LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS PENETAPAN KADARPARASETAMOL DENGAN KLT-SPEKTROFOTODENSITOMETRI KLT-SPEKTROFOTODENSITOMET RI SERTA PENETAPAN LOD DAN LOQ
OLEH: KELOMPOK I GOLONGAN I
Simasti Ainnurrahmah Ainnurrahmah
(1108505003) (1108505003)
I A PT Karang Oka Suantari
(1208505078)
JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2015 0
PENETAPAN KADAR PARASETAMOL DENGAN KLT-SPEKTROFOTODENSITOMETRI SERTA PENETAPAN LOD DAN LOQ
I.
TUJUAN
1.1
Memahami metode penetapan kadar parasetamol dengan KLTSpektrofotodensitometer
1.2
Menetapkan batas deteksi (LOD)
1.3
Menetapkan batas kuantitasi (LOQ)
II.
DASAR TEORI
2.1
Parasetamol
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C 8H9 NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Serbuk hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit. Kelarutannya dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol 95% P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkali hidroksida. Berat molekul parasetamol 151,16 mg/mmol(Depkes RI, 1979). Berikut rumus struktur (gambar 1) dan spektrum ultraviolet (gambar 2) dari parasetamol:
Gambar 1. (Bradley, 2007) Senyawa
parasetamol
Gambar 2. (Moffat et al ., 2005) ketika
dianalisis
dengan
metode
spektrofotodensitometri pada rentang panjang gelombang UV memiliki panjang gelombang () maksimum 245 nm (A11 = 668a) pada larutan asam dan 257 nm (A11 = 715a) pada larutan basa (Moffat et al ., 2005).
1
2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. KLT merupakan metode pemisahan campuran analit dengan mengelusi
analit
melalui
suatu
lempeng
kromatografi
lalu
melihat
komponen/analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pengecatan. (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut ini beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak: fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik sensitif; daya elusi harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8; polaritas fase gerak dapat mempengaruhi kecepatan migrasi solut dan penentuan harga Rf; untuk campuran ionik dan polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya dengan perbandingan tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007). Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending ), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending )
(Gandjar
dan
Rohman,
2009).
Biasanya
kromatografi
itu
dikembangkan dengan teknik menaik dalam mana lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang sedalam 0,5 cm. Bilik yang digunakan sebaiknya dilapisi lembaran kertas saring tercelup ke dalam pelarut dalam dasar bilik; ini memastikan penjenuhan bilik itu dengan uap pelarut. Pengembangan dibiarkan berlangsung sampai garis depan pelarut menjalani jarak yang diinginkan (biasanya 10-15 cm), lempeng itu kemudian diambil dari dalam bilik dan garis depan pelarut segera ditandai dengan pensil (Basset dkk., 1994). Penghitungan nilai Rf dan hRf ditunjukkan dengan persamaan dibawah ini: Rf =
2
hRf =
x 100
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Kemampuan suatu sistem KLT untuk memisahkan dua komponen A dan B dapat dinyatakan sebagai daya pisah atau resolusi (Rs). Resolusi dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : Rs = 2 (D A-DB) / (W A+WB) Dimana : DA dan DB adalah jarak yang ditempuh oleh noda atau bercak A dan B WA dan WB lebar noda atau bercak A dan B
2.3
KLT-Spektrofotodensitometri
KLT spektrofotodensitometri adalah suatu metode pemisahan fisiko kimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985). Terdapat dua komponen penting dalam kromatografi lapis tipis yaitu: a. Fase Diam yang digunakan dalam KLT merupakan penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30
μm. Semakin kecil ukuran
rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. b. Fase gerak pemisahan pada KLT dikendalikan oleh rasio distribusi komponen dalam sistem fase diam/penjerap dan eluen tertentu. Profil 3
pemisahan pada KLT dapat dimodifikasi dengan mengubah rasio distribusi dengan mengubah komposisi fase gerak dengan memperhatikan polaritas dan kekuatan elusinya. (Gandjar dan Rohman, 2012) Beberapa hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut yaitu: pelarut harus tidak toksik yang dapat menyebabkan masalah kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang, tidak mudah meledak pada kondisi normal, tidak reaktif atau bereaksi secara kimia dengan analit atau fase diam, tidak memberikan masalah pada pembuangan atau ramah lingkungan. (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Prinsip dari pemisahan komponen senyawa kimia dengan KLT didasarkan pada perbedaan afinitas komponen sampel terhadap fase diam dan fase gerak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti adsorpsi/partisi pada fase diam, kelarutan dalam cairan partisi, serta polaritas dari cairan partisi dan pelarut (Reich and Schibli, 2007). Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi el ektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma dan Fried, 1996). Pemadaman flouresensi indikator F-254 dapat terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV sebagai noda hitam (Mulja dan Sukarman, 1995).
Gambar 3. Skema Instrumen Spektrofotodensitometer Keterangan: L(light); SL(slit); MC (monokromator); PM (photomultiplier); FF
(filter
fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning). Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya 4
yang paling sering digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar
UV pada λ 190 -300 nm (Sherma and Fried, 1996). 2.4 Validasi Metode Analisis
Menurut Harmita (2004), validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan
bahwa
parameter
tersebut
memenuhi
persyaratan
untuk
penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis diantaranya kecermatan (accuracy), keseksamaan (precision), selektivitas (spesifisitas), LOD dan LOQ, linearitas dan rentang.
2.4.1 LOD dan LOQ
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004). Batas deteksi dapat ditentukan meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi (Gandjar dan Rohman, 2007). Batas deteksi (limit of detection, LOD) didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit di atas atau di bawah nilai tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007). Batas deteksi merupakan parameter uji batas (Harmita, 2004). Definisi batas deteksi yang paling umum digunakan dalam kimia analisis adalah bahwa batas deteksi merupakan kadar analit yang memberikan respon blanko (Y b) ditambah dengan 3 simpangan baku blanko (3S b) (Gandjar dan Rohman, 2007). Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak 5
menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko dan formula di bawah ini dapat digunakan untuk perhitungan (Harmita, 2004).
Q = LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) k
= 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi
S b = simpangan baku respon analitik dari blangko Sl = arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadap konsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a+bx) Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.) (Harmita, 2004). a. Batas deteksi (Q) Karena k = 3 atau 10 Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka
b. Batas kuantitasi (Q)
6
Cara lain untuk menentukan batas deteksi dan kuantitasi adalah melalui penentuan rasio S/N ( signal to noise ratio). Nilai simpangan baku blanko ditentukan dengan cara menghitung tinggi derau pada pengukuran blanko sebanyak 20 kali pada titik analit memberikan respon. Simpangan baku blanko juga dihitung dari tinggi derau puncak ke puncak, jika diambil dari tinggi puncak derau atas dan bawah (Np-p) maka s0 = Np-p/5 sedangkan kalau dari puncak derau bawah saja (puncak negatif) maka s0 = Np/2, selanjutnya perhitungan seperti tersebut di atas (Harmita, 2004). III.
ALAT DAN BAHAN
3.1
Alat
Chamber
Oven
Spite
Plat KLT silica GF 254
Penotol nanomat
Spektrofotodensitometer
Pipet tetes
Pipet volume
3.2
Ballfiller Labu ukur Beaker glass
Gelas ukur
Botol vial
Bahan
Metanol
Larutan sampel
Larutan baku pembanding
Parasetamol
Aquadest
7
IV.
PELAKSANAAN PERCOBAAN
4.1
Prosedur Kerja 4.1.1
Penetapan kadar dengan KLT-Spektrofotodensitometri
1. Disiapkan larutan baku dan sample (sediaan parasetamol) 2. Plat diambil, dikeringkan dan diaktivasi pada suhu sekitar 100 oC selama 30 menit 3. Ditotolkan dengan volume tertentu larutan
sampel dan larutan
baku pada plat KLT 4. Plat dielusi dengan menggunakan fase gerak cocok sampai jarak elusi sekitar 8 cm di dalam chamber 5. Serapan masing-masing ditentukan pada panjang gelombang tertentu dengan spektrofotodensitometer
4.1.2
Penetapan larutan baku (LOD) dan batas konsentrasi (LOQ)
1. Dibuat larutan stok parasetamol 1 mg/ml 2. Dibuat 5 variasi larutan parasetamol dengan konsentrasi yang berbeda 3. Ditentukan nilai absorbansi dari kelima variasi parasetamol 4. Dibuat persamaan regresi liniernya, y = bx + a dengan y adalah absorbansi dari kelima variasi konsentrasi larutan parasetamol dan x adalah konsentrasi larutan parasetamol 5. Ditentukan nilai y" yaitu nilai absorbansi suatu konsentrasi larutan parasetamol setelah dimasukkan kedalam persamaan liniernya 6. Ditentukan selisih dari y-y" dan kuadrat dari seli sih y-y" 7. Ditentukan
nilai
simpangan
baku
residual
(Sy/x),
Sy/x = √∑[y-y"]2/n-2 8. Ditentukan nilai LOD dan LOQ dari larutan parasetamol
4.2
Skema Kerja 4.2.1
Penetapan kadar dengan KLT-Spektrofotodensitometri
8
Disiapkan larutan baku dan sampel (sediaan parasetamol)
Plat diambil, dikeringkan dan diaktivasi pada suhu sekitar 100 oC selama 30 menit
Ditotolkan dengan volume tertentu larutan sampel dan larutan baku pada plat KLT
Plat dielusi dengan menggunakan fase gerak cocok sampai jarak elusi sekitar 8 cm di dalam chamber
Serapan masing-masing ditentukan pada panjang gelombang tertentu dengan spektrofotodensitometer
4.2.2
Penetapan batas deteksi (LOD) dan batas Kuantitasi (LOQ)
Dibuat larutan stok parasetamol 1mg/ml
Dibuat 5 variasi larutan parasetamol dengan konsentrasi yang berbeda
Ditentukan nilai absorbansi dari kelima variasi parasetamol
Dibuat persamaan regresi liniernya, y = bx + a dengan y adalah absorbansi dari kelima variasi konsentrasi larutan parasetamol dan x adalah konsentrasi larutan parasetamol
Ditentukan nilai y" yaitu nilai absorbansi suatu konsentrasi larutan parasetamol setelah dimasukkan kedalam persamaan liniernya
Ditentukan selisih dari y-y" dan kuadrat dari selis ih y-y"
9
Ditentukan nilai simpangan baku residual (Sy/x), Sy/x = √∑[y-y"] /n-2 Ditentukan nilai LOD dan LOQ dari larutan parasetamol
V. DATA PENGAMATAN Konsentrasi (µg)
AUC
50
0.1
100
0.2
150
0.3
200
0.4
250
0.5
VI. PERHITUNGAN a. Kurva kalibrasi larutan baku
10
KURVA KALIBRASI LARUTAN BAKU 300 u k a b n a t u r a l i s a r t n e s n o k
KURVA KALIBRASI LARUTAN BAKU
y = 500x R² = 1
250 200
Paracetamol
150 100
Linear (KURVA KALIBRASI LARUTAN BAKU)
50 0
Linear (Paracetamol) 0
0.2
0.4
0.6
AUC Larutan baku
VII.
PEMBAHASAN
Dalam praktikum ini akan dilakukan validasi metode untuk larutan parasetamol dengan menetapkan batas deteksi (LOD) dan batas kuantifikasi (LOQ) dengan menggunakan instrumen spektofotodensitumetri. Batas deteksi (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas kuantitasi (LOQ) merupakan parameter pada analisis sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Gandjar dan Rohman, 2008). Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis yang digunakan akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis, karenanya suatu metode harus divalidasi (Gandjar dan Rohman, 2008). Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada 11
persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blangko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x). Sehingga LOD dihitung dengan rumus :
sementara LOQ dihitung dengan rumus :
.
(Gandjar dan Rohman, 2007) Dari 5 variasi larutan parasetamol yang berbeda dilakukan pemisahan kadar zat aktif parasetamol dengan KLT adalah berdasarkan perbedaan afinitas zat aktif dari parasetamol terhadap fase diamnya yaitu silica gel GF 254 nm dan fase geraknya yaitu diklorometana p – methanol (Depkes RI, 1995). Selanjutnya dilakukan scanning pada permukaan lempeng plat KLT dengan spektrofotodensitometer, yaitu suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Olut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dan pencatat (recorder). Sebelum menentukan puncak, praktikan harus melakukan pengukuran pada spektrum dengan rentang tertentu sampai diperoleh puncak dari larutan baku paracetamol. Puncak diperoleh dengan mengukur spektrum pada gelombang 200-800 nm karena paracetamol memiliki kemampuan menyerap secara kuat di daerah 200800 nm pada radiasi elektromagnetik. Dalam larutan asam, paracetamol menunjukkan absorbansi maksimum pada λ 245 nm (Gandjar dan Rohman, 2008). Nilai panjang gelombang maksimum
parasetamol yang diperoleh dalam
praktikum kali ini dalah 248, ini agak sedikit berbeda dengan literature yang menyebutkan bahwa larutan parasetamol mempunyai panjang gelombang maksimum sebesar 245 nm, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kondisi antara percobaan yang dilakukan dengan di literatur.Selanjutnya kelima variasi
12
konsentrasi
larutan
parasetamol
diukur
AUC
pada
instrumen
spektrofotodensitometri Nilai AUC kelima variasi larutan parasetamol hasil pengukuran dengan instrumen spektrofotodensitometri dibuat persamaan regresi liniernya, y = bx + a dengan y adalah AUC dari kelima variasi konsentrasi larutan parasetamol dan x adalah konsentrasi larutan parasetamol. Dari persamaan regresi yang diperoleh yaitu y = 2,762x + 599,125 dengan r² = 0.995 dapat dihitung nilai simpangan baku residual (Sy/x) dan slopenya yang dapat dipergunakan untuk menghitung nilai LOD dan LOQ. Nilai LOD yang diperoleh sebesar 211,57 ng dan nilai LOQ sebesar 705,58 ng. Ini berarti jumlah terkecil analit dalam sampel parasetamol yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon spesifik terhadap blanko adalah sebesar 211,57 ng dan kuantitas terkecil analit dalam sampel parasetamol yang masih dapat memberikan kriteria cermat dan seksama adalah 705,58 µg.
VIII.
KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang diperoleh, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu : 1. Nilai LOD yang diperoleh yaitu 211,57 ng. 2. Nilao LOQ yang diperoleh yaitu 705,58 ng.
13
DAFTAR PUSTAKA
Bradley, J., Rubenstein, David, dan Wayne. 2007. LectureNotes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga; 389-391. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Analisis Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1(3) : 117-135. \ Kusmardiyani, S. dan A. Nawawi. 1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Universitas Bidang Ilmu Hayati. Moffat, C.A., M. D. Osselton, B. Widdop. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons. Pharmaceutical Press. Publications division of the Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. Mulja, M. dan Sukarman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga University Press. Reich, E., A. Schibli. 2007. High Performance Thin Layer Chromatography for The Analysis of Medical Plants. New York: Thieme Medical Publishers. P. 22 – 25. Sherma, J. and B. Fried. 1996. Handbook of Thin-Layer Chromatography. Third Edition. New York : Marcel Dekker Inc. Pss.147-149. Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: Penerbit ITB.
.
14