MODUL 3
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK
I. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat yakni Theophylline
Anhidrat dan Theophylline Monohidrate terhadap kecepatan disolusi
intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.
II. Prinsip Percobaan
Kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan bahan obat
dan kelarutannya.
III. Teori
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari
bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif
sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung
dari kemampuan zat tersebut melarut kedalam media sebelum dierap ke
dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk
padat atau semi padat , seperti kapsul , tablet dan salep.
(Anonim,2007)
Agar suatu obat diabsrbsi , mula-mula obat tersebut harus
larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh , suatu obat
yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat
diabsorbsi sampai partikel-partikael obat larut dalam cairan pada
suatu tempat dalam saluran lambung-usus . dalam hal dimana kelarutan
suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus
halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. (Ansel.1985)
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam
saluran cerna, obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk
padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat
juga mengalamindesintegrasi menjadi granul-granul , dan granul-granul
ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Desintegrasi
, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak. Dengan
melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.
(Martin 1993).
Mekanisme disolusi tidak dipengaruhi oleh kekutan kimia atau
reaktivitas partikel-partikel padat terlarut kedalam zat cair , dengan
mengalami 2 langkah berturut-turut. (Gennaro. 1990).
Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal
yang tetap atau film disekitar partikel difusi dari lapisan tersebut
pada massa dari zat cair . langkah pertama , larutan berlangsung
sangat singkat. Langkah kedua , difusi lebih lambat dan karena itu
adalah langkah terakhir . pada waktu suatu partikel obat mengalami
disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam
larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat larutan yang membungkus
permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai
lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati
cairan yang melarut dan erhubungan dengan membran biologis serta
absorbsi teerjadi . jika molekul-molekul obat diganti dengan obat yang
dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut
berlanjut. (Martin. 1993)
Jika proses disolusi untuk partikel obat tertentu adalah cepat ,
atau jika obatdiberikan sebagai suatu larutan dantetap ada dalam tubuh
seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada
kesanggupannya menembus pembatas membran. Teapi, jika laju disolusi
untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena
karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan. Proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam
proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak seluruhnya
diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi
setelah pemberian oral , karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa
tinggal didalam lambung atau saluran usus halus.(Martin 1993).
Uji disolusi obat
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa,
talet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil , sehingga darah
permukaan media pelaruut menjadi luas, dan akan berhubungan dengan
tersedianya obat dalam cairan tubuh . namun sebenarnya uji hancur
hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur dibawah
kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa
partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya . oleh sebab itu, uji disolusi dan kelarutan
uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorbsi dari
obat-obat bersifat asam yang diabsorbsi dengan mudah dalam saluran
pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet. Agar
diperoeh kadar obat yang tinggi didalam darah maka kecepatan obat dan
tablet mmelarut menjadi sangat menentukan, karena laju larut berbagai
formula karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet
melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada didalam saluran
cerna , menjadi minat utama dari para ahli farmasi. (Voigt,1995)
Ada 2 sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu
untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 %
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama
dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan
bioavaibilitas dan efektif secara klinis. (Shargel,1988)
Tes kecepatan melarut telah didesign untuk mengukur berapa
kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut kedalam
larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat
memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari "batch"
satu ke "atch" lainnya. Tes disolusi ini didesign untuk membandingkan
kecepatan melarutnya suatu obat , yang ada didalam suatu sediaan pada
kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi . (Shargel,1988)
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon
klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat
sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat
tertentu. Dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya
ketersediaan zat aktif dalam tubuh . jika disousi makin cepat, maka
absorbsi semakin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul,
serbuk, suppositoria), sediaan sistem terdispersi (suspensi, dan
emulsi) atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami
disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat
aktif kedalam sirkulasi sistemik. (Voigt,1995)
IV. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, alat-alat
gelas, tabung disolusi, thermostat dengan penangas air, penyangga
(holder) sampel (berupa pellet), motor pemutar, stopwatch,
spektrofotometer UV.
Bahan-bahan yang digunakan adalah pellet theophyline monohidrat
dan theophyline anhidrat , lilin dan medium disolusi.
V. Prosedur
A. Pembuatan larutan baku induk theophyline anhidrat dan monohidrat
250 ppm dan pencarian ƛ maksimal dari theophyline monohidrat dan
theophyline anhidrat
Theophyline monohidrat dan theophyline anhidrat ditimbang 50 mg
dengan menggunakan timbangan analitik lalu dilarutkan kedalam labu
ukur 100 ml dengan menggunakan sebagian aquadest panas sampai larut
seluruhnya lalu di tambahkan sampai tanda batas labu ukur dengan
menggunakan aquadest biasa lalu dihomongenkan. Lalu diukur dengan
spektrofotometer UV – Vis untuk mencari panjang gelombang maksimal
dari masing – masing theophyline tersebut.
B. Penentuan kurva baku Theophyline monohidrat dan anhidrat
Setelah dilakukan penentuan panjang gelombang dari masing –
masing sampel theopyline lalu dibuat variasi konsentrasi dengan
sebagai berikut : 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm dan 70
ppm. Lalu diukur dengan panjang gelombang maksimal dari theophyline
monohidrat dan theophyline anhidrat yang sama – sama 271,6 nm .
C. Uji disolusi Intrinsik
Pellet di buat dalam bentuk tablet (dibuat dengan mencetak kira-
kira 300 mg bahan obat dengan tekanan 5 ton selama 5 menit), dengan
diameter 0,8 cm ditaruh pada penyangga, lalu bagian atas pellet
dituangi lilin cair, sehingga hanya satu permukaan pellet yang
terbuka, yang langsung dapat bersinggungan dengan medium disolusi.
Penyangga yang sudah berisi sampel lalu ditutup dan dihubungkan
dengan motor pemutar.
Tabung percobaan yang telah diisi 500 ml medium disolusi yaitu
aquadest, suhunya diatur dengan thermostat pada 37 kurang lebih
0,50C. Pellet yang sudah dipasang pada penyangga dicelupkan dalam
medium disolusi aquadest, diatur agar tidak ada gelembung udara
dibawahnya, lalu dipasang pada motor pemutar dan segera diputar
dengan kecepatan 100 putaran per menit. Jarak antara permukaan
pellet dengan dasar tabung disolusi 2 cm.
Sampel hasil disolusi diambil tiap selang waktu tertentu
(menit ke 5, 10, 20, 30, 45, dan 60). Selanjutnya sampel yang
diperoleh ditentukan kadarnya secara spektrofotmetrik.
D. Evaluasi data
A. Dibuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi sebagai fungsi
waktu setelah dikoreksi karena adanya pengurangan kadar larutan
oleh sampel yang diambil kecepatan disolusi dihitung dan
diekspresikan dalam DE60 atau tetapan KWagner.
B. Kecepatan disolusi intrinsik masing-masing sampel tiap waktu
pengambilan sampel dihitung dan disusun dalam suatu table, menurut
data kecepatan pelarutan.
VI. Data Pengamatan
Nama bahan obat : 1. Teopillin monohidrat
2. Teopillin anhidrat
Diameter pellet : 0.8 cm
Bobot pellet : 300 mg
Medium Disolusi : Air
Volume : 500 ml
Kecepatan
Alat tipe : Dayung
Data peraturan kadar secara spektrofotometrik
Percobaan dilakukan pada ƛ maks = 271.6 nm
Kurva baku
Pembuatan larutan baku teopillin anhidrat 500 ppm dalam labu ukur 100
ml
Massa = konsentrasi (ppm) x volume (Liter)
= 500 x 0,1
= 50 mg
a. 30 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 30 ppm
V1 =
b. 20 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 20 ppm
V1 =
c. 30 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 30 ppm
V1 =
d. 40 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 40 ppm
V1 =
e. 50 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 50 ppm
V1 =
f. 60 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 60 ppm
V1 =
g. 70 ppm
V1.N1 = V2.N2
V1. 500 ppm = 10 ml . 70 ppm
V1 =
" Teofillin Monohidrat "
"Konsentrasi "Absorbansi "
"20 ppm "0,350 "
"30 ppm "0,451 "
"40 ppm "0,522 "
"50 ppm "0,641 "
"60 ppm "0,704 "
"70 ppm "0,821 "
"Teofillin Anhidrat "
"Konsentrasi "Absorbansi "
"20 ppm "0,247 "
"30 ppm "0,369 "
"40 ppm "0,522 "
"50 ppm "0,639 "
"60 ppm "0,740 "
"70 ppm "0,859 "
Uji Disolusi
"Kelompok 1 Monohidrat "
"Waktu (menit) "
"Waktu (menit) "
"Waktu (menit) "
"Waktu "Absorbansi "Consentration "
"(menit) " " "
"5.00 "0.44 "2.07 "
"10.00 "1.44 "2.48 "
"20.00 "3.15 "4.13 "
"30.00 "5.04 "5.13 "
"45.00 "6.44 "5.07 "
"60.00 "6.81 "4.93 "
VII. PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum kali ini, dilakukan pengujian disolusi
terhadap bahan baku obat yaitu Theophylline Anhidrat dan Theophylline
Monohidrat. Melalui pengujian tersebut, dipelajari pengaruh keadaan
bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap kecepatan
disolusi intrinsiknya dan kemudian hasilnya dibandingkan antara
Theophylline Anhidrat dan Theophylline Monohidrat yang bertujuan
sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.Laju disolusi intrinsik
dapat didefinisikan sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif murni
yang diperoleh dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa
mempengaruhi laju disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu,
laju pengadukan, pH, dan kekuatan ionik dari medium disolusi yang
digunakan. Dengan demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu zat
aktif tidak dipengaruhi oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan
ukuran kelarutan inharen obat tersebut di dalam medium
disolusi.Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari suatu serbuk
yang mempertahankan luas permukaan yang tetap, yang biasanya
dinyatakan dalam mg/cm2 menit. Obat-obat tersebut umumnya meliputi
obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan
oleh kelarutannya yang sangat lambat atau oleh kelarutannya yang
sangat kecil. Obat-obatan yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik
kurang dari 0,1 mg menit-1 cm-1 biasanya menimbulkan masalah serius
pada abrsorpsinya, sedangkan obat-obat yang memiliki kecepatan
disolusi intrinsik lebih besar dari 1,0 mg-1 cm-1, pada umumnya
kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tetapi kecepatan
absorpsinya (Kaplan,1973).
Tahap selanjutnya adalah pembuatan kurva baku terhadap kedua
bahan baku yakni Theophylline Anhidrat dan Theophyline Monohidrat.
Pertama – tama harus dibuat larutan induk dengan konsentrasi 250 ppm
dengan menimbang 50 mg masing – masing theophyline monohidrat dan
theophyline anhidrat yang dilarutkan di dalam labu ukur 100 ml .
pembuatan larutan dilarutkan didalam labu ukur 100 ml bertujuan agar
pembuatanya dilakukan secara kuantitatif dikarenakan labu ukur
termasuk kedalam alat ukur kuantitatif. Pada pelarutan sampel
digunakan theophyline panas sebagai pelarutnya dikarenakan dalam
karakteristiknya theophyline sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah
larut dalam air panas. Pembuatan kurva baku dilakukan dengan menguji
absorbansi dari masing-masing bahan baku pada panjang gelombang 271.6
nm . Kemudian dilakukan pengenceran Theophylline Anhidrat dan
Theophylline Monohidrat di dalam air dengan konsentrasi beberapa ppm
diantaranya : 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70 ppm. Pada
pembuatan kurva baku absorbansi yang dihasilkan sebaiknya diantara 0,2
sampai 0,8 sesuai dengan hukum Lambert-Beer karena pada absorbansi
tersebut dihasilkan λ maksimum, dan pada absorbansi tersebut
dihasilkan konsentrasi yang lebih akurat. Selain itu rentang
absorbansi 0,2-0,8 merupakan batas ketelitian alat yang optimum dan
diharapkan dalam rentang ab sorbansi tersebut keterulangan hasil lebih
baik sehingga recovery mendekati 100%. Jika absorbansi lebih kecil
dari rentang tersebut kemungkinan terjadinya penyimpangan dan
dikhawatirkan keterulangan menjadi buruk dan jika absorbansinya lebih
besar dari rentang tersebut dikhawatirkan diatas kemampuan alat yang
digunakan sehingga absorbansi menjadi tidak terbaca.Pada alat
spektofotometer digunakan 2 kuvet, kuvet 1 berisi blanko (air), kuvet
2 berisi larutan sampel yang akan diuji. Kuvet yang digunakan harus
bersih. Kuvet terdiri dari 4 sisi, 2 sisi agak buram, 2 sisi bening,
bagian kuvet yang bening tidak boleh dipegang karena lemak yang ada
ditangan akan tertempel di kuvet, dan hal ini dapat menghalangi berkas
sinar yang akan menembus cuplikan dan mengurangi absorpsi cahaya oleh
sampel, sehingga persen transmittan pada respon detector tidak akurat.
Dan pada konsentrasi pengenceran tersebut dihasilkan absorbansi yang
berada pada rentang 0,2-0,8 sehingga diperoleh persamaan kurva baku
untuk Theophylline anhidrat yaitu : y = 0,1217x + 0,135dengan R2 =
0,9955 dan untuk Theophylline monohidrat yaitu = 0,0924x + 0,2582R2 =
0,995 .Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan digunakan
untuk menghitung kadar sampel Theophylline Anhidrat maupun
Theophylline Monohidrat pada uji disolusi.
Setelah itu dilakukan uji disolusi terhadap sampel bahan baku
obat Theophylline Anhidrat dan Monohidrat yang masing-masing sudah di
bentuk pellet dengan bobot 300 mg dan diameter 0,8 cm. Pellet ditaruh
pada penyangga dengan kondisi bagian atas pellet telah dituangi lilin
cair dan satu permukaan pellet lainnya dalam keadaan terbuka yang
langsung bersinggungan dengan medium disolusi sehingga diperoleh hasil
yang valid. Medium disolusi yang digunakan adalah air sebanyak 500 ml
dan suhunya sudah diatur dengan thermostat pada 37±0,5oC. Hal ini
bertujuan agar suhu percobaan sama dengan suhu tubuh sehingga bisa
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya jika obat di dalam tubuh. Metode
pengujian disolusi ini adalah metode dayung yang dasarnya terdiri atas
batang, dan daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan
dimensi tertentu sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar
bundar ( Siregar, 2010). Di dalam bak terdapat dua tabung, kedua
tabung diisi dengan medium disolusi air sebanyak 500 ml. Hal ini
dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara
tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada
interfase yang dapat menggangu proses disolusi obat. Alat disolusi di
atur dengan perputaran 100 rpm karena diumpamakan sebagai gerak
peristaltik usus. Setelah 5 menit larutan dalam tabung 2 diambil
sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit yang sudah terpasang membrane
filter (penggunaan membrane filter ditujukan untuk menyaring bakteri
yang mungkin ada dalam larutan) dan dimasukkan ke dalam vial yang
telah dicuci dan dibersihkan. Dalam waktu yang bersamaan air dalam
tabung 1 diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung 2, penggantian
volume air yang diambil ini dilakukan agar volume dalam tabung 2 tetap
500 ml, karena media dianalogikan sebagai cairan tubuh. Kemudian
dilakukan hal yang sama pada menit ke 10, 20, 30, 45 dan 60 menit.
Pada pengambilan cuplikan sebaiknya tempat pengambilan cuplikan di
tempat yang sama supaya kondisi juga sama karena jika diambil di
tempat yang berbeda kemungkinan akan menghasilkan konsentrasi yang
berbeda pula sehingga pada pengukuran hasil yang diperoleh tidak
akurat.
Masing-masing cuplikan yang telah diambil, satu persatu diuji
nilai absorbansinya menggunakan metode Spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 271,6 nm dengan menganalisis serapan cahaya oleh
gugus kromofor yang terdapat dalam struktur kimia Theophylline
Anhidrat maupun Theophylline Monohidrat . Dari serapan cahaya ini
dapat diketahui nilai serapannya (absorbansi). Dengan demikian dapat
diketahui kadar Theophylline Anhidrat maupun Theophylline Monohidrat
dengan cara memplot nilai absorbansi yang diperoleh pada persamaan
regresi linier dari masing-masing kurva baku. Setelah pengukuran
selesai kemudian didapatkan nilai absorbansi dan dihitung % terlarut
dari masing-masing bahan baku obat Theophylline anhidrat maupun
Theophylline monohidrat tersebut pada menit-menit yang ditentukan.
Bahan baku Theophylline Monohidrat dan Theophylline Anhidrat
terdapat perbedaan dalam strukturnya. Theophylline Monohidrat
mengandung kristal air didalamnya sedangkan Theophylline Anhidrat
tidak mempunyai struktur air di dalamnya. Dengan bentuk monohidrat
biasanya dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi karena dengan
adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya ketika kontak
dengan medium disolusi. Luas permukaan yang besar maka porinya banyak
sehingga mempermudah proses kelarutannya. Oleh karena itulah kecepatan
disolusi Theophylline Monohidrat lebih cepat dibandingkan dengan
Theophylline Anhidrat (Kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas
permukaan obat dan kelarutannya). Selain itu jika kita hitung melalui
Grafik hubungan W/A (massa terlarut persatuan luas) versus t (waktu)
maka hasil pengeplotan akan diperoleh sebuah garis lurus dari regresi
linier t vs W/A yang merupakan slope, dan inilah yang dinamakan laju
disolusi intrinsik. Persamaan regresi linier untuk Theophylline
Monohidrat yaitu y = 179,32x + 719,25 dengan R2 = 0,9271 dan untuk
Theophylline Anhidrat yaitu y = 80,983x + 3628,2 dengan R2 = 0,7033
sehingga didapatkan harga slope yang merupakan kecepatan disolusi
intrinsik Theophyllin Monohidrat sebesar 179,32 mg/menit/cm2dan untuk
Theophylline Anhidrat sebesar 80,983 mg/menit/cm2. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kecepatan disolusi intrinsik dari Theophylline
Monohidrat lebih besar dibandingkan dengan Theophylline Anhidrat.
Dengan hasil kecepatan disolusi intrinsik Theophylline Monohidrat dan
Theophylline Anhidrat lebih besar dari 1,0 mg/menit/cm2 menunjukkan
bahwa pada umumnya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu,
tetapi kecepatan absorbsinya (Kaplan,1973)
Berdasarkan hasil dari perhitungan % disolusi dari theophyllin
monohidrat dan theophyllin anhidrat didapatkan bahwa % disolusi
theophyllin monohidrat lebih baik dalam proses disolusinya dikarenakan
pada theophyllin monohidrat telah mengandung gugus air sehingga pada
saat di masukkan kedalam media disolusinya air tidak lagi menyerap air
untuk pecah. Sedangkan pada theophyllin anhidrat yang tidak memiliki
gugus air / Kristal air sehingga pada saat dimasukan ke dalam media
harus menyerap terlebih dahulu air lalu setelah itu pecah dan mulai
terdisolusi.
Pada menit ke -5 absorbansi dari theophyllin anhidrat diawali
dengan absorbansi yang besar 2,07 hal itu dikarenakan perbedaan
tekanan pengempaan pada saat pembuatan pellet sehingga dihasilkan
sampel pellet yang berbeda –beda dalam factor kekerasannya.
VIII. KESIMPULAN
1. Melalui perhitungan kecepatan disolusi intrinsik ini dapat
dipelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat,
solvate) terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai
preformulasi untuk bentuk sediaannya.
2. Dengan mengetahui pengaruh keadaan bahan ( keberadaan kristal air )
dapat dibedakan kecepatan disolusi antara theophyllin monohidrat
dan theophyllin anhidrat , dikarenakan terdapat Kristal air didalam
gugusnya akan semakin cepat untuk melarut tanpa harus menyerap air
terlebih dahulu dan langsung pecah menjadi bentuk yang lebih kecil
lagi.
3. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa % disolusi
theophyllin monohidrat lebih baik dibandingkan theophyllin anhidrat
dapat dilihat dari peningkatan absorbansi yang semakin lama waktu
disolusinya absorbansinya semakin meningkat sehingga % disolusinya
juga semakin meningkat dan factor tekanan pada saat pembuatan
pellet sangat berpengaruh sehingga dapat dilihat dari hasil
theophyllin anhidrat yang pada menit ke 5 disolusi absorbansinya
2,07 .
IX. DAFTAR PUSTAKA
Ansel.1985. Pharmaceuticals Dosage Forms and drugs. Philadelphia :
Lippicontt William and Wilkins
Anonim.2007. teori dan praktek farmasi industri edisi 3. Jakarta :
UI
Martin. 1993. Praktikum Biofarmasi: Jakarta UI
Shargel, Leon dan Andrew . 1998.Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan. Edisi II. Surabaya : Airlangga University Press.
Voigt, R.,1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh
Soewandhi, S.N., UGM Press, Yogyakarta
Distribusi kerja :
tujuan, prinsip, pembahasan : Dwi Deasy F ( A 0122 098)
teori, dapus : Nur Antika L ( A 0121 043)
Alat , bahan prosedur : Moch. ILham ( A 0122 091)
Data pengamatan dan perhitungan : Harlena Pratama P
( A 0122 090)
Pembahasan : Lisna Iswantika ( A 143 026 )
Pembahasan, Edit print : Anita Anggraeni ( A 0122 100 )