19
KAJIAN DAN ANALISIS KASUS KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA: STUDI KASUS DI PROVINSI RIAU SUMATERA TAHUN 2014
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Tanggap Darurat
Dosen Pengampu : Drs. Sugiharto, M.Kes
Oleh :
Saniya Ilma Arifa
NIM. 6411413105
Rombel 4
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah berjudul Kajian dan Analisis Kasus Kejadian Kebakaran Hutan di Indonesia ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Tanggap Darurat.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak–pihak yang telah mendukung dan memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Penyusun dengan senang hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga hasil dari penyusunan makalah ini dapat bermanfaat. Akhir kata melalui kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih.
Semarang, 7 Juni 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang Penulisan 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penulisan 6
1.4 Manfaat Penulisan 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Sejarah Kebakaran Hutan 8
2.2 Definisi Kebakaran Hutan 8
2.3 Proses Kebakaran 9
2.4 Tipe Kebakaran Hutan 10
2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan 11
2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan 12
2.7 Faktor Pendukung Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 14
2.8 Dampak Kebakaran Hutan 15
2.9 Upaya Pengendalian dan Pencegahan Kebakaran Hutan 16
2.10 Upaya Pengendalian dan Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia 18
BAB III KAJIAN DAN ANALISIS KASUS KEBAKARAN HUTAN 20
BAB IV PENUTUP 27
4.1 Kesimpulan 27
4.2 Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia telah menempatkan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pemilik hutan tropika terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Suatu hal yang patut disyukuri dan bangga sebagai warga bangsa Indonesia, mengingat hutan dapat memberikan manfaat ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia serta memberikan jasa-jasa lingkungan untuk menopang kehidupan di muka bumi. Akan tetapi, hutan yang seharusnya diurus dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencengangkan bagi dunia Internasional. Indonesia merupakan satu negara yang masuk dalam daftar rekor dunia guiness yang dirilis oleh Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia. Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau 51 km2 per hari atau dalam satu jam luas hutan Indonesia yang hancur setara dengan 300 lapangan sepakbola.
Disaat upaya untuk menjajaki, memulihkan dan mempertahankan kondisi hutan melalui mekanisme jasa hutan sebagai penyerap karbon dilakukan, sebuah prestasi Internasional tercatat kembali bagi bangsa Indonesia karena hutan yang dimilikinya. Kebakaran hutan di Indonesia telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam deretan negara penyumbang emisi CO2 terbesar di dunia. Masalah kebakaran hutan telah menjadi isu nasional yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah mengingat dampaknya yang sangat merugikan bagi kehidupan manusia. Makalah ini ditulis dengan maksud untuk menggali pemahaman secara keseluruhan dan dampak dari fenomena kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia terhadap berbagai sektor dan mencari alternatif penanggulangannya baik berupa pencegahan maupun pengendaliannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diambil dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
Bagaimana sejarah kebakaran hutan?
Apa definisi dari kebakaran hutan?
Bagaimana proses terjadinya kebakaran?
Apa saja tipe kebakaran hutan?
Apa faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan?
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan?
Apa faktor pendukung kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut?
Bagaimana dampak dari kebakaran hutan?
Bagaimana upaya pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan?
Bagaimana upaya pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan di Indonesia?
Bagaimana Analisis Kasus Kejadian Kebakaran di Provinsi Riau pada Tahun 2014?
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut.
Untuk mengetahui sejarah kebakaran hutan.
Untuk mengetahui definisi kebakaran hutan.
Untuk mengetahui proses terjadinya kebakaran.
Untuk mengetahui tipe kebakaran hutan.
Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan.
Untuk mengetahui faktor pendukung kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut.
Untuk mengetahui dampak dari kebakaran hutan.
Untuk mengetahui upaya pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan.
Untuk mengetahui upaya pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan di Indonesia.
Untuk menganalisis kasus kejadian kebakaran hutan di Riau pada tahun 2014.
Manfaat Penulisan
Penulisan makalah tentang Kajian dan Analisis Kasus Kejadian Kebakaran Hutan di Indonesia diharapkan dapat memberikan pemahaman secara keseluruhan dan dampak dari fenomena kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia terhadap berbagai sektor dan mencari alternatif penanggulangannya baik berupa pencegahan maupun pengendaliannya kepada mahasiswa khususnya mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan konsentrasi peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Selain itu juga diharapkan dari ilmu dan pemahaman yang diperoleh mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan dan sarana pengembangan yang telah didapat dalam perkuliahan sehingga diperoleh pengalaman langsung khususnya mengenai kesehatan dan keselamatan kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Kebakaran Hutan di Indonesia
Kebakaran hutan terutama hutan tropika basah ("tropical rain forest") di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. Kebakaran yang terjadi pada tahun 1877, diketahui di kawasan hutan antara Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan) Propinsi Kalimantan Tengah. Laporan lain juga menyebutkan bahwa kebakaran hutan terjadi di wilayah timur laut yang saat ini dikenal dengan Suaka Danau Sentarum, Propinsi Kalimantan Barat (United Nations Development Programme and State Ministry for Environment, 1998). Sayangnya kebakaran yang terjadi pada saat itu tidak diketahui berapa luasnya dan disebabkan oleh apa. Sedangkan Bowen (1999), menyatakan bahwa sekitar 400 tahun yang lalu, diceritakan bahwa seorang penjelajah Eropa menemukan Pulau Borneo setelah para pelautnya mencium bau asap; mereka berpaling ke arah angin dan menemukan pulau (Purbowaseso, 2004).
2.2 Definisi Kebakaran Hutan
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran hutan menurut Saharjo (2003) adalah :
1. Pembakaran yang penjalaran apinya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.
2. Setiap kebakaran yang bukan dilakukan secara sengaja pada areal-areal yang tidak direncanakan.
Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan.
2.3 Proses Kebakaran
Menurut De Bano et al. (1998), proses pembakaran terdiri dari lima fase yaitu:
1. Pre-ignition (Pra- Penyalaan)
Dehidrasi/distilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi pada fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api, maka pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100 C, sehingga uap air, bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di permukaan bahan bakar dan dikeluarkan ke udara.
2. Flaming combustion (Penyalaan)
Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari 300 - 500 C. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O2 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang di hasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO2, sulfur oksida, gas nitrogen dan nitrogen oksida. Kemudian terjadi kodensasi dari tetesan ter dan soot < 1 urn membentuk asap (smoke) yang merupakan polutan udara yang penting.
3. Smoldering (Pembaraan)
"Smoldering" adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe bahan bakar "duff" dan tanah organic. Laju penjalaran api menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap.
4. Glowing (Pemijaran)
Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebahagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Produk utama dari fase "glowing" adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. Pada fase ini temperature puncak dari pembakaran bahan bakar berkisar antara 300 – 600 0C.
5. Extinction
Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk pembakaran, sehingga mempercepat proses extinction.
2.4 Tipe Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan yang terjadi dapat diklasifikasikan berdasarkan posisi bahan bakar yang terbakar, yaitu :
Kebakaran Bawah (Ground Fire)
Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan, kebakaran yang terjadi dipermukaan akan merambat mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan melalui pori-pori tanah atau akar pohon sehingga kadang hanyai dijumpai asap putih yang keluar dari permukaan tanah. Kebakaran ini umum terjadi pada lahan gambut.
Kebakaran Permukaan (Surface Fire)
Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah.
Kebakaran Tajuk (Crown Fire)
Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu pohon ke tajuk pohon yan lain dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut, baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya.
2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan
Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia secara umum disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena faktor kelalaian manusia yang sedang melaksanakan aktivitasnya di dalam hutan. Kedua, karena faktor kesengajaan, yaitu kesengajaan manusia yang membuka lahan dan perkebunan dengan cara membakar.
Kebakaran hutan karena faktor kelalaian manusia jauh lebih kecil dibanding dengan faktor kesengajaan membakar hutan. Pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan pada saat pembukaan lahan baru atau untuk peremajaan tanaman industri pada wilayah hutan. Pembukaan lahan dengan cara membakar biayanya murah, tapi jelas cara ini tidak bertanggung jawab dan menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerugian yang ditimbulkannya juga sangat besar.
Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut.
Pembakaran vegetasi
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalm pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.
Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
Penguasaan lahan
Api sering digunakan masyarakat local untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan.
2.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan
Faktor-faktor yang berperan dalam proses terjadinya kebakaran hutan adalah bahan bakar, topografi, cuaca, waktu dan sumber api serta keterkaitan diantaranya (Saharjo, 2006).
1. Bahan Bakar
Salah satu faktor yang berperan dalam kebakaran hutan adalah bahan bakar. Selain itu faktor-faktor yang berperan yang masih dekat hubungannya dengan bahan bakar adalah jenis vegetasi dan kerapatan tanaman. Jenis vegetasi dan kerapatan untuk jenis hutan tropis terjadi proses siklus makanan yang tetap, dimana jika kondisi stabil tanpa ada kegiatan penebangan maka proses dekomposisi dapat berjalan dengan normal sehingga serasah, ranting dan lainnya mengalami proses pembusukan alami untuk sumber makanan kembali bagi tanaman. Sehingga tingkat kerawanan kebakaran pada hutan tropis sangat kecil sekali. Akan tetapi kedua hal tersebut akan menjadi potensi bahan bakar yang besar pada kondisi yang tidak stabil dan ekstrim untuk terjadinya kebakaran hutan kalau ada sumber penyulut api.
Berdasarkan tingkatan atau susunan secara vertikal, bahan bakar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Bahan bakar atas : semua bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di kanopi hutan, meliputi cabang ranting dan mahkota pohon serta semak belukar yang tinggi.
b. Bahan bakar permukaan : semua bahan yang dapat terbakar di atau dekat permukaan tanah, meliputi daun-daun kering, rumput, batang, ranting belukar dan bahan organik yang terdapat di lantai hutan atau permukaan tanah.
c. Bahan bakar bawah : semua bahan yang dapat terbakar yang terdapat di bawah permukaan tanah, meliputi bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan pembusukan bahan-bahan kayu lainnya. Selain tipe bahan bakar, karakteristik bahan bakar yang mempengaruhi mudah atau tidaknya terbakar adalah ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, jumlah bahan bakar , kekompakan bahan bakar dan kondisi bahan bakar.
2. Topografi
Mengetahui bentuk permukaan tanah (topografi) sangat penting untuk mengontrol suatu kebakaran. Pada lahan yang miring nyala api akan mendekati bahan bakar yang ada di atasnya dan akan bergerak lebih cepat dibanding lahan yang datar. Tanaman akan menjadi panas sebelum api menyentuhnya, dan akan lebih mudah untuk terbakar. Pada kelerengan yang terjal akan lebih cepat api menyebar dan akan lebih sulit untuk dikontrol. Dalam membuat sekat bakar untuk di atas lereng harus lebih lebar dibanding jika membuat di bawah lereng. Aspek adalah posisi kemiringan terhadap arah datangnya sinar matahari. Lahan miring yang langsung menghadap matahari, akan lebih cepat terjadi panas dan mengalami proses pengeringan bahan bakar, sebaliknya pada bagian lain bahan bakar relatif lebih dingin, sehingga apabila terjadi kebakaran pada lereng yang menghadap matahari atau sebelah timur akan lebih cepat jika kebakaran terjadi pada lereng bagian barat.
3. Cuaca atau iklim
Menurut Chandler et. al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu :
1. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia.
2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim kebakaran.
3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar.
4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.
Faktor-faktor cuaca seperti suhu, kelembaban, stabilitas udara serta kecepatan dan arah angin secara langsung mempengaruhi terjadinya kebakaran. Faktor-faktor lain seperti jangka musim yang lama berpengaruh pada pengeringan bahan bakar, sehingga secara tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan. Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran.
4. Waktu
Waktu mempengaruhi kebakaran hutan yaitu melalui proses pemanasan bahan bakar yang dipengaruhi oleh radiasi matahari yang berfluktuasi dalam sehari semalam. Fluktuasi suhu ini berpengaruh terhadap kemudahan terjadinya pembakaran dimana suhu maksimum dicapai pada tengah hari sedangkan suhu minimum tercapai pada saat menjelang matahari terbenam dan dini hari (Schroeder dan Buck, 1970).
5. Sumber Api/Penyulut
Sebagian besar sumber penyulut terjadinya kebakaran hutan di Indonesia adalah oleh aktivitas manusia, entah dengan sengaja atau tidak melakukan pembakaran. Faktor manusia dalam hal ini yang lebih dominan dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, seperti kegiatan pembakaran untuk kepentingan tertentu misalnya: kegiatan pembersihan lahan (land clearing), penguasaan lahan (land use conflict) atau sebagai pelampiasan kekecewaan terhadap pihak tertentu (arson).
2.7 Faktor Pendukung Kerawanan Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala El Nino.
Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar.
2.8 Dampak Kebakaran Hutan
Terdegradasinya kondisi lingkungan, meliputi:
Perubahan kualitas fisik gambut
Perubahan kualitas kimia gambut
Terganggunya proses dekomposisi gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran
Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan terganggu sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati
Rusaknya siklus hidrologi
Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar.
Kesehatan manusia
Asap kebakaran hutan dan lahan secara umum berisi gas CO, CO2, H2O, jelaga, debu (partikel) ditambah dengan unsur-unsur yang telah ada di udara seperti N2, O2, CO2, H2O, dan lainlain. Asap kebakaran hutan dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan menimbulkan penyakit infeksi pada saluran pernapasan (ISPA), sakit mata dan batuk. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.
Aspek sosial ekonomi, meliputi:
Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap hutan);
Penurunan produksi kayu;
Terganggunya kegiatan transportasi;
Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;
Meningkatnya pengeluaran untuk biaya pemadaman.
Kebakaran hutan yang luas dapat mengganggu masyarakat negara tetangga, dan bila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan penilaian negatif masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia.
2.8 Upaya Pengendalian dan Pencegahan Kebakaran Hutan
Dalam kebakaran hutan dikenal istilah segitiga api. Segitiga api adalah bentuk sederhana untuk menggambarkan proses pembakaran dan aplikasinya. Tiga unsur segitiga api itu adalah bahan bakar, oksigen dan panas/sumber penyulut.
Gambar 2.1 Segitiga Api
Sumber: brainly.co.id
Ketiga unsur komponen penyusun segitiga api inilah yang mendasari pengendalian kebakaran hutan karena hilangnya satu atau lebih dari sisi segitiga ini akan mengakibatkan tidak terjadinya pembakaran. Segitiga api dapat divisualisasikan sebagai dasar hubungan reaksi berantai dari pembakaran. Pemincangan salah satu atau lebih dari sisi segitiga ini akan merusak atau menghancurkan mata rantai tersebut. Itu berarti bahwa, kalau bahan bakar tersedia dalam jumlah banyak, akan tetapi apabila oksigen pada saat pembakaran berlangsung terlalu sedikit atau terlalu banyak maka pembakaran tidak dapat berlangsung. Begitu juga bila pembakaran tidak mencapai titik penyalaan yang berkisar antara 220-250oC maka pembakaran tidak mungkin terjadi. Melemahnya satu atau lebih dari sisi segitiga ini juga akan melemahkan rantai tersebut dan mengurangi laju pembakaran serta intensitas kebakarannya.
Selain berpegang pada prinsip segitiga api, hal yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan manajemen bahan bakar. Manajemen bahan bakar adalah tindakan atau praktek yang ditujukan untuk mengurangi kemudahan bahan bakar untuk terbakar (fuel flammability) dan mengurangi kesulitan dalam pemadaman kebakaran hutan. Manajemen bahan bakar dapat dilakukan secara mekanik, kimiawi, biologi atau dengan menggunakan api. Perlakuan bahan bakar adalah setiap manipulasi bahan bakar agar bahan bakar itu tidak mudah terbakar, dengan cara pemotongan, penyerpihan, penghancuran, penumpukan dan pembakaran. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam memanajemen bahan bakar yaitu, melakukan modifikasi, pengurangan dan isolasi bahan bakar.
Jika kebakaran tetap terjadi meski tindakan pencegahan telah dilakukan maka tindakan pemadaman harus segera dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya prinsip pemadaman kebakaran adalah dengan cara menghilangkan salah satu sisi dari segitiga api tersebut, upaya yang dapat dilakukan sesuai dengan prinsip pemadaman kebakaran diantaranya adalah sebagai berikut.
Pendinginan. Api dapat dipadamkan dengan cara menurunkan suhu sampai di bawah suhu penyulutan, dengan menggunakan air atau tanah basah pada bahan yang sedang terbakar.
Pengurangan oksigen. Api dapat dipadamkan dengan cara menghilangkan oksigen dari bahan bakar yang sedang terbakar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memukul nyala api dengan alat pemukul api khusus, punggung bilah sungkup, menimbun dengan tanah, atau menggunakan air.
Melaparkan. Api dapat "dilaparkan" dengan cara menghilangkan pasokan bahan bakar yang tersedia atau dengan cara membiarkan api untuk membakar ke arah penghalang alami.
Bakar Balas. Strategi ini dilakukan jika sama sekali tidak tersedia peralatan pemadam, serta personil yang sedikit, yaitu dengan cara membakar bahan bakar berlawanan arah jalaran api. Dengan cara demikian api dari dua arah akan bertemu ditengah dan karena bahan bakar habis maka api padam. Untuk melakukan bakar balas biasanya areal pinggir sungai atau jalan yang merupakan sekat bakar dengan areal penting untuk dilindungi.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Indonesia
Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain (Soemarsono, 1997):
Memantapkan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan;
Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam kebakaran hutan;
Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian kebakaran hutan;
Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.
Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga melakukan penanggulangan melalui berbagai kegiatan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan antara lain (Soemarsono, 1997):
Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I dan II.
Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya, maupun perusahaan-perusahaan.
Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.
Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain: pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.
Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.
Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai.
BAB III
KAJIAN DAN ANALISIS KASUS KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA:
STUDI KASUS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU, SUMATERA
Di Indonesia, permasalahan kebakaran hutan telah menjadi isu nasional yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi setiap tahun secara berulang khususnya di Pulau Sumatera dan di Pulau Kalimantan dengan luas cakupan dan jumlah titik api (hot spot) yang bervariasi. CIFOR (2006) melaporkan bahwa pada 1997/1998 sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja. Di lain pihak, Setyanto dan Dermoredjo (2000) menyebutkan bahwa kebakaran hutan paling besar terjadi sebanyak lima kali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun (1966-1998), yakni tahun 1982/1983 (3,5 juta ha), 1987 (49.323 ha), 1991 (118.881 ha), 1994 (161.798 ha) dan 1997/1998 (383.870 ha).
Gambar 3.1 Luas hutan dan lahan (termasuk gambut) yang terbakar di Indonesia (BAPPENAS-ADB, 1998)
.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa provinsi di Indonesia antara lain di Provinsi Aceh dan Riau sudah menjadi agenda rutin dan merupakan isu penting, karena asap yang ditimbulkan menjadi masalah nasional maupun internasional. Kebakaran hutan dan lahan gambut kembali terjadi di Indonesia pada tahun 2014, yakni di Provinsi Riau, Sumatera.
Berikut salah satu berita kebakaran hutan di riau yang telah diliput oleh salah satu surat kabar online.
Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013by Nigel Sizer, James Anderson, Fred Stolle, Susan Minnemeyer, Mark Higgins, Andrew Leach, Ariana Alisjahbana and Andhyta Utami - March 14, 2014Photo credit: CIFOR, Flickr 2011Di awal Maret 2014, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut, menurut Badan Penanggulangan Bencana Indonesia. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim.Global Forest Watch, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan hutan serta kebakaran hutan secara nyaris seketika, melaporkan dalam serangkaian tulisan bahwa pembukaan lahan untuk tujuan agrikultur menjadi pendorong utama dari terjadinya kebakaran ini. Seperti yang terjadi sebelumnya, sekitar setengah dari kebakaran tersebut berlangsung di lahan yang dikelola oleh perusahaan tanaman industri, kelapa sawit, serta kayu. Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebagian dari kebakaran yang paling besar berada pada lahan yang telah sepenuhnya ditanami, terlepas dari fakta bahwa banyak dari perusahaan ini yang berkomitmen untuk menghentikan penggunaan api dalam praktik pengelolaan mereka.
Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013
by Nigel Sizer, James Anderson, Fred Stolle, Susan Minnemeyer, Mark Higgins, Andrew Leach, Ariana Alisjahbana and Andhyta Utami - March 14, 2014
Photo credit: CIFOR, Flickr 2011
Di awal Maret 2014, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut, menurut Badan Penanggulangan Bencana Indonesia. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim.
Global Forest Watch, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan hutan serta kebakaran hutan secara nyaris seketika, melaporkan dalam serangkaian tulisan bahwa pembukaan lahan untuk tujuan agrikultur menjadi pendorong utama dari terjadinya kebakaran ini. Seperti yang terjadi sebelumnya, sekitar setengah dari kebakaran tersebut berlangsung di lahan yang dikelola oleh perusahaan tanaman industri, kelapa sawit, serta kayu. Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebagian dari kebakaran yang paling besar berada pada lahan yang telah sepenuhnya ditanami, terlepas dari fakta bahwa banyak dari perusahaan ini yang berkomitmen untuk menghentikan penggunaan api dalam praktik pengelolaan mereka.
Sumber : http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-di-indonesia-mencapai-tingkat-tertinggi-sejak-kondisi-darurat-kabut
Analisis Kasus Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Provinsi Riau, Sumatera Tahun 2014
Gambar 3.2 Distribusi Peringatan Titik Api, Provinsi Riau, Indonesia
4-11 Maret 2014
Gambaran Umum
Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau pada tahun 2014 sedikitnya sudah menghanguskan 848 hektar. Di lapangan, luas wilayah yang terbakar lebih luas karena banyak daerah terbakar yang jauh dari aksesibilitas sehingga tidak terhitung luasnya. Rincian sebaran titik api di Riau adalah daerah Rohil 46 titik, Bengkalis 24 titik, Dumai 35 titik, Inhil 6 titik, Inhu 3 titik, Kampar 2 titik, Kuansing 7 titik, dan Pelalawan 10 titik.
Faktor Penyebab
Kebakaran hutan ini diduga perbuatan dari masyarakat dan perusahaan dalam melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar sehingga menyebabkan terganggunya kesehatan pernafasan manusia dalam pajanan waktu tertentu berdasarkan data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sudah masuk dalam kategori berbahaya (ISPU > 500) dan berpotensi mengganggu trasportasi terutama laut dan udara.
Kasus Karhutla tahun 2014 di Provinsi Riau ada 26 perusahaan dengan 29 kasus, yang pada saat itu masih dalam penyelidikan atau pulbaket bersama ahli kebakaran hutan dan lahan serta ahli kerusakan lingkungan dan pemanggilan saksi perusahaan. Hingga akhir bulan Juni 2014 sudah 18 perusahaan dengan jumlah saksi yang dipanggil untuk diminta keterangannya sebanyak 67 orang.
Dampak Yang Ditimbulkan
Kebakaran ini sangat berdampak bagi masyarakat Riau terutama akibat asap yang menyebar pada wilayah Riau bahkan merambat pada daerah hingga ke Sumatera Barat, Jambi, serta Sumatera Utara. Adanya asap mengakibatkan :
Ditutupnya bandara yang berakibat pada hilangnya akses udara ke daerah Riau yang pastinya nanti akan berakibat pada arus perekonomian daerah tersebut
Beberapa sekolah terpaksa diliburkan sehingga kegiatan belajar mengajar terhentikan.
Semakin hari semakin banyak masyarakat Riau yang terserang penyakit. Informasi yang berhasil didata tercatat lebih 53.553 kasus penyakit akibat asap di Riau. Lebih 4 ribu jiwa mengidap penyakit mata dan kulit akibat asap tebal. Selain itu juga ada korban yang terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) seperti sesak napas, asma, paru-paru, bahkan juga penyakit jantung. Terdapat 1 korban jiwa tewas akibat akibat terlalu banyak menghirup asap.
Upaya Penanganan
a. Upaya KLH :
Mei – Juni: sosialisasi dan asistensi teknis (bantuan alat pompa sederhana) kepada MPA di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Siak dan Rokan Hilir di Provinsi Riau. Khusus MPA di Desa Sepahat Bengkalis juga dilakukan pilot proyek PLTB pembuatan kebun nanas di lahan gambut.
Tanggal 11 dan 12 Juni rapat koordinasi pencegahan kebakaran di Propinsi dan pelatihan membuat dan membaca peringkat bahaya kebakaran (FDRS) kepada MPA Rasau Jaya.
Tanggal 13 Juni Konsolidasi MPA dan Manggala Agni di Kantor Kecamatan Rasau Jaya dan pemberian bantuan pompa air utk pemadaman kebakaran.
Tanggal 16 Juni: apel siaga dan simulasi basah pemadaman dini melibatkan Masyarakat Peduli Api di Desa Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Tanggal 17 Juli: sosialisasi prediksi kebakaran hutan dan lahan berdasarkan kondisi lingkungan dan parameter cuaca setempat kepada MPA dan BLH propinsi Rawan Kebakaran
Penegakan hukum, saat ini sebagaian berkas perkara pembakaran sudah diserahkan dan sebagaian lagi masih dalam proses peyidikan.
B. Upaya Nasional:
BNPB menyiagakan 3 helikopter (Bolco, Kamov dan Sikorsky) di Riau, helicopter MI-8 di Palembang dan Palangkaraya serta kesiapan mobilisasi 2.500 personil TNI dan Polri untuk penanggulangan bencana asap.
Tanggal 21 – 24 Juni, empat regu Manggala Agni (60 personil) melakukan pemadaman di Dumai dan Siak, sedangkan pada 23 – 24 Juni dua regu Manggala Agni (30 personil) melakukan pemadaman di Suaka Margasatwa Rimba Baling di Indragiri Hulu. Selain itu, Manggala Agni melakukan patrol di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
25 Juni: aktivasi Posko Penanggulangan Bencana Asap Riau di Lanud Roesmin Nurjadin.
29 Juli: BNPB menyiagakan helicopter MI-8 dari Palangkaraya ke Pontianak untuk melakukan water bombing.
Juli: di Riau, 100 personil TNI AD, 100 personil TNI AU dan 500 personil Polri, personil Manggala Agni, BPBD, dan relawan memadamkan api. Brimob Polda Riau dan Polres Indragiri Hilir mengerahkan water canon karena terbatasnya air untuk pemadaman.
Satgas udara masih terus mengoperasikan water bombing dan modifikasi cuaca di wilayah Riau.
5 Agustus: rapat koordinasi pencegahan dan penanggulangan bencana asap di Kalimantan Barat.
Tindak lanjut pelaksanaan penanganan kasus karhutla Provinsi Riau, antara lain:
Menyelesaikan pelaksanaan PULBAKET dengan ahli kebakaran hutan dan lahan, ahli kerusakan lingkungan, ahli korporasi pidana dan ahli pidana;
Melaksanakan pemanggilan saksi-saksi dari perusahaan, masyarakat dan pemerintah daerah;
Penyidik masih mengumpulkan bahan keterangan.
Berdasarkan fenomena kebakaran hutan dan berbagai dampak yang terjadi, maka bisa dikatakan dalam hal ini pemerintah lalai akan perannya untuk memberikan perlindungan pada rakyatnya dan lepas tangan pada tanggungjawabnya untuk memberikan keamanan pada warga negara. Terlihat dari kebakaran hutan di Riau yang seakan-akan merupakan agenda rutin dan pembiaran kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan seperti HTI dan HPH dengan metode membakar areal hutan yang akan digunakan sebagai areal perusahaan. Oleh karena itu agar tidak terjadi keteledoran atau kelalaian yang berdampak fatal lagi diharapkan pemerintah melakukan rencana kegiatan jangka pendek dan jangka panjang untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan.
Rencana kegiatan jangka pendek, dimaksudkan untuk menanggulangi dampak kebakaran hutan yang sedang terjadi yang dalam hal ini 'asap' dan rencana kegiatan jangka panjang dimaksudkan untuk mencegah kebakaran hutan. Rencana kegiatan jangka pendek ini seperti memadamkan kebakaran hutan, mengevakuasi warga yang terserang penyakit dan berada pada daerah dengan polusi asap tertinggi, menetapkan daerah tanggap bencana, membagi-bagikan masker pada warga terutama pengguna jalan, menyemprotkan air dari udara melalui helikopter dan menemukan secepatnya penyebab terjadinya kebakaran hutan, menangkapkan pelaku-pelaku yang terlibat apabila memang terbukti bahwa terjadi kegiatan pembakaran secara sengaja seperti untuk land clearing. Kemudian Rencana jangka panjang contohnya memperketat syarat pemberian izin untuk membuka perkebunan, memperketat pengawasan pada perusahaan yang telah memiliki izin usaha seperti HTI atau HPH dan mencabut izin HPH, HTI atau perusahaan yang tidak bisa berkomitmen menjaga lingkungan, memperbanyak lahan penghijauan, dan membuat sistem tanggap bencana yang lebih baik lagi.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, dan sebagainya.
Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.
Saran
Dalam mengantisipasi dan mengurangi kejadian kebakaran hutan, maka perlu tindak nyata pada semua pihak terkait/stakeholder secara jelas, pasti dan cepat sehingga degradasi lingkungan dan hutan dapat diatasi. Hal ini dapat melalui jalan pendekatan dengan berbagai metode pada semua pelaku peran baik dari lembaga pemerintah sebagai pihak yang merupakan produk izin, pengusaha yang bergerak dalam kegiatan ini, masyarakat sebagai peran lainnya, tenaga ahli yang memahami teori dengan benar dan pihak-pihak pengamat yang membantu meluruskan adanya kekeliruan dalam hal ini lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun internasional, perguruan tinggi dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, Wahyu Catur. 2009. Bagaimana Kebakaran Hutan Terjadi. Bogor: Paper MK Kebakaran Hutan.
Adinugroho, Wahyu Catur dan INN Suryadiputra. 2003. Kebakaran Hutan dan Lahan. Bogor: Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut.
Bahri, Samsul. 2002. Kajian Penyebaran Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Sumatera Bagian Utara dan Kemungkinan Mengatasinya dengan TMC. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 3, No. 2, 2002, 99-104. Peneliti UPT Hujan Buatan BPP Teknologi JL. M.H. Thamrin No 8 Jakarta 10340.
Pasaribu, Sahat M. dan Supena Friyatno. 2008. Memahami Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan serta Upaya Penanggulangannya: Kasus di Provinsi Kalimantan Barat. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Tacconi, Luca. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Bogor: Center For International Forestry Research (CIFOR). Paper.
Sizer, Nigel et al. 2014. Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Titik Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut. Diakses pada tanggal 9 Juni 2015, dari http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-di-indonesia-mencapai-tingkat-tertinggi-sejak-kondisi-darurat-kabut
Dunia Baca. 2015. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Indonesia. Diakses pada tanggal 8 Juni 2015, dari http://duniabaca.com/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan-kebakaran-hutan.html
Chapter II. 2015. Tinjauan Pustaka: Kebakaran Hutan. Diakses pada tanggal 8 Juni 2015, dari repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24895/4/Chapter%20II.pdf
Pribadi, Indra Arief. 2014. BNPB: Pembakaran hutan di Riau dan Kalbar Kian Parah. Diakses pada tanggal 9 Juni 2015, dari http://www.antaranews.com/berita/446229/bnpb--pembakaran-hutan-di-riau-dan-kalbar-kian-parah
Yuwono, Arief. 2014. Penanganan Kasus Dan Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan (KARHUTLA) KLH. Diakese pada tanggal 9 Juni 2015, darihttp://www.menlh.go.id/penanganan-kasus-dan-upaya-pengendalian-kebakaran-hutan-dan-lahan-krhutla-klh/