JURNAL READING THE EFFICACY Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesi dan Reanimasi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Disusun oleh : Safitri Muliawati Sumarto 1710221093
Pembimbing : dr. Thariq Emyl T.H, Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN PERIODE 2 FEBRUARI – FEBRUARI – 10 10 MARET 2018
Keberhasilan dan Keamanan Dua Dosis-Rendah Deksametason Peri-Operatif terhadap Nyeri dan Penyembuhan Setelah Tindakan Total Hip Arthroplasty : a Randomized Control Trial Yi-ting Lei, Bin Xu, Xiao-wei Xie, Jin-wei Xie, Qiang Huan g, Fu-xing Pei
Abstrak
Tujuan : Mengevaluasi keberhasilan dan keamanan penggunaan dua dosis-rendah deksametason terhadap nyeri dan penyembuhan setelah tindakan Total Hip Arthroplasty (THA). Metode : 100 pasien diberikan 2 dosis 10mg deksametason IV (kelompok deksa) dan caira isotonik saline IV (kelompok plasebo). Nilai C-Reactive Protein (CRP) dan interleukin-6 (IL-6), nyeri saat istirahat dan beraktivitas, kejadian Post-Operative Nausea and Vomitting (PONV), intensitas mual, kelelahan setelah operasi, penggunaan obat analgetik dan antiemetik, Range of Motion (ROM), lama rawat inap setelah operasi (Length of Stay), masalah luka dan komplikasi dicatat dan dibandingkan. Hasil : Nilai penanda inflamasi (CRP, dan IL-6) pada kelompok deksa lebih rendah dibandingkan dengan kelompok plasebo pada 24, 48, 72 jam setelah operasi. Nyeri dinamik dengan skor VAS selama 24 jam lebih rendah di kelompok deksa (P=0.002), namun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada nyeri saat istirahat. Pada kelompok deksa, lebih sedikit pasien yang mengalami kejadian PONV (P=0.003), begitu jua dengan skor VAS terhadap mual (P=0.044). kelelahan setelah operasi (P<0.001) telah menghilang dan penggunaan analgetik dan antiemetik telah berkurang. Pasien dapat melakukan fleksi (P<0.001) dan abduksi (P=0.017) maksimum lebih baik, dengan lama rawat inap setelah operasi yang lebih cepat (P=0.006). Tidak ditemukan perbedaan masalah luka pada kedua kelompok. Pada kedua kelompok tidak ditemukan adanya fokus infeksi atau perdarahan gastrointestinal. Kesimpulan : Pemberian dua dosis-rendah peri-operatif deksametason dapat secara efektif mengurangi nilai CRP dan IL-6 setelah operasi, membantu men gontrol nyeri tambahan dan mual, memperbaiki kelelahan setelah operasi, membantu perbaikan mobilitas, dan mempercepat lama
rawat inap setelah operasi THA, tanpa meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan gastrointestinal. Level of evidence : I.
Kata kunci : deksametason, Total Hip Arthroplasty, Keberhasilan, Randomized Controlled Trial.
Pendahuluan
Total Hip Arthroplasty (THA) merupakan salah satu penatalaksanaan yang efektif untuk tahap akhir osteoarthritis dan penyakit pinggul lainnya, dimana sangat dapat meningkatkan mobilitas dan kualitas hidup. Namun, trauma operasi selama THA sering berakhir menjadi inflamasi berat post operasi, yang kemudian berkontribusi terhadap terjadinya n yeri dan kelelahan intensif post-operasi, peningkatan PONV post-operasi, terbatasnya pergerakan sendi, dan memanjangnya wkatu rawat inap di rumah sakit. Sebagai tambahan, penanganan peri-operatif yang tidak adekuat berkorelasi secara langsung terhadap kepuasan pasien yang rendah an dapat memperlambat periode penyembuhan. Sehingga, penting untuk mengontrol inflamasi peri-operatif pada THA. Glukokortikoid merupakan golongan hormon steroid dengan sifat antiinflamasi, yang seringkali digunakan dalam beberapa operasi termasuk THA. Seperti yang telah disampaikan sebelumya, glukokortikoid dapat menurunkan PONV, memperbaiki kelelahan, dan dapat menjadi bagian dari pemberian analgetik multimodal pada THA. Namun, dikarenakan perbedaan klinis, waktu optimal, cara, dan dosis glukokortikoid pada THA belum dapat diketahui dengan pasti, sehingga menghasilkan perbedaan klinis akhir yang berbeda – beda. Pada penelitian sebelumnya, glukokortikoid seringkali diberikan pada keadaan perioperatif dengan memperhitungkan waktu selama 2 jam untuk onset (11). Selain itu, sebagian besar regimen adalah satu dosis tunggal kerja singkat dan diberikan secara intravena dengan mempertimbangkan efek samping yang relatif lebih rendah (12-14). Meskipun demikian, beberapa pasien ini masih menderita nyeri, rasa lelah, dan PONV (10, 15). Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa waktu kerja dan dosis tidak dapat memenuhi kebutuhan antiinflamasi.
Oleh karena itu, uji klinis acak prospektif ini dilakukan untuk menegaskan efektivitas dan keamanan dua dosis deksamethason IV 10 mg (Dexa) selama periode perioperatif THA, yang diharapkan dapat menetapkan: (1) apakah deksamethason mengurangi kadar penanda inflamasi pascaoperatif; (2) apakah penggunaan kombinasi dexamethason dan mosapride lebih lanjut mengurangi PONV dibandingkan hanya dengan mosapride; (3) apakah dua dexamethason dosis rendah memberikan efek analgesik tambahan; (5) apakah deksamethason meningkatkan perbaikan fungsi dan rentang pergerakan (ROM) setelah THA; (6) apakah deksamethason mempersingkat LOS perioperatif; (7) apakah dexamethason meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan gastrointestinal.
Materi dan Metode Pasien dan rancangan
Uji klinis ini disetujui oleh dewan peninjau institusional dan d idaftarkan dalam International Clinical Trial Registry (ChiCTR-IOR-16008865). Semua subjek memberikan persetujuan oral dan tertulis mereka untuk partisipasi dalam penelitian sebelum operasi. Dari Mei hingga Oktober 2016, semua pasien yang mendapatkan THA elektif, unilateral primer yang secara berurutan diskrining untuk rekruitmen kedalam uji klinis. Kriteria eksklusi mencakup penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan, alergi terhadap Dexa, usia ≤ 18 tahun atau ≥ 80 tahun, pemberian glukokortikoid selama tiga bulan terakhir sebelum operasi; pemberian opioid kuat apapun selama 7 hari terakhir; riwayat penyakit jantung berat (NYHA > 2), gagal hati atau ginjal, penyakit reumatik imunitas sistemik (reumatoid artritis, spondilitis ankylosing , lupus eritematosus sistemik). Pasien secara berurutan (n = 110) ditetapkan secara acak untuk masuk kedalam dua kelompok, yaitu kelompok dexa dan plasebo. Urutan alokasi pengacakan disembunyikan dalam amplop tersegel buram yang hanya dibuka sebelum operasi. Pasien-pasien dalam kelompok Dexa (n = 55) mendapatkan dua dosis dexamethason IV 10 mg (2 ml, Tianjin Kingyork Group Co., Ltd, China), dan pasien pada kelompok plasebo (n = 55) mendapatkan dua dosis salin isotonis IV (2 ml). Dosis pertama diberikan tepat setelah anestesi umum dilakukan oleh ahli analgesik, dan dosis kedua diberikan tepat ketika pasien kembali ke uni t rawat inap oleh seorang perawat. Ahli analgesi
dan perawat tidak terlibat dalam uji klinis ini, dan pasien, ahli bedah, pengontrol data dan ahli analisis tidak mengetahui keadaan ini.
Prosedur operasi
Semua THA dilakukan di ruang operasi dengan aliran laminar yang sama dan dilakukan oleh satu ahli bedah ortopedi yang berpengalaman. Kami melakukan operasi dengan melakukan pendekatan posterolateral dan cups dan stem yang tidak mengandung semen. Anestesi umum dipilih oleh ahli anestesi di pusat pengobatan kami dengan tekanan darah yang terkendali dalam rentang 90 – 110 mmHg/60 – 70 mmHg disepanjang prosedur. Sebelum insisi kulit, satu dosis asam traneksamat sebesar 20 mg/kg Iv (TXA, Chonqing Lummy Pharmaceutical Co., Ltd, China; DAIICHI SANKYO PROPHARMA CO., LTD, jepang) diberikan. S ebelum insisi ditutup, injeksi TXA 1 g intra artikular diberikan, dan diberikan injeksi ropivacaine 0.2% peri artikular (100 ml). Selain itu, tidak ada blok saraf dan/atau analgesik intravena yang dikendalikan pasien (PCA) yang digunakan pada waktu perioperatif.
Protokol perawatan pasca operatif
Pasien dipindahkan ke unit perawatan pasca anestesi setelah operasi selama dua jam, dan kemudian kembali ke unit rawat inap. Kompres dingin diletakkan pada tempat pembedahan selama 24 jam pada waktu kembali ke bangsal. Latihan untuk fungsi sehari-hari, termasuk latihan ROM aktif, latihan kekuatan, dan latihan berjalan dipantau dibawah pengawasan dan bantuan ahli fisioterapi. Strategi untuk menahan nyeri dan PONV untuk semua pasien adalah sama. Obat analgesik oral multimodal (50 mg diclofenac per 12 jam, 75 mg pregabalin per 8 jam) diberikan untuk analgesik pendahuluan satu hari sebelum operasi. Proses analgesik dilakukan kembali ketika pasien meneruskan asupan oral setelah operasi. Ketika pasien melaporkan nyeri sebesar lebih dari 4 pada skala VAS 0 -10, digunakan oxycodone oral (10 mg per 8 jam). Injeksi parecoxib intramuskular (40 mg) digunakan jika pasien mengeluhkan nyeri yang berat dengan nilai lebih dari 6. Satu hari sebelum operasi, mosapride oral (5 mg tiga kali sehari, setiap makan) mulai diberikan.
Injeksi metocloperamide intramuskular (10 mg) dipilih sebagai pilihan pembantu lini pertama jika pasien mengalami kejadian PONV sebesar dua atua lebih atau mengalami mual berat (VAS > 4). Injeksi ondansentron intramuskular (5 mg) dapat menjadi pilihan penolong lini kedua setelah dua bolus metokloperamide telah diberikan dalam interval 30 menit. Kombinasi trombofilaksis mekanis dan kimia digunakan untuk menghindari tromboemboli vena. Sebagai profilaksis kimia, semua pasien mendapatkan setengah dosis heparin dengan berat molekuler rendah (LMWH; 2000 IU dalam 0.2 ml; Clexane, Sanofiaventis, France) yang dimulai pada waktu enam jam pascaoperasi, diikuti dengan dosis penuh (4000 IU dalam 0.4 ml) pada interval 24 jam. Sebagai profilaksis mekanis, sistem pompa kemiringan kaki intermiten digunakan sebelum berjalan. Sebagai profilaksis setelah pemulangan, pasien diperintahkan untuk mengonsumsi 10 mg Rivaroxaban (Xarelto, Bayer, Jerman) secara oral satu kali sehari selama 14 hari.
Pengukuran Outcome
Demografi pasien, riwayat medis dan obat yang sedan g dikonsumsi didaftarkan pada waktu praoperatif. Faktor-faktor inflamasi (CRP, IL-6) diperiksa pada waktu pra operasi dan pada waktu 24, 48, 72 jam setelah operasi. Untuk mengevaluasi efek analgesik, tingkat nyeri dan kuantitas obat penyelamat analgesik (oksicodone dan parecoxib) dicatat. Tingkat nyeri dievaluasi dengan menggunakan skala analog visual (VAS, 0 berarti tidak ada nyeri, 10 berarti nyeri terberat yang dapat dibayangkan) dan dilakukan pada keadaan pra operasi dan pada waktu 24, 48, 72 jam pascaoperasi, yang baik pada saat istirahat (istirahat di tempat tidur sekurang-kurangnya selama 30 menit sebelum pemeriksaan) dan latihan berjalan (berjalan 20 langkah sebelum pemeriksaan). Munculnya PONV dan konsumsi obat penolong antiemetik (metoclopramide dan ondancentron) dikumpulkan setelah operasi. Intensitas mual dinilai dengan menggunakan VAS (0 berarti tidak ada mual, 10 berarti mual yang terberat yang dapat dibayangkan) pada waktu enam jam pertama setelah operasi. Rasa lelah dievaluasi dengan memilih Identity-Consequence-Fatigue-Scale (ICFS) sebelum operasi dan POD3. ROM panggul diukur dengan ekstensi, fleksi dan abduksi dengan goniometer satu hari pra operatif sebagai nilai awal, dan untuk nilai pasca operatif dilakukan penilaian pada hari ketiga. Masalah luka (kebocoran luka, kemerahan atau pembengkakan disekitar luka) juga dinilai. Komplikasi (infeksi pada tempat pembedahan,
perdarahan gastrointestinal) dicatat secara sekama selama rawat inap dan dua minggu follow up. Pada uji klinis ini, LOS pascaoperatif yang memanjang didefinisikan sebagai durasi yang lebih besar dari persentil ke 75 untuk keseluruhan kelompok, dan dilakukan pencatatan akan alasan pemulangan.
Analisis statistik
Penghitungan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak PASS 2011 (NCSS, LLC, Kaysville, Utah, AS) berdasarkan uji t dua sampel. Menurut hasil penelitian sebelumnya (8, 16), kami memperkirakan rata-rata penurunan skor VAS (nyeri) sebesar 0.7 pada kelompok dexa. Dengan kekuatan sebesar 0.90 dan tingkat signifikansi sebesar 0.05, dibutuhkan 40 pasien per kelompok. Jika diperkirakan angka eksklusi sebesar 10%, jumlah sampel minimum yang dibutuhkan pada masing-masing kelompok adalah 45. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk memasukkan 60 pasien pada setiap kelompok. Semua analisis data dilakukan dengan SPSS versi 24 (SPSS Inc. AS). Uji t Student atau uji U Mann-Whitney Wilcoxon digunakan untuk menganalisis data kuantitatif dan uji Chi-sqare Pearson atau uji Fisher exact digunakan untuk menagnalisis data komparatif kualitatif. Signifikansi statistik didefinisikan sebagai p < 0.05.
Hasil Demografi pasien
Seratus dua puluh pasien yang direkrut dari Mei 2016 hingga Oktober 2016 dijadwalkan untuk mendapatkan THA primer elektif unilateral pada institusi kami. Diantara pasien-pasien ini, enam pasien tidak memenuhi persyaratan, dan empat menolak untuk berpartisipasi. Oleh karenanya, uji klinis ini mencakup 110 pasien. Lima puluh lima pasien diacak untuk masuk kedalam kelompok dexa, sementara yang lainnya diacak kedalam kelompok plasebo (gambar 1), dan dua kelompok sebanding dalam hal karakteristik awal mereka (tabel 1).
Penanda Inflamasi
Sebagai faktor inflamasi akut, CRP dan IL-6 memperlihatkan peningkatan yang cepat pada semua pasien setelah operasi. Kadar CRP puncak teramati pada 48 jam dalam kedua kelompok, dan rata-rata kadar serum di kelompok plasebo secara signifikan lebih besar dibandingkan den gan kelompok dexa pada 24, 48, dan 72 jam pascaoperasi (P1 = 0.038, P2< 0.001, P3< 0.001). ratarata konsentrasi serum IL-6 memuncak 24 jam setelah operasi pada kelompok dexa, dan memuncak 48 jam pascaoperasi pada kelompok plasebo. Selain itu, kadar IL-6 pada kelompok dexa secara umum lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo pada waktu 24, 48, 72 jam setelah operasi (P1< 0.001, P2< 0.001, P3 < 0.001) (Gambar 2).
Nyeri dan penyelamatan analgesik
Secara keseluruhan nyeri berkurang setelah THA dibandingkan dengan pra operasi. Pasien pada kelompok dexa memiliki skor VAS nyeri yang lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo pada waktu 24 jam selama berjalan (P1 = 0.002), namun, nyeri dinamis pada kedua kelompok sama pada waktu 48 atau 72 jam setelah operasi (P2 = 1.000, P3= 0.698). Sementara tidak terdapat efek yang signifikan terhadap nyeri pada periode waktu kapanpun (P1= 0.578, P2= 0.786, P3= 0.658) (Gambar 3). Dibandingkan dengan kelompok plasebo, jumlah pasien yang membutuhkan parecoxib menunjukkan penurunan yang jelas pada kelompok dexa (P = 0.002), dan konsumsi parecoxib secara keseluruhan lebih rendah (p = 0.005). Namun, tidak teramati perbedaan antarkelompok yang signifikan dalam jumlah pasien yang membutuhkan oxycodone (P = 1.000) dan konsumsi oxycodone keseluruhan (p = 1.000) (tabel 3).
PONV dan penyelamatan antimuntah
Kejadian PONV (p = 0.003) dan skor VAS untuk mual (1.25 ± 1.32 vs 2.16 ± 2.00, p = 0.044) pada kelompok dexa lebih rendah dibandingkan dengan kelompok p lasebo (tabel 2). Jumlah pasien yang membutuhkan metoclopramide lebih kecil pada kelompok dexa (P = 0.001), dan
konsumsi metoklopramide keseluruhan lebih rendah (p = 0.003). Jumlah pasien yang membutuhkan ondansentron berjumlah sama pada kedua kelompok (p = 0.118). Gambar 1. Diagram alur pasien menunjukkan rancangan penelitian
Namun, konsumsi ondancentron keseluruhan pada k elompok dexa lebih rendah (p = 0.010) (tabel 3).
Rasa Lelah, LOS, ROM, masalah pada luka dan komplikasi pascaoperasi
Pada kelompok dexa, pasien memiliki skor ICFS pascaoperasi yang lebih rendah (73.91 ± 5.75 vs 85.49 ± 9.10, p < 0.001) dan LOS pascaoperasi yang lebih singkat (4.07 ± 1.22 vs 4.84 ± 1.0, p = 0.006) dibandingkan kelompok plasebo. Pada POD3, fleksi panggul maksimum (112.82 ± 6.86 vs 102.18 ± 4.59, p < 0.001) dan abduksi (38.91 ± 3.43 vs 37.07 ± 4.38, p = 0.017) pada kelompok dexa lebih baik dibandingkan pada kelompok plasebo. Meskipun kejadian masalah pada luka lebih rendah pada kelompok dexa dibandingkan dengan kelompok plasebo, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (p = 0.716). Tidak teramati adanya infeksi pada tempat operasi atau perdarahan gastrointestinal pada kedua kelompok (tabel 2).
LOS pascaoperasi yang memanjang dan penyebabnya
Dalam uji klinis ini, persentil ke 75 untuk keseluruhan kelompok adalah 5 hari, yang digunakan untuk menetapkan LOS pascaoperasi yang memanjang. Lima belas pasien pada kelompok plasebo dan enam pada kelompok dexa memiliki lama rawat inap pascaoperasi selama lima hari, dengan perbedaan antar kelompok yang signifikan (p = 0.029). Diantara 15 pasien pada kelompok plasebo, empat disebabkan oleh mual dan lima disebabkan oleh masalah pada luka. Diantara enam pasien pada kelompok dexa, tiga dikaitkan dengan mual dan sisanya disebabkan oleh masalah luka. Hasil ini menunjukkan efek mual dexamethason yang signifikan (p = 0.039). Namun, tidak teramati adanya perbedaan yang signifikan pada masalah luka antara kelompok (p = 0.716) (Tabel 4).
Pembahasan
Dexamethasone merupakan suatu jenis glukokortikoid sintetik dengan potensi yang lebih tinggi, bioavailabilitas yang lebih besar dan waktu kerja yang lebih lama (17, 18). Agen ini dapat diberikan melalui jalur yang berbeda, termasuk pemberian sistemik maupun topikal, dengan rentang dosis yang besar, yang diberikan apakah itu pra operatif, intraoperatif atau pasca opertif. Namun, dosis yang ideal, cara dan pemilihan waktu pemberiannya masih bersifat kontroversial (12). Tabel 4. Penyebab LOS praoperatif yang memanjang
Telah ditunjukkan bahwa respon inflamasi lokal dan sistemik setelah THA sangat berkaitan dengan rehabilitasi dini dan komplikasi pascaoperatif (3, 12, 19). Dalam penelitian ini, dua dexamethason dosis rendah telah diberikan pada waktu perioperatif untuk pemulihan dini dan kepuasan pasien. Baik CRP maupun IL-6 secara signifikan lebih rendah pada kelompok dexa dibandingkan kelompok plasebo, yang sesuai dengan penelitian sebelumnya (8, 20). Efektivitas antiemetik dexamethason sistemik dosis singkat yang memadai telah diuraikan dengan baik dalam penelitian-penelitian sebelumnya (12, 14). Ini dapat memainkan peran yang efisien dengan menghambat sintesis prostaglandin atau pelepasan opioid endogen (4). Mathiesn dkk menggunakan dexamethasone 8 mg dosis tunggal pra operatif (21), namun, angka insidensi PONV masih mencapai 19.0% (8). Dalam uji klinis ini, satu dosis dexamethason dosis rendah extra telah diberikan pada waktu kembali ke bangsal, yang telah menunjukkan penurunan PONV yang jelas. Selain itu, pasien-pasien dalam kelompok dexa memiliki skor mual VAS yang lebih rendah dan penyelamatan antiemetik yang lebih sedikit. Hasil utama penelitian kami dapat menunjukkan bahwa dosis dexamethason tambahan yang digabungkan dengan mosapride dapat memberikan efek antiemetik yang memanjang. Banyak penelitian terbaru yang telah melaporkan bahwa nyeri pascaoperatif setelah THA dapat diperbaiki dengan glukokortikoid sistemik dosis tinggi (12). Mathiesen dan rekannya tidak menemukan efek tambahan terhadap nyeri atau kebutuhan opioid dengan dosis tunggal dexamethason 8 mg (21). Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa dexamethason, yang diberikan dalam dua dosis IV 10 mg, dapat secara efektif memperbaiki nyeri dinamik pada waktu 24 jam setelah THA, dan mengurangi konsumsi parecoxib, yang memiliki efek serupa yang
mengesankan dengan dosis tunggal dexamethason 40 mg yang diberikan pra operatif (14). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan dexamethasone intravena tambahan dapat mengatasi kekurangan dosis. Selain itu, dosis yang lebih tinggi (dexamethason ≥ 0.21 mg/kg) mun gkin tidak memberikan keuntungan tambahan dan dapat meningkatkan risiko efek samping (12). Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai bolus multipel yang efektif untuk analgesik akan menjadi suatu bahan ketertarikan. Lelah pascaoperatif merupakan gejala yang sering ditemukan setelah inflamasi sistemik atau lokal, dengan penurunan kekuatan dan merasa lelah (19), yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam pemulihan dini. Lelah yang berat paling sering disertai dengan nyeri yang sangat berat, dan ini tampak isokronis (19). Muatan pengendalian lelah dapat berkontribusi terhadap manajemen nyeri yang memuaskan, yang kemudian dapat memperbaiki rasa lelah pascaoperatif. Oleh karena itu, lingkaran setan akan terbentuk. Dalam penelitian kami, kami menggunakan ICSF untuk menilai lelah yang dirancang secara spesifik untuk populasi bedah umum (22). Jenis ukuran multidimensional ini biasanya terdiri atas rasa lelah, perasaan kuat, dampak terhadap konsentrasi, dampak terhadap energi, dan dampak terhadap aktivitas sehari-hari. Tinjauan dari Rubin melaporkan bahwa glukokortikoid dapat mengurangi lelah setelah operasi (23), yang sesuai dengan penelitian kami. Lama rawat inap tampak sebagai outcome yang penting karena faktor-faktor ekonominya (24). Penelitian kami telah memperlihatkan dengan baik bahwa dua dexamethason perioperatif dosis rendah efektif dalam mempersingkat LOS pascaoperatif selama sekitar 1 hari. Beckes dkk mengamati penurunan LOS yang signifikan secara statistik dengan dexamethason perioperatif sebesar hampir 1.2 hari (9), yang sesuai dengan temuan kami. Dalam uji klinis kami, sepuluh pasien dalam kelompok plasebo memiliki LOS pascaoperatif selama lima hari, yang disebabkan oleh mual. Sebaliknya, hanya terdapat tiga pasien dalam kelompok dexa dengan lama rawat inap pascaoperasi selama lima hari karena mual. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dalam kelompok plasebo cenderung lebih dipengaruhi oleh mual dan kemudian menunda pemulangan dari rumah sakit (p = 0.029). Hasil ini menunjukkan efek mual dexamethason yang persisten (p = 0.039), dan temuan yang konsisten ini dapat mendukung penelitian kami. Selain itu, efek terhadap ROM juga telah teramati dalam penelitian ini, yang dapat berkontribusi terhadap waktu untuk memenuhi kriteria pemulangan.
Infeksi dan perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang berat degnan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada THA. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa penggunaan glukokortikoid kronis dapat meningkatkan kemungkinan risiko dan efek samping, keamanan dexamethason belum diklarifikasi sepenuhnya (12). Richardson dkk melakukan sebuah penelitian berskala besar dengan follow up jangka panjang, dan mereka menemukan bahwa tidak terdapat peningkatan insidensi infeksi yang signifikan dengan satu kali pemberian dexamethasone dosis rendah ( 4- 10 mg) (4). Namun, penelitian ini bersifat retrospektif dan tidak terdapat konsensus mengenai protokol anestesi dan pembedahan. Oleh karena itu, penelitian prospektif dengan proses standar sangat dibutuhkan. Dalam penelitian kami, tidak terdeteksi adanya infeksi di tempat operasi atau perdarahan gastrointestinal pada kedua kelompok, yang mungkin memberikan bukti tambahan untuk mengevaluasi keamanan glukokortikoid. Terdapat beberapa keterbatasan yang perlu dinyatakan dalam penelitian ini: 1) penelitian ini semata-mata berfokus pada periode follow up yang singkat, dan ini dapat menjadi kekurangan pada kekuatan statistik untuk menilai efektifitas dan keamanan klinis secara memadai; 2) tidak terdapat perbandingan mengenai dosis yang diperlihatkan dalam penelitian kami, penelitian lebih lanjut mungkin dibutuhkan untuk menentukan dosis efektif minimum; 3) dosis kedua diberikan dalam waktu tiga jam pertama pascaoperasi, dan apakah dibutuhkan dan aman untuk memberikan dosis dexamethason tambahan dalam waktu 24 jam atau bahkan 48 jam setelah THA masih tidak diketahui. Kesimpulannya, pemberian dexamethasone pascaoperasi dua dosis rendah perioperatif bagi pasien-pasien dapat mengurangi kadar CRP dan IL-6 pascaopersai, yang memberikan kontrol mual dan nyeri tambahan yang signifikan, mengurangi rasa lelah pascaopersi, meningkatkan mobilitas, dan mempersingkat LOS pascaoperasi setelah THA, tanpa meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan gastrointestinal. Namun, penelitian lebih lanjut dengan skala besar dan follow up jangka panjang terhadap efektivitas dan keamanannya masih membutuhkan penilaian pemberian dexamethason perioperatif secara lengkap.
efek