memiliki sifat cair ketika berada pada suhu 550C-850C.
Faktor lain yang menyebabkan panelis lebih menyukai cilok daging ayam karena proses pembuatan cilok, daging sapi yang digunakan adalah daging yang sudah mengalami pelayuan karena disimpan dalam lemari pendingin dan telah melewati fase prerigor, sehingga teksturnya lebih lunak dan kurang kompak. Seharusnya, daging sapi yang digunakan dalam pembuatan bakso harus dalam kondisi segar dan dalam fase prerigor. Karena hal tersebut, cilok daging sapi memiliki tekstur kurang kenyal dibandingkan bakso daging ayam. Hal ini sesuai dengan literature menurut Rusmiati (2009), yang menyatakan bahwa dalam pembuatan bakso dan cilok untuk menggunakan daging yang masih segar (prerigor) atau daging yang belum mengalami pelayuan terlebih dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan "aging", tekstur daging menjadi lunak, hal ini juga akan menyebkan tekstur bakso dan cilok juga lunak, kurang kompak, tidak kenyal/ tidak elastis mudah pecah, serta rendemen rendah. Daging yang telah dilayukan, kemampuanya untuk mengikat air rendah, protein actin dan miosin makin berkurang.
Hal lain yang membuat panelis lebih menyukai cilok daging ayam dibandingkan daging sapi yang terjadi juga diakibatkan oleh kesalahan saat pembuatan/pencetakan cilok. Pada proses pencetak cilok, perbedaan tekanan pada saat pencetakan dengan tangan yang berbeda dapat mempengaruhi hasil cilok yang dihasilkan.
5.1.5 Kenampakan
Berdasarkan grafik data diatas dapat diketahui bahwa kenampakan cilok dengan bahan daging ayam lebih disukai dibandingkan dengan daging sapi. Parameter utama yang menentukan kualitas cilok adalah tekstur. Menurut Lawrie (2003), faktor yang mempengaruhi tekstur adalah kandungan serabut otot dan struktur miofibril. Kandungan serabut yang dimiliki oleh daging ayam lebih kecil dibandingkan kandungan serabut daging sapi (Montolalu, dkk., 2013). Hal ini menyebabkan tekstur cilok daging ayam ebih lembut dan lebih disukai oleh panelis dibandingkan dengan cilok daging sapi Menurut Surisdiarto dan Koentjoko. (1990) yang menyatakan bahwa daging ayam mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi sebesar 25 % dibandingkan hewan ternak lainnya. Pada saat pengujian cilok daging ayam disajikan dalam keadaan dingin, ketika keadaan dingin (pada suhu ruang) lemak akan memadat yang membuat tekstur cilok daging ayam lebih kenyal apabila dibandingkan dengan cilok daging sapi. Hal ini sejalan dengan literatur menurut (Lies Suprapti, 2005:28) yang menyatakan bahwa lemak pada bahan pangan pangan memiliki sifat mudah teroksidasi (tengik), tidak larut dalam air, berbentuk padat pada suhu ruang 280C-340C dan memiliki sifat cair ketika berada pada suhu 550C-850C.
Surisdiarto dan Koentjoko. (1990) yang menyatakan bahwa daging ayam mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi sebesar 25 % dibandingkan hewan ternak lainnya Menurut Hadiwiyoto ( 2007) semakin tinggi kandungan lemak dalam suatu bahan pangan akan membuat citarasa menjadi gurih. Hal ini yang membuat panelis lebih menyukai cilok daging ayam dibandingkan cilok daging sapi. Selain itu sebagian besar panelis terbiasa mengkonsumsi daging ayam hal ini juga mempengaruhi tingkat penerimaan dan kepekaan panelis terhadap daging sapi.
Warna cilok daging ayam juga lebih disukai oleh panelis karena memiliki warna yang terang. Menurut (Herviana ferazuma dkk 2011) warna cilok dipengaruhi oleh bahan pembuatan adonan seperti tepung tapioka, tepung terigu dan jenis daging. Hal tersebut juga sejalan dengan literatur Menurut Wagino, 2008 yang menyatakan cilok dengan bahan subtitusi daging ayam memiliki warna putih pucat sedangkan cilok dengan subtitusi daging sapi memiliki warna merah pucat hingga merah. Warna daging ayam yang putih menyebabkan cilok dengan bahan daging ayam memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cilok berbahan daging sapi. Hal ini juga diperkuat dengan literatur menurut kegelapan Lanier 2000 dalam Astuti, 2009 yang menyatakan bahwa Daging sapi mengalami perubahan warna karena proses heme protein (hemoglobin pada darah dan mioglobin pada daging merah). Proses denaturasi menyebabkan ikatan antara heme protein dan protein miofibril. Juga diperkuat dengan literatur menurut Soeparno (1994) bahwa warna daging sapi segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin, warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen, warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak.
Selain itu penggunaan tapioka juga berkontibusi besar karena Tepung tapioka (88,01) memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dari pada tepung maizena (54,1g), tepung beras (-25% pati) dan tepung ketan (17-32% pati) (Ramona Jayana, dkk, 2011).Penggunaan tepung tapioka pada pembuatan cilok daging sapi sebesar 75 gram sedangkan penggunaan tapioka pada cilok daging ayam hanya sebesar 50 gram.Pati memegang peranan penting dalam menentukan tekstur makanan, dimana campuran granula pati dan air bila dipanaskan akan membentuk gel. Pati yang berubah menjadi gel bersifat Irreversible dimana molekul-molekul pati saling melekat membentuk suatu gumpalan sehingga viskositasnya semakin meningkat (Handershot, 1970). Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut dengan suhu gelatinisasi. Menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tepung tapioka berada pada kisaran 52-64°C. Menurut Swinkels (1985), suhu gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara 65-70°C. Pati singkong atau tapioka memiliki suhu gelatinisasi yang sangat rendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal.Menurut Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tapioka berkisar antara 52-64°Crendah, lebih rendah dari pati umbi-umbian yang lain maupun pati sereal. Gelatinisasi pada pati akan menyebabkan tekstur produk menjadi kenyal. Dengan demikian penggunaan tapioka akan menjadikan tekstur produk yag lebih kenyal karena pada suhu yang lebih rendah tapioka cepat mengalami gelatinisasi. Sehingga tekstur yang dihasilkan akan lebih empuk.
5.2. Uji Fisik
5.2.1. Warna (Colour Reader)
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa hasil pengujian fisik pada warna cilok menggunakan colour reader menunjukkan, cilok daging sapi memiliki rata-rata nilai kecerahan (L) sebesar 34,2 sementara cilok daging ayam memiliki rata-rata tingkat kecerahan (L) sebesar 35,7.
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa cilok daging ayam memiiki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cilok daging sapi. Hal ini dikarenakan daging ayam memiliki warna putih kekuningan (Sari Kasih, dkk, 2014).. Menurut literatur dari (Cross 1998 ) daging ayam segar memiliki warna putih kekuningan. Warna putih kekuningan ini disebabkan oleh adanya pro vitamin A pada daging ayam selain itu juga disebabkan oleh adanya pigmen mioglobin yang memberikan warna lebih cerah pada daging ayam (Lawry,2003). Menurut Wagino, 2008 daging ayam memiliki warna putih pucat sedangkan daging sapi memiliki warna merah pucat hingga merah. Penggunaan kedua bahan baku tersebut menyebabkan perbedaan tingkat kecerahan cilok yang dihasilkan. Warna daging ayam yang putih menyebabkan cilok dengan bahan daging ayam memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan cilok berbahan daging sapi. Selain itu, pengolahan juga mempengaruhi tingkat kecerahan warna yang dihasilkan. Daging sapi mengalami perubahan warna karena proses heme protein (hemoglobin pada darah dan mioglobin pada daging merah). Proses denaturasi menyebabkan ikatan antara heme protein dan protein miofibril. Proses tersebut menyebabkan perubahan warna menjadi kegelapan (Lanier 2000 dalam Astuti, 2009). Menurut Soeparno (1994) bahwa warna daging sapi segar adalah warna merah terang dari oksimioglobin, warna daging yang dimasak adalah warna coklat dari globin hemikromogen, warna daging yang ditambahkan nitrit adalah warna merah gelap dari nitrikoksidamioglobin dan bila dimasak. Hal inilah yang membuat warna cilok daging ayam secara fisik lebih terang dibandingkan cilok daging sapi.
5.2.2. Uji Tekstur (Rheotex)
Berdasarkan data yang didapatkan maka dapat diketahui bahwa cilok daging ayam memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kekerasan daging sapi. Hal ini dikarenakan daging daging ayam memiliki kandungan lemak yang tinggi hal ini juga berpengaruh terhadap produk olahan yang dihasilkan. Menurut Surisdiarto dan Koentjoko. (1990) yang menyatakan bahwa daging ayam mempunyai kadar lemak yang cukup tinggi sebesar 25 % dibandingkan hewan ternak lainnya. Pada saat pengujian cilok daging ayam disajikan dalam keadaan dingin, ketika keadaan dingin (pada suhu ruang) lemak akan memadat yang membuat tekstur cilok daging ayam lebih kenyal apabila dibandingkan dengan cilok daging sapi. Hal ini sejalan dengan literatur menurut (Lies Suprapti, 2005:28) yang menyatakan bahwa lemak pada bahan pangan pangan memiliki sifat mudah teroksidasi (tengik), tidak larut dalam air, berbentuk padat pada suhu ruang 280C-340C dan memiliki sifat cair ketika berada pada suhu 550C-850C.
Faktor lain yang menyebabkan tekstur cilok daging ayam lebih kenyal/keras dibandingkan dengan cilok daging sapokarena proses pembuatan cilok, daging sapi yang digunakan adalah daging yang sudah mengalami pelayuan karena disimpan dalam lemari pendingin dan telah melewati fase prerigor, sehingga teksturnya lebih lunak dan kurang kompak. Seharusnya, daging sapi yang digunakan dalam pembuatan bakso harus dalam kondisi segar dan dalam fase prerigor. Karena hal tersebut, cilok daging sapi memiliki tekstur kurang kenyal dibandingkan bakso daging ayam. Hal ini sesuai dengan literature menurut Rusmiati (2009), yang menyatakan bahwa dalam pembuatan bakso dan cilok untuk menggunakan daging yang masih segar (prerigor) atau daging yang belum mengalami pelayuan terlebih dahulu, karena daging yang telah mengalami pelayuan "aging", tekstur daging menjadi lunak, hal ini juga akan menyebkan tekstur bakso dan cilok juga lunak, kurang kompak, tidak kenyal/ tidak elastis mudah pecah, serta rendemen rendah. Daging yang telah dilayukan, kemampuanya untuk mengikat air rendah, protein actin dan miosin makin berkurang.
BAB 6. PENUTUP
Kesimpulan
Perubahan reaksi kimia yang terjadi pada pembuatan cilok meliputi gelatininisasi (pembentukan gel), reaksi mailard yang membuat warna menjadi gelap serta denaturasi protein
Cilok daging ayam memiliki cita rasa, warna dan aroma yang lebih baik dibandingkan dengan cilok daging sapi dikarenakan daging ayam memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi.
Aroma cilok daging sapi lebih disukai panelis karena kandungan lemak esensial, sedangkan aroma cilok daging ayam cenderung lebih anyir.
6.2 Saran
Diharapkan pada praktikum pembuatan cilok selanjutnya prosedur pembbuatan mengacu pada modul dan berdasarkan dengan literatur yang ada agar data yang diperoleh lebih valid.
DAFTAR PUSTAKA
Afiati, Fifi. 2009. Pilih-pilih Daging ASUH. BioTrends. Vol. 4 (1): 21.
Aprianto E dan Liviawaty E. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Arief Wibowo, 2006, Kajian tentang Perilaku Pengguna Sistem Informasi dengan Pendekatan Technology Acceptance Model (TAM), Universitas Budi Luhur, Jakarta.
Astawan M. dan Mita W. 1998. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Jakarta: CV Akademika Pressindo.
Astawan, M. 2003. Pembuatan Mie Bihun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Astawan, M. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Solo: Tiga Serangkai.
Astawan, M. 2009. Panduan Karbohidrat Terlengkap. Jakarta: Dian Rakyat.
Astawan. 2007. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Astuti, E. F. 2009. Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Burhanuddin. 2001. Strategi Pengembangan Industri Garam di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Damodaran, S. and Paraf, A. 1997. Food Proteins and Their Applications. Marcel Dekker Inc. New York
Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes.
Eddy, S., dan Lilik, N., 2007. Membuat Aneka Roti. Jakarta: Penebar Swadaya.
Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.
Fitasari, Eka. 2009. Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Terigu Terhadap Kadar Air, Kadar Lemak, Kadar Protein, Mikrostruktur, dan Mutu Organoleptik Keju Gouda Olahan. Malang: Fakultas Ilmu Pertanian dan Sumber Daya Alam Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.
Fox.1966. Principles and Procedures of Statistics : A Biometrical Approach, 3rd Ed. McGraw Hill Inc. Singapore
Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of United Nations, Roma.
Hadiwiyoto.2007. Lemak Bahan Pangan.Gramedia Press.Jakarta
Handershot, 1970. Modern Pastry Chef Vol.1. Connecticut: The AVI Publishing, Westport.
Hasbullah. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo. Persada
Herviana ferazuma dkk, 2011, Substitusi Tepung Kepala Ikan Lele Untuk Meningkatkan Kandungan Kalsium Crackers, Bogor: Institut Pertanian Bogor
Hui, Y.H. 1992. Dictionary of Science and Tecnology. John Wiley and Sons. New York.
Koswara. 2009. Teknologi Pengolahan Jagung (Teori dan Praktek). eBook Pangan.com
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminudin Parakkasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lawrie, R. A., 1995. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta: UI-Press.
Lewis Y.S.1984.Spices and Herbs the Foods Industry.Orpington:England.Food Trde
Lies Suprapti, 2005, Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya, Yogyakarta: Kanisius
Meilgard.2002. Chemical and Organoleptic Properties of Attoukpou Made from Two Cassava (Manihot esculenta Crantz) Varieties, Nonoua and IAC. Journal of FoodTechonology 5(4) 300-304
Montolalu, S., N. Lontann., A. Dp. Mirah. 2013. Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu Organoleptik Bakso Broiler dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar. Jurnal Zootek. Vol. 32 (5): 7.
Nita Kholifatur Rohmah.2013. Kajian Kemanan Pangan Pentol Cilok Di Desa Blawirejo Kecamatan Kedungpring Lamongan. e-journal boga. Volume 2, nomor, hal 58 – 65. Universitas Negeri Surabaya.
Palungkun, R., A. Budiarti. 2011. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta:PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Pomeranz .1991. Functionality of Protein in Food. New York: Springer.
Prayitno, Agus. 2016. Resep Cilok Kenyal dan Empuk.Graha Pustaka Utama.Yogyakarta
Rahman, A. M. 2011. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rusmiyati. 2009. Sifat Fisik dan Palatabitilas Bakso Daging Ayam Broiler dengan Penambahan Wortel dalam Pembuatannya. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Sabathani, A. 2013.Pengaruh Cara Pengolahan Daun pakis (Diplazium Esculentum) Terhadap Kadar β-Karoten. [skripsi]. FakultasKedokteran. Univerrsitas Brawijaya.
Salam, A.R., Haryotejo, B., Mahatama, E., dan Fakhrudin, U. 2012. Kajian Dampak Kebijakan Perdagangan Tepung Terigu Berbasis SNI. Jurnal Standardisasi BSN. (14): 117-130.
Salim Emil. 2011. Mengolah singkong menjadi tepung mocaf. Yogyakarta: Andi Offset.
Sari Kasih, dkk, 2014. Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. Jakarta: PT Grasindo.
Schwedt, G. 2005. Taschenatlas der Lebensmittelchemie. WILEY-VECH Verlag, Weinheim.
Soemarno. 2007. Rancangan Teknologi Proses Pengolahan Tapioka dan Produk-produknya. Universitas Brawijaya Malang. Malang.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University, Yogyakarta.dalam Riyanto, I. 2006. Analisis kadar, daya cerna dan karakteristik protein daging ayam kampung dan hasil olahannya. Skripsi. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeparno. 1998. Ilmu Dan Teknologi Daging. Cetakan ke 3. Yogyakarta: Gadjah mada university.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Soewarno Tjokro Soekarto, 1990, Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan, Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sumirin, 2006. Pengaruh Jumlah Putih Telur dan Jumlah tepung Terigu terhadap Mutu Sosis Tempe Kedelai. Departemen Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian USU, Medan.
Surisdiarto Dan Koentjoko, 1990. ilmu makanan ternak khusus non ruminanasia. Malang: Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Surisdiarto Dan Koentjoko, 1990. ilmu makanan ternak khusus non ruminanasia. Malang: Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Susiwi. 2009. Penilaian Organoleptik. Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. UPI.
Sutardi dan Supriyanto., 1996. Sifat Tepung Sukun dan Kesesuaiannya untuk Diolah Menjadi Berbagai Produk Olahan Makanan Kecil. Jakarta: Majalah Pangan No.2 Vol. VII.
Swinkels (1985), Effect of Processing Method on Oxidative Off Flavour of Soybean Milk. Food Technol. 21:1630.
Taggart, P. 2004. Starch as an ingredients : manufacture and applications. Di dalam: Ann Charlotte Eliasson (ed). Starch in Food: Structure, Function, and Application. CRC Press, Baco Raton, Florida.
USDA National Nutrien database for standar reference, 2013.Food Production.
Vincent, E. dan M. Yamaguchi ,.1997. Sayuran Dunia Edisi Pertama. Bandung: ITB Press.
Wagiono, Ismangil. 2008. Corporate Culture and Organization Culture: A Strategic Management Approach. Jakarta: The Jakarta Consulting Grup.
Wibowo, S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno, F.G . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. dan T.S. Rahayu, 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Winarno, F.G., 1995. Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wijandti.2008.Pangan Sehat Harga Rakyat.Grasindo Press.Surabaya
Zulfanita dan Roisu Eny Mudawaroch. 2012. Kajian Berbagai Macam Antioksidan Alami Dalam Pembuatan Sosis. Purworejo: Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah.
Aroma
Rata-rata