Kedaulatan dan Batas Wilayah Darat Negara Laporan yang diajukan sebagai tugas mata kuliah aspek legal spasial (GD5202)
ADAM IRWANSYAH FAUZI 25117005
PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI & GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2018
I.
Perkembangan Teori dan Dasar Hukum Batas Wilayah Darat Negara A. Sejarah Singkat Batas Wilayah Darat Negara Perkembangan peradaban manusia. Pada zaman manusia hidup dari berburu, orang sudah menetapkan batas wilayah perburuannya. Kemudian ketika manusia mulai hidup dengan bercocok tanam secara menetap, orang mulai menetapkan batas-batas bidang tanah yang menjadi wilayah garapannya. Catatan sejarah yang sekarang ada menunjukkan bahwa Herodotus seorang bangsa Mesir yang hidup pada tahun 1400 sebelum masehi ditugaskan untuk melakukan pengukuran batas-batas bidang tanah untuk keperluan pajak.
Bidang tanah pada dasarnya juga wilayah di permukaan bumi, hanya ukurannya sempit. Untuk ukuran wilayah yang lebih luas tercatat gagasan pembagian wilayah laut yang muncul pertama kali atas kewibawaan Paus Alexander VI yang membagi laut untuk Portugal dan Spanyol berdasarkan Piagam Inter Ceterea 1492. Garis alokasi yang pertama dibuat dilakukan oleh Pope (Sri Paus) Alexander VI pada tahun 1492 tersebut untuk membagi wilayah laut untuk Portugal dan Spanyol dengan cara menggambar garis pada bola bumi dari utara ke selatan pada jarak 100 “marine leagues” sebelah barat pulau Azore dan Capeverdian. Garis alokasi ini kemudian direvisi di dalam Perjanjian Tordesillas pada tahun 1494 menjadi garis yang terletak 370 marine leagues disebelah barat kedua pulau tersebut.
Alokasi ini menetapkan bahwa laut disebelah timur garis alokasi yang telah dibuat adalah milik Portugal, sedangkan laut disebelah baratnya menjadi milik Spanyol. Garis ini juga digunakan untuk mengidentifikasi bahwa daratan-daratan yang bisa ditemukan dan dieksplorasi di sebelah timur garis tersebut adalah menjadi milik Portugal sedangkan di sebelah baratnya adalah milik Spanyol. Disamping itu garis ini juga sebagai penanda bahwa Portugal mempunyai kewajiban menyebarkan agama Kristen kepada penduduk di sebelah timur garis alokasi dan Spanyol menyebarkan agama Kristen terhadap pendudukdi di sebelah baratnya. Sebagai catatan, menurut kamus Inggris Oxford: 1 “marine leagues” = 3 mil = 4,8 km.
Setelah pembagian laut antara Potugal dan Spanyol, usaha serupa juga dilakukan oleh Inggris pada tanggal 1 Maret 1604 yang meliputi perairan pantai Inggris pada lebih kurang 27 semenanjung. Di benua Amerika bagian selatan ada garis alokasi antara Spanyol dan Portugis yang dibuat bulan September tahun 1882 (Huerta, 2006), sedang di benua Amerika bagian utara, Inggris membagi menjadi dua wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kanada dan Amerika Serikat. Perjanjian antara Perancis dan Portugis pada tanggal 12 Mei 1886 membagi
wilayah Guinea di benua Afrika menjadi Guinea yang dikuasai oleh Perancis dan GuineaBissau yang dikuasai oleh Portugis. Di benua Afrika garis alokasi yang dibuat oleh negaranegara kolonial seperti Perancis, Inggris dan Portugis dilakukan melalui perjanjian yang berlangsung antara tahun 1875 sampai tahun 1950an.
Di Asia Tenggara pembagian wilayah koloni dapat dicatat sebagai berikut. Perancis pada tahun 1887 dan 1895 melalui Sino- Frence Treaties mengalokasi wilayah yang didudukinya menjadi beberapa daerah koloni yang sekarang dikenal sebagai Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar (Hoang Trong Lap dan Nguyen Hong Thao, 2006). Sementara wilayah semenanjung Malaya dibagi antar Perancis dan Inggris melalui perjanjian (treaty) tahun 1909 yang sekarang menjadi negara Thailand dan Malaysia. Pulau Borneo (Kalimantan) di bagi dua antar Inggris di sebelah utara (sekarang Malaysia) dengan Belanda di sebelah selatan (sekarang Indonesia) melalui perjanjian tahun 1891 (Nordin, A.F.,2006). Pulau Papua dibagi dua antara Belanda di sebelah barat (sekarang Indonesia) dan Inggris di sebelah timur (sekarang Papua Nugini) pada garis bujur 1410 bujur timur melalui treaty tahun 1896. Kemudian pada tahun 1854 dilakukan perjanjian batas antara Belanda dan Portugal di Pulau Timor. Timor bagian barat dikuasai Belanda (sekarang Indonesia) dan Timor bagian timur dikuasai Portugis (sekarang Timor Leste). Perjanjanjian 1854 tersebut kemudian direvisi pada tahun 1899 dan 1905.
Alokasi wilayah yang dilakukan oleh negara-negara kolonial menghasilkan garis alokasi yang dikemudian hari setelah negara-negara koloninya merdeka maka garis alokasi tersebut ditetapkan menjadi batas wilayah negara yang merdeka. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional “uti posidetis juris” bahwa alokasi wilayah secara umum untuk negara yang baru merdeka adalah mewarisi wilayah dari negara penjajah yang berkuasa sebelumnya atas satu wilayah tertentu. Batas wilayah negara yang sekarang ada di dunia pada dasarnya merupakan warisan garis alokasi dari zaman kolonialisasi.
B. Boundary Making Theory Stephen B. Jones (1945), didalam bukunya A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas suatu negara. Didalam teori tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu allocation, delimitation, demarcation, dan administration. Teori Boundary making yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Alokasi teritorial suatu wilayah ditentukan berdasarkan keputusan atau pernyataan politik, selanjutnya delimitasi batas ditentukan sesuai dengan
perjanjian (treaty) yang telah mengikatnya. Untuk menegaskan batas di lapangan, maka dilakukan penegasan batas (demarkasi) dan akhirnya dilakukan pengadministrasian batas.
Keempat tahapan boundary making theory dapat dijelaskan sebagai berikut : •
Alokasi adalah Alokasi adalah tahap proses politik untuk menentukan pembagian atau alokasi wilayah teritorial yang dilakukan pada zaman kolonialisasi, yang dalam hal ini masing-masing negara kolonial yang akan menguasai wilayah mencapai kesepakatan terhadap pembagian wilayah secara umum. Pada tahap alokasi ini dihasilkan suatu garis yang disebut sebagai garis alokasi (allocation lines) yang akan menentukan lingkaran pengaruh atau ‘spheres of influence’ terhadap wilayah yang dikuasanya. Tahap ini tentu saja melibatkan proses dan keputusan politik antara negara kolonial yang tidak mudah. Negara-negara kolonial seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis merupakan pencipta garis alokasi.
•
Delimitasi berarti memilih letak (site) suatu garis batas dan mendefinisikannya di dalam perjanjian (treaty) atau dokumen formal lainnya. Delimitasi adalah suatu tahapan yang lebih teliti dibanding tahapan sebelumnya yaitu alokasi, tetapi kurang teliti dibanding tahapan sesudahnya yaitu demarkasi. Memilih letak garis batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan kepentingan politik. Sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu proses yang sepenuhnya bersifat teknis (kartometris). Kesalahan serius bisa terjadi pada tahap delimitasi yaitu ketika memilih letak yang tidak sesuai atau mendefinisikan batas dengan tidak benar pada lokasi yang sudah sesuai. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa disebabkan hal-hal sebagai berikut : ▪
Tidak mengenali lokasi perbatasan yang akan dipilih,
▪
Tidak mengenali dengan baik kekhasan kenampakan geografis yang ada di lokasi perbatasan yang dipilih baik aspek dari alamiah maupun manusianya,
▪
Kurangnya pengetahuan terhadap kesulitan-kesulitan di dalam mendefinisikan batas.
Menyusun suatu perjanjian tentang batas wilayah harus teliti dan cermat di dalam penggunaan kata-kata dan memiliki kepastian dan kejelasan hubungan antara yang tertulis di dalam perjanjian dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Bahkan ketika peta skala besar tidak tersedia sebagai dokumen, perjanjian tetap harus dapat menyediakan bahwa tidak ada perbedaan yang besar antara yang tertulis di dalam perjanjian dengan kondisi lapangan pada saat tahap demarkasi selanjutnya dilakukan. Di
dalam perjanjian sebaiknya dicantumkan suatu klausal yang memberi kekuasaan kepada komisi demarkasi batas untuk melakukan atau memberi rekomendasi penyesuaian (adjusment) garis batas di lapangan bila diperlukan. Ini menjadi catatan penting bahwa sebenarnya tidak ada pendefinisian batas di dalam perjanjian yang tidak dapat dibatalkan sampai suatu tim teknis yang berpengalaman dalam permasalahan perbatasan dimintai pendapat tentang pemilihan letak garis batas dan merumuskannya definisi batas tersebut di dalam bentuk kata-kata atau kalimat.
Hal tersebut sebenarnya menjadi suatu catatan penting bahwa masukan hasil survey lapangan sangat diperlukan sebelum memilih dan mendefiniskan batas wilayah. Survey lapangan sebenarnya tidak memerlukan waktu lama, namun hasilnya sangat membantu untuk menghindari ketidaktepatan pemilihan lokasi dan menghindari ketidakakuratan pendefinisikan garis batas. Metode survey dari udara seperti penggunaan foto udara atau penggunaan citra satelit yang sekarang sudah memiliki resolusi tinggi akan sangat membantu dan mempercepat survey rekonaisan untuk data masukan dalam memilih dan mendefinisikan garis batas wilayah. Dalam hal menentukan dan mendefinisikan Jones mengingatkan agar pemilihan dan pendefinisan garis batas harus mengurangi friksi di dalam boundary-making sehingga menghasilkan batas yang memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis antara negara yang berbatasan. Untuk menentukan posisi titik dan garis yang teliti dibutuhkan ahli teknis seperti kartografer, surveyor geodesi atau geografer. Batas yang tepat tidak dapat ditentukan kecuali bila disiplin geografi, geodesi dan kartografi bisa menyediakan data untuk delimitasi dan demarkasi. Dalam tahap delimitasi ini, dokumen perjanjian sudah dibuat.
Tahap delimitasi merupakan tahap yang paling kompleks selama implementasi proses penentuan batas. Delimitasi mendefinisikan garis batas secara khusus dan lokasinya di atas peta untuk memecahkan persoalan ketidakpastian dan kemungkinan sengketa dan memungkinkan negara untuk melaksanakan pembangunan sepanjang perbatasan. Negosiasi selama tahap delimitasi dilaksanakan sebelum penandatanganan perjanjian yang dilakukan para arsitek batas kedua belah pihak, perlu dicatat bahwa proses delimitasi sangat membutuhkan partisipasi ahli teknis yang mampu mengantisipasi masalah teknis, dalam tahap delimitasi untuk mencegah permasalahan-permasalahan demarkasi di lapangan. Tugas pokok dari para arsitek batas dibantu oleh ahli teknis adalah persiapan delimitasi termasuk studi lapangan (field reconnaissance), mendefinisikan parameter geodetik dan implementasinya, mendefinisikan informasi grafis termasuk peta yang diperlukan sebagai latar belakang untuk menampilkan garis batas dalam perjanjian. Delimitasi harus dilaksanakan secara hati-hati dan kejujuran
kedua pihak dalam perolehan data terbaik untuk memastikan suksesnya demarkasi dan batas permanen di masa mendatang.
Dalam hal metode delimitasi, prinsipnya ada dua metode delimitasi batas yaitu metode turning points yang merupakan kombinasi arah dan jarak dan metode natural features yang menggunakan kenampakan alam seperti sungai dan watershed. Sedangkan di dalam mendefinisikan batas paling tidak dikenal ada enam metode. Dalam suatu perjanjian batas bisa saja enam metode tersebut digunakan bersamaan untuk digunakan pada segmen garis batas yang berbeda. Enam metode tersebut yaitu : ▪
Definisi Lengkap (Complete Definition)
▪
Definisi Lengkap dengan kekuasaan untuk dirubah (Complete Definition, with power to deviate)
▪
Turning Points (menghubungkan dua titik batas yang telah didefinisikan tersebut dengan garis lurus)
•
▪
Arah dan jarak
▪
Definisi Zone
▪
Kenampakan alam (Natural features)
Demarkasi adalah aplikasi final dan menandai batas di lapangan. Demarkasi adalah lebih pada proses mekanis dibandingkan delimitasi yang mencakup pendirian beacon atau pilar atau tanda pemberian nomor dan mencatat tanda-tanda tersebut ke dalam peta. Kegiatan Demarkasi Batas merupakan bentuk kegiatan teknis terakhir dari rangkaian penentuan atau penataan batas suatu daerah. Dengan diadakan kegiatan ini maka tata batas menjadi lebih jelas, baik secara hukum maupun secara implementasi di lapangan, karena dengan demarkasi ini biasanya batas-batas di lapangan telah disepakati secara final oleh kedua belah pihak yang berkepentingan terhadap penataan batas tersebut.
Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undangundang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh ”the boundary engineers” akan diakhiri dengan tahap administrasi dan manajeman batas dan daerah perbatasan oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan daerah perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di daerah perbatasan.
•
Adminstrasi batas daerah adalah kegiatan mengurus dan memelihara keberadaan batas daerah. Implementasinya antara lain adalah menjadikan batas daerah dibuatkan produk hukum, kemudian menciptakan situasi yang kondusif di perbatasan. Hal ini tentu saja terkait aktivitas sosial budaya, pelayanan publik, lingkungan dan terutama ekonomi untuk kesejahteraan masyarakatnya, dan lain-lain.
C. Jenis Perjanjian Batas Negara di Darat Terdapat berbagai jenis perjanjian untuk penentuan batas negara di darat, berikut adalah jenisjenisnya : •
Konvensi Konvensi berasal dari kata convention merupakan suatu aturan yang didasarkan pada kebiasaan. Pengertian konvensi dalam kebiasaan ini timbul dan dipelihara dengan baik dalam praktik ketatanegaraan suatu negara. Dalam pelaksanaannya, suatu konvensi tidak diatur dalam sebuah konstitusional. Dengan kata lain, konvensi merupakan suatu aturan yang diterima secara hukum oleh suatu negara dan dilakukan secara berulang-ulang meskipun tidak tertulis
•
Traktat Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl.
•
Yurispondensi Yurisprudensi atau putusan pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata.
•
Uti Posidetis Juris Uti possidetis (dalam bahasa Latin berarti "seperti yang Anda miliki") adalah prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa teritori dan properti lainnya tetap di tangan pemiliknya pada akhir konflik, kecuali jika hal yang berbeda diatur oleh suatu perjanjian. Apabila perjanjian tersebut tidak termasuk kondisi tentang kepemilikan properti dan wilayah diambil selama perang, maka prinsip uti possidetis akan berlaku. Asas ini mengakar dari hukum Romawi dan berasal dari frase Latin "ita possideatis, yang berarti "Anda dapat tetap memiliki apa yang Anda miliki". Prinsip ini memungkinkan pihak yang berperang untuk mengklaim wilayah yang telah direbut selama perang.
D. Dasar Hukum Batas Wilayah Darat Indonesia Pasal 1 Montevideo Convention on The Right and Duty of The States tahun 1993, menetapkan bahwa sebagai suatu kesatuan negara harus memiliki empat kualifikasi yaitu memiliki
penduduk yang tetap, wilayah dengan batas-batas yang jelas, pemerintahan yang efektif, dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Muatan produk hukum tersebut diatas dapat diletakkan pada perspektif kedaulatan sebuah negara, dimana penegasan batas wilayah negara merupakan manifestasi dari kedaulatan sebuah negara. Dalam batasbatas tersebut, sebuah negara memiliki hak berdaulat yang dilaksanakan secara penuh (complete and exclusive souvereignty ) dalam upaya mewujudkan visi dan tujuannya.
Pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengaturan mengenai wilayah negara meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya, untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara. Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang yang sama dinyatakan “Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional”
II.
Klasifikasi Batas Darat A. Batas Darat Alami Batas darat alami merupakan bentukan bentang alam yang digunakan untuk tanda batas suatu negara.Beberapa bentukan alami yang digunakan sebagai penanda batas adalah sungai dan atau gunung atau perbukitan. •
Sungai Sungai merupakan bentukan alam alami yang dapat digunakan untuk penanda batas darat antar negara. Spesifikasi sungai yang dapat digunakan sebagai penanda garis batas yaitu sungai yang panjang dan lebar, dan secara kasat mata dapat menunjukan tapal batas yang pasti. Apabila suatu Sungai yang menjadi perbatasan internasional itu dapat dilayari, maka kedudukan perbatasan dapat menjadi persoalan yang sulit, karena masalah kedudukan perbatasan dan penggunaan sungai menjadi dua persoalan yang saling
mempengaruhi. Jika yang digunakan sebagai tanda batas negara adalah sungai, maka penarikan garis batas antar negara dapat menggunakan dua metode, yaitu : ▪
Thalwegh sungai, yaitu garis batas yang ditetapkan berdasarkan garis yang menghubungkan angka-angka kedalaman maksimum sungai tersebut (Djunarsjah E, 2007). Kedalaman sungai diukur menggunakan alat pengukur kedalaman, misalnya adalah echosounder. Titik kedalaman maksimum sungai tersebut jika ditarik garis terhadap titik-titik kedalaman maksimum yang lainnya pada sungai tersebut, maka akan terbentuk sebuah garis. Garis yang terbentuk tersebut adalah garis batas antar negara yang ditandai oleh sungai tersebut.
▪
Median sungai, yaitu garis batas yang ditetapkan berdasarkan garis yang membagi lebar sungai sama panjang.Median sungai membagi lebar sungai dari tepi kiri dan tepi kanan sungai sama panjang, dan garis yang terbentuk digunakan sebagai garis batas antar negara yang ditandai oleh sungai tersebut.
•
Gunung / Punggung Bukit Gunung atau bukit adalah bentukan alami geologis yang secara kasat mata dapat menjadi pemisah antar negara. Pegunungan sebagai perbatasan alam antara dua negara merupakan hal yang lazim terjadi. Bagian dari pegunungan yang menjadi perbatasan pada umumnya adalah bagian-bagian tertinggi pada pegunungan tersebut. Perbatasan yang demikian sering disebut dengan Watershed yang artinya bahwa bagian- bagian tertinggi dari pegunungan itu merupakan pemisah dari semua aliran sungai-sungai yang mengalirkan kejurusan-jurusan yang berlawanan.
Perbatasan Kalimantan Indonesia dan Kalimantan Malaysia merupakan jenis perbatasan alam yang disebut sebagai watershed. Watershed merupakan perbatasan alam terbaik, sebab tidak dapat diragukan lagi kedudukannya, bersifat abadi dan merupakan pemisah yang paling efisien. Penduduk yang tinggal pada sebelah-menyebelah pegunungan itu hanya mampu membangun pemukiman-pemukiman sepanjang sungai sampai pada lereng-lereng gunung dimana keadaan tanah sudah tidak memungkinkan lagi untuk bercocok tanam, oleh karena itu makin tinggi kedudukan watershed, pemukiman penduduk juga makin sedikit, sehingga watershed pada umumnya juga merupakan perbatasan kelompok-kelompok etnis. Titik penanda garis batas biasanya terletak di punggungan gunung atau bukit. Garis batas ditarik secara lurus dengan menghubungkan titik-titik (Bench Mark atau pilar) yang berada di punggungan gunung atau bukit.Garis tersebut kemudian diproyeksikan ke permukaan tanah.
Kesulitan yang dihadapi dalam masalah pembuatan perjanjian perbatasan ialah bahwa isi perjanjian itu harus dapat dilaksanakan secara benar di lapangan dan tidak boleh menimbulkan keragu-raguan. Oleh sebab itu para penyusun teks perjanjian harus menyesuaikan isi perjanjian tersebut dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing negara dan sesuai dengan keadaan di lapangan. Pengalaman menunjukkan bahwa penyusunan perjanjian-perjanjian perbatasan alamiah lebih sulit dibandingkan dengan perjanjian perbatasan buatan, karena perbatasan buatan tidak begitu banyak memerlukan pengetahuan atau pengenalan tentang medan dimana perbatasan itu terletak.
B. Batas Darat Buatan Garis batas darat buatan adalah benda-benda buatan manusia yang digunakan sebagai penanda batas darat antar negara seperti pilar atau tugu, kawat berduri, dinding beton atau Border Sign Post (BSP). Koordinat titik-titik penanda ini telah disepakati secara bersama oleh negaranegara yang terkait dalam forum perundingan batas.
III.
Persoalan Batas Darat Indonesia A. Perbatasan Darat Indonesia Perbatasan darat Indonesia dengan negara tetangga adalah bahwa proses penetapan batasnya (Delimitasi) telah diselesaikan di masa pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan batas dengan Inggris untuk segmen batas darat di Kalimantan dan Papua. Sedangkan Hindia Belanda menetapkan batas darat dengan Portugis di Pulau Timor. Merujuk kepada ketentuan hukum internasional Uti Possidetis Juris (suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya), maka Indonesia dengan negara tetangga hanya perlu menegaskan kembali atau merekonstruksi batas yang telah ditetapkan tersebut. Penegasan kembali atau demarkasi tidaklah semudah yang diperkirakan. Permasalahan yang sering terjadi di dalam proses demarkasi batas darat adalah munculnya perbedaan interpretasi terhadap treaty atau perjanjian yang telah disepakati Hindia Belanda. Selain itu, fitur-fitur alam yang sering digunakan di dalam menetapkan batas darat tentunya dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Lebih lanjut lagi tidak menutup kemungkinan, sosial budaya dan adat daerah setempat juga telah berubah, mengingat rentang waktu yang panjang semenjak batas darat ditetapkan pihak kolonial dulu.Perbatasan darat Indonesia dengan negara tetangga adalah bahwa proses penetapan batasnya (Delimitasi) telah diselesaikan di masa pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan batas dengan Inggris untuk segmen batas darat di Kalimantan dan Papua. Sedangkan Hindia Belanda menetapkan batas darat dengan Portugis di Pulau Timor. Merujuk kepada ketentuan hukum internasional Uti Possidetis Juris (suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya), maka Indonesia dengan negara tetangga hanya perlu menegaskan kembali atau merekonstruksi batas yang telah ditetapkan tersebut. Penegasan kembali atau demarkasi tidaklah semudah yang diperkirakan. Permasalahan yang sering terjadi di dalam proses demarkasi batas darat adalah munculnya perbedaan interpretasi terhadap treaty atau perjanjian yang telah disepakati Hindia Belanda. Selain itu, fitur-fitur alam yang sering digunakan di dalam menetapkan batas darat tentunya dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Lebih lanjut lagi tidak menutup kemungkinan, sosial budaya dan adat daerah setempat juga telah berubah, mengingat rentang waktu yang panjang semenjak batas darat ditetapkan pihak kolonial dulu. •
Indonesia – Malaysia Perbatasan darat antara Indonesia dengan Malaysia di Pulau Borneo memiliki panjang sekitar 2.000 km. Sebagian besar batasnya merupakan batas alam yang berupa punggung gunung / garis pemisah air (watershed). Garis batas tersebut membentang dari Tanjung Datu di sebelah barat hingga ke pantai timur pulau Sebatik di sebelah timur. Penentuan batas darat diantara kedua negara merujuk kepada kesepakatan antara Hindia-Belanda dengan Inggris pada tahun 1891, 1915 dan 1925. Sampai dengan saat ini program
penegasan batas (demarkasi) antar kedua negara terus dilakukan secara bersama. Hal ini telah dimulai sejaktahun 1973 yang salah satu hasilnya hingga kini telah terpasang pilar batas sebanyak lebih dari 19.000 patok batas dengan berbagai type (type A,B, C dan D). Perlu digaris bawahi pula bahwa kedua negara juga masih perlu menyelesaikan dan menyepakati sembilan segment batas. Sebagai bagian dari usaha pengelolaan perbatasan, pemerintah Indonesia, Bakosurtanal dan Pemerintah Malaysia menyepakati untuk membuat sebuah peta bersama untuk sepanjang koridor batas darat kedua negara. Hasil dari peta bersama ini akan sangat berguna bagi Pemerintah kedua negara dan para stakeholders yang akan mengelola koridor perbatasan tersebut. •
Indonesia - Papua Nugini Batas darat antara Indonesia dengan Papua Nugini (PNG) mengacu pada kepada Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu antara Indonesia Dan Papua Nugini Tanggal 12 Februari 1973, yang diratifikasi dengan UU No 6 tahun 1973. Garis batas Indonesia dengan Papua Nugini yang disepakati merupakan garis batas buatan (artificial boundary), kecuali pada ruas Sungai Fly yang menggunakan batas alam yang berupa titik terdalam dari sungai (thalweg). Garis batas RI-PNG menggunakan meridian astronomis 141º 01’00”BT mulai dari utara Irian Jaya (Papua ) ke selatan sampai ke sungai Fly mengikuti thalweg ke selatan sampai memotong meridian 141 º 01’ 10” BT. Demarkasi batas sepanjang perbatasan kedua negara (±820km) telah dilaksanakan bersama antara Indonesia dengan PNG dengan menempatkan sebanyak 52 pilar dari MM 1 sampai dengan MM 14A yang merupakan batas utama Meridian Monument.
•
Indonesia – Timor Leste Batas darat antara Indonesia dengan Timor-Leste mengacu kepada perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan Portugis pada tahun 1904 dan Permanent Cort Award (PCA) 1914, serta Provisional Agreement antara Indonesia dan Timor Leste yang ditandatangani pada 8 April 2005. Perbatasan Indonesia dangan Timor Leste terdapat dua sektor yaitu, Sektor Barat sepanjang ±120 km dan Sektor Timur (enclave Occussi) sepanjang ±180 km. Pelaksanaan demarkasi batas darat sudah dilaksanakan sejak tahun 2002. Sampai dengan saat ini, masih terdapat tiga unresolved segments yang membutuhkan penyelesaian. Ketiga unresolved segments tersebut berada di Manusasi/Oben, Noel Besi/Citrana dan Memo/Dilumil. Namun daripada itu, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kedua negara telah memiliki produk penetapan dan penegasan batas bersama yang wajib dipatuhi oleh para pihak, termasuk Provisional Agreement yang mana di dalamnya salah satunya menyatakan bahwa di dalam
penyelesaian unresolved segments, para pihak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
Border Sign Post (BSP) merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia Bakosurtanal di perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste. BSP adalah tanda penunjuk batas berwujud sebuah papan pengumuman bagi umum/pelintas batas dan aparat pengamanan batas bahwa di dekat lokasi itu terdapat titik/garis batas negara yang mana hal ini ditunjukkan dengan keterangan jarak. BSP merupakan sebuah pelengkap bagi keberadaan titik/garis batas negara. Secara umum, BSP diletakkan di lokasi-lokasi yang teridentifikasi sebagai jalur perlintasan masyarakat atau adanya masyarakat yang tinggal di dekat lokasi batas tersebut. Penempatan BSP bermanfaat untuk membantu masyarakat pelintas batas dan aparat pengamanan untuk mengetahui lokasi titik/garis batas, memahami keberadaan lokasi diri di sekitar titik/garis batas dan menumbuhkan kesadaran perlunya ikut memelihara keberadaan titik/garis batas. Merujuk kepada manfaat dan arti pentingnya di dalam pengelolaan perbatasan, maka diharapkan BSP di perbatasan darat Indonesia dan Timor Leste ini akan dapat menjadi sebuah pilot project untuk perbatasan darat lainnya.
B. Sengketa Batas Wilayah Darat Indonesia (Indonesia-Malaysia) Masalah batas wilayah antar dua negara sampai saat ini dimana dunia telah memasuki abad 21, merupakan masalah yang masih tetap ada. Setiap batas wilayah antar dua negara haruslah dituangkan dalam suatu bentuk produk hukum internasional yang mengikat antar dua negara agar tidak menimbulkan sengketa. Demikian pula dengan Indonesia yang berbatasan baik darat maupun laut dengan beberapa negara. Indonesia dan beberapa negara yang berbatasan baik darat maupun laut juga menuangkan peraturan batas wilayah antar negara di dalam suatu produk hukum internasional. Namun, sekalipun telah dituangkan di dalam suatu bentuk produk hukum internasional yang mengikat, tetap saja masih terdapat sengketa batas wilayah yang melibatkan Indonesia dan negara tetangganya. Batas wilayah darat antara Indonesia dan Malaysia yang berada di Kalimantan adalah salah satu contohnya.
Penentuan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia pada tahap penentuan lokasi dan delimitasi yang dilakukan dengan merujuk pada prinsip atau asas uti possidetis juris dapat dikatakan berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya MOU antara Malaysia yang menggunakan kesepakatan antara Belanda dan Inggris sebagai orientasinya. Namun, pada tahap demarkasi yang ditunjukkan melalui beberapa kegiatan seperti survey dan pemetaan masih menunjukkan adanya masalah. Permasalahan yang terjadi pada tahap demarkasi inilah yang memicu terjadinya sengketa batas wilayah darat yang ada di Pulau Kalimantan. Hal ini
juga akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pengelolaan wilayah, karena jika demarkasinya bermasalah, pengelolaan wilayah perbatasan juga akan turut bermasalah. Pelaksanaan pengelolaan wilayah juga sangat erat kaitannya dengan doktrin efektivitas, karena pelaksanaan pengelolaan wilayah dapat dilaksanakan dengan menunjukkan adanya kegiatan administrasi pemerintahan.
Batas wilayah darat Indonesia dan Malaysia di Kalimantan masih menyisakan 10 titik yang bersengketa, karena kedua negara masih belum sepakat mengenai batasan wilayahnya. Hal ini tidak lain adalah karena perbedaan persepsi mengenai dasar hukum yang digunakan. Sebelumnya Indonesia dan Malaysia telah membuat suatu MOU 1973 yang merupakan suatu produk hukum Internasional yang mengikat Indonesia dan Malaysia sebagai dasar hukum batas wilayah kedua negara. MOU 1973 ini juga tak lepas dari suatu asas hukum internasional yakni uti possidetis juris yang menyatakan bahwa negara yang baru mewarisi wilayah dan kekayaan negara penguasa sebelumnya. Artinya Indonesia dan Malaysia mewarisi wilayah penjajah sebelumnya, Indonesia mewarisi wilayah Belanda, dan Malaysia mewarisi wilayah Inggris. Hal ini juga telah menjadi suatu kebiasaan internasional yang telah diterapkan di banyak negara bekas jajahan.
Sebelum Indonesia dan Malaysia merdeka, Belanda dan Inggris juga telah membuat suatu produk hukum internasional dalam bentuk traktat, yang dinamakan Traktat London. Traktat London hingga kini masih digunakan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai orientasi dasar hukum penentuan batas wilayah diPulau Kalimantan. Namun di dalam hukum Internasional juga terdapat asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak yang tidak terikat kepada perjanjian tersebut. Artinya, Indonesia dan Malaysia tidak dapat memiliki hak serta tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas Traktat London.
MOU 1973 yang berorientasi pada Traktat London ini juga tidak dapat berjalan efisien. Hal ini dikarenakan fakta yang terdapat di lapangan berbeda seperti apa yang tertulis di dalam Traktat London tersebut. Dalam Konvensi Wina tahun 1969, dimana dalam pasal 48 ayat (1) menjelaskan, suatu negara dapat menyinggung suatu kekeliruan yang dapat membatalkan persetujuan negara tersebut untuk diikat oleh suatu perjanjian bila kekeliruan itu berkenaan dengan suatu fakta atau suatu keadaan yang dianggap negara tersebut pada waktu perjanjian itu dibuat dan kekeliruan tersebut merupakan dasar pokok dari persetujuannya untuk diikat oleh perjanjian itu. Selanjutnya pasal 49 Konvensi Wina tahun 1969 menyatakan “bila suatu negara membuat suatu perjanjian yang didasarkan atas penipuan oleh negara lain, negara pertama dapat menggunakan penipuan itu untuk membatalkan persetujuannya untuk diikat
oleh perjanjian tersebut.” Perbedaan temuan fakta yang ada lapangan inilah yang dapat dijadikan sebagai suatu kekeliruan yang dapat membatalkan persetujuan negara tersebut untuk diikat oleh suatu perjanjian.
Berdasarkan sejarah yang ada, mulai dari masa penjajahan hingga kemerdekaan, dasar hukum kesepakatan patok batas wilayah Indonesia dan Malaysia adalah: •
Konvensi Belanda-Inggris tahun 1981 Konvensi ini ditandatangani oleh Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juni 1891 di London. Di dalam konvensi ini diatur berbagai hal yang menyangkut penentuan batas secara umum seperti penentuan watershed maupun hal-hal khusus yang menyangkut kasus-kasus pada wilayah tertentu.
•
Kesepakatan Belanda-Inggris tahun 1915 Persetujuan laporan bersama penegasan perbatasan antara Belanda dan Inggris di Kalimantan 28 September 1915. Persetujuan ini ditandatangani di Tawao pada tanggal 17 Februari 1913 masing-masing oleh IR. J.H.G Schepers anggota Brigade Triangulasi (sekarang bagian Geodesi Subdinbin Peta Dittopad di Bandung) dan Letnan Laut E.A. Vreede yang mewakili Pemerintah Belanda, sedangkan dari pihak Inggris diwakili oleh H.W.I Bunbury dan G.ST.V. Keddel, keduanya adalah ahli pemetaan. Penegasan bersama tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan Traktat 1891. Hasil persetujuan tersebut dikukuhkan oleh wakil kedua Pemerintahan di London pada tanggal 28 September 1915.
•
Konvensi Belanda-Inggris tahun 1928 Konvensi ini ditandatangani oleh Belanda dan Inggris di Den Haag pada tanggal 28 Maret 1928, selanjutnya diratifikasi oleh kedua negara pada tanggal 6 Agustus 1930. Inti dari Konvensi ini memuat mengenai cara-cara penentuan batas wilayah kedua negara di kawasan Jagoi antara Gunung Api dan Gunung Raya, yang merupakan bagian dari Traktat 1891.
•
MOU Indonesia dan Belanda tahun 1973 Dokumen persetujuan antara Indonesia dan Malaysia ini berdasarkan kepada Konvensikonvensi 1891, 1915 dan 1928. Dalam MOU ini disepakati hal-hal yang menyangkut penyelenggaraan survey dan penegasan batas Indonesia dan Malaysia, antara lain: ▪
Organisasi The Joint Technical Committee
▪
Penentuan area prioritas
▪
Prosedur survey
▪
Tahapan pelaksanaan
▪
Pembiayaan
▪
Dukungan satuan pengamanan
▪
Logistik dan komunikasi
▪
Keimigrasian
▪
Ketentuan Bea dan Cukai.
Di Indonesia, produk hukum nasional berupa peraturan perundang-undangan mengenai batas wilayah antar negara juga masih belum semuanya diatur. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pula produk hukum internasional yang mengikat Indonesia dan negara yang berbatasan secara kuat. Selama ini produk hukum internasional yang mengatur adanya batas wilayah di Indonesia sebagian besar berbentuk MOU, bukan perjanjian internasional.
Masalah perbatasan merupakan bagian dari masalah petahanan dan keamanan negara. Oleh karena itu, setiap negara berwenang menentukan batas wilayah yurisdiksinya masing-masing. Namun penetapan batas wilayah juga harus memperhatikan kewenangan otoritas negara lain melalui suatu kerjasama dan perjanjian bilateral. Misalnya, dalam bidang survey dan penentuan batas wilayah darat maupun laut antara Indonesia dengan negara lain, selama ini masih tertuang dalam suatu bentuk MOU maupun perjanjian-perjanjian penetapan garis batas laut antarnegara.
Terkait dengan hal itu, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dalam Pasal 25A memerintahkan pembuatan UU kepada pemerintah untuk menentukan batas wilayah negara yang
dapat
dijadikan
pedoman
dalam
mempertahankan
kedaulatan
Indonesia,
memperjuangkan kepentingan nasional, dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, memberdayakan dan mengembangkan sumber daya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia. Hal ini kemudian direalisasikan dalam dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 6 ayat (1) huruf (a) yang berbunyi:
(1) Batas Wilayah Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5, meliputi: a. Di darat berbatasan dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste.
Kemudian dilanjutkan dalam Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
(2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
Dari kutipan isi Undang-Undang diatas jelas bahwa perjanjian mengenai batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia sangat penting untuk ditetapkan dalam suatu bentuk produk hukum internasional yang mengikat dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 6 Ayat (1) Huruf (a) menjelaskan bahwa:
Batas Wilayah Negara di darat dalam ketentuan ini adalah batas-batas yang disepakati oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Inggris di Kalimantan dan Papua, dan Pemerintah Portugis di Pulau Timor yang selanjutnya menjadi wilayah Indonesia berdasarkan prinsip uti possidetis juris yang berlaku dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip tersebut, negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya.
Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris Tahun 1891, Tahun 1915, dan Tahun 1928. Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) Tahun 1914. Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris Tahun 1895.
Penerapan dari prinsip dari uti possidetis juris dalam penentuan batas wilayah darat antara Indonesia dan Malaysia juga perlu dikaji ulang. Hal ini disebabkan, fakta yang ada di lapangan sudah banyak berbeda dengan apa yang tertulis di dalam perjanjian yang dibuat oleh Hindia Belanda dan Inggris.
Namun meskipun telah disinggung didalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, baik perjanjian-perjanjian antara Belanda dan Inggris maupun MOU antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas wilayah di Pulau Kalimantan tidak dipublikasikan secara umum. Menurut Kepala Badan Pengelolaan Perbatasan Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat perjanjian-perjanjian tersebut tidak dipublikasikan karena perjanjianperjanjian tersebut adalah rahasia negara. Hal ini menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai batas wilayah negaranya sendiri.
Masalah penegasan batas wilayah di dalam sebuah UU menjadi semakin penting sejalan terjadinya perubahan yang cepat di berbagai kawasan akibat pengaruh situasi global. Masalah batas wilayah negara bukan hanya menyangkut ancaman dari luar, tetapi juga terkait dengan masalah kedaulatan wilayah dan hak setiap warga negara untuk mengeksploitasi kekayaan
alamnya. Karena sumber kekayaan yang makin terbatas sedangkan jumlah penduduk yang makin bertambah, maka perbatasan menjadi sensitif bagi timbulnya perselisihan (disputes) dan konflik.
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia dan negara-negara yang berbatasan wilayah baik darat maupun laut dengan Indonesia untuk membuat suatu produk hukum internasional yang lebih sifat mengikatnya kuat seperti misalnya pejanjian internasional atau treaty. Dalam Pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 mengenai Perjanjian Internasional menyatakan bahwa klausula rebus sic stantibus13 tidak dapat diberlakukan terhadap perjanjian internasional yang mengatur mengenai perbatasan negara.
Perbatasan darat Indonesia dan Malaysia memang dituangkan di dalam perjanjian, namun perbedaan persepsi atau pendapat antara Indonesia dan Malaysia di beberapa titik menyebabkan timbulnya permasalahan titik yang belum disepakati kedua pihak. Indonesia dan Malaysia sendiri telah beberapa kali mengalami sengketa mengenai perebutan wilayah, baik dari segi penentuan batas wilayah, maupun perebutan pulau.
MOU sengaja dipilih oleh Indonesia dan Malaysia sebagai instrumen hukum bersama, karena bentuknya yang sederhana dan pembuatannya yang relatif lebih cepat. Namun tidak menutup kemungkinan MOU jika telah selesai sepenuhnya mengenai survey dan pemetaan bersama akan ditingkatkan menjadi perjanjian perbatasan (treaty) yang bisa di depositkan ke PBB.
Pengukuran tapal batas di Kalimantan mengacu pada Traktat London, 17 Maret 1824, antara Inggris dan Belanda mengenai wilayah koloni. Traktat London ditandatangani oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Faclk dari Belanda, serta George Canning dan Charles William Wynn Watkin dari Inggris. Dalam Traktat London wilayah Kepualauan Melayu, Singapura, dikuasai oleh Inggrisdan kawasan selatannya dikuasai oleh Belanda. Salah satu acuan perjanjian Traktat London adalah batas negara Indonesia dan Malaysia yang didasarkan pada watershed. Artinya pemisahan aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai tanda pemisah.
Batas wilayah Indonesia dan Malaysia di Sambas, termasuk di Camar Wulan mengacu pada garis batas peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (NB 120E 10908/40 Greenwind) dan peta Federated Malaysi State Survey tahun 1935. Berdasarkan perjanjian ini, batas Indonesia dan Malaysia di Camar Wulan melengkung seperti tapal kuda, namun berganti menjadi garis lurus setelah adanya MOU di Kota Kinabalu, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia taun 1974 dan di Semarang, Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1978.