BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan awalnya terjadi pada tahun 1870 yakni
hilangnya hutan – hutan primer karena cepatnya peningkatan populasi
penduduk yang disertai dengan aktivitas manusia seperti api untuk
berburu dan pembersihan lahan, akses jalan, serta perubahan hutan
menjadi lahan peternakan (Whitmore, 1975). Berdasarkan pengalaman
sejarah, tingkat kebakaran hutan di Indonesia yang cukup tinggi,
terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1972, Kemudian tahun 1982/1983
yang menghancurkan 3,2 juta hektar, hingga puncaknya pada tahun
1997/1998 (Wijaya, 2000).
Data terbaru menunjukan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir
tercatat sedikitnya empat kasus besar kebakaran hutan dan lahan di
pulau sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan data yang kami dapatkan
pada tahun 2012 di Kab. Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat 50 Ha
lahan terbakar. Pada tahun 2013 kebakaran terjadi di Kab. Siak dan
Kota Dumai, Prov. Riau menghanguskan 2.500 s/d 3.000 ha area hutan,
Kab Pekan Raya, Prov. Riau lahan seluas 800 ha lahan gambut terbakar,
di Kota Banjar Baru dan Kab. Banjar Provinsi Kalimantan Selatan ± 100
ha lahan gambut dan lahan pertanian terbakar. (geospasial.bnpb.go.id)
Setidaknya ada tiga aspek permasalahan utama yang diterima oleh
negara Indonesia antara lain : aspek ekologi, aspek ekonomi, aspek
sosial politik. Upaya menjawab problematika tersebut dilakukan dengan
mengembangkan pengetahuan lokal masyarakat suku Dayak Benuaq dalam
pengelolaan dan pengendalian penggunaan api. Dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat mempunyai cara-cara pengendalian api (Marepm Api) yang
sudah dikenal sejak jaman leluhur mereka dan diwariskan kepada
penerusnya. Cara tradisional atau disebut teknologi tradisional
pengendalian api (Marepm api) ini digunakan oleh masyarakat umumnya
pada waktu kegiatan berladang, khususnya pada tahap pembakaran ladang.
Pada peristiwa kebakaran tahun 1997/1998 seluruh masyarakat ikut serta
dalam proses pengendalian kebakaran hutan yang terjadi termasuk kaum
ibu-ibu. Dengan skala yang lebih luas keadaan ini berbeda dengan saat
pembukaan ladang, dalam hal mana pembakaran hanya dilakukan oleh para
pemilik ladang. Kegiatan ini dikoordinir langsung oleh kepala desa
dengan dibantu oleh staf desa. (Wijaya, 2002).
Melihat potensinya yang begitu besar, eksplorasi ini sengaja
dilakukan untuk menambah perbendaharaan solusi tepat guna yang efekif
dan efisien bagi pemangku kebijakan – kebijakan publik bahwa pelibatan
penyelesaian masalah ini haruslah meliputi semua elemen baik sipil
maupun pemerintahan.
1.2. Perumusan Masalah
Untuk mencapai tujuan penulisan karya ilmiah ini, maka berikut
adalah rumusan masalah yang akan diuraikan antara lain:
1. Bagaimana Kondisi dan Dinamika Kearifan Lokal dalam Penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan pada Masyarakat Dayak Benuaq?
2. Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran
Hutan/Lahan Dayak Benuaq.
1.3. Maksud dan Tujuan Penulisan
1. Mempelajari dan mendeskripsikan elemen-elemen utama praktek
pengelolaan api sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Dayak
Benuaq.
2. Menganalisis dan merumuskan strategi pendayagunaan (revitalisasi)
kearifan lokal dimaksud, guna mendukung upaya penanggulangan dan
pengelolaan kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif.
1.4. Manfaat
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi inovasi, kreasi dan
sekaligus solusi tepat guna yang sesuai dengan budaya dan teknologi
lokal untuk pengelolaan kebakaran hutan yang efektif, efisien, serta
dapat membangun partisipasi masyarakat lokal.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan
Analisis terhadap arang (karbon) dari tanah Kalimantan menunjukkan
bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak
17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara
alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu.
Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang
lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan
tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang
tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang
baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm dan Glover, 1999).
Sedangkan, Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terekam sebagai
kebakaran hutan terbesar di Kalimantan Timur adalah kejadian pada tahun
1982/1983. Sejak itu, kebakaran besar yang menjadi perhatian nasional
dan dunia secara periodik terulang kembali seperti tahun 1987, 1991,
1994 dan yang paling hebat adalah tahun 1997/1998 yang lalu.
Namun, data persis pertama kali terjadinya kebakaran hutan dan lahan
di Kalimantan Timur (Kaltim) tidak dapat diketahui dengan pasti. Sangat
dimungkinkan bahwa dibeberapa tempat pernah terjadi kebakaran hutan dan
lahan mengingat api sebagai teknologi pertama yang dikenal manusia dalam
perladangan merupakan bagian penting dari usaha pembukaan dan persiapan
lahan. Menurut mitologi pada beberapa kelompok suku tradisional di
Kaltim (antara lain Suku Kenyah dan Kayan) sangat mempercayai bahwa
peristiwa kebakaran hutan dan lahan di bumi Kaltim pernah terjadi pada
masa lampau. Mereka menyebutnya sebagai 'zaman kejadian' pada ribuan
tahun yang lalu dimana kebakaran yang terjadi sangat hebat dan api
merayap hingga dibawah permukaan bumi. Konon, akibat kebakaran hutan
itulah hingga saat ini banyak dijumpai 'arang hitam' yang berlimpah
dibawah perut bumi Kaltim.
Secara kronologis, kejadian kebakaran hutan dan lahan yang
seringkali terjadi di Kalimantan Timur diawali oleh musim kemarau yang
panjang. Berdasarkan catatan sejarah musim kemarau panjang selama lebih
dari 6 bulan pernah terjadi pada tahun 1778. Kemarau terpanjang yang
lebih dari 9 bulan pernah terjadi pada tahun 1940-an. Namun demikain
hingga sebelum tahun 1970-an, meski terjadi kemarau panjang lebih dari 6
bulan tersebut belum pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan. Oleh
karenanya sewaktu peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang hebat tahun
1982/1983 dinilai sangat mengejutkan karena secara teoritis hutan hujan
tropis lembab sulit terbakar secara alami.
2.2. Sebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Timur
Pada dasarnya tidak semua areal hutan dan lahan mudah terbakar.
Menurut Oemijati (1986) mengutip dari Bahruni, kelas kebakaran di hutan
hujan tropis sangat rendah, yaitu kelas satu. Dengan demikian tipe hutan
ini pada dasarnya sulit sekali untuk terbakar.
Namun kenyataanya, Davis (1959), dalam Oemijati (1986), menyatakan
bahwa 90% dari 120.000 peristiwa kebakaran penyebabnya adalah manusia.
Sedangakan alam dan lain-lain (penyebab yang belum diketahui secara
pasti) hanya mengambil bagian yang sangat kecil. Faktor manusia sebagai
penyebab kebakaran dapat disebabkan oleh kesengajaan maupun
ketidaksengajaan. Seberapa besar perbandingan antara yang disengaja
dengan yang sengaja belum diketahui secara pasti diperlukan studi yang
khusus dan mendalam untuk mengetahuinya.
Sebelum meninjau faktor kesengajaan, fakta membuktikan bahwa api
sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah
lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang pada penggunaannya dimulai
pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000 - 700.000
tahun yang lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api,
maka api dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena
dapat digunakan untuk membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan
pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi
sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Dalam dunia penanggulangan bencana kita semua tentu telah mengenal
istilah trilogi kebakaran yang menjadi dasar timbulnya api, komponen
penyusunnya adalah bahan bakar, udara, panas yang kemudian saling
bereaksi membentuk api. Tiga komponen ini sangat mungkin hadir ketika
musim kemarau panjang datang, dengan diperkuat fakta bahwa sebagian
besar manusia menggunakan teknologi api sebagai alat pengubah lingkungan
hidup dan sumber daya alam tanpa memeperhitungkan kondisi iklim setempat
karena rendahnya taraf pendidikan. Hal itu dibuktikan dengan catatan
Oemijati (1986) mengutip dari Bahruni, yang menyatakan bahwa kebakaran
hutan dan lahan yang terbesar tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998
terjadi karena dukungan musim kemarau yang sangat panjang, sehingga
bahan bakar di hutan semakin banyak dan mongering.
Data menunjukan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir tercatat
sedikitnya empat kasus besar kebakaran hutan dan lahan di pulau Sumatera
dan Kalimantan. Berdasarkan data yang kami dapatkan pada tahun 2012 di
Kec. Simpang Hilir, Kab. Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat 50 Ha
lahan terbakar, pada tahun 2013 kebakaran terjadi di Kec. Mandau, Kab.
Siak. Kec. Bukit Kapur, Kota Dumai, Prov. Riau menghanguskan 2.500 s/d
3.000 ha area hutan, Desa Rimba Panjang dan Desa Siabu, Kec. Kuwok, kec.
Tapung Hulu, Kec. Tiga Belas, Kec. Tambang, Kota kampar, Kab Pekan Raya,
Prov. Riau lahan seluas 800 ha lahan gambut terbakar, di Kota Banjar
Baru Kab. Banjar Provinsi Kalimantan Selatan 2013 ± 100 ha lahan gambut
dan lahan pertanian terbakar (geospasial.bnpb.go.id).
Data diatas menunjukkan peningkatan kejadian kebakaran hutan dan
lahan yang secara langsung berdampak pada kerugian yang lebih besar
lagi. Setidaknya ada tiga aspek kerugian utama yang dialami oleh negara
Indonesia. Aspek ekologi, Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak
ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai
sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur
tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan
alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi,
pariwisata dan sebagainya, hutan tropis Indonesia sangatlah kaya akan
keanekaragaman hayati (mega diversity) bahkan tercatat 10 %
keanekaragaman jenis dunia terdapat di hutan tropis Indonesia tentu
dengan adanya kebakaran hutan dan lahan kerugian besar bagi Indonesia
dengan hilangnya keanekaragaman hayati. Lebih lanjut Chandler (1983)
dalam Oemijati (1986), menyebutkan bahwa dampak ekologi kebakaran hutan
banyak memberikan pengaruh terhadap areal tersebut yaitu antara lain
tanah, udara, iklim, vegetasi, margasatwa dan ekosistem di samping itu
kebakaran hutan dan lahan juga telah meningkatkan emisi karbon hampir 20
%, yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Aspek ekonomi,
sektor kehutanan merupakan salah satu kontributor bagi perekonomian
nasional bila dilihat dari sisi penyedia lapangan kerja, penerimaan
negara bukan pajak, pendapatan asli daerah, dll. Di tahun 1997 ekspor
kayu meraup keuntungan 6,2 milyar yang berarti 11 % dari total ekspor
nasional, dan meningkat di tahun berikutnya yaitu sebesar 3,42 triliun.
Namun, deforestasi akibat kebakaran hutan menyebabkan pada tahun 2006
tercatat terjadi penurunan PNBP dengan nilai dibawah 3 triliun
pertahunnya, serta dapat melumpuhkan lalu lintas penerbangan udara,
darat dan laut. Aspek sosial budaya, selain kerugian ekologi dan
ekonomi, salah satu kerugian terbesar dari aspek ini adalah hubungan
politik internasional yang turut memberikan dampaknya. Kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi di perparah dengan pola pergerakan angin yang
membawa kabut asap kebakaran di kalimantan dan sumatera menuju Malaysia
dan Singapura yang berujung pada pengajuan singapura kepada negara ASEAN
lainnya tentang undang-undang kerjasama ASEAN baru yang memungkinkan
pemerintah untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan domestik maupun
asing yang menyebabkan kabut asap lintas-negara yang merugikan
pemerintah negara tersebut. Inilah yang membuat kebakaran hutan dan
lahan menjadi isue internasional yang harus segera dituntaskan dan
dicarikan solusinya.
2.3. Definisi dan Ruang Lingkup Kearifan lokal
Berbicara tentang kearifan lokal maka mengajak kita kembali pada
periode zaman batu (stone-age periode). Akan tetapi hal ini justru
penting, karena kita dapat mengerti dan memahami bagaimana masyarakat
lokal memperlakukan sumber daya alam yang berada di dalam hutan. Menurut
banyak teori menyampikan bahwa hubungan antara masyarakat lokal dengan
sumberdaya alam khususnya hutan di sekitarnya bahwa ' kearifan lokal '
identik dengan 'pengetahuan tradisional'. Menurut Zakaria (1994),
kearifan tradisioal yang mana termasuk di dalamnya kearifan lingkungan
merupakan kebudayaan yang dimiliki pada masyarakat tertentu yang
mencangkup didalamnya sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan
dengan model – model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari.
Bawasannya pengetahuan yang dimaksud yakni citra lingkungan tradisional
yang didasarkan pada system religi, yang bercorak kosmismagis dan
mandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri, dimana
terhadap roh – roh yang bertugas menjaga kesimbangannya. Oleh karenanya
untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam
kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungannya dengan alam semesta,
yang mana termasuk juga dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan
bertanggung jawab.
Mencermati penjabaran tentang kearifan lokal diatas yang
penguraiannya tentang makna religi dari alam dalam kebudayaan Dayak
sebagai masyarakat pribumi Kalimantan (Sardjono, 2004), ternyata
kearifan lokal ada kaitanya dengan pengetahuan tradisional yang pada
dasarnya merupakan hasil dari interelasi dengan dua factor lainnya yang
telah disebutkan terdahulu yaitu ketergantungan kehidupan dan integrasi
budaya. Semua ini merupakan pengetahuan tradisional yang dimaksudkan
untuk lahir berdasarkan pengalaman dan kehidupan tradisi antar generasi.
Dalam ketiganya mengeluarkan berbagai bentuk 'kearifan' yang sangat luas
yakni dari kepercayaan dan pantangan, etika dan aturan, teknik dan
teknologi atau pun juga berbagai macam praktik atau tradisi pengelolaan
hutan dan lahan yang secara keseluruhan tidak hanya berperspektif
kelestarian sumberdaya akan tetapi juga sangat berarti bagi kehidupan
serta kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Tabel 1. Kearifan Lokal Masyarakat suku Dayak terkait dengan Pemanfaatan
Sumberdaya Alam secara Lestari.
"No "Bentuk Kearifan Lokal "Contoh "
"1 "Kepercayaan dan/atau "Manusia berkaitan erat (baca: "
" "Pantangan "berasal) dari unsur (tumbuhan, "
" " "binatang, factor non-hayati "
" " "lainnya) dan proses alam sehingga "
" " "harus memelihara keseimbangan "
" " "lingkungan. "
" " "Keberhasilan penanaman (misalnya "
" " "padi, rotan) berkaitan dengan "
" " "gejala lingkungan seperti tumbuhan,"
" " "binatang atau bulan. "
"2 "Etika dan Aturan "Menebang pohon hanya sesuai dengan "
" " "kebutuhan, serta wajib melakukakan "
" " "penanaman kembali. "
" " "Mengutamaka berburu binatang – "
" " "binatang yang menjadi hama lading. "
"3 "Teknik dan Teknologi. " Membuat berbagai "
" " "perlengkapan/atat rumah tangga "
"4 "Praktik dan Tradisi "Membudidayakan jenis tanaman "
" "Pengelolaan Hutan/Lahan. "hutann yang berharga. "
" " "Melakukan koleksi pada sebuah "
" " "tanaman hutan. "
2.4. Gambaran Umum Masyarakat Dayak Benuaq
Desa Sakak Lotoq termasuk dalam wilayah Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai
Barat.
Desa yang terletak di pinggir Sungai Sakak dan Sungai Lotoq (disebut
"Desa Sakak Lotoq" karena diapit kedua sungai tersebut). Aksesibilitas
menuju desa diperlukan waktu kurang lebih 20 jam. Luas wilayah Desa
Sakak Lotoq 5100 ha, dengan etnik Benuaq Londong yang bermukim sejak
tahun 1700-an (perpindahan dari Desa Tiwei Kabupaten Paser). Secara
administratif Desa Sakak Lotoq berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Desa Kelumpang
Sebelah Selatan : Desa Gemuruh
Sebelah Barat : Desa Karangan
Sebelah Timur : Desa Abit
Jumlah penduduk desa 425 jiwa (111 KK), sebagian besar masyarakat
Sakak Lotoq beragama Kristen Protestan (suku Dayak Benuaq Londong,
Tunjung dan Bahau), dan Islam (suku Kutai, Jawa dan Banjar). Tingkat
pendidikan masyarakat tergolong rendah namun untuk generasi mudanya ada
beberapa yang lulusan SLTA. Mata pencaharian masyarakat sebagai petani
ladang, guru, Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan perusahaan, pengumpul
hasil hutan. (Sumber: Data sekunder dan Monografi Desa Sakak Lotoq Tahun
2000 (diolah)) Masyarakat Desa Sakak Lotoq didominasi oleh suku Dayak
Benuaq Londong, yang berasal dari pindahan Desa Tiwei Kabupaten Paser
yang pindah karena alasan ekonomi (sekitar tahun 1700-an), untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Tabel 2. berikut :
Tabel 2. Kejadian/Peristiwa Penting yang Terjadi di Desa Sakak Lotoq,
Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
"Tahun "Kejadian/ Peristiwa Penting "
"Kejadian " "
"1700-an "Masyarakat suku Dayak Benuaq pindah dari daerah Tiwey, "
" "Kabupaten Paser ke Sungai Mahakam dan menyebar di "
" "anak-anak sungainya termasuk Sungai Sakak di kanan "
" "mudik Sungai Mahakam dan di kenal sebagai suku Dayak "
" "Benuaq Londong. Saat itu pemukiman berada di Gunung "
" "Rampah (Lamin Sembuan) "
"1800-an "Beberapa orang suku Dayak Benuaq Isuy dan suku Dayak "
" "Tunjung berpindah dan bergabung dengan suku Dayak "
" "Benuaq Londong di Sungai Sakak. Pemukiman di sebelah "
" "hilir yaitu di Sungai Lotoq (Lamin Lotoq Seberang) "
"1900-an "Dari Gunung Rampah pindah ke daerah Jaatn (Lamin "
" "Jaatn) "
"1910-an "Lamin Lotoq Seberang dibongkar dan pindah ke Sungai "
" "Lotoq dekat Sungai Sakak (Lamin Lotoq) yang masih ada "
" "hingga saat ini "
"1930-an "Lamin Jaatn di bongkar dan pindah semua ke Lamin Lotoq "
" "untuk mendekati pelayanan kesehatan dan pendidikan "
"1942 "Desa Sakak Lotoq berdiri menjadi desa definitif dengan "
" "nama "Sakak Lotoq". Penamaan tersebut dikarenakan letak"
" "pemukiman yang bera-da diantara dua sungai yaitu Sungai"
" "Sakak dan anak sungainya yaitu Sungai Lotoq "
"1950-an "Membuat terusan Sungai Sakak di dekat Desa Gemuruh ke "
" "Sungai Mahakam untuk mempercepat jalur transportasi air"
" "yang sebelumnya harus melalui Muara Jawaq dan "
" "memerlukan waktu yang lama. Pe-nggalian dilakukan "
" "selama 4 (empat) bulan dan saat ini dikenal sebagai "
" "sungai 'nkali' (galian) "
"1970-an "Beberapa HPH beroperasi di sekitar wilayah adat desa "
" "antara lain PT. Jayanti Jaya, PT. Jatitrin, PT. RTC "
" "dan PT. Marimun Timber (eks Perusahaan Philipina) "
"1973 "Wabah penyakit muntaber/kolera melanda Desa Sakak Lotoq"
" "yang menyebabkan banyaknya warga masyarakat yang "
" "meninggal dunia sehingga banyak masyarakat yang pindah "
" "ke daerah lain seperti Sebulu dan Sungai Payang "
" "(Jembayan) "
"1982-1983"Kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan di daerah "
" "se-belah kanan mudik Sungai Sakak, khususnya di daerah "
" "hilir dekat perbatasan dengan Desa Gemuruh. "
"1990 "Merintis jalur jalan untuk transportasi darat sebagai "
" "alternatif jika air sungai surut dan tidak adanya "
" "sarana transportasi air. Kegiatan di-lakukan bersama "
" "mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Unmul dan warga desa"
" "sekitarnya "
"1994/1995"Pembangunan perumahan transmigran Gunung Rampah di Desa"
" "Sakak Lotoq "
"Maret "Warga Transmigran Gunung Rampah dari Jawa dan "
"1997 "trans-lokal mulai mendiami pemukiman "
"Mei 1997 "Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Karet oleh PT."
" "Inhutani I dengan target 4500 ha "
"1997/1998"Kemarau panjang dan kebakaran hutan di wilayah hulu "
" "sebelah ka-nan mudik Sungai Sakak. "
"Maret "PT. Inhutani I yang mengelola HTI tutup karena tidak "
"2000 "ada kese-pakatan mengenai lahan dengan masyarakat "
"Agustus "Demontrasi warga menuntut ganti rugi dan denda adat "
"2000 "atas pem-balakan hutan adat oleh PT. Marimun Timber "
Sumber: BIOMa (2000)
BAB III
METODE PENULISAN
1. Pendekatan Penelitian
Secara metodologis, karya tulis ilmiah ini menggunakan
pendekatan eksploratif, yaitu dari pengumpulan data/informasi dari
sumber-sumber sekunder dan didukung dengan data primer dari nara
sumber
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lingkungan kampus universitas
mulawarman, yayasan BIOMa, dan Kantor GIZ, Dinas Kehutanan Samarinda
pada tanggal 23 Januari s.d. 28 Februari 2015.
3. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan berbentuk pertanyaan – pertanyaan wawancara
dalam rangka penggalian informasi yang lebih dalam kepada para
narasumber. Peralatan utama pembuatan karya ilmiah ini adalah alat
tulis manual maupun elektronik.
4. Metode Pengumpulan Data dan Informasi
Penelitian ini dilakukan dengan Studi yang bersifat eksploratif,
mengkombinasikan metode on desk study dengan telaah dokumentasi dari
berbagai sumber data sekunder dengan teknik wawancara. Wawancara
dilakukan dengan cara bertatap muka dengan narasumber baik secara
formal maupun informal sesuai dengan situasi dan kondisi yang
mendukung untuk menghindari adanya non respon dan respon error
sehingga didapatkan hasil wawancara yang lengkap tentang objek
penelitian. Wawancara ditunjukan kepada beberapa pihak yang memiliki
data dan informasi yang valid dan terpercaya.
5. Metoda Analisis
Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk membantu
mengidentifikasi dan memaparkan unsur-unsur yang menjadi fokus dalam
penulisan. Data yang telah dikumpulkan kemudian diseleksi,
dikelompokkan, dilakukan pengkajian dengan mengidentifikasi dan
menginterpretasikan data dan informasi dari sumber informasi. Khusus
untuk pengembangan strategi didukung dengan analisis SWOT (Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman) secara sederhana. Kemudian
disimpulkan dan disajikan dalam bentuk naratif.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi dan Dinamika Kearifan Lokal Penanggulangan Kebakaran
Masyarakat Dayak Benuaq.
Keberadaan pengetahuan dan kearifan tradisional yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat lokal merupakan satu aset berharga dalam
pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan bencana kebakaran
hutan dan lahan. Pengembangan program yang berbasis pada kearifan dan
pengetahuan yang bersumber dari masyarakat lokal terutama menekankan
pada aspek pencegahan bencana kebakaran yang ditunjang dengan aspek
penanggulangan secara sederhana. Program yang dimaksudkan sebagai
salah satu bentuk pendekatan pencegahan dan/atau penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan dengan penekanan pada aspek kebijakan,
teknologi dan mekanisme.
Dengan kearifan lokal dan teknologi tradisional yang dimiliki,
mereka mampu membuktikan bahwa walaupun telah dilaksanakan dalam waktu
yang lama dan turun temurun, pola perladangan yang mereka lakukan
terbukti aman dan mampu memberikan hasil yang berkesinambungan
Hubungan antara mereka dengan hutan terlihat sangat erat dengan pola
pemanfaatan yang masih terbilang sederhana baik dalam hal pemanfaatan
hasil hutan kayu maupun non kayu. Berikut adalah dokumentasi naratif
tentang kearifan lokal penggunaan api oleh masyarakat Dayak Benuaq.
Teknologi Tradisional Pengendalian Api
Lingkungan hutan dan penggunaan api
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mempunyai cara-cara
pengendalian api (Marepm Api) yang sudah dikenal sejak jaman leluhur
mereka dan diwariskan kepada penerusnya. Cara tradisional atau
disebut teknologi tradisional pengendalian api (marepm api) ini
digunakan oleh masyarakat umumnya pada waktu kegiatan berladang,
khususnya pada tahap pembakaran ladang. Bentuk kegiatan pengendalian
api pada saat pembakaran ladang adalah pembuatan sekat bakar dengan
beberapa aturan-aturan yang disesuaikan dengan kondisi lahan. Kegiatan
ini dilaksanakan secara gotong royong oleh pemilik ladang.
Pengorganisasian dalam pengendalian api
Selain pada saat kegiatan berladang, alat-alat tradisional
pengendalian api juga digunakan pada peristiwa kebakaran hutan,
khususnya dalam membuat sekat bakar dan penjagaan di sekitar sekat
bakar. Hal ini disebabkan karena alat tersebut tidak memadai untuk
memadamkan kebakaran hutan sehingga penggunaan alat lebih ditekankan
untuk upaya pencegahan (preventive) supaya api tidak melewati sekat
bakar yang dibuat dan tidak menyebar kemana-mana. Pada peristiwa
kebakaran tahun 1997/1998 seluruh masyarakat ikut serta dalam
pembuatan sekat bakar dan melakukan upaya penjagaan, termasuk kaum ibu-
ibu. Keadaan ini berbeda dengan saat pembukaan ladang, dalam hal mana
pembakaran hanya dilakukan oleh para pemilik ladang. Kegiatan ini
dikoordinir langsung oleh kepala desa dengan dibantu oleh staf desa.
Aturan adat dalam kegaitan pengendalian api.
Beberapa aturan adat dalam kaitannya dengan pengendalian api,
terutama aturan/tradisi sebelum melaksanakan pembakaran ladang. Saat
ini masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Sakak Lotoq, antara lain:
Dilarang mandi pagi pada hari pembakaran ladang dengan
maksud agar pada saat kegiatan pembakaran ladang tidak terjadi
turun hujan.
Membersihkan/menyapu halaman rumah sebelum pergi ke ladang
dengan tujuan pada saat membakar ladang api tidak menyebar
kemana-mana.
Menggantung tampi dengan gambar manusia di depan rumah (gambar
manusia sedang mengkipas) dimaksudkan supaya banyak angin pada
proses pembakaran sehingga batang maupun ranting yang dibakar
cepat terbakar.
Batu gosok (digunakan untuk mengasah parang) tidak boleh dibawa
ke tengah ladang dan tidak boleh disimpan langsung di tanah.
Untuk pembakaran pertama menggunakan daun "juang" yang
diiris/dihancurkan, dimasukkan dalam bambu dan kemudian dibakar.
Dimaksudkan supaya api pada saat pembakaran tidak menyebar
kemana-mana. Pembakaran dilakukan setelah matahari mulai condong
ke arah barat yaitu kurang lebih pukul 13.00.
Melihat arah angin: pembakaran dilakukan searah dengan angin,
dimaksudkan untuk melihat arah angin dengan melihat ujung-ujung
pohon. Bila ladang berada di daerah miring, pembakaran dilakukan
dari bagian yang rendah.
Aturan-aturan tersebut sudah ada sejak dahulu dan tetap ditaati
oleh masyarakat sampai sekarang. Namun demikian ada beberapa
aturanaturan yang menurut masyarakat sendiri sudah jarang digunakan
karena dirasa bertentangan dengan agama.
Sistem Peringatan Dini.
Sistem peringatan dini (early warning system) adalah tanda -
tanda yang digunakan sebagai peringatan awal akan datangnya musim
kemarau panjang sehingga tidak baik dalam kondisi tersebut masyarakat
menyalakan api selain itu, juga sebagai tanda adanya anggota
masyarakat yang sedang melakukan pembukaan lahan. Secara umum sistem
peringatan dini yang digunakan oleh masyarakat benuaq dibagi mejadi
tiga bagian:
1) Melihat perilaku flora dan fauna.
Jika sejenis burung yang biasa bersarang di pohon – pohon sekitar
sungai, bersarang lebih rendah dari biasanya.
Sejenis capung atau serangga dalam jumlah banyak beterbangan di
atas sungai.
Pohon madu bebunga lebat.
Berbagai jenis pohon meranti berbuah lebat.
2) Melihat fenomena alam.
Kabut yang sangat tebal di pagi hari.
Pergeseran garis edar matahari agak ke selatan, dilihat dengan cara
melihat bayangan pada tongkat kayu yang ditancapkan.
3) Firasat, mimpi,dan kepercayaan masyarakat.
Para tetua adat dianggap sebagai jembatan jiwa antara manusia dengan
roh, biasanya para tetua memiliki firasat akan terjadi kemarau
panjang.
Dukun atau tabib (pemeliatn) bermimpi menjemur ikan asin.
Jika ada seseorang atau lebih melakukan penyimpangan (beehuuaq)
maka, diyakini bahwa kemarau panjang akan datang.
Peralatan yang digunakan.
Beberapa alat tradisional pengendalian api yang digunakan oleh
masyarakat merupakan warisan dari pendahulu mereka. Alat-alat tersebut
biasanya dibuat sendiri oleh masyarakat dengan bahan-bahan yang
tersedia dari alam. Beberapa alat yang digunakan oleh masyarakat Desa
Sakak Lotoq dalam pengendalian api disajikan pada Tabel 3. di bawah
ini:
Tabel 3. Peralatan yang Dipergunakan dalam Kegiatan Marepm Api di Desa
Sakak Lotoq,
Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
"No"Gambar "Nama "Fungsi "Bahan Pembuatan "
" "Peralatan "Peralatan " " "
"1." "Pocet "Dipergunakan "Dibuat dari bambu "
" " " "pada saat "(balo bane), kayu "
" " " "memadamkan "(bagian dalamnya) "
" " " "api "yang dibalut kain "
" " " " "pada bagian ujungnya."
"2." "Topoq "Untuk membawa"Terbuat dari bambu "
" " " "air "betukng, pring, bane "
" " " " "atau labu kumukng "
"3." "Gawaakng, "Untuk membawa"Tempat membawa air "
" " "Kiba "topoq "yang dibuat dari "
" " " " "rotan "
"4." "Pemupar "Untuk "Dari tumbuhan hidup "
" " "apuy "memadamkan "utamanya jenis "
" " " "atau memukul "pisangpisa-ngan "
" " " "api "(jojotn, sewet) atau "
" " " " "dari ranting jenis "
" " " " "tumbuhan yang lain "
"5." "Manau "Untuk "Dibuat dari logam dan"
" " " "merintis "kayu "
" " " "dalam " "
" " " "pembu-atan " "
" " " "sekat bakar. " "
"6." "Agit "Alat pengait"Dari ranting atau "
" " " "dalam menebas"akar yang berbentuk "
" " " " "kaitan "
" " " " " "
"7." "Pengokot "Alat untuk "Terbuat dari rotan "
" " " "membersihkan "yang dibelah ujungnya"
" " " "/menyapu "dan dianyam. "
" " " "lahan dalam " "
" " " "pembuatan " "
" " " "sekat bakar " "
"8 " "Beliung "Alat untuk "Terbuat dari besi + "
" " " "menebang "kayu yang dililit "
" " " "pohon dalam "dengan rotan, dan "
" " " "pembuatan "terbuat dari besi "
" " " "sekat bakar. " "
Sumber: Bioma (2000)
4.2. Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran
Hutan/Lahan Dayak Benuaq
4.2.1 Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)
Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran Hutan dan
Lahan Masyarakat Dayak Benuaq.
Analisis sederhana ini melibatkan 4 (empat) faktor analisis
berupa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari kearifan lokal
masyarakat Dayak Benuaq yang menjadi objek penelitian. Berdasarkan
telaah yang telah kami lakukan, maka didapatlah pengelompokan
sederhana berikut.
a. Kekuatan:
Hingga sekarang penggunaan teknologi tradisional masih ada, dan
digunakan oleh masyarakat pada kelompok tertentu dan sebagian
kelompok lagi telah mengkombinasikannya dengan kondisi sekarang.
Dalam pembukaan ladang dengan cara membakar masyarakat masih
mempertahankan kebiasaan dari nenek moyang mereka yang diyakini
dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan.
Bentuk dan cara pengunaan alat–alat tersebut sangat sederhana
sehingga setiap orang dapat membuat dan menggunakannya tanpa
memerlukan ketrampilan khusus.
Bahan dan peralatan yang diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan,
disamping itu mudah untuk mendapatkan bahan bakunya dan proses
pembuatannya.
Kegiatan untuk pengendalian api pada dasarnya telah terorganisir
secara kekeluargaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat hingga
sekarang. Pengorganisiran ini pertama kali dilakukan terutama pada
saat kegiatan yang melibatkan orang banyak dan sifatnya
kekeluargaan, salah satunya adalah saat membuka ladang.
Aturan adat yang masih ditaati.
Tingginya tingkat kemandirian masyarakat yang diindikasikan dengan
adanya dana swadaya untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi.
Pada masyarakat lokal tradisional masih banyak ditemukan dan
dipraktekkan teknologi lokal dalam pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan yang terbukti cukup efektif, murah dan
mudah.
b. Peluang:
Keberadaan lembaga adat untuk beberapa kelompok masyarakat sangat
penting artinya dalam mengatur kehidupan masyarakat, disisi lain
kelompok dengan ketentuan lain (tanpa lembaga adat) menggunakan
aturan main tersendiri yang diatur oleh tokoh masyarakat sesuai
dengan kesepakatan yang dibuat.
Dibeberapa kelompok masyarakat yang lain, yang telah masuk program
kegiatan pengendalian api telah ada kelompok organisasi yang
mengaturnya.
Adanya lembaga-lembaga dan sumberdaya manusia yang bersedia untuk
berpartisipasi.
Tingginya keinginan masyarakat untuk mempertahankan teknologi
tradisional pengendalian api.
c. Kelemahan:
Aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat masih
bersifat lisan dan lebih banyak mengatur tentang hubungan sosial
kemasyarakatan.
Bentuk kelembagaan khusus yang menangani kebakaran hutan dan lahan
belum ada kecuali di Desa Jerang Melayu, sehingga sampai saat ini
biasanya masalah ini ditangani oleh lembaga pemerintahan desa dan
lembaga adat.
Dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi masyarakat
lebih banyak mengandalkan kemampuan sendiri dan bantuan yang ada
dari pihak perusahaan yang ada di sekitar desa mereka masih sangat
terbatas.
Hambatan utama dan banyak ditemukan dalam pengembangan pengelolaan
kebakaran hutan dan lahan berbasiskan masyarakat adalah masalah
dana (alokasi dan sumber), peralatan (termasuk sarana dan
prasarana), organisasi dan kelembagaan, sistem informasi dan
koordinasi, kepedulian dan komitmen para pihak, status dan
kepastian kawasan, lemahnya pengawasan, dan kondisi sosial ekonomi
dan budaya lokal.
d. Ancaman:
Pola pewarisan aturan-aturan adat tersebut dilakukan melalui
proses penuturan dari generasi tua kepada generasi muda dan proses
mencontoh, sehingga ada kemungkinan pewarisan adat tidak
berlangsung dengan baik.
4.2.2 Rumusan strategi pendayagunaan kearifan tradisional penanggulangan
Kebakaran Hutan dan Lahan Masyarakat Dayak Benuaq.
a. Strategi I (Strength – Opportunity)
Mengutamakan tindakan pencegahan karena merupakan upaya yang paling
realistis, mudah dan murah dalam pengelolaan kebakaran hutan dan
lahan, mengingat penanganan kebakaran pada saat api sudah besar dan
tidak terkendali tidak lagi optimal.
Melakukan pelatihan ditingkat desa dengan memadukan
pengetahuan/teknologi tradisional dengan pengetahuan/teknologi modern;
Membuat alat-alat modifikasi yang merupakan gabungan dari teknologi
tradisional dan modern dengan tetap mempertahankan prinsip mudah,
murah dan efektif.
Mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang mengakomodir kearifan
masyarakat tradisional (aturan-aturan adat) dalam pengelolaan
Sumberdaya Alam (SDA);
Perlunya peraturan sebagai produk kebijakan (semacam perda) khusus
dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang
mengakomodir aturan adat (kesepakatan lokal) serta aspek teknis
tradisional lainnya
a. Strategi II (Strength – Threat):
Melakukan pendokumentasian pengetahuan kearifan masyarakat tradisional
(aturan-aturan adat) sehingga diharapkan nantinya mampu mengikat ke
dalam internal masyarakat.
Pemberdayaan dan penguatan kelembagaan lokal (masyarakat), pelatihan
dan penyuluhan yang terus menerus untuk meningkatkan pemahaman akan
pentingnya mengetahui dan memahami pengetahuan tradisional.
b. Strategi III (weakcness – opportunity):
Pembentukan kelompok kerja untuk memfasilitasi pembentukan dan
pengembangan lembaga khusus di tingkat lokal yang berfungsi sebagai
ujung tombak dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.
Melakukan penguatan lembaga-lembaga tingkat di lokal untuk
memudahkan akses informasi, koordinasi dan mampu menyediakan pelayanan
dan dukungan dalam menangani masalah kebakaran hutan dan lahan.
Perlunya alokasi dana khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk meningkatkan sarana/prasarana, sumberdaya manusia,
serta pengembangan organisasi/kelembagaan dalam pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Pendekatan yang diperlukan dalam advokasi kebijakan PKHL adalah
antar lain membina konsistensi kepedulian masyarakat, monitoring
kebakaran hutan secara terpadu, pembentukan satdamkar di tingkat desa,
memperkuat akuntabilitas manajemen kebakaran hutan serta penegakan
hukum yang konsisten bagi pelaku kebakaran hutan dan lahan terutama
pelaku pembakaran hutan dan lahan secara ilegal.
Mendorong terciptanya law enforceman bagi penyebab timbulnya
kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat dalam
monitoring pengeloaan sumberdaya alam.
d. Strategi IV (Weakness – Threat)
Melakukan inventarisasi pengetahuan kearifan masyarakat tradisional
(aturan-aturan adat) sebagai pengayaan pengetahuan untuk pengembangan
teknologi tradisional dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.
Mendorong terciptanya kesamaan persepsi antar anggota masyarakat
akan pentingnya pengetahuan dan pengembangan teknologi tradisional
dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kearifan lokal pada masyarakat Dayak Benuaq masih digunakan meskipun
sudah sangat tua dalam pemakaiannya.
2. Teknologi dan cara pencegahan dan penanggulangan yang relative
sederhana mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan karena sangat mudah untuk
dipahami dan dilakukan bahkan untuk yang berpendidikan rendah
sekalipun.
3. Sinergitas peran antara pimpinan desa dengan warganya sangat
menentukan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan.
5.2 Saran
1. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan berbasis
kearifan lokal sangat baik untuk diterapkan pada masyarakat luas dalam
hal ini membutuhkan dukungan dari berbagai elemen terutama para
pemegang kebijakan.
2. Tenaga penyuluh atau tenaga ahli berperan penting dalam menjembatani
inovasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of
forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes,
prevention, and control.
Anonim, 1998. Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan Propinsi Kalimantan Timur.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi
Kalimantan Timur, Samarinda
Anonim, 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No.
19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran
Hutan Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Oemiyati, R. 1986. Kebakaran Hutan Di Indonesia dan Masalahnya: Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional "Ancaman Gangguan Terhadap Hutan
Tanaman Industri 20 Desember 1986" (photo copy lepas). FMIPA UI,
Jakarta.
Pemda Kaltim, 2000. Kalimantan Timur dalam Angka 2000. Bappeda Kaltim dan
Kantor Statistik Kaltim, Samarinda.
Pemda Kaltim, 1990. Sejarah Pemerintahan Di Kalimantan Timur dari Masa Ke
Masa. Pemerintah Propinsi daerah Tingkat I Kaltim, Samarinda.
Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik
dan Kelestarian Sumberdaya. Yogyakarta: Debut Press.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam
Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran
dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya.
Prosiding Simposium: "Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya
Alam dan Lingkungan". Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal:
36-39.
Sutisna, M. dkk, 1998. Rehabilitasi Kawasan Hutan Bekas Kebakaran Aspek
Teknis dan Sosial, Makalah Disampaikan pada Lokakarya "Kebakaran
Hutan dan Lahan Pencegahan dan Rehabilitasinya Serta Penata Ulang
Hutan Wisata Bukit Soeharto tanggal 14-15 Mei 1998". Bapedalda
Kaltim, Samarinda.
Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan
implikasi kebijakan. Bogor: CIFOR.
Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest Forest of The Far East. Clarendon
Press. Oxford.
Wijaya, A. 2002. Kajian Aspek Sosial Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan Di
Kalimantan Timur. Yayasan Bioma, Samarinda.
Wijaya, A. 2014. Ensiklopedi Suku-Suku Asli Di Kalimantan Timur. Yayasan
Bioma, Samarinda
Wirakusumah, S dan M.Y. Rasid, 1987. Cita dan Fenomena Hutan Tropika
Humida. Pradnya Paramita, Jakarta.
http://www.wri.org
http://geospasial.bnpb.go.id
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Lampiran 1.
Gambar 4. Sketsa Pembuatan Sekat Bakar dalam Sistem Pembukaan Ladang
secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok Sasaran
Gambar 5. Sketsa Penentuan Arah Rebah Pohon dalam Sistem Pembukaan
Ladang Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok
Sasaran
Lampiran 2.
Gambar 6. Sketsa Penentuan Arah Pembakaran dalam Sistem Pembukaan
Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok Sasaran
Gambar 7. Sketsa Sistem Koordinasi Kegiatan Pembakaran dalam
Sistem Pembukaan Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal
Kelompok Sasaran
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
"Nama Lengkap "HARISH JUNDANA "
"Tempat, Tanggal Lahir "Serang, 06 September "
" "1995 "
"Alamat Tempat tinggal "Jl. Suwandi, Rt.22 Blok"
" "A No. 85 "
"No Hp "081214304130 "
"E- mail "
[email protected] "
"Riwayat Pendidikan "TKIT Al Istiqomah "
" "SDIT Al Izzah "
" "MTs Husnul Khotimah "
" "MA Husnul khotimah "
"Karya Ilmiah yang Pernah"- "
"di " "
"Buat " "
"Penghargaan Ilmiah yang "- "
"pernah " "
diraih
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
"Nama Lengkap "EKO AJI MUSTIKO "
"Tempat, Tanggal Lahir "Purbalingga, 21 Oktober 1995 "
"Alamat Tempat tinggal "Jl. Sambaliung RT 01 Asrama "
" "Mahasiswa Unmul "
"No Hp "085643359877/082226336364 "
"E- mail "
[email protected] "
"Riwayat Pendidikan "SD N 1 Babakan "
" "SMP N 1 Padamara "
" "SMK N 1 Bojongsari "
"Karya Ilmiah yang Pernah"- "
"di " "
"Buat " "
"Penghargaan Ilmiah yang "- "
"pernah " "
diraih
-----------------------
Gambar 1. Trilogi Api
Gambar 2
. Peta Kalimantan Timur
Gamb
ar
3
. Desa Sakak Lotoq