TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN SOLID TABLET ASETOSAL (ASPIRIN) KELAS A KELOMPOK II Rabu, 10.00-11.40 WIB
Nama Anggota
NPM
Fariza Fida M.
260110150010 260110150010
Lafie Urwatul W.
260110150011 260110150011
Risda Rahmi I.
260110150012 260110150012
Luthfi Utami S.
260110150013 260110150013
Chairunnisa
260110150014
M. Naufal M
260110150016 260110150016
Puty Prianti N.
260110150017 260110150017
Zafira Zahrah
260110150022 260110150022
Alif Virisily B.
260110150023 260110150023
Anasya Ridha N.
260110150024 260110150024
UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2017
I.
PENDAHULUAN
Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk kedalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Syukri, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi: 1.
Suhu Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat (Martin, et al, 2008).
2.
Medium Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak larut l arut dalam larutan l arutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan (Martin, et al, 2008). al, 2008).
3.
Kecepatan Perputaran Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut (Martin, et al, 2008).
4.
Ketepatan Letak Vertikal Poros Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana (Martin, et al, 2008).
5.
Goyangnya poros Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium (Martin, et al, 2008).
6.
Vibrasi
Bila vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. (Martin, et al, 2008). 7.
Gangguan pola aliran Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya (Martin, et al, 2008). al, 2008).
8.
Posisi pengambil cuplikan Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung (atau keranjang) keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya (Martin, et al, 2008).
9.
Formulasi bentuk sediaan Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dar i zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur (Martin, et al, 2008). al, 2008).
10.
Kalibrasi alat disolusi Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali (Martin, et al, 2008). Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk
memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in in vivo corelation). Kinetika uji disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo (Sulaiman, 2007).
Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut, granulat, kapsul) meskipun demikian persyaratannya dalam pandangan terhadap ketersediaan terbatas. Suatu kehancuran total memang menawarkan persyaratan yang lebih baik untuk pelepasan, meskipun demikian bahan pembantu dapat membungkus bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancuran sangat terhambat. Oleh karena kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali menggambarkan langkah penentu kecepatan untuk jalannya resorpsi, maka tes pelarutan (dissolution-test) lebih nyata (Ansel et al, 1999; Voigt, 1994) 1994) Disolusi-test sudah dapat dilakukan dengan alat kehancuran otomatis yang biasa, akan tetapi yang diamati bukan kehancuran kehancuran dari „ Formling‟, melainkan jumlah bahan obat dalam interval waktu tertentu, yang larut la rut dari seluruh sediaan obat atau hancuran sediaan obat dalam cairan penguji (cairan pencernaan buatan), diinterpretasikan secara analitis (Voigt, 1994). Uji disolusi digunakan untuk menentukkan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Alat uji disolusi terdiri dari wadah tertutup yang terbuat dari kaca yang transparan lain yang inert, suatu motor, dan suatau batang logam berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian disuatu tangas air dengan suhu dalam wadah 37 oC selama pengujian berlangsung (Depkes RI, 1995). 1995). Senyawa yang akan di identifikasi uji disolusinya adalah tablet asetosal. Asetosal atau aam asetilsalisilat berbentuk serbuk dari tidak berwarna atau kristal putih atau serbuk granul kristal yang berwarna putih. Asam asetilsalisilat stabil dalam udara kering tapi terdegradasi perlahan jika terkena uap air menjadi asam asetat dan asam salisilat. Nilai titik lebur dari asam asetil salisilat adalah 1350 C. Asam asetilsalisilat larut dalam air (1:300), etanol (1:5), kloroform (1:17) dan eter (1:10-15), larut dalam larutan asetat dan sitrat dan dengan adanya senyawa yang terdekomposisi, asam asetilsalilsilat larut dalam larutan hidroksida dan karbonat (Moffat, et al, 2004).
Tablet asetosal mengandung asam asetilsalisilat tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 1995). Asam Asetil salisilat ini berkhasiat sebagai analgesik dan antipiretik (BPOM RI, 2015). Sediaan tablet termasuk dalam persyaratan uji disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa banyak persentase zat aktif dalam obat yang terlarut dan terabsorbsi ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi. Disolusi menggambarkan efek obat terhadap tubuh, jika disolusi memenuhi syarat maka diharapkan obat akan memberikan khasiat pada tubuh. Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun, harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Oleh karena itu, pada makalah ini dibahas mengenai uji disolusi tablet asetosal untuk mengetahui kecepatan disolusi dari tablet asetosal dalam tubuh (Depkes RI, 1995).
II.
ALAT UJI DISOLUSI TABLET
pparatus) 2.1. Apparatus 1 ( B asket A pparatus
Apparatus 1 terdiri dari vessel yang telah di cover yang terbentuk dari kaca atau sesuatu yang bersifat inert, motor, dan basket silinder. Dalam apparatus 1 ada proses pamanasan. Dimana suhu tersebut harus tetap selama test berlangsung. Basket pada apparatus 1 terfabikasi dengan stainless steel tipe 316 atau bahan inert lainnya. (Banakar, 1992).
addle A ppar pparatus atus) 2.2. Apparatus 2 ( P addle
Apparatus 2 menggunakan assembly dari assembly dari Apparatus 1 kecuali dayung yang digunakan sebagai stirring. Proses stirring sangkat lembut dan tidak terjadi adanya kocokan yang dapat menggangu atau berefek pada hasil akhir. Paddle blade pada appartus 2 di coating agar menjadi inert (Banakar, 1992).
ciprocating C ylinder ylinder ) 2.3. Apparatus 3 ( R eciprocating
Terdiri dari saru set kaca silinder, sili nder, satu set kaca silinder dengan bagian bawah yang rata, satu set kaca silinder reciprocating, inert yang sesuai (tipe stainless steel 316 atau bahan lain yang sesuai), layar terbuat te rbuat dari bahan yang tidak menyerap dan tidak reaktif yang sesuai dengan bagian atas dan bawah silinder reciprocating; mesin dan unit penggerak untuk mengimangi silinder secara vertikal didalam bejana (wadah) dan jika diinginkan silinder reciprocating dapat di indekskan secara horizontal ke daerah bejana yang berbeda. Bejana-bejana tersebut direndam sebagian dalam water bath yang sesuai dengan ukuran yang mudah digunakan yang memungkinkan suhu pada 37±0,5ºC selama pengujian. Alat ini memungkinkan pengamatan spesimen dan silinder reciprocating lebih baik.
Prosedur pemakaiannya adalah medium disolusi yang telah ditentukan volumenya ditempatkan pada setiap wadah yang terdapat dalam alat, kemudian pasang alat tersebut, menyetimbangkan medium disolusi hingga suhu 37±0,5ºC, dan mengangkat termometer (Banakar, 1992).
low-Through -T hrough Ce C ell) 2.4. Apparatus 4 ( F low
Alat terdiri dari reservoir dan pompa untuk medium disolusi, sebuah flowthrough cell, dan water bath yang mempertahankan medium disolusi pada suhu 37±0,5ºC. Menggunakan Menggunakan ukuran sel yang spesifik seperti s eperti yang tertera pada masingmasing monografi. Prosedur pemakaiannya adalah gelas ditempatkan pada sel yang spesifik, seperti yang tertera pada monografi. Tempat 1 unit dosis pada bagian atas, atau jika spesifik dalam monografi, atau dalam pengangkut kawat. Memasangkan filter dan menyempurnakan bagian-bagian untuk mendapatkan alat penjepit yang sesuai. Pompa medium disolusi dipanaskan hingga 37±0,5ºC melewati bagian bawah sel untuk memperoleh laju alir yang spesifik. Dan diukur dengan akurasi 5%. Kumpulkan eluate dengan fraksi setiap waktu yang telah ditentukan. Melakukan
analisis seperti yang diarahkan pada setiap monografi. Ulangi pengujian dengan penambahan dosis. (Banakar, 1992).
Over D i sk M ethod thod ) 2.5. Apparatus 5 ( P addle Over
Prosedur penggunaannya penggunaannya adalah stated volume ditempatkan pada pada bagian vessel, lalu rakit disk disk, dan menyeimbangkan medium ke 32 + 0.58. Terapkan sistem transdermal ke unit disk, pastikan bahwa permukaan stated system sedatar mungkin. Rekatkan sistem pada Disk dengan menerapkan perekat yang sesuai ke unit disk. Keringkan selama 1 menit. Tekan sistem, lepaskan permukaan samping atas, ke sisi berlapis perekat dari unit disk. Membran
yang
digunakan
untuk
mendukung
sistem,
seharusnya
diaplikasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada gelembung udara yang terjebak
dalam membran pada membran permukaan. Tempatkan Rakitan disk rata di bagian bawah vessel dengan pelepasan permukaan menghadap ke atas dan sejajar dengan tepi. Tepi bawah dayung harus 25 + 2 mm dari permukaan rakitan disk. Segera mulai Operasi aparatus dengan kecepatan yang ditentukan dalam monografi. Pada setiap interval waktu sampling, tarik mundur sebuah spesimen dari zona tengah antara permukaan dari dissolution medium dan bagian atas dari pisau, tidak kurang dari 1 cm dari dinding. Lakukan analisa pada masing-masing sampel aliquot seperti yang diarahkan pada monografi, koreksi kerugian volume apapun yang diperlukan. Ulangi tes dengan sistem transdermal tambahan (Banakar, 1992).
tating C ylinder ylinder M ethod thod ) 2.6. Apparatus 6 ( R otating
Prosedur penggunaannya adalah tempatkan stated volume yang disebutkan di dalam bejana peralatan yang ditentukan dalam Monografi, merakit peralatan, dan
menyeimbangkan medium dissolution menjadi 32 + 0.58. kecuali kalau tidak diarahkan ke monografi, siapkan sistem uji sebelum tes sebagai berikut: lepaskan liner pelindung dari sistem, dan letakkan perekatnya sisi pada sepotong Cuprophan (4) membran itu tidak kurang dari 1 cm lebih besar di semua sisi dibanding sistem. Tempatkan sistem, tutup Cuprophan, ke bawah, Permukaan yang yang bersih, bersih, oleskan perekat yang sesuai ke yang terkena batas Cuprophan. Jika perlu, terapkan tambahan perekat ke bagian belakang sistem. Keringkan selama 1 menit. Hati-hati menerapkan sisi berlapis perekat dari system ke bagian luar silinder sehingga sumbu panjang sistemnya pas di sekeliling lingkar silinder. Tekan penutup Cuprophan untuk menghilangkan udara yang terperangkap dan menghasilkan gelembung. Tempatkan silinder di aparatus, dan segera putar pada tingkat yang ditentukan dalam monograf. Dalam interval waktu yang ditentukan, atau pada masing-masing Dari waktu yang disebutkan, menarik sejumlah dissolution medium untuk analisis dari zona tengah antara permukaan medium dissolution dan bagian atas yang silinder berputar, tidak kurang dari 1 cm dari dinding . Lakukan analisis seperti yang diarahkan pada monograf, kengoreksi kerugian volume yang diperlukan. Ulangi Tes dengan pengiriman obat transdermal system tambahan (Banakar, 1992).
ciprocating H olde lder ) 2.7. Apparatus 7 ( R eciprocating
Perakitan alat ini terdiri dari satu set wadah larutan yang dikalibrasi atau dilapisi secara volumetrik yang terbuat dari kaca atau bahan inert yang sesuai , komponen mesin – mesin untuk mengimbangi sistem secara vertikal dan mengindeks sistem secara horizontal ke deretan bejana yang berbeda secara otomatis. Jika diinginkan, dan satu set wadah sampel yang sesuai). Wadah yang berisi larutan direndam sebagian dalam bak air yang sesuai s esuai dengan ukuran yang sesuai dengan suhu tetap, T, di dalam wadah pada suhu 32 - 0,5 8 0C atau kisaran yang memenuhi syarat, seperti yang ditentukan dalam monograf individual, selama pengujian. Tidak ada bagian dari perakitan, termasuk lingkungan di mana rakitan ditempatkan harus memberi kontribusi gerak, agitasi, atau getaran di luar itu karena wadah sampel yang cepat dan cepat reciprocating. Alat yang memungkinkan pengamatan sistem dan wadah
selama pengujian lebih baik. Gunakan wadah
ukuran dan wadah sampel yang ditentukan dalam monograf individual. Prosedur Reciprocating Holder pertama-tama preparasi Sampel A-Sertakan sistem yang akan diuji ke wadah sampel yang sesuai dengan lem 2-cyano
acrylate.Preparasi Sampel B-Tekan sistem ke bagian Cuprophan (4), nilon nilon yang kering dan tidak terpakai, atau seperti halnya dengan sisi perekat terhadap substrat yang dipilih, dengan hati-hati untuk menghilangkan gelembung udara di antara substrat dan permukaan pelepas. Sertakan sistem ke wadah sampel berukuran sesuai dengan cincin O yang sesuai sehingga bagian belakang sistem berdekatan dan terpusat di bagian bawah tempat/wadah sampel berbentuk cakram atau berpusat di sekitar keliling wadah sampel berbentuk silinder. Potong kelebihan substrat dengan pisau tajam. Preparas i Sampel C-Sertakan sistem ke tempat yang sesuai seperti yang dijelaskan dalam monograf individual. Dissolution Medium- Penggunaan Medium Disolusi yang ditentukan dalam monograf individu. Prosedur- Gantungkan masing-masing wadah sampel dari shaker reciprocating vertikal sehingga setiap sistem terus-menerus dicelupkan dalam volume Medium Dissolution yang diukur secara akurat dalam wadah yang telah dikalibrasi yang telah dikalibrasi sampai suhu tertentu, T. Timbal balik pada frekuensi sekitar 30 siklus / menit dengan amplitudo Sekitar 2 cm, atau seperti yang ditentukan dalam monograf individu, untuk waktu yang ditentukan dalam medium yang ditentukan untuk setiap titik waktu. Lepaskan wadah larutan dari suatu bak, dinginkan pada suhu kamar, dan tambahkan larutan yang cukup (air) untuk memperbaiki kelemahan evaporatif. Lakukan analisis seperti yang diarahkan pada monograf individu. Ulangi tes dengan sistem pengiriman obat tambahan seperti yang diperlukan dalam monograf individual.Bila cangkang kapsul mengganggu penetapan, keluarkan isi tidak kurang dari 6 kapsul sesempurna mungkin, larutkan cangkang kapsul dalam sejumlah volume media disolusi seperti yang dinyatakan. Lakukan penetapan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi. Buat koreksi seperlunya. Faktor koreksi lebih besar dari 25% dari kadar pada etiket tidak dapat diterima (Banakar, 1992).
III.
ALAT UJI DISOLUSI TABLET ASETOSAL
Gambar Alat Uji Disolusi 2.1. Fungsi
Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in in vivo corelation). Kinetika uji disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo (Sulaiman, 2007). 2.2. Prosedur dan Cara Kerja
Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi yang dilihat berdasarkan kelarutan aspirin yaitu pada air, pasang alat dan dibiarkan media disolusi mencapai temperatur 37oC. Satu tablet dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daera h pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian
obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Lachman dkk., 1994). 2.3. Kriteria
Farmakope Indonesia Ed. IV menyatakan, kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan (Siregar dan Wikarsa, 2010). Pengujian dilanjutkan sampai tiga tahap, Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi (Lachman dkk., 1994).
Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali ditetapkan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam 45 menit dengan menggunakan Alat 1 pada 100 rpm atau Alat 2 pada 50 rpm (Siregar dan Wikarsa, 2010).
IV.
PROSEDUR DISOLUSI TABLET ASETOSAL
aker M ethod thod 3.1. B eaker Lima merek tablet aspirin diperiksa. Cakram 400mg dan diameter 1,3 cm disusun oleh kompresi aspirin ditumbuk halus di sekitar 5.000 kg / cm2 dalam majelis pukulan-die kalium bromida. Setiap disk dipasang pada selubung penutup mikroskop dengan perekat waterinsoluble yang sesuai seperti collodion fleksibel atau parafin keras, sehingga hanya satu wajah yang tetap terbuka.
hod 3.2. R otating D i sk M ethod Sekitar 300 mg ditumbuk halus aspirin dikompresi sekitar 3.500 kg / cm 2 Tingkat disolusi intrinsik tidak bergantung pada tekanan pada rentang kompresi 2.000 sampai 13.000 kg / cm 2. Tingkat disolusi intrinsik juga independen terhadap ukuran partikel aspirin yang digunakan dalam mempersiapkan cakram yang dikompres (Mitchell, 1967). Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi V,
Uji Disolusi Tablet Asetosal 1)
Media disolusi
:
Dibuat 500 ml dapar asetat 0,05 M dengan cara mencampur 2,99 gram natrium asetat trihidrat dan 1,66 ml asam asetat glasial P dengan air hingga 1000 ml dalam pH 4,50±0,05. 2)
Alat tipe
: 1 : 50 rpm
3)
Waktu
: 30 menit
4)
Prosedur
:
Lakukan penetapan jumlah C 9H8O4 yang terlarut dengan mengukur serapan alikuot yang jika perlu diencerkan dengan Media disolusi dan serapan larutan baku Asam Asetilsalisilat BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang dari titik isobestik asam asetilsalisilat dan asam salisilat dan pada 265 nm ± 2 nm. [Untuk [Untuk larutan baku segar, dapat digunakan etanol P tidak lebih dari 1% volume total untuk melarutkan baku pembanding sebelum diencerkan dengan Media disolusi disolusi]. ].
5)
Toleransi :
Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) C9H8O4, dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 2014).
Uji Disolusi Tablet Asetosal di Dapar 1)
Media disolusi
:
Dibuat 500 ml dapar asetat 0,05 M dengan cara mencampur 2,99 gram natrium asetat trihidrat dan 1,66 ml asam asetat glasial P dengan air hingga 1000 ml dalam pH 4,50±0,05. 2)
Alat tipe 2
: 75 rpm.
3)
Waktu
: 30 menit.
4)
Prosedur
:
Lakukan penetapan jumlah asam asetilsalisilat yang terlarut dengan mengukur serapan alikuot yang jika perlu diencerkan dengan Media disolusi pada panjang gelombang isobestik asam asetilsalisilat dan asam salisilat pada 265±2 nm. Bandingkan dengan larutan baku Asam Asetilsalisilat BPFI yang telah diketahui kadarnya dalam media yang sama. [Catatan [Catatan Larutan baku dibuat pada saat akan digunakan. Dapat digunakan metanol tidak melebihi 1% dari volume total untuk melarutkan baku pembanding sebelum diencerkan dengan media disolusi]. disolusi]. 5)
Toleransi
:
Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80 % (Q), C9H8O4, dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 2014).
V.
KRITERIA PENERIMAAN HASIL UJI DISOLUSI
Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi (Lachman, 1994).
Tabel Penerimaan Hasil Uji Disolusi
Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut, seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% adalah persen dari jumlah yang tertera pada etiket sehingga mempunyai arti yang sama dengan Q. Sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam monografi pada farmakope Indonesia edisi V, uji disolusi tablet Vitamin C memiliki persyaratan Toleransi Dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% (Q) C 6H8O6 dari jumlah yang tertera pada etiket dengan alat alat pada 50 rpm (Depkes RI,2014 RI,2014 ).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H. C., Allen, L. V., and Popovich, N. G. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta : UI Press. Banakar. 1992. Pharmaceutical Dissolution Testing . New York: Marcel Dekker Inc. BPOM RI. 2015. Asetosal (Asam Asetil Salisilat). Tersedia online di http://pionas.pom.go.id/monografi/asetosal-asam-asetilsalisilat/ [Diakses 19 Mei 2017] Depkes RI. 1995. Farmakope 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 1995. Farmakope 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Edisi IV . Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 2014. Farmakope 2014. Farmakope Indonesia. Edisi Edisi V . Jakarta : Depkes RI. Lachman, L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Indrustri. Edisi Ketiga. Vol III. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press. Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Jakarta: UI Press. Mitchell A. G., and Dorothy. 1967. The dissolution of aspirin and aspirin tablets. J.Pharm, Pharmac (19) 729-734. Moffat, Anthony C, M. David Osselton and Brian Widdop. 2004. Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons. Poisons . Third Edition. London: Pharmaceutical Press. Siregar, C.J.P. dan Wikarsa, S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet: Dasar Dasar Praktis. Jakarta: Praktis. Jakarta: EGC. Sulaiman, T.N.S. 2007. Teknologi & Formulasi Sediaan Tablet. Yogyakarta : UGM Press. Syukri. 2002. Biofarmasetika 2002. Biofarmasetika.Yogyakarta .Yogyakarta : UII Press. Voight, R. 1984. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Farmasi . Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.