RELASI NASIONALISME KEBANGSAAN,
GLOBALISASI DAN KEDAULATAN NEGARA
Oleh: Syafuan Rozi Soebhan
(Periset di Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta)
Abstrak
Tulisan ini berusaha mengelaborasi lebih lanjut mengenai relasi
kedaulatan dan globalisasi kontemporer. Pembahasan tulisan dilakukan
dengan cara mengkompilasi berbagai konsep, debat teoretis dan contoh
faktual yang terkait dengan konsep nasionalisme, globalisasi dan
kedaulatan negara, dan juga beberapa kemungkinan pola relasi ketiganya.
Dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa konsep-konsep tersebut saling
berinteraksi dengan fakta, kepentingan dan konteks. Relasi mengenai
nasionalisme dan kedaulatan bangsa sendiri mengalami pasang surut ketika
ada terpaan dan benturan kepentingan asing, nasional dan lokal dalam
globalisasi dalam berbagai aspek. Hal tersebut berimplikasi pada posisi
negara yang bisa kuat, sedang dan kadangkala melemah, seiring dengan pasang
surut kadar nasionalisme yang berkembang dalam suatu negara.
Premis penting yang diangkat dalam tulisan ini adalah pengaruh
globalisasi dapat memperkuat dan juga dapat memperlemah kedaulatan negara,
sebagai ilustrasi tergantung berapa tingkatan kadar Keindonesiaan akan
diartikulasikan. Jika kadar nationhood atau kebangsaan yang akan dimainkan
tinggi oleh suatu negara maka dampaknya akan lahir kebijakan-kebijakan yang
memposisikan kepentingan nasional harus dimenangkan dalam berhadapan dengan
kepentingan global sehingga tercapai kondisi kedaulatan negara. Ketiganya
cenderung memiliki komposisi struktural dan fungsi yang mirip yaitu
melibatkan peran negara dan masyarakat, serta berfungsi sebagai perekat
kepentingan kolektif kebangsaan dan sebagai model interaksi warga dunia
dalam konteks globalisasi. Ketiganya tidak mungkin dipisahkan atau
dikategorisasikan sebagai konsep tunggal yang berdiri-sendiri. Namun
merupakan hasil perdebatan dinamis dan dialektika yang terus-menerus
berkembang, berkontestasi dan kemudian membangun kesimbangan baru, baik
dalam tataran konsep maupun praksis.
Kata kunci: Kajian Konseptual, Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi.
Kedaulatan Negara.
A. Pengantar
Dalam perkembanganannya ada beberapa istilah yang terkait dengan
konsep kedaulatan, antara lain kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat,
kedaulatan bangsa, kedaulatan negara-bangsa, kedaulatan nasion dan
kedaulatan negara. Dalam tulisan ini, penulis memakai konsep 'kedaulatan
negara' dengan alasan bahwa relasi globalisasi dan nasionalisme ingin
dilihat dalam perspektif politik, yaitu unit analisisnya negara. Di dalam
suatu negara, minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat atau warga
negara, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain
Dewasa ini dengan kekuasaan dan kedaulatan negara, bangsa dapat
dibangun dan diperkuat misalnya melalui batas wilayah nasional, bahasa
persatuan, mata uang, politik pangan, politik energi, politik pendidikan,
politik transportasi, politik kesehatan, politik perumahandan lain-lain,
yang secara bertahap membentuk suatu indikasi menguat atau melemahnya
kedaulatan suatu negara. [1]
B. Batasan Kajian Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi dan Kedaulatan
Negara
Jika dilihat dari batasan kajian dan fungsinya, konsep nasionalisme
akan membuat suatu negara, mampu memiliki kekuatan dan kegigihan sentimen
dan identitas nasionalnya yang khas yang melahirkan konsep kedaulatan.[2]
Perasaan nasionalisme berciri dengan adanya rasa memiliki, keinginan untuk
merawat, menjaga dan memiliki kebanggaan menjadi bagian darinya. Para
nasionalis berbangga dengan adanya kedaulatan negara dengan menyebut
kejayaan masa lampau yang dimiliki Indonesia masa lalu hingga sekarang
adalah sejarahnya dan seakan-akan dialami oleh semua kelompok yang menjadi
bagiannya.[3]
Di Indonesia wacana itu terlihat ketika orang bicara tentang kejayaan
dan kedaulatan negara Nusantara pertama dan kedua yang bernama Majapahit
atau Sriwijaya. Keduanya, dinilai megah dan hebat dinilai dari luasnya
teritori daratan dan lautan sebagai wilayahnya yang berdaulat. Wilayah
Majapahit dan Sriwijaya digambarkan memiliki teritori yang lebih luas
hingga ke Madagaskar, Semenanjung Malaya, Mindanau, Formosa, hingga Papua.
Majapahit juga dibanggakan dengan adanya Sumpah Palapa untuk menyatukan
nusantara dan Seloka Bhineka Tunggal Ika sebagai nilai bersama dalam
menghargai keberagaan yang ada. Begitupun, Sriwijaya dibanggakan dengan
poros maritim lautnya, bertahta di Temasik Singapura, dan hadirnya
perguruan Nalanda yang mengembangkan peradaban dan keutamaan di
jamannya.[4]
Dalam perkembangan kajian teoritik, batasan relasi nasionalisme dan
globalisasi terhadap kedaulatan negara dapat bersifat negatif, netral dan
positif. Dalam konteks negatif, relasi nasionalisme dan globalisasi
terhadap kedaulatan bangsa ada dalam spektrum kiri, menganggap globalisasi
cenderung bersifat ancaman dan menggerus atau memperlemah kadar
nasionalisme suatu bangsa dan ujungnya memperlemah kedaulatan negara
tersebut. Indikasinya negara lebih membela kepentingan asing ketimbang
kepentingan anak negerinya. Hubungan yang terjadi adalah pola
ketergantungan dan bekerjanya mesin komprador, elit nasional yang lebih
mengutamakan kepentingan asing dan kroninya ketimbang kepentingan negara
dan bangsanya sendiri.
Dalam spektrum positif, globalisasi malah akan memperkuat kadar
nasionalisme suatu bangsa, karena tantangan global malah akan secara
positif membangun kesatuan, solidaritas dan kemandirian sehingga melahirkan
posisi kedaulatan negara untuk menentukan sendiri apa yang mereka ingingkan
tanpa didikte oleh pihak luar. Globalisasi dianggap sebagai hal positif dan
menguntungkan dengan munculnya sentimen kebangsaan yang menggerakan semua
pihak untuk bangkit menjadi kekuatan penting di tingkat global.
Globalisasi juga dapat dianggap sebagai suatu yang netral, tidak
memperkuat dan tidak juga menggerus nasionalisme, semuanya ada dalam
kesimbangan yang bisa dikelola dengan baik. Konteks globalisasi yang ada
dalam spektrum tengah yang netral dan meyakini adanya kemungkinan untuk
mencapai kesimbangan antara semangat nasionalisme, globalisasi dan
kedaulatan bangsa yang ditunjukkan dalam bagan berikut ini.
Bagan 2.
Relasi Nasionalisme Kebangsaan dan Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara
Ket.: Diolah dari Muradi oleh Syafuan Rozi, P2P
LIPI, Oktober 2015.
Sebagai ilustrasi dalam spektrum kanan yaitu paradigma positif yang
optimis, menilai bahwa globalisasi berdampak baik untuk memperkuat
kedaulatan negara dan merawat semangat nasionalisme itu sendiri. Kita juga
dapat memasukan faktor interver-variable yaitu pengaruh media internet ICT
(Information Communication Technology) dalam menganalisa kadar kebangsaan,
kedaulatan negara dalam era globalisasi, ketika ada perang di dunia maya
atau cyberclash antar bloger-milister Indonesia dan Malaysia tentang
'Malingsia' dan 'Indonesial', telah memperkuat rasa kebangsaan dan
pembelaan warga negara terhadap kedaulatan Indonesia di dunia maya bagi
pengguna internet Indonesia dalam membela kepentingan dan kedaulatan
nasional Indonesia terkait lepasnya pulau perbatasan Sipadan Ligitan ke
Kerajaan Malaysia dalam keputusan Mahkamah Internasional di Denhaag,
menolak klaim Batik, lagu 'Rasa Sayange', kuliner rendang, dan tarian reog
sebagai warisan budaya sesuai Akta Kebangsaan Malaysia, namun perlu disebut
dan adanya pengakuan bahwa hal tersebut merupakan warisan budaya Nusantara
asal Indonesia.[5]
Dalam spektrum kiri yang skeptis, ada pandangan pengaruh negatif
globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme dan kedaulatan bangsa.
Globalisasi tanpa identitas dan kebanggaan nasional akan mampu melemahkan
masyarakat Indonesia. Contohnya liberalisme dengan pengutamaan prinsip
ekonomi 'dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya' dapat membawa kemajuan dan kemakmuran, hanyalah impian semu
belaka. Sehingga tidak menutup kemungkinan 'kerakusan' dan 'keserakahan'
yang tersirat dalam 'capitalisme greedy' tersebut dapat mengubah semangat
Pancasila anak-negeri Indonesia ke praktek liberalisme ekstrem,
konsumerisme dan hedonistik (hanya mencari kesenangan sesaat).
Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme dan kedaulatan
nasional akan hilang tergerus pelan-pelan menjadi oportunisme (aji
mumpung), anomi (kebingunan nilai) dan kondisi anarkhis (tak ditaatinya
pengelola negara yang absah) sehingga menjadi peringatan dini bagi
antisipasi krisis politik identitas Indonesia dalam era globalisasi. Selain
itu, memunculkan sikap egoisme dan antisosial yang menimbulkan
ketidakpedulian antarperilaku sesama warga, yang berlawanan dengan prinsip
Pancasila, persatuan Indonesia. Dengan adanya sikap egoisme individual
maka orang Indonesia, namun tidak akan peduli dengan kehidupan dan nasib
bangsanya, yang melawan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sebagi contoh untuk membumikan konsep kedaulatan negara, nasionalisme
kebangsaan dan adanya dampak globalisasi yang asimetris, bisa dijelsakan
dengan adanya gejala ketimpangan pola konsumsi kuliner berbahan dasar
daging impor atau asing dibanding kuliner nasional dan lokal, dalam konteks
terjadinya lemah posisi kedaulatan pangan di Indonesia era reformasi pasca
Presiden Soeharto. Masa Soeharto, dengan peternakan Tapos-nya, ada ketahan
pangan daging yang subsisten. Namun pasca-Soeharto, idealnya ada kehadiran
negara dalam politik pangan dalam hal kesimbangan antara rasa cinta
terhadap produk dalam negeri dengan banyaknya produk luar negeri yang
hadir (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut, daging impor Bistro
Australia dengan daging sapi asal NTB-NTT, dll.). Isu kedaulatan pangan
akan bersinggungan dengan persoalan politik ketahanan dan kecukupan pangan
di Indonesia: siapa mendapat panganapa, kapan dan bagimana dalam kerangka
Harold Laswell.
Posisinya, kedaulatan pangan negara dalam hal komiditas pangan daging
cenderung melemah jika tidak ada keberpihakan pada peningkatan produksi
peternak lokal dan membangun sistem transportasi ternak antarpulau di
Indonesia. Juga belum optimumnya upaya negara mempromosiklan makanan
rendang, rawon, soto dan sebagainya tidak cuma simbolik kebanggaan nasional
namun 'go global' menembus pasar dunia dalam bentuk kedaulatan pangan
kuliner nusantara di tingkat global. Sehingga secara sederhana misalnya
ada analisa bahwa dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri,
menunjukkan gejala berkurangnya rasa nasionalisme dan kebanggaan produk
nasional. Hal itu akan menggerus kedaulatan pangan Indonesia dan
memperlemah kedaulatan negara. Terpaan produk asing terhadap bangsa
Indonesia yang kurang bangga memiliki identitas dan warisan budaya kuliner
nasional, akan mematikan kedaulatan pangan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, perkembangan konsep globalisasi menurut Robertson mengacu
pada gejala penyempitan dunia secara intensif akibat meningkatnya
konektifitas atau keterhubungan antar warga dunia layaknya sebuah
perkampungan kecil, sehingga gaya hidup, orientasi dan budaya yang tadinya
berbeda (heterogen), dalam konteks ruang dan waktu, mereka kemudian
relatif tampak seragam (homogen).[6] Ada beberapa pola dan konteks
globalisasi yang terkait interaksinya dengan semangat nasionalisme dan
kedaulatan negara, misalnya ada kategori westernisasi atau proses semangat
nasionalisme yang cenderung menjadi kebarat-baratan sebagai lawan bentuk
modernisasi dengan identitas nasional yang tangguh; ada internasionalisasi
yaitu suatu posisi kebijakan negara untuk terbuka masuk ke dalam ranah
dunia; ada universalisasi ketika nilai-nilai negara mengadopsi nilai-nilai
berbagai bangsa dan ada liberalisasi yang menekankan peran pasar ketimbang
peran dominan negara dalam suatu era global. Hal ini tergambar dalam bagan
sebagai berikut:[7]
Bagan 2.
Pandangan Globalisasi berdasarkan 4 Kategori
Sumber: Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2
Juli 2015.
Pola Pertama yaitu: (a) Kadar nasionalisme dan kedaulatan negara
mengalami proses tantangan penggerusan oleh budaya barat atau gejala
Westernisasi yaitu proses suatu politik negara dan bangsa menjadi peniru
mutlak sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga teknologi Barat
dengan cara menelai mentah begitu saja. Kondisi ini dinilai sebagai proses
etnosentrisme menjadi kebarat-baratan, suatu konsep yang berbeda dengan
istilah modernisasi, menjadi modern atau maju. Dalam konteks ini lahirlah
kebijakan "Berdikari-berdiri di atas kaki senidiri, keperbadian Indonesia
dan kedaulatan ekonomi nasional sebagi reaksi terhadap Westernisasi. (b)
Internasionalisasi: proses suatu bangsa menjadi 'go internasional', berdaya
saing dengan luar negeri, bukan hanya 'jago kandang' di tingkat lokal dan
nasional. Think globally act locally. Berfikir global bertindak lokal.
Dalam hal ini lah pangan kita diekspor atau didorong menjadi waralaba di
manca negara, Batik dan Rendang sebagi warisan dunia asal Indonesia (c)
Universalisasi : proses menjadi lebih luas ke alam semesta universal, bukan
hanya partikular, khusus dan menyempit. Ada semangat universal yang
digunakan untuk merawat semangat toleransi antar identitas primordial yang
berbeda dan negara hadir sebagai pengawal tegaknya keadilan sosial dan
merawat perdamaian(d) Liberalisasi: proses mengarah ke pasar bebas, bukan
hanya serba dikuasai atas nama negara dan pebisnis asing namun juga
hadirnya pemain negara dan wirausaha nasional berdaya saing global, sebagai
indikator kuatnya kedaulatan suatu negara di era liberalisasi pasar global.
C. Definisi dan Konsep Nasionalisme Kebangsaan dan Kedaulatan Negara
Definisi nasionalisme tidak tunggal dan bervariasi sesuai paradigma
dan pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya.[8] Nasionalisme memiliki
banyak makna dan pengertian. Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme
sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan
dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.[9]
Selanjutnya, Guibernau dan Rex mengikuti tradisi Ernest Rennan berpandangan
bahwa dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat
pada sebuah teritori tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan sebuah
kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan
kewarganegaraan.[10]
Menurut Firman Noor, dalam pencariannya mengenai definisi yang moderat
tentang nasionalisme Gellner sampai pada sebuah kesimpulan bahwa
nasionalisme sesungguhnya bukanlah sesuatu yang universal dan berlaku umum
untuk seluruh manusia. Namun di sisi lain keberadannya bagi suatu bangsa
merupakan sesuatu yang mendalam sifatnya, bahkan dapat dikatakan sebagai
suratan takdir dan bukan hanya sebuah kecelakaan semata. Lebih lanjut
Gellner mengatakan bahwa nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah
sebuah nasionalisme yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam
sebuah makna yang komprehensif.[11]
Grillo Gellner (1980) berpendapat bahwa ideologi nasionalisme muncul
sebagai reaksi terhadap industrialisasi dan tercerabutnya masyarakat dari
komunitas lokal mereka yang menuntut mobilitas geografis yang tinggi dan
sejumlah besar orang menjadi bagian dari sistem ekonomi yang sama dalam
suatu negara. Sebagai ideologi, nasionalisme digunakan untuk menciptakan
kohesi dan loyalitas di antara individu yang berpartisipasi di dalam sistem
yang berskala besar yang disebut negara. Dia merangkai suatu eksistensi
komunitas yang diimajinasikan berdasarkan budaya yang sama dan menyatu di
dalam negara di mana loyalitas masyarakat dan keterlibatan mereka diarahkan
ke negara, bukan pada komunitas asal berdasarkan ikatan primordial atau
kampung halamannya.
Dengan demikian nasionalisme kebangsaan dapat berperan dalam
menyediakan rasa aman dan stabilitas ketika dunia-kehidupan terpecah dan
terbagi-bagi dalam ikatan primordial suku, agama dan ras dan masyarakat
tercerabut dari akar-akar budayanya. Jadi tujuan penting nasionalisme
adalah menciptakan kembali sentimen keutuhan dan kesinambungan dengan masa
lalu antar warga negara, mentransendensi alienasi dan keretakan antara
individu dan masyarakat yang diakibatkan oleh modernitas dalam suatu tata
kelola negara yang berdaulat [12]
Ada setidaknya dua tipe nasionalisme yang berlaku menurut analisis
Hutchinson. Satu adalah nasionalisme 'panas' yang didaktis (bersifat
pendidikan) dan transformatif (perubahan nilai) yang bertujuan menanamkan
ide tentang bangsa sebagai obyek pemujaan yang sakral (suci) dan transenden
untuk mana warganya harus berkorban. Ini merupakan fenomena episodikal yang
sadar-diri (self-conscious), sistematis, dan preskriptif, yang menyediakan
bentuk-bentuk perilaku teladan untuk mempersatukan semua komponen (kelas,
etnis, agama, daerah dan jender) bagi bangsa yang dibayangkan. Nasionalisme
ini bekerja dalam pengaturan batas-batas sosial yang intensif dan
ekstensif. [13]
Berikutnya, yang kedua, nasionalisme ideologis. Nasionalisme dengan
cita-cita dan kedisiplinan memperjuangkannya. Interaksi ini berlanjut pada
masa kini. Signifikansi jangka panjangnya adalah penciptaan mitos-mitos,
citra, dan simbol-simbol nasional oleh publik terdidik yang semakin luas
yang ditujukan untuk menyediakan makna, status, arahnya pada kehidupan
sehari-hari. Ini adalah nasionalisme informal atau 'banal' penduduk yang
'mengkonsumsi' nasionalisme dengan cara yang relatif 'tak-sadar-diri' yang
terwujud dalam dekorasi rumah-rumah, pengaturan kebun-kebun, pernyataan
kepatuhan mereka melalui pertandingan olah raga internasional. Meskipun ada
tendensi untuk melihat mereka dalam terminologi yang linear, mereka
beroperasi bersama di dalam suatu relasi yang interaktif untuk membentuk
identitas-identitas massa bangsa. [14]
Selanjutnya, perlu dibahas ontologi konsep kedaulatan. Asal mula kata
"kedaulatan" dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab "daulah" atau
"daulat" yang berarti kekuasaan atau dinasti pemerintahan, juga disamakan
dengan sovranita dalam bahasa Italia, souvereignty/sovereignty dalam bahasa
Inggris yang juga disamakan dengan kata souvereiniteit, souvereinet dan
sovranus, yang mana kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin superanus
yang berarti tertinggi atau dalam pustaka lain diartikan sebagai raja
kepala negara yang tertinggi.
Dalam literatur ilmu tata negara dan ilmu politik pendekatan
tradisional disebutkan bahwa kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk
menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri
terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan
atau Masyarakat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep
kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh
urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial
atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai
organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan
apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah
sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa
diplomatik.[15]
Kedaulatan sebagai istilah kenegaraan timbul pada abad ke-16 oleh
Jean Bodin (1530-1596) dalam bukunya Les Six Livres de la
Republique (1576). Kedaulatan menurut beliau adalah "la puissance absolue
et perpetuelle d'une republique" (terjemahan bebas: "kekuasaan absolut dan
berlangsung terus menerus dalam sebuah republik), maksudnya kedaulatan
ialah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang tidak boleh dibatasi oleh
konstitusi, tetapi boleh oleh hukum ilahi dan hukum alamiah, kedaulatan
ialah piranti dalam tangan seorang raja dalam bentukan monarki atau berada
dalam genggaman tangan rakyat dalam suatu Negara berdasarkan demokrasi.
Sebagaimana dikutip oleh Boer Mauna, yang menyatakan bahwa kedaulatan
juga mempunyai pengertian negatif dan positif. Pengertian negatif dari
kedaulatan mengandung makna: Kedaulatan dapat berarti bawah negara tidak
tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mempunyai status
yang lebih tinggi. Kedaulatan berarti bahwa Negara tidak tunduk pada
kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang
bersangkutan. Sedangkan pengertian positif dari kedaulatan mengandung makna
bahwa kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan
tertinggi atas warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh dari
suatu negara. Kedaulatan memberikan wewenang kepada Negara untuk
mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi kesejahteraan umum
masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan permanen atas sumber-sumber
kekayaan alam.[16]
Kedaulatan merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara. Dalam
ilmu politik disebutkan bahwa salah satu syarat berdirinya negara adalah
adanya pemerintahan yang berdaulat. Dengan demikian, pemerintah dalam suatu
negara harus memiliki kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan
tak terbatas (unlimited). Dengan demikian, kedaulatan adalah kekuasaan
penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya
tanpa adanya campur tangan dari negara lain.
Selanjutnya, Jean Bodin, seorang pemikir politik dan anggota parlemen
Prancis, yang hidup di antara tahun 1500 – 1596, memandang kedaulatan
sebagai sesuatu kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dan kebijakan
publik di suatu negara. Ia memandang pada hakikatnya kedaulatan memiliki 4
(empat) sifat pokok sebagai berikut: Asli, artinya kekuasaan tidak berasal
dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Permanen, artinya kekuasaan tetap
ada selama negara berdiri, sekalipun pemegang kedaulatan sudah berganti.
Tunggal (bulat), artinya kekuasaan merupakan satu-satunya kekuasaan
tertinggi dalam negara yang tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada
badan lain. Tidak Terbatas (absolut), artinya kekuasaan tidak dibatasi oleh
kekuasaan lain. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaaan
tertinggi yang dimilikinya itu akan lenyap.[17]
Pada dasarnya kekuasaan yang dimiliki Negara, menurut Jean Bodin
mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam (interne souvereiniteit) dan ke
luar (externe souvereinoteit), yaitu sebagai berikut. Kedaulatan Ke Dalam :
Pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan
organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedaulatan Ke Luar : Pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak
tunduk kepada kekuasaan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan. Demikian juga halnya dengan negara lain, harus pula menghormati
kekuasaan negara yang bersangkutan dengan tidak mencampuri urusan dalam
negerinya.[18]
Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah
negara, pemerintahan, masyarakat atau bangsanya. Beberapa pemikiran
mengenai kedaulatan bangsa dan pemegang kedaulatan suatu negara, setelah
revolusi Perancis pernah dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau yang
membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto (secara faktual,
sesuai kenyataan) dan de jure (menurut hukum dan pengkuan pihak/negara
lain).[19]
Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya yang
disebut Perjanjian Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan Rakyat.
Teori ini menganggap bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian
yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu
negara. Dalam bukunya yang berjudul "Le contract social" (1762), Rosseau
mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat (volonte generale),
demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan
kemauan rakyat. Orang menaati hukum karena orang sudah berjanji menaati
hukum. Sebelum bernegara para individu adalah orang baik, namun ketika
bernegara ia bisa menjadi egois dan jahat, karena itu diperlukan semacam
kontrak politik yang akan mengikat individu menjadi orang baik ketika
bernegara. Teori ini kemudian dikritik dan dikembangkan lebih lanjut oleh
Thomas Hobbes (State as Leviathan), Montesquieu (The Nature and Trias
Politica), dan John Locke (The Traits).[20] Hobbes misalnya menambahkan
bahwa keadaan alamiah sama sekali bukanlah keadaan yang aman, adil dan
makmur, karena itu diperlukan negara yang kuat untuk memaksa individu
menjadi warga negara yang patuh dan baik.
Namun sebaliknya, keadaan alamiah Thomas Hobes merupakan suatu keadaan
sosial yang kacau (chaos), tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela,
tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu. Dalam
keadaan yang demikian, yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang terkuat
adalah yang menang. Manusia seakan-akan merupakan binatang yang senantiasa
berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya dan menjadi mangsa
bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya. Keadaan
tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin "homo homini lupus" (manusia
yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).[21]
Selanjutnya ada beberapa pemikir politik tentang kedaulatan negara.
Tokoh-tokoh Teori Kedaulatan Negara Klasik antara lain adalah Jellineck
(Jerman), Paul Laband (Jerman), dan Hans Kelsen (Austria). Teori ini muncul
pada abad ke-19 dan menentang teori Perjanjian Rakyat. Teori Kedaulatan
Negara menganggap bahwa: Hukum adalah kehendak negara. Hukum bukan kemauan
bersama anggota masyarakat, dan negara mempunyai kekuatan tak terbatas;
Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.[22]
Kemudian berkembang Teori Kedaulatan Hukum muncul pada abad ke-20,
menjadi antithesis dan menentang teori Kedaulatan Negara. Tokoh-tokohnya
adalah Cruot (Perancis), Duguit (Perancis), dan Krabbe (Belanda). Teori ini
berpendapat bahwa hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian
besar anggota masyarakat; hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar
anggota masyarakat; Oleh karenanya hukum ditaati oleh anggota masyarakat.
Dalam bukunya yang berjudul "Die Lehre der Rechtssouvereinteit", Krabbe
menyebutkan bahwa rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum; hukum hanya
apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak; peraturan yang tidak
sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat mengikat. Peraturan
seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun masih ditaati orang atau
dipaksakan; Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya,
dan karena itulah hukum itu ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan
hukum yang mempunyai kewibawaan.
Namun berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa hukum adalah
sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa di dalam negara
secara memaksakan, dan biasanya ditaati; Satu-satunya sumber hukum adalah
kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebut
sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources). Menurut John
Austin, hukum diartikan sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri, dan tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk
menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.
Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat historis didalamnya, namun
unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah
dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalamsuatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832),[23] seorang penganut utilitarian yang
menggunakan pendekatan tersebut ke dalam kawasan hukum, konstitusioanlisme
dan nasionalisme, yaitu sebagai berikut: bahwa manusia itu akan berbuat
dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-
besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan; Tujuan akhir dari
perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari
sejumlah terbesar rakyat dan kepentingan nasional suatu negara dalam payung
semangat nasionalisme atau kebangsaan.
Kemudian ada tokoh John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan
Jeremy Bentham, yaitu sebagai berikut: Bahwa tindakan itu hendaklah
ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan; Standar keadilan hendaknya
didasarkan kepada kegunaannya, namum asal usul kesadaran akan keadilan itu
tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu
rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati; Keadilan
bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang
diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan
simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,
penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual melainkan juga
kepada kepentingan orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri.
Hakikat keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang
sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.
Sedangkan Rudolph von Jhering, seorang tokoh yang sering disebut
sebagai "social utilitarianism", mengembangkan segi-segi positivisme dari
John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme
dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Jhering memusatkan perhatian
filsafat hukumnya kepada konsep tentang "tujuan", yaitu sebagai
berikut:Tujuan negara adalah penciptaan dari seluruh hukum, tidak ada suatu
peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu
pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh
manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan; Diakui bahwa
hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun menolak pendapat para
teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain
merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak
direncanakan dan tidak disadari; Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh
negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.[24]
Selanjutnya dalam perspektif teori kritis (critical thinking theory)
Thomas J. Biersteker dan Cynthia Weber, berpendapat bahwa kedaulatan
Negara sebagai konstruksi sosial. Kedaulatan Negara adalah bagian dari
konstruksi sosial atau sebuah proyek nasional kepentingan elit yang
melibatkan massa. Sistem Negara modern tidak berdasarkan pada prinsip
kedaulatan dalam konteks waktu yang tak terbatas. Kedaulatan Negara
merupakan hasil konsepsi normatif yang menghubungkan kewenangan/autoritas,
wilayah, populasi (masyarakat, bangsa, nasion) dalam mewujudkan suatu
pengakuan dalam cara yang unik dan berlaku di suatu tempat khusus dalam
suatu negara. Kedaulatan Negara merupakan upaya untuk mewujudkan kerja
keras para negarawan, diplomat dan intelektual, yang merupakan upaya dari
pihak yang berkuasa dan pihak yang resisten terhadapnya.
Selanjutnya digambarkan bahwa 'Kedaulatan Negara' merupakan hasil
penggambaran, teoritisasi dan ilustrasi dari suatu praktik yang secara
sosial dibangun (socially constructed), dihasilkan kembali (reproduced),
disusun ulang( reconstructed), dan disusun kembali (deconstructed) sehingga
dapat menjadi ideal dan mampu dipertahankan terhadap para peganggunya.
Bagian kedaulatan Negara tidak hanya pengakuan (recognition), tetapi juga
kewilayan (territory), penduduk (population), dan kewenangan (authority),
semua hal tersebut secara social politik dibangun dan menyatu dalam konteks
sejarah tertentu.[25]
D. Relasi Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Dalam kasus faktual ada informasi bagaimana turis lokal diusir oleh
bule asing ketika menikmati matahari senja di pantai Gili Terawangan karena
menganggap pantai tersebut adalah hak milik mereka. Pengalaman yang sama
juga dialami oleh turis lokal di Pantai Mande, Pesisir Selatan, Sumatera
Barat. Masyarakat Bali di sanur dan Kuta Bali pun pernah mengeluh karena
wilayah akses mereka ke pantai untuk melasti, ngaben atau menangkap ikan di
tutup tembok oleh pengusaha hotel. Sehingga orang Bali ada yang protes
dengan ungkapan "Kembalikan Baliku Padaku". Kedatangan oknum pihak asing
untuk berinvestasi pariwisata di Indonesia seolah telah merobek rasa
kebangsaan dan kedaulatan negara. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai
anak negeri yang disegani dan dihormati secara sepantasnya dalam hubungan
antarbangsa. Ada keluhan, negara lemah, ada negara dalam negara. Sebagai
ekspresi kekesalan terhadap gejala melemahnya kedaulatan negara di tanah
air pada masa tertentu.
Di masa lalu juga ada persoalan lepasnya pulau terluar Indonesia
setelah disidangkan di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, yaitu
kasus pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan Timur yang secara 'de fakto'
dimanfaatkan oleh pihak Malaysia sebagai wilayah pariwisata global mereka,
yang dampaknya juga mengusik rasa kebangsaan Indonesia. Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengatakan sebanyak 47 pulau
terluar di wilayah Indonesia akan disertifikasi pada tahun 2015 sebagai
upaya mempertahankan kedaulatan negara. Diantara 47 pulau terluar itu
termasuk juga yang pulau sengketa. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan menegaskan upaya
sertifikasi pulau terluar Indonesia dilakukan demi kedaulatan wilayah Tanah
Air. Ini untuk menghindari potensi konflik dengan negara lain yang mau
klaim.[26]
Di masa sekarang ada upaya negara di bawah kepemimpinan presiden Jokowi
JK untuk mengadakan kapal angkut ternak dari NTB dan NTT, untuk mengangkut
sapi ke pulau Jawa, dalam rangka peneggakan kedaulatan pangan, khususnya
daging, yang harganya melangit karena sebagian besar didatangkan dari
Australia dan Selendia Baru. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan kapal
angkutan khusus sapi KM Camara Nusantara I di Galangan Kapal PT Adiluhung
Saranasegara Indonesia, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Kapal yang bisa
mengangkut ternak sapi sebanyak 500 ekor sapi ini merupakan yang pertama di
Indonesia. Kapal ini milik kementerian perhubungan (Kemenhub). Kapal ternak
pertama yang pernah kita buat dan kita jalankan di Indonesia. Ini kapal
ternak berkapasitas 500 sapi, berukuran 200 GT, dibangun di galangan kapal
dalam negeri. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus meningkatkan armada
program tol laut. Rute kapal ternak ini yaitu Kupang-Bima-Tanjung Perak-
Tanjung Emas-Cirebon-Kupang, pulang pergi. Tahun 2015 ini Kemenhub memesan
pembuatan 200 kapal antara lain kapal penumpang, kapal fery, kapal ternak,
kapal navigasi, kapal penjaga pantai, dan sebagainya.[27]
Ada kecenderungan pola relasi nasionalisme, globalisasi dan kedaulatan
Negara, bersifat positif, netral atau malah negatif. Akan positif bila
hadirnya globalisasi, ada strategi nasional untuk mampu membngun posisi
tawar terhadap pihak luar untuk menguatkan sebuah bangsa. Ini terjadi jika
posisi Negara diakui berdaulat dan kuat. Posisi netral, jika globalisasi
dan nasionalisme mengalami kesimbangan. Selanjutnya akan berpola negatif
jika relasinya timpang atau asimetris dan eksploitatif, sehingga hadirnya
globalisasi politik, ekonomi sosial budaya akan berkemungkinan menggerus
nasionalisme suatu negara dan bangsa.[28]
Sebagai ilustrasi, ada contoh kasus aktivis serikat petani Indonesia
asal Medan, Sumut, yang menjadi aktifis petani dunia bahwa gagasan
demokratisasi memang telah membuka ruang baru untuk keterlibatan warga
negara dalam proses perumusan kebijakan. Namun, proses demokratisasi
secara luas dimaknai hanya sebatas terbentuknya kelembagaan baru yang belum
tentu mempengaruhi perubahan kebijakan yang pro terhadap kaum miskin
seperti petani dan nelayan kecil.
Sebaliknya, ruang baru tersebut justru lebih banyak bergantung dan
dipengaruhi oleh sifat relasi kekuasaan yang ada, baik relasi kekuasaan di
tingkat lokal, nasional dan global. Di satu sisi, negara dihadapkan pada
kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara khususnya kelompok miskin,
untuk memperkuat bangunan nasionalisme. Namun di sisi lainnya hadir aktor
global yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan, yang mengusung
kepentingan pasar dalam konteks monopoli dan konglomerasi. Namun dalam
beberapa kasus mengabaikan tanggung jawab sosial, kultural dan rusaknya
lingkungan.[29]
Berikut ini beberapa pola relasi yang terkait dengan konsep nasionalisme
kebangsaan, globalisasi dan posisi kedaulatan negara, secara konseptual:
Bagan Relasi Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Sumber: Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2
Juli 2015.
Pola relasi nasionalisme kebangsaan, globalisasi dan kedaulatan negara
dapat mengambil bentuk sling ketergantungan, adanya kedaulatan domestik
negara, adanya pengakuan kedaulatan hukum internasinal dan tradisi
kedaulatan Westphalian, sebagai berikut: proses globalisasi dan 'Kedaulatan
Negara' yang berkemungkinan mengalami suatu kondisi antar lain (a)
Interdependensi: proses saling ketergantungan antar negara dalam era
globalisasi, bisa dirujuk teori sistem dunia Welerstein. Immanuel
Wallerstein mengatakan bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang
sangat kuat pengaruhnya terhadap sejumlah negara yang ada di dunia,
sehingga dalam kaitan integrasi yang terjadi juga hanya berdasarkan
kepentingan ekonomi dari pada relasi politik. Dapat dikatakan bahwa
hubungan yang terjadi hanyalah bersifat profit dan defisit. Teori ini
berkeyakinan bahwa tak ada satupun negara yang mampu melepaskan diri dari
sistem kapitalis. [30] (b) penguatan Kedaulatan Domestik: berupa proses
memperkuat peran bangsa sendiri. Ada istilah atau konsep kedaulatan
bermakna 'berdikari' yaitu: berdiri diatas kaki sendiri. Hal ini dikenalkan
oleh Mahatma Gandhi dari India dengan prinsip Swadesi-nya kemudian
dikembangkan pula oleh Soekarno dengan prinsip Berdikari. (c) Kedaulatan
Hukum Internasional: Bagi mazhab John Austin, misalnya "hukum" pada kata
hukum internasional bukanlah perintah dari orang yang berdaulat. Hukum
internasional adalah kumpulan aturan yang mengatur hubungan antar negara
yang tidak berasal dari persetujuan bebas`mereka tapi dari sumber yang sama
seperti hukum lain (Yurisprudensi).[31]
Selanjutnya juga ada pola relasi globalisasi dan kedaulatan bangsa
dalam bentuk yang dikenal sebagai (d) Kedaulatan Westphalian:[32] Setelah
munculnya perang panjang di Eropa dan terbit damai pascaperjanjian
Westphalia antara Tahta Suci Romawi Vatikan, Prancis, Spanyol, Belanda dan
Swedia, susunan masyarakat internasional didasarkan atas negara nasional
dan tidak hanya kerajaan dan memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan
dari pengaruh gereja. Perjanjian Westphalia membuat banyak perubahan dalam
bentuk negara modern yang meliputi tumbuhnya "Representative Government,
Revolusi Industri, Hukum Internasional, metode diplomasi, saling
ketergantungan antar negara-bangsa di bidang ekonomi, timbulnya prosedur-
prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai.[33]
Bagan Pola Relasi Globalisasi, Kedaulatan dan Respons Negara
Sumber: Muradi, HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli
2015.
Dalam perkembangannya relasi antara globalisasi dan kedaulatan bangsa,
suatu Negara berkemungkinan mengambil posisi setuju menjadi bagian dari
globalisasi sehingga tidak begitu mempersoalkan issu kedaulatan negara,
yang penting ada keuntungan yang didapatkan dari globalisasi dan
mengabaikan kerugian yang dialami dan mengangagapnya sebagai ongkos yang
harus dibayar dan dimaklumi. Namun ada juga yang mengambil pola respon
relasi yang selektif dalam pengertian akan menyeleksi mana yang
menguntungkan bagi kedaulatan domestik diterima dan menolak arus
globalisasi yang merugikan kepentingan nasional. Selanjutnya, ada juga
respon Negara yang menggambarkan relasi protektif terhadap globalisasi demi
penegakkan kepentingan nasional, seperti misalnya kedaulatan bahasa,
kedaulatan tenaga kerja domesitik, kedaulatan pangan nasional, kedaulatan
energi, dan sebagainya.
Selanjutnya, untuk menggambarkan bagaimana relasi aktor nasionalisme,
globalisasi dan kedaulatan negara, Azhari Akmal Tarigan, memakai kerangka
pemikiran Budi Winarno:2009, dengan mengutip Ludge:1991, untuk menjelaskan
konsep globalisasi yaitu suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia
bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua
aspek kehidupan mereka, baik budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun
lingkungan dengan indikator: kesaling-hubungan, integrasi, Pasar Global,
"Hilangnya Batas-Negara" dan mengecilnya peran Negara. Paling kurang ada
tiga kelompok dengan paradigma yang berbeda yaitu antara lain:[34] Pertama,
Faksi Hiper-globalis: Globalisasi sebagai sejarah baru kehidupan manusia di
mana "negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih
menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global.
Kedua, Faksi Skeptis : Kelompok yang memandang negara tetap memiliki peran
penting untuk mengatur, setidaknya untuk memastikan liberalisasi ekonomi
terus berlangsung. Ketiga, Faksi Transformasionalis: Globalisasi penting
dan negara tetap relevan kendati dalam bentuk baru yang berbeda.
Negara perlu meningkatkan pososi tawarnya dengan negara lain dalam
rangka memelihara kedaulatan negara, meningkatkan rasa kebangsaan dan hadir
dalam ranah kontestasi dan kerjasama dalam globalisasi. Pertanyaan: Apakah
Globalisasi Berpengaruh terhadap nasionalisme? Jawabannya, menurut Azhari
Akmal Tarigan adalah ya. Anggun C. Sasmi seorang aktris penyanyi asal
Indonesia telah berganti kewarganegaraan menjadi orang Prancis, karena
kesulitan-kesulitannya untuk berpindah-pindah dari satu negara ke negara
lain, dengan paspor Indonesia. Perpindahan kewarganegaraannya
dikarenakan dalam rangka memudahkan dalam mobilitas/pergerakannya sebagai
artis tingkat dunia. Dalam hal ini kedaulatan negara Indonesia, dalam
bentuk legitimasi pasport cenderung rendah dan Anggun C. Sasmi dikatan
memilih berpindah kewarganegaraan karena alasan kedaulatan negara Indonesia
relatif rendah diakui di Eropa.
Selanjutnya Narasumber Muhammad Zeinizen redaktur senior harian
Waspada Medan yang pernah meliput berita konflik dan rekonsiliasi Aceh,
hingga Sychelees Afrika dan Uni Emirat Arab ini memakai kerangka
konseptual nasionalisme negara-bangsa dan globalisasi yang merujuk pada
kekuatan dan peran media. Media mampu membingkai dan mengartikulasikan
representasi dan konsep nasionalisme negara-bangsa di tengah arus
globalisasi, bukan saja dalam tataran kognitif, tetapi juga masuk pada
ranah ideologis sebagai bangsa. Pada aras itulah, naluri kebangsaan dapat
dibangkitkan meski hanya melalui konstruksi media. Ketika rasa
"nasionalisme" terusik oleh pengaruh aktor Negara luar dan dipublikasikan
melalui media, komunitas masyarakat yang direpresentasikan sebagai bangsa
Indonesia menjadi marah. Seluruh kejadian itu, diketahui dari pemberitaan
media (media massa dan media baru). Reaksi masif yang berisi kecaman,
kutukan, dan luapan rasa nasionalisme seketika itu mencuat dengan
kencangnya.
Relasi nasionalisme dan globalisasi dapat dilihat ketika kasus
persengketaan Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia. Juga maraknya
pemberitaan soal bagaimana Australia begitu geram kepada Indonesia soal
hukuman mati pengedar narkoba. Namun media di Indonesia, sangat kencang
menghajar Australia dengan gambaran bagaimana nasib korban narkoba di
Indonesia. Media menjadi perangkat yang sangat ekspresif dalam
mengartikulasikan emosi nasionalisme masyarakat yang mengutuk Malaysia.
Melalui pemberitaannya, media membingkai gagasannya untuk
mempertahankan kepentingan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Idiom
"NKRI sebagai harga mati" atau "NKRI sudah final", yang lazim dianut
kalangan nasionalis ortodoks, dan mendapatkan dukungan pihak media ketika
itu.
Penggambaran peristiwa-peristiwa yang berisi serangan terhadap harga
diri bangsa, pada mulanya tidak diketahui masyarakat. Ketika seluruh
kejadian itu ditayangkan televisi dan dibahas secara mendalam oleh media
maka lahirlah masyarakat yang dibayangkan atau imagined community (Anderson
1991, 43). Berita-berita yang disajikan media pun menjadi representasi dari
aspirasi nasionalisme publik. Pada titik itulah nasionalisme negara-
bangsa dan efeknya globaliasi dapat terbentuk dengan mudah dan fungsional.
Aprizal Kurniawan Amsar Direktur Eksekutif Yayasan SINTESA menggunakan
konsep Manfred B. Steger dalam bukunya yang berjudul Globalisme (Lafadl:
2002) mencoba melakukan penelusuran atas pencitraan globalisasi yang
dimunculkan oleh kaum globalist. Lima klaim utama tersebut antara lain:
Pertama, globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi pasar; Kedua,
globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak akan berbalik;
Ketiga, Tak seorang pun memegang kendali atas globalisasi; Keempat,
globalisasi menguntungkan semua orang; Lima. Globalisasi meningkatkan
penyebaran demokrasi di seluruh dunia. Menurut Asprizal, bahwa klaim-klaim
tersebut terus disebarluaskan dalam rangka membentuk wacana publik demi
legitimasi pasar bebas dan tegaknya paham neoliberalisme dalam praktiknya
tidak sedemikian, berbalik menjadi keserakahan dan perusakan lingkungan.
Menurut Leirissa, konsep nasionalisme-kebangsaan erat kaitannya dengan
keberadaan negara. Negara berkepentingan untuk mengobarkan nasionalisme
sebagai doktrin untuk membangun persatuan nasional dan kedaulatan negara.
Hadirnya kekuatan global seperti Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga keuangan/
perdagangan global telah mempengaruhi relasi kekuasaan dalam pengambilan
kebijakan ditingkat negara. Disatu sisi, negara dihadapkan pada
kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara khususnya kelompok miskin
untuk memperkuat bangunan nasionalisme. Namun di sisi lainnya hadir aktor
global yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan, yang mengusung
kepentingan pasar.[35]
Serikat Petani Indonesia merupakan salah satu organisasi petani
nasional yang menjadi wadah perjuangan petani untuk memperjuangkan hak-hak
petani di tingkat global dengan konsep perjuangan Act locally, think
globally. (lihat profil SPI di www.spi.or.id) SPI juga menjadi bagian dari
gerakan petani internasional La Via Campesina, yang beranggotakan
organisasi-organisasi tani dari 76 negara di berbagai benua. Bersamaan
dengan perjuangan HAP (Hak Asasi Petani) ditingkat global, perjuangan SPI
ditingkat nasional juga berhasil pada tahun 2013, dengan lahirnya UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU No. 19 Tahun 2013).
Nasionalisme dan globalisasi pasar yang mengusung kepentingan
neoliberal memiliki nilai yang bertentangan. Untuk memperkuat nasionalisme
dan kedaulatan negara, harus dipastikan kuatnya peran negara dalam
melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara, terutama kaum marginal. Kita
tidak dapat menghindari globalisasi, namun harus dihadapi. Untuk menghadapi
globalisasi namun tidak menggerus nasionalisme, negara harus menjadi
benteng pertahanan dalam hal melindungi kepentingan nasional dan warga
negaranya.
Negara harus jadi benteng untuk bertarung dalam persaingan global,
bukan membuka pintu dan membiarkan warga negara berhadap-hadapan secara
langsung dengan kekuatan pasar dan aktor global. Dalam memperjuangkan hak-
hak petani sebagai warga negara, perjuangan untuk mempengaruhi kebijakan
tidak hanya dilakukan di tingkat nasional, tapi juga dapat dilakukan
melalui perjuangan ditingkat global. Sebagaimana yang dilakukan oleh SPI
(Serikat Petani Indonesia), untuk mendorong lahirnya kebijakan perlindungan
terhadap petani juga dilakukan melalui perjuangan ditingkat global.
Keberhasilan SPI bersama La Via Campesina di Amerika Latin, dalam
mendorong lahirnya deklarasi hak-hak petani, akan berpengaruh besar
terhadap perjuangan hak-hak asasi petani di berbagai dunia, bukan hanya di
Indonesia.
E. Penutup: Posisi melihat relasi Globalisasi dan Kedaulatan Negara
Posisi teoritis yang diambil oleh penulis dalam melihat relasi
nasionalisme kebangsaan dan globalisasi terkait dengan kedaulatan negara
adalah netral dan objektif, untuk dijadikan dasar kajian-kajian
implementatif dalam penelitian terkait topik kedaulatan negara.
Globalisasi dapat dianggap sebagai suatu yang netral, tidak selalu ekstrim
memperkuat kepentingan asing dan tidak juga selalu menggerus nasionalisme,
pada waktunya semuanya bisa ada dalam kesimbangan yang bisa dikelola dengan
baik. Kebijakan publik yang baik dan dibuat lewat proses deleberatif-
partisipatif dalam suatu negara dapat mengatur agar antara kepentingan
nasional dan kepentingan global ada dalam hubungan yang seimbang atau
saling ketergantungan (interdependensi) yang relatif harmonis.
Kehadiran globalisasi membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara
termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi beberapa sisi yaitu
pengaruh positif, netral dan pengaruh negatif. Untuk memperkuat
nasionalisme dan kedaulatan negara, harus dipastikan kuatnya peran Negara
dan masyarakat dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara, terutama
kaum marginal-kelompok menengah bawah, masyarakat adat di pulau terluar,
pedalaman dan halaman depan negara yang bersentuhan dengan masyarakat
global.
Kita sebagai bangsa tidak dapat menghindari globalisasi, namun harus
dihadapi sembari tetap menjaga dan proporsional memperkuat kedaulatan
negara dalam berbagai hal seperti bidang teritorial, pangan, kuliner,
transportasi, energi, IPTEK. Untuk menghadapi globalisasi namun tidak
menggerus nasionalisme, negara harus menjadi benteng pertahanan dalam hal
melindungi kepentingan nasional dan warga negaranya. Negara harus jadi
pengelola yang baik dalam meningkatkan daya saing di tingkat global, bukan
membuka pintu sangat lebar tanpa siasat cermat dan membiarkan warga negara
berhadap-hadapan secara langsung dengan kekuatan pasar dan kehadiran aktor-
aktor global (pengusaha, pedagang, pekerja, artis, dst.) di tingkat
nasional dan lokal.
Beberapa antisipasi, peringatan dini dan rekomendasi untuk menghadapi
pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme kebangsaan dan
kedaulatan negara antara lain adalah menumbuhkan peran negara dan
masyarakat dalam melindungi kreatifitas bangsa untuk memiliki kebudayaan
dan peradaban yang tangguh, penguasaan inovasi teknologi, kebijakan publik
yang berbasis riset dan ilmu pengetahuan, semangat mencintai produk dalam
negeri. Menanamkan, menghidupkan dan melaksanakan ajaran agama dan budi
pekerti bangsa dengan sebaik- baiknya lewat berbagai media formal dan
informal. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam
arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya. Selektif terhadap pengaruh
globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa ***
Daftar Pustaka
Buku-Buku:
Austin, John. 1869. Campbell, Robert, ed. Lectures on Jurisprudence, or,
The Philosophy of Positive Law 1 (3rd ed.). London: John Murray.
Retrieved 2012-12-14;
Bentham, Jeremy. 1977. Burns, J.H; Hart, H.L.A., eds. A Comment on the
Commentaries and A Fragment on Government. London: The Athlone Press.
p. 393. ISBN 0485132125.
Benedict, Anderson. Imagined Communities. Reflections on the Origins and
the Spread of Nationalism, 2nd edition. London: Verso, 1991.
Budiardjo, Meriam. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Jean-Jacques Rousseau, On The social contract (Du Contrat Social Ou
Principes Du Droit Politique (Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-
prinsip Hak Politik), (Amsterdam: Chez Marc Michel Rey-Dover Thrift
Edition: 1762).
Suhelmi, Ahmad. 2010. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama..
Rosen, Frederick (1992). Bentham, Byron, and Greece: constitutionalism,
nationalism, and early liberal political thought. Oxford: Clarendon
Press. ISBN 0-19-820078-1.
G. H. Sabine. 1937. A History of Political Theory . London.
Rosen, F. (1983). Jeremy Bentham and Representative Democracy: A Study of
the "Constitutional Code". Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-822656-X.
Thomas J. Biersteker dan Cynthia Weber. 1996., State Sovereignty as Social
Construct. Cambridge University Press, May 2.
Maine, Henry Sumner .1875. Lectures on the Early History of
Institutions (1st ed.). New York: Henry Holt.. Retrieved 6
September 2015.
Montserrat, Guibernau. et.al. The Ethnicity Reader Nationalism,
Multiculturalism and Migrations, Cambridge: Polity Press, 1997.
Robertson, Roland. et.al. Global Modernities . London: Sage, 1992.
Thomas Hylland, Eriksen, Ethnicity and Nationalism, London. Chicago,
Illinois: Pluto Press, 1993.
Widjojo, Muridan. "Nasionalisme dan Etnisitas", dalam Firman Noor,
Nasionalisme, Demokratisasi & Identitas Primordialisme di Indonesia.
Jakarta: LIPI Pers & P2P LIPI, 2007.
Jurnal:
Rozi, Syafuan. Jurnal Kajian Wilayah PSDR LIPI Vol.1 No.2. 2010, "Cyber
clash di dunia maya: cyberwar dan conflict resolution Indonesia-
Malaysia".
Terbitan Khusus:
Bahan Presentasi narasumber Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD pada FGD di LIPI
Bandung, tgl. 2 Juli 2015.
Rangkuman dalam FGD Medan di Jurusan Pascasarjana Studi Pembangunan FISIP
USU dengan narasumber Azhari Akmal Tarigan, akademisi dari UIN Sumatera
Utara, Juli 2015.
Presentasi Aprizal Kurniawan Amsar, Direktur Eksekutif Yayasan SINTESA,
RELASI NASIONALISME, GLOBALISASI DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK:
"Perjuangan Hak-Hak Asasi Petani Sebagai Warga Negara, Ditengah
Perubahan Relasi Kekuasaan Nasional dan Global" dalam FGD di FISIP USU,
Medan tgl. 12 Mei 2015.
R.Z,. Leirissa. " Nasionalisme," paper presented at pada peringatan hari
Kebangkitan Nasional 2006 di Jakarta, 24 Mei 2006.
.Website:
Boer Mauna, Sosialisasi Kementerian Luar Negeri RI "Mengenal Kemlu Lebih
Dekat" Di Universitas Megou Pak Tulang Bawang, Lampung" Kemlu RI, 12
April 2011. Diakses 18 November 2015.
http://finance.detik.com/read/2015/11/10/130038/3066888/4/kapal-angkut-sapi-
yang-diluncurkan-jokowi-pertama-di-ri
Frank W. Elwell. "Wallerstein's World-Systems Theory". Diakses tanggal 27
November 2015.
Artikel: "Kementerian Agraria: Tahun Ini 47 Pulau Terluar Disertifikasi".
Sumber: BeritaSatu, Senin, 02 Februari 2015 " 17:02.
http://www.beritasatu.com/nasional/245750-kementerian-agraria-tahun-ini-
47-pulau-terluar-disertifikasi.html.
Terborch, Gerard The Treaty of Westphalia 1648, (Washington DC:2003) ;
Cavendish, Richard (1998) On October 24th 1648, the Treaty of
Westphalia was signed, marking the end of the Thirty Years'
War [Online], http://www.historytoday.com/richard-cavendish/treaty-
westphalia [diakses pada 18 November 2015].
-----------------------
[1] Ibid,. Eriksen 1993:hlm. 102-4.
[2] Lihat Benedict, Anderson, Imagined Communities. Reflections on
the Origins and the Spread of Nationalism, 2nd edition (London: Verso,
1991). Hlm. 9
[3] Lihat, Thomas Hylland, Eriksen, Ethnicity and Nationalism, London
(Chicago, Illinois: Pluto Press, 1993). Hlm. 101-102.
[4] Lihat juga Muridan S. Widjojo, "Nasionalisme dan Etnisitas", dalam
Firman Noor, Nasionalisme, Demokratisasi dan Identitas Primordialisme di
Indonesia (Jakarta:LIPI Pers & P2P LIPI, 2007) hlm. 116.
[5] Lihat Syafuan Rozi dalam Jurnal Kajian Wilayah PSDR LIPI Vol.1
No.2. 2010, "Cyber clash di dunia maya: cyberwar dan conflict resolution
Indonesia-Malaysia".
[6] Lihat Roland Robertson, Mike Featherstone, Scott Lash, (edit.),
Global Modernities (London: Sage, 1992), hlm. 26. Khususnya artikel R.
Robertson tentang "Glocalization:Time, Space and Homogenity-Hetrogenity".
[7] Lihat presentasi narasumber Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD pada
FGD di LIPI Bandung, tgl. 2 Juli 2015.
[8] Lihat artikel Muridan S. Widjojo , "nasionalisme dan Etnisitas"
dalam bab IV. Firman Noor (P2P LIPI, 2007) hlm. 115 Ia menjelaskan kapan
munculnya nasionalisme dijelaskan berbeda-beda. Ada yang mengatakan berasal
dari pemberontakan Inggris melawan monarki pada abad XVII (Khan 1944,
Greenfeld 1991), perlawanan eli-elit dunia baru terhadap kolonialisme
Iberian (Anderson, 1991), Revolusi Perancis 1789 (Alter 1989, Best 1988),
dan reaksi Jerman terhadap revolusi tersebut dan terhadap perpecahan Jerman
(Kedourie 1960, Breuilly 1982). Meskipun demikian hampir semua sepakat
bahwa pada 1815 nasionalisme sudah mendapatkan bentuknya. Pada masa awal
jaman modern nasionalisme sebagai agregasi orang-orang yang dikaitkan
dengan lokasi dan karakteristik sosial budaya yang sama menggunakan
konotasi politik dan budaya dalam perjuangan dengan dan di antara negara-
negara dalam hal state-building (Calhoun, 1993: 212-3).
[9]Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Oxford : Basil Blackwell,
1983, hal. 1.
[10]Montserrat Guibernau dan John Rex, (eds.), The Ethnicity Reader
Nationalism, Multiculturalism and Migrations, Cambridge: Polity Press,
1997, hal.8.
[11]Lihat kutipan dari Ernest Gellner, Nationalism, London: Phoenix,
1998, hal.11, dalam tulisan Firman Noor, bagian bab 1 Pendahuluan buku
Nasionalisme, Demokrstisasi dan Ikatan Primordial di Indonesia (Jakarta:
P2P LIPI-LIPI Press, 2007) hlm. hlm. 11
[12] Ibid,. Ernest Gellner.
[13] Ibid., Hutchinson 2006: 304-5.
[14] Ibid,- Hutchinson 2006: 304-5.
[15] Lihat Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
Gramedia, 1991), bab 1 dan 2.
[16] Lihat Boer Mauna, Sosialisasi Kementerian Luar Negeri RI "Mengenal
Kemlu Lebih Dekat" Di Universitas Megou Pak Tulang Bawang, Lampung" Kemlu
RI, 12 April 2011. Diakses 18 November 2015.
[17] Lihat Jean Bodin, The Six books of the Commonwealth (1576). For
the Six books of the Commonwealth only sixteenth- and seventeenth-century
editions are at present available. An abridged version by J. C. de Laire
was published in 1755. Authorities; Jean Bodin. OEuvres philosophiques,
texte établi, traduit, et publié par P. Mesnard (Corpus général des
philosophes français). Of this series the first volume has appeared,
Methodus ad facilem historiarum cognitionem (Paris, 1951); G. H. Sabine, A
History of Political Theory (London, 1937).
[18] Ibid,- G. H. Sabine.
[19] Jean-Jacques Rousseau, On The social contract (Du Contrat Social
Ou Principes Du Droit Politique (Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-
prinsip Hak Politik), (Amsterdam: Chez Marc Michel Rey-Dover Thrift
Edition: 1762), lihat chapter XII hlm. 127.
[20] Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum
subjectionis rakyat telah menyerahkan seluruh haknya pada raja dan hak yang
telah diserahkan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut Hobbes,
negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan Mutlak. Sedangkan menurut John
Locke (1632-1704), dalam pactum subjectionis tidak seluruh hak manusia yang
diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-hak yang diberikan oleh hukum
alam yang tetap melekat pada diri setiap manusia. Hak tersebut adalah hak
asasi manusia yang terdiri dari hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik,
dimana hak-hak tersebut harus dilindungi oleh raja dan dijamin dalam Undang-
Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John Locke, negara itu seharusnya
berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.
[21] Lihat Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010).
[22] Ibid, Ahmad Suhelmi.
[23] Lihat karya Rosen, Frederick (1992). Bentham, Byron, and Greece:
constitutionalism, nationalism, and early liberal political thought.
Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-820078-1; Bentham, Jeremy (1977).
Burns, J.H; Hart, H.L.A., eds. A Comment on the Commentaries and A Fragment
on Government. London: The Athlone Press. p. 393. ISBN 0485132125. Rosen,
F. (1983). Jeremy Bentham and Representative Democracy: A Study of the
"Constitutional Code". Oxford: Clarendon Press. ISBN 0-19-822656-X.
[24] Ibid, Ahmad Suhelmi.
[25] Lihat Thomas J. Biersteker dan Cynthia Weber, State Sovereignty
as Social Construct (Cambridge University Press, May 2, 1996). Penjelasan
mereka adalah"… State sovereignty is an inherently social construct. The
modern state system is not based on some timeless principle of sovereignty,
but on the production of a normative conception which links authority,
territory, population (society, nation), and recognition in a unique way,
and in a particular place (the state). Attempting to realize this ideal
entails a great deal of hard work on the part of statespersons, diplomats,
and intellectuals. The ideal of state sovereignty is a product of the
actions of powerful agents and the resistances to those actions by those
located at the margins of power. The unique contribution of this book is to
describe, theorize, and illustrate the practices which have socially
constructed, reproduced, reconstructed, and deconstructed various sovereign
ideals and resistances to them. The contributors analyse how all the
components of state sovereignty - not only recognition, but also territory,
population, and authority - are socially constructed and combined in
specific historical contexts..".
[26] Lihat artikel: "Kementerian Agraria: Tahun Ini 47 Pulau Terluar
Disertifikasi". Sumber: BeritaSatu, Senin, 02 Februari 2015 " 17:02.
http://www.beritasatu.com/nasional/245750-kementerian-agraria-tahun-ini-47-
pulau-terluar-disertifikasi.html.Deputi Bidang Pengaturan dan Pengendalian
Pertanahan Kementerian ATR/BPN Doddy Imron Cholid menyatakan dari 92 pulau
terluar, sisanya tinggal 47 pulau. Semuanya sudah disurvei dan tahun 2015
diselesaikan sertifikasinya. Ke 47 pulau terluar yang berada di delapan
provinsi itu, terdiri atas pulau berpenghuni dan tak berpenghuni.
Nantinya, sertifikat hak milik akan diberikan kepada warga penghuni pulau
terluar. Sementara untuk pulau tak berpenghuni akan diberikan sertifikat
hak pakai yang kemudian diserahkan kepada kepala daerah setempat. Doddy
mengatakan sertifikasi pulau-pulau terluar Indonesia itu akan diikuti oleh
pendaftaran ke mahkamah internasional guna menghindari masalah klaim dari
negara lain. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan
perhatian lebih kepada pulau-pulau terluar di wilayah Indonesia. Hal itu
ditunjukkan melalui langkah sertifikasi dan elektrifikasi pulau-pulau
terluar di Tanah Air yang terkenal tak hanya indah tetapi juga menyimpan
potensi energi yang luar biasa.Bahkan, pada HUT RI ke 70 pada 17 Agustus
2915, ditargetkan ke 47 wilayah perbatasan dan pulau terluar Indonesia itu
sudah bisa dialiri listrik.
[27] Lihat
http://finance.detik.com/read/2015/11/10/130038/3066888/4/kapal-angkut-sapi-
yang-diluncurkan-jokowi-pertama-di-ri
[28] Dalam perkembangannya ada yang menilai relasi negatif dari
globalisasi yang menimbulkan berbagai masalah nasionalisme dan kedaulatan
negara dalam bidang politik kebudayaan, misalnya : – berkurangnya peran
negara dalam pelestarian dan pementasan budaya asli suatu daerah atau suatu
negara – terjadinya erosi nilai-nilai budaya oleh budaya Pop, – menurunnya
rasa nasionalisme dan patriotisme – hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong
royong – kehilangan kepercayaan diri – gaya hidup kebarat-baratan yang
lazim disebut sebagai proses "Westernisasi". Bandingakan dengan Malaysia
yang telah lama memilik Akta Kebangsaan yang membiayai perawatan berbagai
budaya di sana lewat politik anggarannya untuk menegakkan semboyan Malaysia
is the truly Asia. Namun, globalisasi juga memba arus positif seperti: good
governance, deliberative, procedural and subtantive democracy, yang
berdampak pada diterapkan politik kesejahteraan dan unifikasi nasional yang
terawat baik.
[29] Lihat Aprizal Kurniawan Amsar, Direktur Eksekutif Yayasan
SINTESA, RELASI NASIONALISME, GLOBALISASI DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN
PUBLIK: "Perjuangan Hak-Hak Asasi Petani Sebagai Warga Negara, Ditengah
Perubahan Relasi Kekuasaan Nasional dan Global" dalam FGD di FISIP USU,
Medan tgl. 12 Mei 2015.
[30] Lihat Frank W. Elwell. "Wallerstein's World-Systems Theory".
Diakses tanggal 27 November 2015.
[31] Lihat Austin, John (1869). Campbell, Robert, ed. Lectures on
Jurisprudence, or, The Philosophy of Positive Law 1 (3rd ed.). London: John
Murray. Retrieved 2012-12-14; Maine, Henry Sumner (1875). Lectures on the
Early History of Institutions (1st ed.). New York: Henry Holt. pp. 342–400.
Retrieved 6 September 2015.
[32] Lihat Terborch, Gerard The Treaty of Westphalia 1648,
(Washington DC:2003) ; Cavendish, Richard (1998) On October 24th 1648, the
Treaty of Westphalia was signed, marking the end of the Thirty Years'
War [Online], http://www.historytoday.com/richard-cavendish/treaty-
westphalia [diakses pada 18 November 2015]. Sekitar abad pertengahan, Eropa
dilanda peperangan yang cukup dahsyat yang melibatkan kaum Katolik dan
Protestan. Perang tersebut berlangsung selama kurang lebih tiga puluh tahun
dimulai tahun 1618 hingga 1648. Perang tersebut juga merupakan hasil dari
pertentangan kedua belah pihak yang dimulai oleh Reformasi Protestan sampai
pada kontra Reformasi Katolik. Di samping aspek agama ternyata juga
terdapat persaingan dinasti Hapsbruk dan Boubron hingga pada akhirnya
tercapai Perjanjian Westphalia.
[33] Perjanjian Westphalia sedikit banyak membawa pengaruh pada
dinamika politik internasional dan globalisasi kontemporer dengan pengakuan
kedaulatan negara pascaperang. Sebelum itu, organisasi-organisasi yang
memiliki otoritas politik di abad pertengahan di Eropa didasarkan pada
tatanan hierarki yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal
tentang kedaulatan negara, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa,
atau pemegang kedaulatan yang sah akan mengakui pihak-pihak lain yang
memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan
wilayah yang sama. Perjanjian ini merupakan titik awal dari dikembangkannya
sistem negara modern.
[34] Rangkuman dalam FGD Medan di Jurusan Pascasarjana Studi
Pembangunan FISIP USU dengan narasumber Azhari Akmal Tarigan, akademisi
dari UIN Sumatera Utara, Juli 2015.
[35] Lihat R.Z. Leirissa, " Nasionalisme," makalah pada peringatan
hari Kebangkitan Nasional 2006 di Jakarta, 24 Mei 2006.