TUGAS MAKALAH
ILMU RANSUM NON RUMINANSIA/UNGGAS
Kebutuhan Ransum Ayam Broiler
Fase Starter dan Finisher
DISUSUN OLEH
NAMA : M. ASFAR SYAFAR
NIM : I111 12 286
KELAS : GENAP-B
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Kebutuhan Ransum Ayam Broiler Fase Starter dan Finisher"
Terselesainya makalah ini tidak lepas dari dukungan beberapa pihak yang telah memberikan kepada penulis berupa motivasi, baik materi maupun moril. Oleh karena itu, penulis bermaksud mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, semua yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum mencapai kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, 19 April 2014
Penulis
BAB I
PENDAHALUAN
I.1 Latar Belakang
Usaha peternakan ayam broiler merupakan usaha komersial yang terus dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat di Indonesia. Adapun faktor yang menentukan tingkat keberhasilan di dalam usaha peternakan ayam broiler adalah pemilihan bibit, pemberian ransum, dan manajemen pemeliharaan. Ransum merupakan faktor yang paling dominan, karena biaya yang dikeluarkan untuk ransum bisa mencapai 70% dari total biaya produksi.
Ransum unggas adalah bahan pakan yang bagian-bagiannya dapat dicerna dan diserap oleh unggas. Ransum yang baik adalah ransum yang memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sesuai dengan fase fisiologis serta tidak menggangu kesehatan ternak. Ransum merupakan campuran dari berbagai macam bahan pakan yang diberikan pada ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrien selama 24 jam. Untuk mendapatkan pertumbuhan ayam broiler yang baik, maka perlu diperhatikan zat nutrisi pada ransumnya sebab komposisi ransum yang baik mempengaruhi pertumbuhan ayam tersebut.
Ayam dan jenis unggas lainnya membutuhkan sejumlah nutrisi yang lengkap untuk menunjang hidupnya, untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi. Pemberian pakan pada ayam ras broiler dibagi atas 2 fase yaitu fase starter (umur 0-4 minggu) dan fase finisher (umur 4-6 minggu). Hal inilah yang kemudian menarik untuk dikaji mengenai bagaimana kebutuhan nutrisi pada ayam broiler baik pada fase starter maupun finisher, oleh karena itu penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang pertanyaan tersebut dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi jawaban dan memberikan pemahaman terkait pertanyaan yang dikaji.
I.2 Rumusan Makalah
Dari latar belakang di atas dapat diambil rumusan permasalahan yaitu
Bagaimana tinjauan umum ayam broiler?
Bagaimana kebutuhan nutrisi ayam broiler?
Bagaimana ransum ayam broiler fase starter dan finisher?
I.3 Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu :
Untuk mengetahui tinjauan umum ayam broiler.
Untuk mengetahui kebutuhan nutrisi ayam broiler.
Untuk mengetahui ransum ayam broiler fase starter dan finisher
I.4 Manfaat Makalah
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi terkait pemahaman mengenai bagaimana kebutuhan nutrisi pada ayam broiler baik pada fase starter maupun finisher.
Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran di dalam penulisan makalah.
BAB II
ISI
II.1 Tinjauan Umum Ayam Broiler
Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Broiler telah dikenal masyarakat dengan berbagai kelebihannya, antara lain hanya 5-6 minggu sudah siap dipanen (Rasyaf, 1996).
Menurut Rasyaf (1996), broiler merupakan hasil rekayasa genetika dihasilkan dengan cara menyilangkan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika, prosesnya sendiri diawali dengan mengawinkan sekelompok ayam dalam satu keluarga, kemudian dipilihlah turunannya yang tumbuh paling cepat. Diantara mereka disilangkan kembali. Keturunannya diseleksi lagi, yang cepat tumbuh kemudian dikawinkan dengan sesamanya. Demikian seterusnya hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam broiler. Ayam ini mampu membentuk 1 kg daging atau lebih dalam tempo 30 hari, dan bisa mencapai 1,5 kg dalam waktu 40 hari.
Broiler memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi, efisiensi terhadap pakan cukup tinggi, sebagian besar dari pakan diubah menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit beradaptasi (Murtidjo, 1987). Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai mencapai dewasa (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Broiler merupakan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan dengan ternak lain, kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertambahan/produksi daging dalam waktu yang relatif cepat dan singkat atau sekitar 4 - 5 minggu produksi daging sudah dapat dipasarkan atau dikonsumsi (Murtidjo, 1987).
Keunggulan ayam ras pedaging antara lain pertumbuhannya yang sangat cepat dengan bobot badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, konversi pakan kecil, siap dipotong pada usia muda serta menghasilkan kualitas daging berserat lunak. Perkembangan yang pesat dari ayam ras pedaging ini juga merupakan upaya penanganan untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam. Perkembangan tersebut didukung oleh semakin kuatnya industri hilir seperti perusahaan pembibitan (Breeding Farm), perusahaan pakan ternak (Feed Mill), perusahaan obat hewan dan peralatan peternakan (Saragih B, 2000).
Ayam pedaging atau yang lebih dikenal dengan ayam potong menempati posisi teratas sebagai ayam yang ketersediaannya cukup banyak, disusul ayam kampung, kemudian petelur afkir. Namun, karena permintaan daging ayam yang cukup tinggi, terutama pada saat tertentu yaitu menjelang puasa, menjelang lebaran, serta tahun baru, menyebabkan pasokan daging dari ketiga jenis ayam penghasil daging tersebut tidak dipenuhi (Nuroso, 2009).
II.2 Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler
Ransum diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, mengganti jaringan yang rusak dan untuk pertumbuhan (Rasyaf, 1993). Konsumsi ransum ayam pedaging tergantung pada kandungan energi ransum, strain, umur, aktivitas, serta temperatur lingkungan (Wahju, 1992). Menurut Anggorodi (1985) nutrien yang harus ada dalam ransum adalah energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, dan air.
II.2.a Energi
Energi adalah sumber tenaga untuk aktivitas dan proses produksi dalam tubuh ternak (Anggorodi, 1985). Ayam tidak mampu mencerna selulosa, hemiselulosa atau lignin. Oleh karena itu kebutuhan energi harus dipenuhi dari polisakarida yang dapat dicerna (pati), disakarida (sukrosa dan maltosa), monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa), lemak dan protein (Wahju, 1997). Suprijatna et al. (2005) menyatakan penentuan kebutuhan energi pada ternak unggas menggunakan nilai energi metabolis. Nilai energi metabolis ini sudah memenuhi kebutuhan energi untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi.
Rasyaf (1995) standar energi ransum ayam pedaging untuk periode starter adalah 2800-3200 kkal/kg dan untuk periode akhir atau finisher energi metabolisme sebesar 2800-3300 kkal/kg. Kandungan energi dalam ransum harus sesuai dengan kebutuhan. Kelebihan energi dalam ransum akan menurunkan konsumsi, sehingga timbul defisiensi protein, asam-asam amino, mineral dan vitamin. Apabila ternak kekurangan energi, maka cadangan energi dalam tubuh akan digunakan. Pertama glikogen yang disimpan dalam tubuh akan dibongkar, selanjutnya cadangan lemak akan dihabiskan. Apabila masih kurang maka protein digunakan untuk mempertahankan kadar gula darah dan untuk membantu fungsi-fungsi vital lainnya (Wahju, 1997).
II.2.b Protein
Protein merupakan persenyawaan organik yang mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa fungsi dari protein adalah untuk memproduksi enzim-enzim tertentu, hormon, dan antibodi. Rasyaf (1995) menyatakan bahwa standar protein untuk periode starter adalah 18-23 % dan periode finisher adalah 18-22%. Ayam yang lebih tua membutuhkan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang muda. Masa awal ransum harus mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum masa pertumbuhan dan masa akhir (Amrullah, 2003).
II.2.c Serat Kasar
Berdasarkan analisis proksimat, karbohidrat dibagi menjadi dua komponen yaitu serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Anggorodi, 1985). Penggunaan serat kasar dalam ransum ayam perlu dibatasi karena makin tinggi kandungan serat kasar maka makin rendah daya cernanya (Soelistyono, 1976). Siregar (1970) yang menyatakan bahwa penggunaan serat kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%. Anggorodi (1994) menambahkan bahwa kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam alat pencernaan.
II.2.d Mineral
Ransum ternak unggas perlu mengandung kalsium dan fosfor. Menurut Wahju (1997) ransum ternak unggas perlu mengandung mineral dalam jumlah yang cukup terutama kalsium dan fosfor, karena 70%-80% mineral tubuh terdiri dari kalsium dan fosfor. Kalsium dan fosfor berfungsi di dalam pembentukan tulang, komponen asam nukleat, keseimbangan asam-basa, koordinasi otot, metabolisme jaringan syaraf, dan terlibat dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Rizal, 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebutuhan anak ayam (starter) akan kalsium (Ca) adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah 0,6%, sedangkan kebutuhan ayam akan fosfor (P) bervariasi dari 0,2-0,45%.
II.3 Ransum Ayam Broiler Fase Starter dan Finisher
Rasyaf (1994) menyatakan bahwa bahan makanan memang sumber pertama kebutuhan nutrisi broiler untuk keperluan hidup pokok dan produksinya. Sayang tidak ada bahan makanan yang sempurna, satu bahan mengandung semua nutrisi. Disinilah dasar penggunaan bahan makanan dengan sistem kombinasi bahan makanan dengan memanfaatkan kelebihan setiap bahan dan menekan kekurangan bahan-bahan yang dikehendaki.
Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum broiler harus seimbang antara kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Sesuai dengan tujuan pemeliharannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum) (Kartadisastra, 1994).
Ransum untuk ayam broiler dibedakan menjadi dua yaitu ransum untuk periode starter dan ransum untuk periode finisher (Rasyaf, 1993). Menurut Harto (1987) pemberian ransum pada ternak yang masih berumur sehari atau DOC diletakkan dikertas atau tempat pakan dari nampan yang kecil. Setelah ayam berumur diatas 1 minggu, tempat pakan harus diganti dengan tempat pakan khusus yang digantung.
Fadilah (2004) menyatakan bahwa pemberian ransum dilakukan secara adlibitum dengan pemberian ransum berbentuk: tepung pada periode starter, butiran pecah pada periode finisher dan terkadang diberikan ransum yang berbentuk pellet. Pemberian ransum bertujuan menjamin pertambahan bobot badan dan produksi daging. Jenis bahan ransum dan kandungan gizinya harus diketahui untuk mendapatkan formula ransum yang tepat (Sudaro dan Siriwa, 2007).
Alamsyah (2005) menyatakan bahwa pemberian ransum pada ternak disesuaikan dengan umur, kesukaan terhadap ransum, dan jenis ransum. Ransum untuk ayam yang belum berumur atau DOC diberikan dalam bentuk all mash. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pencernaan ransum di dalam saluran pencernaan DOC.
Pemberian air minum dilakukan secara terus-menerus atau adlibitum dengan tujuan agar ayam tidak mengalami dehidrasi sehingga produksi daging dapat optimal. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa air harus selalu tersedia dan sangat baik disediakan dari kran-kran otomatis. Konsumsi air pada ayam biasanya dua kali lebih banyak dibanding dengan konsumsi makanannya. Ayam akan mampu hidup lebih lama tanpa makanan dibanding tanpa air (Rizal, 2006).
Tabel 1. Kebutuhan zat makanan broiler fase starer dan fase finisher
Zat Nutrisi
Starter
Finisher
Protein Kasar (%)
23
20
Lemak Kasar (%)
4-5
3-4
Serat Kasar (%)
3-5
3-5
Kalsium (%)
1
0,9
Pospor (%)
0,45
0,4
EM (Kkal/kg)
3200
3200
Lisin (%)
1.2
1.0
Metionin (%)
0.50
0.38
Sumber : NRC (1984)
Rasyaf (1997) menyatakan bahwa ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan itu tidak berlebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Tujuan utama pemberian ransum kepada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan yang paling ekonomis selama pertumbuhan (Anggorodi, 1985).
Bahan-bahan makanan yang biasa dipergunakan dalam ransum unggas di Indonesia adalah: (1) jagung kuning; (2) dedak halus; (3) bungkil kelapa; (4) bungkil kacang tanah; (5) bungkil kacang kedelai; (6) tepung ikan; (7) bahan-bahan makanan berupa butir-butiran atau kacang-kacangan dan hasil ikutan pabrik hasil pertanian lainnya, dan daun-daunan sebangsa leguminosa (Wahyu, 1992).
Protein merupakan salah satu unsur yang penting bagi pertumbuhan anak broiler. Kebutuhan protein masa awal untuk anak ayam broiler di daerah tropis sebesar 23%, sedangkan untuk masa akhir sebesar 20-21% (Rayaf, 2000). Sintesis protein jaringan tubuh dan telur memerlukan asam amino esensial. Defisiensi asam amino esensial di dalam pakan menyebabkan pembentukan protein jaringan dan tubuh terhambat atau tidak terbentuk. Asam amino esensial yang sulit terpenuhi kandungannya di dalam pakan seperti Sistin, Lisin dan Triptofan disebut sebagai asam amino kritis (Suprijatna et al., 2005).
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging. Broiler merupakan hasil rekayasa genetika dihasilkan dengan cara menyilangkan bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam.
Konsumsi ransum ayam pedaging tergantung pada kandungan energi ransum, strain, umur, aktivitas, serta temperatur lingkungan. Nutrien yang harus ada dalam ransum adalah energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, dan air
Pemberian ransum dilakukan secara adlibitum dengan pemberian ransum berbentuk tepung pada periode starter, butiran pecah pada periode finisher dan terkadang diberikan ransum yang berbentuk pellet. Pemberian ransum bertujuan menjamin pertambahan bobot badan dan produksi daging.
III.2 Saran
Adapun Saran penulis sehubungan dengan bahasan makalah ini, kepada rekan-rekan mahasiswa agar lebih meningkatkan, menggali dan mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana kebutuhan nutrisi pada ayam broiler baik pada fase starter maupun finisher.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. P. T. Gramedia, Jakarta.
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.
Fadilah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kartadisastra, H. R., 1994. Pengelolaan Pakan Ayam. Kanisius, Yogyakarta.
Kartasujana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta.
Nuroso, 2009. Panen Ayam Pedaging dengan Produksi 2x Lipat. Penebar Swadaya, Jakarta.
N.R.C; 1984. Nutrient Requirement of poultry. 8 th Ed. National Academy of Science.
Rasyaf, M. 1996. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius.Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Bogor.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pustaka Wirausaha Muda. PT. Loji Grafika Griya Sarana, Bogor
Siregar, A.P., dan M. Sabrani. 1970. Teknik Modern Beternak Ayam. C.V. Yasaguna, Jakarta.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono., dan R, Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta