KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
11.1
Pengertian dan Prinsip Segitiga Api Dalam bab kebakaran hutan dan lahan materi mengacu pada buku Dr. Lailan Syaufina tentang kebakaran hutan dan lahan di indonesia : perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran terbit tahun 2008. Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang terjadi sejak ribuan tahun silam di berbagai pelosok bumi yang terkait dengan proses proses kimiawi, fisika, dan mekanika fluida. Sejumlah ekosistem tertentu, seperti formasi vegetasi di hutan musim Asia untuk jenis jati (Tectona grandis L. f.), Shorea robusta di daratan India, dan Pinus dan Pinus merkusii di Sumatra Utara, bahkan telah beradaptasi dengan api secara alami. Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan nonhutan. Kebakaran yang terjadi di Indonesia sering kali membakar areal hutan dan areal nonhutan dalam waktu bersamaan akibat penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan nonhutan, atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi istilah yang melekat untuk kejadian kebakaran di Indonesia. Prinsip segitiga api merupakan prinsip dimana proses pembakaran terjadi apabila ada tiga unsur yang bersatu, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas . Dalam prinsip segitiga api, jika salah satu dari ketiganya tidak ada maka proses pembakaran tidak akan terjadi. Prinsip tersebut dikenal dengan Prinsip Segitiga Api (Gambar 1.1) yang menjadi kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan sekaligus dalam upaya pengendalian kebakaran.
Gambar 11.1. Prinsip Segitiga Api Bahan bakar dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan merupakan hasil dari proses fotosintesis, yaitu suatu proses kimia di mana karbondioksida, air, dan energi matahari bersatu menghasilkan selulosa, lignin, dan komponen kimia lainnya. Proses dekomposisi dan pembakaran membalikkan proses tersebut. Dekomposisi merupakan proses yang berjalan lambat dan melepaskan panas yang sulit terlihat dalam periode 1
waktu yang lama. Sementara itu, kebakaran melepaskan energi panas yang disimpan melalui proses fotosintesis tersebut dengan cepat. Secara sederhana hubungan antara proses fotosintesis dengan pembakaran dapat digambarkan sebagai berikut. Fotosintesis: CO2 + H20 + energi matahari Pembakaran: C6H1206 + 02 + suhu penyalaan
C6Hn06 + 02 CO2 + H20 + panas
Pada proses fotosintesis, energi matahari terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran, energi berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran (combustion) juga menghasilkan beberapa jenis gas, terutama karbondioksida, uap air, dan partikel-partikel. Sering kali kita berpendapat bahwa nyala api (flame) adalah api atau kebakaran (fire) itu sendiri sebagai aspek kebakaran yang menarik perhatian. Sebagaimana yang diterangkan oleh Pyne et al. (1996), sebenarnya kebakaran (api) merupakan wujud dari reaksi kimia, sedangkan nyala api adalah suatu fenomena fase gas sebagai salah satu bagian saja dari proses kebaka ran. Bahan bakar hutan merupakan seluruh bahan vegetatif yang dapat ditemukan di dalam hutan yang terdiri atas susunan selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta kandungan komponen ekstraktif dan mineral. Selulosa (C6H1006) merupakan komponen utama dalam jaringan tanaman berupa karbohidrat dengan struktur rantai glukosa yang panjang sekitar 15.000 sampai 20.000 unit dengan berat molekul antara 300.000 sampai dengan 500.000 Dalton. Panas pembakaran dari selulosa dan hemiselulosa sekitar 3850 kalori per gram, lebih rendah daripada lignin dan zat ekstraktif tumbuhan. Berat molekul lignin berkisar antara 400 hingga 960 Dalton dengan panas pembakaran kurang lebih 5860 kalori per gram. Pada tanaman hidup, lignin merupakan 15% hingga 35% dari berat kering tanaman. Adapun pada kayu yang sudah membusuk, kandungan ligninnya dapat mencapai 75%. Sementara itu, kandungan komponen ekstraktif bervariasi dari 0,2 hingga 15% dengan panas pembakaran sekitar 7720 kalori per gram dan berbeda-beda untuk setiap spesies tanaman. Menurut Chandler et al. (1983a), dua kelompok ekstraktif yang penting dalam kebakaran adalah terpenes dan resin. Kandungan bahan bakar hutan lainnya adalah mineral sekitar 5 sampai 10%. Dalam kebakaran hutan, kandungan mineral memegang peranan penting sebagai penghambat penjalaran api. Lebih jauh Artsybashev (1983) menyatakan bahwa kayu mengandung sekitar 42% oksigen dari kandungan totalnya sehingga kayu termasuk bahan yang teroksidasi. Oleh karena itu, kayu tidak dapat melepaskan panas dalam jumlah besar selama oksidasi akhirnya dalam proses pembakaran sebagaimana halnya batu bara dan minyak. Meskipun demikian, oksidasi awal menyebabkan molekul hidrokarbon menjadi sangat tidak stabil. Molekul tersebut dapat terdekomposisi pada saat prapenyalaan yang rendah. Dalam proses dekomposisi tersebut, sebagian gas akan dilepaskan (gas volatil) akan bercampur dengan udara dan mulai terbakar dengan nyala api. Oleh karena itulah, kayu merupakan bahan yang mudah terbakar.
2
11.2.
Proses Pembakaran Berdasarkan tahapannya, DeBano et al., (1998) menggolongkan proses pembakaran ke dalam lima fase, yaitu pre-ignition (prapenyalaan) yang me1iputi dehidrasi dan pirolisis, flaming (penyalaan), smoldering (pembaraan), glowing (pemijaran), dan extinction (padam). Semua tahapan tersebut berjalan secara berkesinambungan. a) Pre-ignition (prapenyalaan) Dehidrasi, distilasi, dan pirolisis merupakan proses-proses yang dominan dalam fase pra penyalaan. Oleh karena bahan bakar yang berada di depan nyala api terpanaskan oleh radiasi dan konveksi hingga mencapai suhu > 100°C maka uap air, bahan organik yang be1um terbakar, dan zat ekstraktif yang volatil akan mendidih pada permukaan bahan bakar dan mengalir ke udara (Ryan dan McMahon 1976 dalam Chandler et at. 1983a). Radiasi dan konveksi dapat memindahkan panas yang berguna untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar tetapi perpindahan panas ke bagian dalam terjadi me lalui konduksi. Distilasi bahan bakar halus (seperti dedaunan, daun jarum, dan rerumputan) pada suhu di atas 100°C menghasilkan emisi dari uap air dan zat ekstraktif yang volatil. Pemanasan dari 200 sampai 280°C pada pirolisis bahan-bahan berkayu mulai menghasilkan uap air, CO2, asam format dan asam asetat, glyoxal, dan CO (Browne 19S8 dalam DeBano et at. 1998). Gas-gas yang mudah terbakar serta uap air (seperti methana, ethana, prop ana, formaldehida, asam format, asam asetat, methanol, CO, dan hidrogen) akan dilepaskan dengan cepat dari bahan berkayu pada suhu 280 sampai SOO°C (Fritschen et al. 1970 dalam DeBano et at. 1998). Di samping itu, aliran uap air dan C02 juga membawa ter dan membentuk asap. Di atas 5OO°C, CO2 dan air bereaksi dengan arang pada permukaan bahan bakar untuk menghasilkan CO, H2, formaldehida, dan lain-lain. Pada kondisi kekurangan 02 kondensasi bahan organik yang mendidih menjadi ter dan senyawa lainnya akan terjadi. Laju penjalaran yang lambat akan mendorong produksi arang dan mengurangi produksi gas-gas yang mudah menyala dan ter. Sebaliknya, laju pembakaran yang cepat akan memproduksi gas-gas yang mudah terbakar dan ter. Setelah fase pre-ignition, Pyne et al. (1996) meletakkan fase ignition (penyalaan) sebelum fase flaming. Dijelaskan pula bahwa fase ignition merupakan fase transisi antara fase pre-ignition dan fase flaming, yakni fase yang cepat dengan reaksi eksotermik. Suhu yang diperlukan untuk terjadinya penyalaan pada kebakaran hutan umumnya sekitar 32S°C. Penjalaran api merupakan kelanjutan dari fase penyalaan. Kemungkinan terjadinya penyalaan spontan (spontaneous ignition) juga dibahas oleh Pyne et al. (1996) dan Artsybashev (1983). Penyalaan spontan biasa terjadi pada tumpukan jerami yang banyak serta tumpukan serbuk gergaji dan serpihan kayu yang biasa terdapat di dekat pabrik pemrosesan kayu pada kondisi daerah subtropis yang biasanya memiliki kelembaban udara yang rendah. Menurut Brown dan Davis (1973), penyalaan spontan umum terjadi di kawasan industri dan permukiman tetapi jarang terjadi pada kawasan hutan. Meskipun demikian, Frandsen (1993) menemukan penyalaan spontan di dalam hutan setelah dilakukan pembalakan di mana terjadi
3
penumpukan sisa-sisa pembalakan dengan kadar air yang rendah. Bahan vegetasi dapat menyala secara spontan sebagai hasil pemanasan di dalam tumpukan bila terjadi proses eksotermis yang melepaskan panas lebih cepat daripada yang hilang ke lingkungan sekitar. Dua faktor utama yang diperlukan untuk terjadinya penyalaan spontan adalah bahan bakar harus cukup berongga agar oksigen dapat leluasa masuk dan harus menghasilkan arang ketika terjadi dekomposisi thermal. Menurut Artsybashev (1983), penyalaan spontan bergantung pada konsentrasi dari bahan bakar, kepadatannya, porositasnya, kelembaban, tekanan, dan lain-lain. Kejadian penyalaan spontan tidak terlepas dari aktivitas mikroba yang dapat meningkatkan suhu di dalam tumpukan bahan bakar hingga O°C (Pyne et at. 1996). Selanjutnya, oksidasi kimiawi dapat mengambil alih proses tersebut. Dalam hal ini, kadar air me me gang peran yang penting. Tahap awal pemanasan memerlukan kadar air relatif tinggi bagi pertumbuhan bakteri (sekitar 63-92%) di mana respirasi terjadi sebagai proses oksidasi yang melepaskan karbon dioksida, air, dan panas. Lebih jauh dikatakan bahwa tumpukan bahan bakar yang kecil dan memiliki ruang udara yang lebih baik kemungkinannya kecil untuk menyala secara spontan. Oleh karena ruang udara akan meningkatkan pengeringan dalam tumpukan bahan bakar yang akan menghambat lingkungan yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. b) Flaming (Penyalaan) Fase ini merupakan reaksi eksotermis yang menyebabkan kenaikan suhu dari 300500°C sampai 1400°C (Ryan and McMahon 1976 dalam DeBano et at. 1998). Suhu maksimum yang dapat dicapai dalam kebakaran hutan adalah 1900 sampai 2200 °C dengan campuran antara gas dan udara yang ideal (Pyne et al. 1996). Akan tetapi, suhu nyala api pada umumnya adalah sekitar 700 sampai 980°C. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan 02 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan melepaskan sejumlah besar gas yang mudah terbakar. Api akan membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase tersebut dihasilkan beberapa produk pembakaran, seperti air CO2, sulfur oksida, gas nitrogen, dan nitrogen oksida. Kemudian terjadi kondensasi debu dan tetesan ter membentuk asap (smoke) sebagai proses yang penting dari fase flaming ini (DeBano et al. 1998). Hasil penelitian Syaufina et al. (2003) mengenai emisi gas rumah kaca dari kebakaran gambut di Pontianak, Kalimantan Barat menunjukkan bahwa fase flaming menghasilkan gas-gas rumah kaca (C02, CO dan NOx) yang tertinggi dengan total emisi 296.32 ppm. c) Smoldering (Pembaraan) Fase ini biasanya mengikuti fase penyalaan. Proses pembakaran dalam fase ini didominasi oleh laju penjalaran yang lambat (< 3 cm/jam pada kebakaran bawah) dan tanpa nyala api. Perlu dicatat bahwa tidak semua bahan bakar mengalami pembakaran flaming, seperti yang terjadi pada lapisan bahan organik, kayu busuk, dan tanah organik (gambut) apabila bahan bakar relatif kompak dan suplai oksigen terbatas. Smoldering merupakan fase pembakaran utama untuk jenis-jenis bahan bakar ini. Di sini, laju penjalaran api akan menurun karena bahan bakar tidak mampu menghasilkan gas-gas yang mudah terbakar pada konsentrasi dan laju yang diperlukan untuk mendukung 4
pembakaran yang sempurna. Akibatnya, panas yang dilepaskan dan suhu yang dieapai akan menurun. Dengan demikian, sejumlah besar gas akan terkondensasi menjadi asap. Asap akan banyak terkonsentrasi dekat permukaan dan emisi atmosfer menjadi dua kali atau tiga kali lebih besar daripada fase flaming. Selanjutnya, emisi partikel hasil pembakaran dari fase smoldering jauh lebih besar daripada fase flaming. Pada fase smoldering, gas-gas volatil dan uap air yang dihasilkan sebagai ciri pirolisis untuk fase pre-ignition dan flaming tidak dapat berkembang. Akibatnya, emisi partikel dapat meningkat menjadi sepuluh kali lipat. Arang akan terbentuk di permukaan bahan bakar kayu pada saat smoldering. Emisi partikel ini dapat dilihat pada nilai Faktor Emisi (FE) sebagai istilah dalam kebakaran hutan yang menunjukkan jumlah partikel atau gas yang dilepaskan oleh suatu kebakaran ke atmosfer dengan satuan kg/Mg dari bahan bakar yang terbakar. Tabel 1.1 menunjukkan emisi partikel dari beberapa jenis bahan bakar sebagai fungsi dari fase pembakaran dan tingkat smoldering. Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa emisi partikel pada fase smoldering jauh lebih tinggi daripada yang dihasilkan pada fase flaming, bahkan sampai sepuluh kali lipat. Berbeda dari emisi partikel, emisi gas-gas rumah kaca dari fase smoldering ternyata lebih rendah daripada fase flaming karena fase flaming merupakan fase pembakaran yang sempurna sehingga sebagian besar gas yang mudah terbakar dilepaskan ke atmosfer. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian pembakaran vegetasi bawah di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat yang menghasilkan total emisi gas rumah kaca pada fase flaming sebesar 296.33 ppm lebih besar daripada fase smoldering sebesar 257.32 ppm (Syaufina et al. 2003). Tabel 11.1. Faktor Emisi (FE) partikel untuk beberapa jenis bahan bakar sebagai fungsi dari fase pembakaran dan tingkat smoldering (Johansen et al. 1985 dalam DeBano et al. 1998). Jenis Bahan Bakar Rumput Tumbuhan serasah
bawah
dan
Sisa tebangan yang tersebar Sisa tebangan bertumpuk
Bahan bakar semak Semua bahan bakar
yang
Fase Pembakaran flaming flaming
Tingkat Smoldering Tidak ada Rendah
Faktor Emisi Partikel (kg/Mg) 7.5 12.5
flaming flaming flaming flaming flaming
Sedang sedang Tidak ada sedang Tidak ada
25.0 37.5 10.0 20.0 12.5
flaming flaming flaming flaming smoldering
sedang berat Tidak ada sedang sempurna
25.0 37.5 12.5 25.0 75.0
5
d)
Fase Glowing (pemijaran) Fase ini merupakan bagian akhir dari fase smoldering, namun glowing tidak sama dengan smoldering. Pada waktu api mencapai fase glowing, kebanyakan dari gas volatil sudah dilepaskan dan oksigen kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang sudah menjadi arang. Bahan bakar akan teroksidasi dan terbakar tanpa nyala sampai suhu menurun dan pembakaran tidak terjadi lagi atau sampai bahan bakar berubah menjadi abu yang tidak terbakar lagi. Bahan bakar yang tersisa terbakar dengan warna kuning. Suhu puncak dari bahan bakar yang terbakar berada pada kisaran suhu 300 hingga 600°C. Selama proses glowing, hanya sedikit atau bahkan tidak ada asap yang dihasilkan. Hasil dari fase glowing ini, terutama adalah CO, CO2, dan abu. Fase ini merupakan fase yang paling efisien karena laju pembakaran yang rendah, suplai oksigen yang baik dan volume yang rendah dari gas volatil yang mudah terbakar. e)
Fase Extinction (padam) Kebakaran akhirnya akan berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia habis atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk pembakaran sehingga mempercepat terjadinya proses extinction (padamnya kebakaran). Fenomena dalam fase-fase pembakaran dalam proses pembakaran vegetasi bawah di lahan gambut di Pontianak, Kalimantan Barat menunjukkan paku-pakuan yang sudah ditebas dan dikeringkan sebelum dilakukan pembakaran. Biasanya, para petani lahan gambut di daerah tersebut juga mempraktikkan hal yang sama, yaitu menebas, mengeringkan, dan membakar untuk kemudian menanami lahan dengan komoditas pertanian, seperti lidah buaya, sayuran, dan nanas. 11.3. Pola Penjalaran Kebakaran Hutan Dan Tipe Kebakaran Hutan Pola penjalaran api diterangkan dengan baik oleh Chandler et al. (1983a). Pada awalnya, api menjalar karena adanya kontak langsung antara permukaan bahan bakar dengan nyala api yang berada di belakangnya atau di atasnya. Bila kondisinya memungkinkan, maka api akan menjalar dan bergerak secara bebas karena oleh faktorfaktor yang dapat memengaruhi perilaku api. Gambar 2.2 menunjukkan tahap awal dari perkembangan api pada kondisi tenang di bawah tegakan hut an. Tidak lama setelah penyalaan mulai terjadi, nyala api bergerak menuju ke arah pusat daerah penyalaan (a). Sete1ah 10 hingga 15 menit, api membentuk seperti kue donat dan nyala api membengkok ke arah dalam (b). Pada kondisi berangin atau lahan yang berlereng miring, penjalaran api akan mengalami perubahan, seperti terlihat pada Gambar 2.3 (Chandler et al. 1983a). Tidak lama sete1ah proses penyalaan dimulai, nyala api akan membengkok ke arah atas lereng atau arah angin (a). Sete1ah bagian tengah terbakar, maka nyala api bagian belakang akan menjalar secara perlahan melawan arah angin dengan tinggi nyala yang rendah, sedangkan bagian depan akan menjalar sesuai dengan kecepatan angin. Di bawah pengaruh angin yang kuat, penjalaran api akan berbeda dari kedua
6
kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada situasi tersebut, nyala api hanya akan bergerak searah dengan arah angin (Chandler et al. 1983a). Proses pemanasan dan pembakaran bahan bakar di sekitarnya didukung oleh berbagai proses perpindahan panas, seperti konveksi, radiasi, dan perpindahan massa bahan bakar padat.
b a Gambar 11.2 lahap Awal Perkembangan Api pada Kondisi tenang (Chandler et at. 1983a)
b a Gambar 11.3 Tahap Awal Perkembangan Api pada Kondisi Berangin dan Berlereng (Chandler et al., 1983a) 11.4. Tipe Kebakaran Hutan Sejalan dengan pola penjalaran api, kebakaran hutan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu kebakaran bawah, kebakaran permukaan, dan kebakaran tajuk. Pengelompokkan tersebut terutama didasarkan pada bahan bakar yang mendominasi proses kebakaran. a. Kebakaran bawah ( Ground fi re ) Api membakar bahan organik di bawah permukaan seresah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala sehingga sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak lingkungan. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 merupakan contoh nyata dari kebakaran hutan yang didominasi oleh kebakaran gambut (bawah). Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering dan biasanya berdalam 2 jangka waktu cukup lama dengan keeepatan penjalaran sekitar 1.5 g/m /jam atau 0.025 cm/jam. Pola penjalaran secara terperinci dapat dilihat pada gambar 11.4. Menurut
7
Arstybashev (1983), kebakaran gambut dapat digolongkan kedalam 3 (tiga) kelas yaitu ; Rendah : bila kedalaman pembakaran < 25 cm Sedang : bila kedalaman pembakaran 25 - 50 cm Tinggi : bila kedalaman pembakaran > 50 em
Gambar 11.4. Pola Penjalaran Api pada Kebakaran Gambut (DeBano et al. 1998) b. Kebakaran permukaan (Sur face fir e) Pada kebakaran ini, api membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembalakan, dan bahan bakar lain yang terdapat di lantai hutan. Energi kebakaran bisa rendah atau tinggi. Dalam penjalarannya, api dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegkan hutan. c. Kebakaran tajuk ( Crown fir e ) Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin sehingga api menjalar dengan sangat cepat dan sulit dikendalikan. Kebakaran ini biasanya terjadi pada tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan. Di samping itu, kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar terbawa angin dan menimbulkan kebakaran bam di tempat lain.
8
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi \ Perilaku Api Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perilaku api digaruhi oleh unsur-unsur dalam segitiga lingkungan api yaitu bahan bakar, cuaca, dan topografi. Oleh karena itu, perilaku api selalu berubah menurut waktu, ruang, atau keduanya berhubungan dengan perubahan unsur-unsur lingkungan tersebut. Secara ringkas dapat diterangkan dalam Tabel 11.2 (Pyene et al. 1996). 11.5.
Tabel 11.2. Unsur-Unsur Lingkungan yang Memengaruhi Perilaku Api Unsur Lingkungan Pengaruh Muatan bahan bakar Menentukan ketersediaan energy maksimum untuk terbakar Susunanya menentukan aerasi, penjalaran api secara vertikal dan horisontal Distribusi ukuran dapat mempengaruhi kemudahan penyalaan awal Kandungan kimia dapat meningkatkan (seperti resin, minyak) atau menurunkan (kandungan mineral) kemampuan untuk terbakar (flamabilitas) Iklim Menentukan produktivitas vegetative sehingga laju akumulasi bahan bakar PresipitasiMeningkatkan kadar air bahan bakar, bersama dengan Kelembaban kelembaban relative yang tinggi, menurunkan kemudaha penyalaan dan laju pembakaran dan penjalaran api Angin Menyebabkan pengeringan bahan bakar Meningkatkan ketersediaan oksigen untuk pembakaran Prapemanasan dan menyalakan bahan bakar sebelum terjadinya kepala api dan dapat menghasilkan penyalaan di depan kepala api Topografi Menyebabkan variasi dalam iklim lokal Dapat menyediakan sekat bakar alami Menentukan sebagian distribusi komunitas vegetasi yang flamabilitasnya beragam
Sumber: Whelan (1995) dalam DeBano et at. (1998)
11.6. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia Dilihat dari kelompok faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, faktor alam tampaknya hanya memegang peranan yang sangat kecil, sedangkan faktor manusia menyebabkan hampir 100% dari kejadian kebakaran hutan dan lahan, baik sengaja maupun tidak sengaja. a) Faktor Alam Kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, seperti petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Di negara-negara subtropis, faktor alam memegang peranan penting dalam
9
menyebabkan kebakaran. Hal itu didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar, misalnya kelembaban yang rendah. Petir merupakan faktor penyebab kebakaran yang penting di negara-negara subtropis. Di Kanada misalnya, petir menjadi penyebab hampir 42% kebakaran yang terjadi. Di Amerika Serikat, dalam kurun waktu 50 tahun, 9% kebakaran disebabkan oleh petir. Bahkan di daerah Rocky Mountain, kebakaran yang disebabkan oleh petir mencapai 64% dan di wilayah Pasifik mencapai 31 % (Pyne et al. 1996). Berbeda dari kondisi di negara subtropis, Indonesia yang berada di negara tropis jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Kejadian petir di Indonesia hampir tidak mungkin menyebabkan kebakaran karena selalu bersamaan dengan terjadinya hujan. Hasilnya, percikan api dari petir yang mengenai bahan bakar tidak dapat berkembang dan menjalar ke bagian yang lebih luas. Beberapa daerah yang berdekatan dengan gunung berapi yang masih aktif memiliki risiko terhadap bahaya kebakaran karena udara yang dihasilkan dapat mengeringkan bahan bakar yang ada sehingga kemampuan bahan bakar untuk terbakar (flammabilitas) menjadi meningkat. Batu bara yang terbakar dan tetap membara juga dapat menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Biasanya batu bara tersebut terdeposisi di bawah permukaan tanah. Pada kondisi cuaca kering, akan terjadi penyalaan dan dapat membakar bahan bakar yang berada di atasnya. Fenomena tersebut banyak terjadi di lokasi-lokasi di Kalimantan, terutama Kalimantan Timur. b) Faktor Manusia Tidak dapat dipungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia banyak disebabkan oleh ulah manusia. Kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 menguak misteri yang menyelimuti latar belakang atau penyebab peristiwa tersebut. Berbagai studi dan analisis telah dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten, baik lembaga pemerintahan, maupun organisasi-organisasi nasional atau internasional. Hampir seratus persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Tampaknya, kesengajaanlah yang lebih banyak menyebabkan terjadinya kebakaran. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kejadian kebakaran di Indonesia yang sebagian besar terkait akar permasalahan sosial ekonomi. Hal itu diperjelas oleh hasil penelitian CIFOR/ICRAF mengenai penyebab kebakaran hutan di Indonesia yang mengambil studi kasus kebakaran tahun 1997/ 1998 dimana ditemukan bahwa faktor sosial ekonomilah yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Penelitian CIFOR/ICRAF di sepuluh lokasi penelitian di enam provinsi, Sumatra dan Kalimantan yang terdiri atas Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah (a) api digunakan dalam pembukaan lahan; (b) api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah; (c) api menyebar secara tidak sengaja; dan (d) api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam. Sementara itu, penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan meliputi (a) penguasaan lahan; (b) alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disinsentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (e) dampak dari perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan. 10
i.
Penyiapan Lahan Dari penjelasan berbagai studi yang telah dilakukan sangat jelas bahwa penyebab utama dari kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah ulah manusia dalam kegiatan penyiapan lahan, baik yang dilakukan oleh masyarakat tradisional maupun oleh pengelola HTI dan perkebunan. Konversi lahan hutan menjadi lahan nonhutan, baik untuk kepentingan pertanian, perladangan, maupun perkebunan biasanya disertai kegiatan pembakaran. Kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam kegiatan penyiapan lahan di Sumatra maupun Kalimantan sebagai wilayah yang rawan kebakaran. Pada beberapa dekade terakhir, tampak kecenderungan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal-areal konversi hutan. Perubahan penggunaan lahan terjadi sedemikian pesat, terutama perubahan penutupan hutan yang dari waktu ke waktu semakin berkurang. Kecenderungan itu terjadi di setiap daerah, terutama di luar Pulau Jawa. Berdasarkan fungsinya, Departemen Kehutanan (2006a) mengelompokkan hutan di Indonesia dalam beberapa tipe hutan meliputi hutan lindung (29.1 juta ha), hutan produksi (43.95 juta ha), hutan konservasi (28.17 juta ha), dan hutan konversi (13.67 juta ha). Di sekitar kawasan hutan tersebut terdapat lebih kurang 10,2 juta masyarakat miskin yang bertempat tinggal di dekat hutan, di mana enam juta di antaranya hanya menggantungkan hidupnya hanya pada hasil hutan. Saat ini, kondisi hutan di Indonesia sangat memprihatinkan. Laju kerusakan atau deforestasi hutan semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1950, Indonesia masih memiliki hutan tropika basah yang sangat luas. Lima puluh tahun kemudian, 40% dari luas total hutan Indonesia mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Penutupan lahan hutan berkurang dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. Laju deforestasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada era 1980-an, laju deforestasi di Indonesia sekitar 1 juta ha dan kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha di awal tahun 1990an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tahunan Indonesia mengalami peningkatan menjadi 2 juta ha (FWI/GFW 2001). Bahkan menurut catatan Departemen Kehutanan (2006a), pada awal tahun 2000-an laju deforestasi telah meningkat menjadi 2,83 juta ha/tahun atau sekitar 35 ha/menit atau se1uas 3-5 kali luas lapangan sepak bola per menit sehingga kawasan hutan yang terdegradasi hingga tahun 2006 seluas 59,7 juta ha. Menurut hasil penelitian Departemen Kehutanan (2006b), penyebab laju deforestasi yang demikian tinggi dapat dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu penyebab internal dan eksternal. Faktor penyebab internal , antara lain kesenjangan antara pasokan dengan permintaan kayu, menurunnya pengusahaan hutan, produktivitas dan pembangunan hutan tanaman yang rendah, adanya konflik lahan, ilegal logging, dan kebakaran hutan. Sementara itu, penyebab eksternal antara lain kegiatan pengembangan wilayah, adanya kegiatan pertambangan di kawasan hutan, kenaikan harga BBM, tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas pendidikan. Di daerah Bengkalis, Riau sebagai salah satu contoh fenomena konversi hutan saat ini. Berdasarkan interpretasi citra satelit dapat dilihat bahwa luas hutan di daerah tersebut telah berkurang sebesar 54% dalam kurun waktu dua tahun (2002-2004). Perubahan terjadi pada adanya peningkatan lahan perkebunan (54%), permukiman (257%), dan lahan terbuka (1287%). Bahwa daerah Bengkalis pada tahun 2002 didominasi oleh areal hutan. Hanya dalam waktu dua tahun telah terjadi perubahan
11
drastis. Terjadi alih fungsi hutan yang sedemikian besar menjadi areal lain, seperti kebun, bekas tebangan, pemukiman, rawa, areal semak belukar, dan tanah terbuka. Peningkatan luas areal perkebunan banyak didorong oleh alasan sosial ekonomi. Adanya kebijakan yang terkait denganpemberian insentif pada bidang usaha di sektor perkebunan menyebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit meningkat drastis di hampir seluruh wilayah Indonesia, khususnya Sumatra dan Kalimantan. Pembukaan lahan tidak hanya dilakukan oleh pengusaha komersial tapi juga oleh masyarakat. Pembukaan lahan tersebut, sering kali menggunakan api dengan alasan murah, cepat, dan mudah. Peningkatan lahan terbuka juga terlihat tinggi, demikian juga areal bekas tebangan (Logged over area/ LOA ). Kedua tipe areal tersebut sangat rentan terhadap bahaya kebakaran. Pasalnya, kedua tipe lahan tersebut memiliki muatan bahan bakar yang berlimpah, terutama bahan bakar permukaan. Selain itu, permukaan lahan akan banyak terekspos terhadap sinar matahari sehingga terjadi intensifikasi proses pengeringan bahan bakar. Akibatnya, apabila ada api yang tersulut maka kebakaran akan mudah terjadi dan api akan menjalar secara tidak terkendali dan sering kali membakar areal lain di dekatnya. Salah satu parameter kejadian kebakaran adalah adanya hotspot (titik panas) yang hingga saat ini masih merupakan satu parameter yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya sebagai indikator terjadinya kebakaran. Kecenderungan yang sarna terjadi di daerah lain, seperti Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Berdasarkan penggunaan lahan di Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2001 sampai dengan 2005, hotspot yang terdeteksi tertinggi terjadi pada tahun 2005 (1703 hotspot) dan terendah terjadi pada tahun 2003 (303 hotspot). Jika dilihat dari tipe areal yang terbakar, hotspot rata-rata tertinggi ditemukan pada areal perkebunan (264) diikuti pada areal HPH (259), areal penggunaan lain (157), dan HTI (103) (Hendriana 2006). Pada umumnya, penyiapan lahan untuk konversi lahan tersebut dilakukan dengan menggunakan api. Api sering kali berkembang menjadi besar dan tidak terkendali. Dampak kebakaran akan bertambah parah jika terjadi di lahan gambut yang akan menghasilkan kabut asap yang tebal. Pembukaan ladang dengan pembakaran merupakan cara yang dianggap mudah dan cepat serta tidak memerlukan modal yang besar dan tenaga yang banyak. Teknologi pembukaan lahan dengan pembakaran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat dalam skala kecil, namun juga dilakukan oleh perusahaan perkebunan atau HTI dalam skala besar. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1998) dalam Hendriana (2006) menyatakan bahwa biasanya perusahaan melakukan kegiatan pembukaan lahan dengan cara cincang, rumpuk, bakar. Biaya pembukaan lahan dengan membakar hanya seperempat dari biaya pembukaan lahan tanpa bakar. Artinya, tidak ada insentif ekonomi bagi perusahaan untuk melaksanakan pembukaan lahan tanpa bakar. Pembukaan lahan dengan pem bakaran hanya membutuhkan waktu 28 HOK (hari orang kerja), sementara pembukaan lahan secara mekanis untuk hutan primer membutuhkan 80 HOK ditambah 12 jam kerja traktor. Untuk hutan sekunder diperlukan 53 HOK ditambah 10 jam kerja traktor. Angka-angka tersebut memiliki implikasi terhadap biaya dan investasi (Anonimous, 1998 dalam Hendriana, 2006). 12
Terjadinya kebakaran di Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Rokan Hilir, tidak hanya memberi dampak terhadap lingkungan lokal, tetapi juga sampai ke negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Hal itu terjaru karena lokasi geografis dari Kabupaten Rokan Hilir berada dekat dengan Selat Malaka. Hasilnya, kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran akan menyebar dengan mudah ke negara tetangga tersebut. Sementara itu, di daerah lain seperti Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada periode tahun 2001-2004, konversi hutan alam menjadi areal penggunaan lain mencapai 45,6%, termasuk menjadi kategori nonhutan alam dan tanah terbuka. Hal itu mengakibatkan bertambahnya luasan lahan nonhutan alam yang relatif besar, yaitu seluas 125.175,95 hektar atau sekitar 43,21 % dari luas lahan nonhutan alam pada tahun 2001. Lahan nonhutan alam tersebut mencakup areal perkebunan, pertanian, semak belukar, areal HPH, HTI, dan sebagainya. Tanah terbuka dapat diartikan sebagai areal tanpa penutupan vegetasi atau sangat sedikit tertutup oleh vegetasi. Hasil penelitian Sukmawati (2006) menunjukkan bahwa luas tanah terbuka di Kabupaten Pontianak mengalami penurunan sebesar 32.055,83 hektar atau sekitar 29,92%. Penurunan luas areal terbuka itu disebabkan oleh perubahan penggunaannya untuk perkebunan. Luasan badan air yang meliputi sungai, danau, waduk, dan parit mengalami kenaikan sebesar 16.232,53 hektar atau sekitar 74,64%. Hal itu disebabkan oleh semakin menurunnya penutupan lahan berupa hutan alam yang didominasi oleh vegetasi pohon dengan penutupan tajuk yang berat sehingga badan air yang tadinya tertutup oleh tajuk pepohonan menjadi jelas terlihat saat dilakukan potret udara. Sementara menurut hasil overlay, sebaran hotspot di Kabupaten Pontianak selama periode tahun 2003-2005 dengan peta pemitupan lahan Kabupaten Pontianak tahun 2004, jumlah deteksi hotspot tertinggi terjadi pada tipe penutupan lahan berupa areal nonhutan alam, di mana jumlah hotspot yang terdeteksi pada areal ini mencakup 55,7% dari jumlah hotspot yang terjadi di wilayah Kabupaten Pontianak pada periode tahun 2003-2005. Pada tipe penutupan lahan berupa tanah terbuka, jumlah deteksi hotspot mencakup 20,95% dari jumlah hotspot yang terjadi di wilayah Kabupaten Pontianak pada periode tahun 2003-2005. Sementara itu, pada tipe penggunaan lahan untuk hutan alam dan badan air, jumlah deteksi hotspot masing-masing mencakup 12,38% dan 10,5% dari jumlah hotspot yang terjadi di wilayah Kabupaten Pontianak pada periode tahun 2003-2005. Terdeteksinya hotspot di sekitar badan air mengindikasikan terjadinya pembukaan lahan di sekitar badan air, terutama di sekitar aliran sungai. Penurunan persentase jumlah deteksi hotspot pada tanah terbuka disebabkan oleh perubahan tipe penutupan lahan dari tanah terbuka menjadi areal nonhutan alam (Sukmawati 2006). ii. Puntung Rokok Puntung rokok sering dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan sekaligus dijadikan sebagai alasan utama dan paling mudah dalam laporan kejadian kebakaran. Apakah benar puntung rokok dapat menyebabkan kebakaran? Hingga saat ini belum ada bukti terdokumentasi yang menggambarkan hal tersebut. Namun beberapa penelitian di perguruan tinggi membuktikan bahwa puntung rokok tidak dapat menyebabkan kebakaran. 13
Hasil observasi lapangan Apriansyah (2004) yang melakukan percobaan pembakaran dengan puntung rokok di bawah tegakan HTI Acacia Mangium di daerah Sumatra Selatan membuktikan hal itu. Potensi kebakaran di daerah tersebut cukup tinggi dengan banyaknya penumpukkan bahan bakar di lantai hutan. Percobaan dilakukan dengan menggunakan puntung rokok hingga lima batang yang disulutkan pada tumpukan bahan bakar di beberapa waktu pembakaran berbeda. Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa pun tung rokok tidak dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan karena bara puntung rokok tidak cukup panas untuk memanaskan bahan bakar sampai titik nyala. Setelah dilakukan studi lebih lanjut, faktor-faktor penyebab kebakaran di daerah tersebut lebih mengarah pada ulah manusia, bukan disebabkan oleh bara puntung rokok. Kegiatan-kegiatan yang berhasil diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kebakaran yaitu: pembakaran untuk pembukaan kebun loncatan api dari kebun/hutan orang memancing ikan at au pencari kodok sabotase membakar hutan karena ada kasus/dendam dengan perusahaan membakar hutan karena jalan menuju ladang/kebun mereka rusak ketidaksengajaan pekerja HTI Sementara itu, penelitian lain (Widyanto 2005) juga dilakukan di areal HTI Acacia crassicarpa di lahan gambut di Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa percobaan pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah dan alangalang yang terdapat di atasnya. Hal itu terjadi karena panas dari puntung rokok tidak cukup untuk mengakibatkan terjadinya kebakaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadaan suhu dan kelembaban yang memicu terjadinya kebakaran ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap puntung rokok. Kecepatan angin yang tinggi ternyata hanya mempercepat proses pembakaran pada bahan bakar yang terdapat pada puntung rokok bahkan dapat menyebabkan puntung rokok pa dam. Sementara itu, pengaruh jenis rokok juga tidak berdampak secara signifikan terhadap proses pembakaran. Jenis rokok yang sulit habis dan memerlukan waktu cukup lama dalam menghabiskan bahan bakarnya sendiri adalah rokok jenis kretek tanpa filter. Alasannya, karena bentuk dan ukurannya yang padat dan cukup besar, sedangkan untuk jenis kretek dengan filter dan rokok putih memerlukan waktu tidak lama untuk menghabiskan bahan bakarnya karena ukuran dan kemasannya yang tidak padat dan cenderung lebih kecil. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan di lapangan, puntung rokok tidak terbukti dapat menyebabkan terjadinya kebakaran (Widyanto 2005). Hasil studi dan analisis ASEAN dan ADB (2001) mengelompokkan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 yang menghancurkan lebih dari 9 juta hektar hutan dan lahan ke dalam beberapa faktor, yaitu penyebab langsung, faktor pendukung, dan faktor tidak langsung. 1. Penyebab Langsung Menurut studi yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI (1998),
14
kebakaran dan asap yang terjadi pada tahun 1982-1983, 1987, 1994, 1997, dan 1998 disebabkan oleh beberapa faktor berikut. a. Kurangnya komitmen institusi di tingkat regional, nasional, provinsi, dan lokal dalam melakukan investasi pada pencegahan kebakaran. b. Meningkatnya kerentanan lahan hutan terhadap kebakaran karena manajemen lahan hutan yang tidak berkelanjutan dan praktik pembalakan. c. Konflik dalam peranan dan tanggung-jawab di antara institusi-institusi yang terkait dengan pengelolaan hutan dan lahan serta kebakaran hutan, terutama dalam hal mandat, wewenang, sumber keuangan, dan akuntabilitas. d. Ketidakpedulian institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengelola lahan hutan dan kebakaran hutan terhadap siklus alami kebakaran dan asap di daerahnya dan pengabaian terhadap pengumuman peringatan dini kedatangan El-Nino. e. Kurangnya informasi dan sistem komunikasi, termasuk kurang efektifnya sistem terse but. f. Kepentingan terselubung yang membatasi isu-isu yang terkait dengan kebakaran dan asap untuk kepentingan sektor, badan usaha, atau individu tertentu. g. Kurangnya insentif untuk memajukan teknik-teknik penebangan kayu yang mengarah pada hasil produksi hutan yang berkelanjutan dan pembukaan lahan secara mekanis. h. Kurangnya penelitian tentang pemanfaatan sisa-sisa kayu sebagai input produktif dan tentang pengembangan produk-produk perkayuan. 1. Ketidakpedulian sektor swasta (industri, pertanian skala besar, dan petani kecil) terhadap konsekuensi kebakaran skala besar terhadap lingkungan hidup. J. Hak-hak properti tidak dispesifikasikan dengan baik sehingga menyebabkan konflik di antara ke1as-ke1as yang mengklaim lahan (penduduk setempat, pemerintah, transmigran, industri). k. Ketidakpedulian pemerintah dan pengusaha terhadap hak-hak ulayat, strategi penghidupan, dan tradisi yang mengikis hukum adat, kepaduan sosial di antara ke1ompok pribumi, dan pengetahuan tradisional mengenai pencegahan dan pengendalian kebakaran. 1. Kurangnya pengetahuan tentang pencegahan kebakaran dan teknik-teknik mitigasi yang diperburuk oleh kurangnya prosedur operasi dan pengaturan kelembagaan yang memadai untuk mengoordinasikan kegiatan mitigasi di tingkat nasional, regional, dan internasional. m. Kurangnya kapasitas pencegahan dan mitigasi, misalnya personel yang terlatih, peralatan, dan fasilitas di tingkat regional, nasional, dan lokal. n. Kurangnya atau tidak adanya komitmen bagi pendanaan kegiatan pencegahan dan mitigasi di tingkat regional, nasional, provinsi, dan lokal. 2. Faktor Pendukung Beberapa faktor pendukung berdasarkan hasil kajian tersebut meliputi faktor politik, ekonomi, fisiografis, sosiokultural, dan institusi di mana yang terpenting adalah kebijakan dan institusi. Ketidaklengkapan kebijakan dan konflik dalam penggunaan tanah, kepastian masa kelola, dan pembangunan ekonomi memperbesar tingkat bahaya kebakaran. 15
3. Faktor Tidak Langsung Variasi iklim dinyatakan sebagai faktor tidak langsung pada kejadian kebakaran hutan dan lahan. Iklim merupakan faktor pengendali yang menentukan kejadian dan frekuensi kebakaran. Fenomena iklim yang berhubungan erat dengan kebakaran adalah El Nino yang terjadi secara periodik dan mengganggu cuaca global. El Nino merupakan fenomena oceanografis yang menimbulkan pemanasan yang tinggi dan meluas di lautan tropis Pasifik timur bagian utara yang menyebabkan semua mekanisme cuaca terganggu. Dampaknya adalah curah hujan tertunda, tanaman terkena dampak buruknya, dan badai terjadi di daerah yang tidak semestinya (ASEAN dan ADB 2001). Salah satu dampak dari El Nino adalah musim kemarau panjang yang menyebabkan bahan bakar hutan dan lahan mengering dan mudah terbakar.
16