BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penggunaan pupuk kimia, pestisida dan serta zat-zat lainnya dalam jumlah yang berlebihan menunjukkan dampak negatif pertanian dan akhirnya mendapat perhatian yang serius. Penggunaan pupuk kimia yang cenderung meningkat tidak terlepas dari kemampuannya meningkatkan produktifitas dalam kurun waktu relatif singkat bahkan dianggap sebagai teknik yang ampuh untuk meningkatkan produksi, namun residu pupuk mulai diketahui mencemari air tanah sebagai sumber air minuman sehingga akan membahayakan kesehatan manusia (Akrial), rendahnya bahan organik menyebabkan kesuburan tanah menjadi rendah, stabilitas agregatnya rendah dan peka terhadap erosi (Mardani, 2004). Lahan pertanian baik lahan basah seperti sawah maupun lahan kering di Indonesia saat ini umumnya mengalami kekurangan bahan organik. Bahan organik diperlukan untuk menambah kesuburan tanah, mengaktifkan tanah dan meningkatkan Water Holding Capacity. Penambahan pupuk organik bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan kadar bahan organik tanah, menyediakan hara mikro, dan memperbaiki struktur tanah. Penggunaan bahan-bahan ini juga dapat meningkatkan
pertumbuhan
mikroba
dan
perputaran
hara
dalam
tanah
(Bawolye, 2006). Sebaiknya
penggunaan
pupuk
kandang
organik
dipadukan
dengan
penggunaan sumber hara anorganik sesuai keperluan. Hal ini memungkinkan petani menggunakan bahan organik atau pupuk kandang yang tersedia di pertanian dengan biaya rendah untuk memenuhi kebutuhan tanaman akan hara dan meningkatkan kesuburan tanah bila diperlukan (Bawolye, 2006). Pembuatan pupuk organik tidak serumit yang dibayangkan, asal petani tetap tekun, sabar dan memiliki motivasi serta inovasi agar tidak tergantung pada pupuk kimia. Bahan-bahan untuk pembuatan pupuk gampang diperoleh. Kotoran ternak, ayam, kuda, itik, jerami, limbah jagung, kedelai, kulit buah kakao, daun-daunan dan sebagainya ada di lingkungan petani (Gusmanizar dan Rusnam, 2009).
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahanbahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai ±80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai. Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara. DKI Jakarta menghasilkan 6000 ton sampah setiap harinya, di mana sekitar 65%-nya adalah sampah organik. Dan dari jumlah tersebut, 1400 ton dihasilkan oleh seluruh pasar yang ada di Jakarta, di mana 95%-nya adalah sampah organik. Melihat besarnya sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat, terlihat potensi untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk organik demi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat (Rohendi, 2005). Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi. Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah
sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan. Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara maupun
anaerobik,
dengan
atau
tanpa
aktivator
pengomposan.
aerobik
Aktivator
pengomposan pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organik Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganism) atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit. Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik. Hasil akhir dari pengomposan ini merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan tanah-tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan bahan organik dapat digunakan untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian, menggemburkan kembali tanah petamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, reklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia. pupuk kimia. Melihat potensi yang ada, pembuatan pupuk organik (kandang atau kompos) merupakan hal yang sangat penting, maka perlu dilakukan suatu pelatihan dan pembinaan kepada kelompok tani tentang pemanfaatan limbah organik menjadi pupuk organik dengan menggunakan berbagai jenis bioaktivator. pada akhirnya kelompok tani ini dapat menjadi percontohan dalam memanfaatkan limbah pertanian dan peternakan dan mengubah menjadi pupuk organik. B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat pengetahuan petani tentang pemanfaatan limbah organik menjadi pupuk organik? 2. Bagaimana limbah organik dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik? 3. Bagaimana metode yang dapat digunakan dalam pengolahan limbah organik menjadi pupuk organik?
C. Tujuan
1. Mengkaji tingkat pengetahuan petani tentang pemanfaatan limbah oerganik menjadi pupuk organik. 2. Mengkaji pemanfaatan limbah organik mejadi pupuk organik. 3. Mengetahui metode pengolahan limbah organik menjadi pupuk organik. D. Manfaat
1. Menambah pengetahuan pengetahuan dan keterampilan petani tentang pemanfaatan limbah organik menjadi pupuk organik. 2. Limbah
organik
dapat
dimanfaatkan
petani
dalam
meningkatkan
produktivitas lahan pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan kesejahteraan petani 3. Petani dan Kelompok Tani dapat mengolahan limbah organik menjadi pupuk organik sehingga keterbatasan keterbatasan pupuk dapat dapat diatasi pada tingkat petani.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Organik
Pertanian organik adalah kegiatan usahatani secara menyeluruh dari proses produksi sampai proses pengolahan hasil yang dikelola secara alami dan ramah lingkungan tanpa penggunaan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetik sehingga a
menghasilkan produk yang sehat dan bergisi (Anonim, 2008 ). Pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi holistic yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penggunaan praktik manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat, dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi lokal. Tujuan utama dari pertanian organik adalah untuk mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas komunitas interdependen dari kehidupan, tumbuhan, b
hewan dan manusia (Anonim, 2008 ). Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan (Anonim, 2005). Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui pola sistem pertanian, membangun habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses, memasarkan atau mengkonsumsi produkproduk organik harus melindungi dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim, habitat, keragaman hayati, udara dan air (Anonim, 2005). Limbah-limbah pertanian dapat dimanfaatkan untuk dijadikan
bahan
organik
(Pangaribuan et al., 2009).
bagi
kebutuhan
unsur
hara
tanaman
B. Pupuk Organik
Pupuk organik adalah salah satu komponen dalam pertanian organik, tetapi bukan monopoli pertanian organik. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh pertanian konvensional untuk memelihara kelestarian lahan, memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologis tanah yang bersangkutan (Simanungkait, 2008). Pupuk organik termasuk diantaranya pupuk kandang, sisa tanaman, pupuk hijau (tanaman/daun), kompos, dan limbah organik rumah tangga dan industri (Sumarsih, 2003). Pupuk organik dapat berfungsi sebagai 1) Nutrisi mikroba tanah/pupuk hayati, 2) Pembenah sifat kimia tanah, dan 3) Pembenah sifat fisik tanah (Sumarsih, 2003). Pupuk organik dan hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap kegiatan pertanian, sehingga merupakan sumber hara makro dan mikro yang boleh dikatakan cumacuma. Pupuk organik bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus menyehatkan tanah sebagai suatu ekosistem dan memperkuat daya tahan tanah terhadap degradasi, dan menghindarkan menghindarkan terjadinya pencemaran pencemaran lingkungan lin gkungan (Notohadiprawiro, 2006). Bahan/pupuk organik dapat berperan sebagai “pengikat” butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah. Bahan organik dengan C/N tinggi seperti jerami atau sekam lebih besar pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi seperti kompos. Pupuk organik/bahan organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti: (1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relative sedikit. Penggunaan bahan organik dapat mencegah kahat unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang; (2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah; dan (3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn S (Simanungkait et al., 2006).
C. Limbah Pertanian
Usaha untuk meningkatkan produktivitas dengan pemupukan sering terhambat oleh mahalnya harga pupuk buatan bahkan kadang pupuk tidak tersedia. Penggunaan pupuk buatan (anorganik) NPK secara terus-menerus juga dapat menipiskan ketersediaan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan, magnesium, molibdenum, dan boron yang selanjutnya mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, produksinya menurun, dan rentan terhadap hama/penyakit (Tandon 1990). Salah satu cara untuk mensubstitusi penggunaan pupuk buatan adalah memanfaatkan sisa tanaman (limbah) sekitar kebun (Ruskandi, 2006). Limbah Pertanian diartikan sebagai bahan yang dibuang di sektor pertanian, misalnya sabut dan tempurung kelapa, jerami dan dedak padi, kulit, tulang pada ternak potong serta jeroan & darah pada ikan (Rachmawan, 2001). Limbah pertanian terbagi atas empat kelompok yaitu : (1) Limbah pertanian pra panen contoh daun, ranting atau buah yang gugur sengaja atau tidak, (2) Limbah pertanian panen, contoh batang atau jerami saat panen padi, (3) Limbah pertanian pasca panen contoh kulit atau jeroan pada ternak potong dan (4) Limbah industri pertanian contoh molasses pada pabrik gula tebu (Rachmawan, 2001). D. Kompos
Kompos
adalah
hasil
akhir
suatu
proses
sampah/serasah sampah/serasah tanaman dan bahan organik lainnya. dekomposisi ditandai dengan
dekomposisi
tumpukan
Keberlangsungan Keberlangsungan proses
nisbah C/N bahan yang menurun sejalan dengan
waktu. Bahan mentah yang biasa biasa digunakan seperti: seperti: sisa tanaman (daun, batang, dan lain-lain), kotoran ternak, limbah pertanian lainnya, sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai
nisbah C/N yang yang melebihi melebihi 30
(Sutedjo, 2002; Simanungkait, 2008). Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam sumber. Dengan demikian, demikian, kompos merupakan sumber sumber bahan bahan organik dan nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15-60%, enzi hemiselulosa 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-30%, bahan mineral (abu) 3-5%, di samping itu terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea,
garam amonium) sebanyak 2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002). Penggunaan Penggunaan bahan organik (pupuk organik) organik) perlu mendapat mendapat perhatian yang lebih besar, mengingat banyaknya lahan yang telah mengalami degradasi bahan organik, di samping mahalnya pupuk anorganik (urea, ZA, SP36, dan KCl). Penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus tanpa tambahan pupuk organik dapat menguras bahan organik tanah dan menyebabkan degradasi kesuburan hayati tanah. Selain itu, Hakim (2008) menyatakan humus dapat pula meningkatkan seskuioksida, yaitu oksida-oksida Al dan Fe membentuk koloid protektif yang dapat mengurangi fiksasi P, sehingga P lebih tersedia bagi tanaman. 1. Jenis-Jenis Kompos
Kompos cacing (vermicompost ), ), yaitu kompos yang terbuat dari bahan organik yang dicerna oleh cacing. Yang menjadi pupuk adalah kotoran cacing tersebut.
Kompos bagase, yaitu pupuk yang terbuat dari ampas tebu sisa penggilingan tebu di pabrik gula.
Kompos bokashi.
2. Manfaat Kompos
Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misal: hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak. Musfasil (2010), menerangkan bahwa kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
Aspek Ekonomi : 1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan li mbah 2. Mengurangi volume/ukuran limbah 3. Memiliki nilai jual j ual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya Aspek Lingkungan : 1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas metana dari sampah organik yang membusuk akibat bakteri metanogen di tempat pembuangan sampah 2. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan Aspek bagi tanah/tanaman: 1. Meningkatkan kesuburan tanah 2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah 3. Meningkatkan kapasitas penyerapan penyerapan air oleh ol eh tanah 4. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah 5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen) 6. Menyediakan Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman 7. Menekan pertumbuhan/serangan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman 8. Meningkatkan retensi/ketersediaan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah diantaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologis tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga mempengaruhi serapan hara oleh tanaman (Gaur, 1980). Beberapa studi telah dilakukan terkait manfaat kompos bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Penelitian Abdurohim, 2008, menunjukkan bahwa kompos memberikan peningkatan kadar Kalium pada tanah lebih tinggi dari pada kalium yang disediakan pupuk NPK, namun kadar fosfor tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan NPK. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman yang
ditelitinya ketika itu, caisin ( Brassica oleracea), menjadi lebih baik dibandingkan dengan NPK. Hasil penelitian Handayani, 2009, berdasarkan hasil uji Duncan, pupuk (vermicompost ) memberikan hasil pertumbuhan yang terbaik pada
cacing
pertumbuhan bibit Salam ( Eugenia polyantha Wight ) pada media tanam subsoil . Indikatornya terdapat pada diameter batang, dan sebagainya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk anorganik tidak memberikan efek apapun pada pertumbuhan bibit, mengingat media tanam subsoil merupakan media tanam dengan pH yang rendah sehingga penyerapan hara tidak optimal. Pemberian kompos akan menambah bahan organik tanah sehingga meningkatkan kapasitas tukar kation tanah dan mempengaruhi serapan hara oleh tanah, walau tanah dalam keadaan masam. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor menyebutkan bahwa kompos bagase (kompos yang dibuat dari ampas tebu) yang diaplikasikan pada tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) meningkatkan penyerapan nitrogen secara signifikan setelah tiga
bulan pengaplikasian dibandingkan degan yang tanpa kompos, namun tidak ada peningkatan yang berarti terhadap penyerapan
fosfor, kalium, dan sulfur.
Penggunaan kompos bagase dengan pupuk anorganik secara bersamaan tidak meningkatkan laju pertumbuhan, tinggi, dan diameter dari batang, namun diperkirakan dapat meningkatkan rendemen gula dalam tebu. 3. Bahan-bahan yang dapat dikomposkan
Pada dasarnya semua bahan organik padat dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasar/kota, kertas, kotoran/limbah peternakan, limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dan lain-lain. Bahan organik yang sulit untuk dikomposkan antara lain: tulang, tanduk, dan rambut. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan pengomposan antara antara lain: 4.1 Rasio C/N, Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar
antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber
energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Umumnya, masalah utama pengomposan pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting, ampas tebu, dan sebagainya). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik (Toharisman, 1991) atau dengan menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak senyawa nitrogen. 4.2 Ukuran Partikel, Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan
udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. 4.3 Aerasi, Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup
oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos. 4.4 Porositas, Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan
kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume r ongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
4.5 Kelembaban ( Moisture
content),
Kelembaban memegang peranan yang
sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung
berpengaruh
pada
suplay
oksigen.
Mikrooranisme
dapat
memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. 4.6 Temperatur/suhu, Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan
langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat t erjadi dengan cepat o
pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60 C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi o
dari 60 C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma. 4.7 pH, Proses pengomposan pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang
optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral. 4.8 Kandungan Hara, Kandungan P dan K juga penting dalam proses
pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari
peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan. 4.9 Kandungan Bahan Berbahaya,
Beberapa bahan organik mungkin
mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan. 4.10 Lama pengomposan,
Lama
waktu
pengomposan
tergantung
pada
karakteristik bahan yang dikomposakan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun t ahun hingga kompos benar-benar matang.
E. TEKNOLOGI EFFECTIVE MICROORGANISME-4 (EM4)
EM4 adalah suatu kultur campuran berbagai mikroorganisme bermanfaat yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba tanah.
EM-4
mengandung
bakteri
fotosintetik,
bakteri
asam
laktat,
ragi,
actinomycetes actinomycetes dan jamur fermentasi yang berfungsi sebagai sebagai alat pengendali biologis dalam menekan/ mengendalikan hama dan penyakit dan menfasilitatori dekomposisi bahan organik dengan cara memasukkan mikroorganisme bermanfaat dalam lingkungan hidup tanaman. Dengan demikian demikian hama/penyakit hama/penyakit dikendalikan secara alami
melalui
peningkatan
kegiatan
kompetitif
dan
antagonistik
antar
mikroogranisme. Teknologi EM merupakan bioteknologi yang dikembangkan dengan prinsip pertanian berwawasan berwawasan lingkungan, lingkungan, menekan penggunaan penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan memanfaatkan sistem alami untuk meningkatkan produktivitas tanah, mengurangi biaya produksi serta menghasilkan bahan pangan yang tidak terkontaminasi dengan bahan kimia. Mikroba tersebut dapat digunakan untuk menfermentasi bahan organik tanah menjadi senyawa organik serdehana yang mudah
diserap oleh akar tanaman, sehingga kuantitas dan kualitas produksi tanaman meningkat (Wididana dan Muntoyah, 1999). Peningkatan produksi tanaman dengan EM4 terjadi melalui reaksi fermentasi yang menghasilkan senyawa organik sederhana, hormon tanaman, vitamin, antibiotik dan polysakarida (Wibisono dan dan Muchsin, Muchsin, 1993). 1993).
Disamping itu, EM dapat
melarutkan hara dan dan batuan induk yang susah larut, menghambat menghambat penyerapan logam logam berat, menjaga tanaman dari serangan hama dan penyakit, memacu pertumbuhan dengan
mengeluarkan
ZPT,
mempercepat
mempercepat mempercepat daur daur ulang unsur hara.
dekomposisi
bahan
organik
dan
Pengaruh tersebut secara komulatif
meningkatkan prooduktifitas tanah dan tanaman tanpa menggunakan pupuk an organik dan peptisida. Penggunaan EM4, selain dapat disemprotkan langsung pada tanaman dan penyiraman ke dalam dalam tanah sebagai larutan stok EM4, EM4, juga dapat digunakan digunakan dalam bentuk larutan EM5, sebagai ekstrak tanaman yang difermentasikan dengan EM4 dan sebagai Bokasi EM (Anonim, 1996). 1.
Larutan Stok EM4
EM4 asli berada dalam keadaan dorman sehingga sebelum digunakan perlu diaktifkan terlebih dahulu dengan menambahkan air dan molases atau gula pasir (Gambar 1)
AIR 1000 cc
MOLASES 2 cc
EM 2-10 cc
LARUTAN MOLASES LARUTAN MOLASES-EM
LARUTAN STOK EM
Gambar 1. Skema Pembuatan Larutan Stok EM4
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunanaan larutan stok EM4 pada tanaman semusim dan hortikultura seperti padi, tomat, cabe keriting dan jeruk nipis dengan konsentrasi 5 – 5 – 10 10 ml /liter air dengan interval 7 hari dapat meningkatkan hasil padi 47%, tomat 38%, cabe cabe keriting 44% dan jeruk nipis 145% (Sastrodilaga, 1993). 1993). Pemberian EM4 5ml/liter air setiap minggu pada tanaman bawang putih akan meningkatkan hasil hasil umbi kering simpan sebesar sebesar 0,9 ton/ha. Sedangkan Sedangkan pada bawang merah dengan konsentrasi 10 ml/liter air meningkatkan hasil 1,724 ton/ha (Anonim, 1994). Pada tanaman tanaman kacang panjang panjang dengan dengan konsentarsi konsentarsi 15 ml/liter air memberi hasil sebesar 40,6 ton/ha (Astuti, 1995). Rahmawati (1998) mengemukakan mengemukakan bahwa penambahan EM4 dengan konsentrasi 8 ml/liter air pada kacang panjang meningkatkan secara nyata jumlah polong, bobot polong muda serta bobot polong/ha. 2.
Larutan EM5
EM5 adalah penangkal serangga non kimia dan tidak beracun (bukan peptisida) yang digunakan sebagai pencegah serangan hama dan penyakit tanaman. EM5 merupakan pengembangan dari teknologi EM-4 yang khusus digunakan untuk mengendalikan/mencegah
serangan
hama
dan
penyakit
tanaman.
Tujuan
pengembangan EM-5 adalah untuk menggantikan pestisida kimia yang mempunyai dampak negatif apabila dosis aplikasinya apabila dosis aplikasinya tidak sesuai dengan dosis anjuran. EM5 digunakan sejak tanaman ditanam sebelum ada serangan hama dan penyakit melalui penyeprotan pada tanaman setelah diencerkan dengan air dengan konsentrasi konsentrasi 5-10 ml/liter air (Wididana dan Muntoyah, 1999). 1999). Larutan EM5 terbuat dari campuran antara EM4 (100 cc), asam cuka (100 cc), alkohol (100 cc), molases (100 cc) dan dan air (600 cc) (Gambar 2). 3.
Fermented Plant Extrac (FPE)
FPE merupakan ekstrak tanaman yang difermentasi dengan EM yang dapat digunakan sebagia sumber hara dan sekaligus untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. tanaman. Tanaman yang digunakan sebagai sebagai FPE hendaknya hendaknya masih segar. segar. Ekstrak ini mengandung mengandung asam-asam asam-asam organik, zat bio aktif aktif dan zat-zat anti oksidan oksidan
yang banyak
terdapat pada tanaman rempat dan dan obat-obatan obat-obatan (Wididana (Wididana dan dan
Muntoyah, 1999). Cara pembuatan pembuatan mengikuti mengikuti cara pembuatan pembuatan larutan stok EM-4 ditambah dengan cairan ekstrak tanaman yang akan difermentasikan.
AIR 600 cc
MOLASES 100 cc
ASAM CUKA 100 cc
LARUTAN MOLASES
ALKOHOL 100 cc
LARUTAN MOLASES CUKA EM4 100 cc LARUTAN MOLASES CUKA-ALKOHOL
Simpan 2-3 Minggu
LARUTAN EM5
Gambar 2. Skema Pembuatan Larutan Stok EM5
4.
Bokasi EM
Bokasi merupakan bahan organik hasil fermentasi dengan menggunakan EM. Bokasi dapat digunakan untuk produksi tanaman meskipun bahan organiknya belum terurai seperti seperti pada kompos.
Bila Bokasi dimasukkan ke dalam dalam tanah, bahan
organiknya dapat digunakan sebagai pakan oleh mikroooorganisme bermanfaat untuk berkembang biak dalam tanah sekaligus sebagai tambahan persediaan unsur hara bagi tanaman.
Bokasi dapat dibuat secara cepat dengan adanya mikroorganisme yang menfermentasikan menfermentasikan bahan organik selama 7 – 15 – 15 hari setelah fermentasi dan langsung dapat digunakan digunakan sebagai pupuk organik. organik. Bahan organik untuk Bokasi Bokasi sangat banyak terdapat di sekitar lahan pertanian seperti jerami, pupuk kandang, rumput, pupuk hijau, sekam, dedak, serbuk gergaji, ampas tebu dan arang.
Namun dedak padi
sangat dianjurkan sebagai bahan penting untuk Bokasi, karena mengandung gizi yang baik baik untuk mikroorganisme. mikroorganisme. Akan lebih baik lagi apabila apabila campuran bahan bahan organik yang mempunyai perbandingan karbon dan nitrogen (C/N rasio ) yang rendah dan yang tinggi. tinggi .
Biasanya untuk meningkatkan meningkat kan keragaman mikroba,
penggunaan penggunaan paling sedikit 3 macam bahan organik organik sangat dianjurkan (Wididana dan Higa, 1996) Berdasarkan proses pembuatannya Bokasi dibagi atas 2 yaitu Bokasi aerob dan Bokasi Bokasi an aerob. Pada Bokasi aerob aerob masa fermentasinya fermentasinya sangat sangat singkat dan dan dapat diproduksi secara besar-besaran, meskipun energi bahan organiknya dapat hilang jika suhu tidak terkendali selama fermentasi. Prosedur pembuatan pembuatan Bokasi dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan jenis bahan organik yang digunakan Bokasi ada beberapa macam yaitu Bokasi jerami, Bokasi pupuk kandang, Bokasi pupuk kandang-arang, dan Bokasi pupuk kandang tanah. Keseluruh jenis Bokasi tersebut mutlak menggunakan EM4, air, molases, dan dedak padi. Jenis Bokasi yang dibuat disesuaikan dengan ketersediaan jenis bahan di masing-masing lahan pertanian di wilayah masing-masing 1). Bokasi Limbah Jagung
Bahan:
Limbah jagung 450 kg, sekam 450 kg, dedak 100 kg, EM4 1 liter, molases 1 liter dan air
Cara Pembuatan (Gambar 3)
a. Campurkan secara merata pupuk kandang, sekam dan dedak b. Larutkan EM4 dan molasses dalam dalam air dengan konsentrasi konsentrasi 5 – 5 – 10 10 cc/ liter c. Siramkan larutan b secara perlahan-lahan ke dalam adonan campuran a secara merata sambil diaduk sampai kadar air mencapai 30 - 35%. Kadar air dapat
diperiksa dengan mengambil segenggam segenggam adonan dan meremasnya. meremasnya.
Apabila
setelah diremas adonan tetap menyatu dan bila dilepas adonan akan hancur kembali berarti kadar airnya sudah baik d. Campuran c digundukkan pada bak fermentasi setinggi 20-30 cm, kemudian ditutup dengan karung goni selama 3-7 hari. o
Selama fermentasi suhu o
dipertahankan dipertahankan 40-50 C. Bila suhu suhu lebih besar dari dari 50 C bukalah karung goni dan campuran dibalik-balik dibalik-balik hingga udara udara masuk dan dan suhu turun. Pengecekan suhu sebaiknya dilakukan dilakukan setiap 6 jam. Setelah 4 hari fermentasi fermentasi bokasi akan matang matang dan siap digunakan digunakan sebagai sebagai pupuk organik. Jenis bokasi ini disebut bokasi bokasi aerob. Bila campuran c dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam yang kedap udara, kemudian disimpan di tempat yang tidak kena sinar matahari dengan kadar air 35 o
%, suhu 40-50 C, dengan lama fermentasi 3-7 hari, jenis Bokasi ini disebut bokasi anaerob 2). Bokasi Jerami
Bahan :
Jerami yang telah dipotong 5-10cm sebanyak 450 kg, sekam 450 kg, dedak 100 kg, EM4 1 liter, molases 1 liter dan air Cara Pembuatan (sama dengan Bokasi pupuk kandang pada Gambar 3)
PUPUK KANDANG (PK)
SEKAM (S)
DEDAK (D)
CAMPURAN J,S,D LARUTAN STOK EM4 ADUK RATA PK + S + D J,S,D + EM4 KADAR AIR 35%
0
SUHU 40-50 C
20-30 cm
100-150 cm
Gambar 3. Teknik Pembuatan Bokasi
3). Bokasi Pupuk Pupuk Kandang-Arang Kandang-Arang
Bahan :
Pupuk kandang 20 kg Arang sekam/ arang serbuk gergaji 10 kg
Bahan :
Pupuk kandang 600 kg, arang sekam atau arang serbuk gergaji gergaji 300 kg, dedak 100 kg, EM4 1 liter, molases 1 liter dan air Cara Pembuatan (sama dengan Bokasi pupuk kandang pada Gambar 3)
4). Cara Penggunaan
Bokasi EM yang telah dihasilkan disebar merata ditas permukaan tanah 200500 g/m persegi (2-5 ton/ha)
Cangkul/ bajak tanah untuk mencampurkan Bokasi ke dalam tanah secara merata
Siramkan/ semprotkan semprotkan Larutan Stok EM4 ke ke dalam tanah. tanah. Biarkan Bokasi selama seminggu seminggu kemudian bibit siap ditanam
Lakukan penyemprotan penyemprotan EM5 sejak benih tumbuh dengan interval 2 minggu. Penggunaan Bokasi pada tanaman jagung, ukuran tongkol yang diberi
Bokasi lebih besar, lebih tahan kekeringan, tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tanpa tanpa Bokasi.
Demikian juga umur tanaman cabe yang diberi
Bokasi lebih panjang, lebih tahan terhadap virus mosaik atau keriting daun dan produktivitasnya produktivitasnya pun lebih tinggi tinggi dibandingkan dengan yang yang tanpa Bokasi. Buah tomat yang diberi Bokasi lebih besar, lebih padat dan tahan lama serta tanaman tomat yang dibiarkan sampai musim berikutnya mampu berproduksi baik. Tanaman kacang tanah yang ditanam di lahan kering pada musim kemarau, bila diberi Bokasi masih mampu menghasilkan polong yang bernas. Tanaman jeruk yang dipupuk dengan Bokasi tidak pernah mengalami stress. Kuncup tumbuh terus menerus yang diikuti dengan pembungaan (Anonim,1998).
Pemberian Bokashi Bokashi dengan dengan dosis 5 ton/ha
dengan penyemprotan larutan stok
EM 5cc/l 5cc/l memperlihatkan memperlihatkan jumlah cabang cabang
simpodial, bobot buah mekar dan produksi yang lebih tinggi dibanding penggunaan pupuk anorganik sesuai paket pada tanaman kapas Deltapine dan Transgenik (Farid, 2003).