BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia
dengan
morbiditas
dan
mortalitas
tinggi,
yang
melibatkan
proses
aterosklerosis. 1 Pada tahun 2012, penyakit jantung iskemia bertanggung jawab terhadap sekitar 7,4 juta kematian diseluruh dunia. Berdasarkan data American Heart Association (AHA) pada tahun 2003 dilaporkan sekitar 71,3 juta penduduk Amerika menderita penyakit jantung dan menyebabkan sebanyak 1 juta kematian. Angka mortalitas penyakit kardiovaskular di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004. 2 Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri koroner.
3
Sitokin atau faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh tunika intima yang
mengalami inflamasi akan menginduksi monosit memasuki plak aterosklerosis untuk berdiferensiasi menjadi makrofag, yang menyebabkan perkembangan aterosklerosis. Molekul efektor dari sel-sel imun yang mendominasi tahap awal lesi aterosklerotik mempercepat progresi lesi dan berkembang lebih lanjut menjadi Sindrom Koroner Akut. 4 Growth Differentiation Factor-15 (GDF-15) adalah anggota dari superfamili sitokin Transforming Growth Factor-β (TGF-β). Kardiomiosit mengekspresikan dan mensekresikan GDF-15 setelah cedera iskemik/ reperfusi, setelah stimulasi oleh Reactive Oxygen Species (ROS) atau sitokin pro-inflamasi. Baru-baru ini, Kahli melaporkan bahwa tingkat GDF-15 meningkat secara bertahap selama dan setelah penutupan bypass koroner. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kadar GDF-15 dapat digunakan sebagai biomarker cedera jantung. 5 Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas lebih dalam mengenai peranan GDF-15 dalam Sindrom Koroner Akut.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Epidemiologi Sindrom Koroner Akut Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2012, penyakit jantung iskemia bertanggung jawab terhadap sekitar 7,4 juta kematian diseluruh dunia. Berdasarkan data American Heart Association (AHA) pada tahun 2003 dilaporkan sekitar 71,3 juta penduduk Amerika menderita penyakit jantung dan menyebabkan sebanyak 1 juta kematian. Studi oleh Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) yang melibatkan populasi pasien di Amerika Serikat menemukan 38% penderita Sindrom Koroner Akut mengalami ST Elevation Miocardial Infarction (STEMI) sedangkan Euro Heart Survey on ACS-II (EHS-ACS-II) melaporkan sebanyak 47% pasien dengan STEMI. Kejadian Sindrom Koroner Akut meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dimana didapatkan insiden yang tinggi pada laki-laki sampai usia 70 tahun. Wanita yang telah mengalami menopause selama 15 tahun memiliki resiko yang sama dengan laki-laki untuk mengalami Sindrom Koroner Akut. 6 Angka mortalitas penyakit kardiovaskular di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004 dibandingkan sebelumnya hanya sekitar 5% pada tahun 1975. Data terakhir dari National Heart Survey, menunjukkan bahwa penyakit serebro-kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Studi kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi Jakarta menunjukkan bahwa Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian di Jakarta. Data registri dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari tahun 2008-2009 mencatat sebanyak 2013 orang menderita Sindrom Koroner Akut, dimana sebanyak 654 orang mengalami STEMI. 2
2.2.
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri koroner. Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan pengetahuan tentang patofisiologi iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang 2
awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan). 3 Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi sebagai Sindrom Koroner Akut. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan endotel. Faktor-faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. 3 Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Gambar 2.1.). 3
3
Gambar 2.1. Pembentukan Fatty Streaks. 3
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifikasi meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya bekuan. Proses proinflamatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan TGF-β bekerja mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan mengalami rupture (Gambar 2.2.). 3
4
Gambar 2.2. Pembentukan Lesi Aterosklerosis yang Makin Kompleks. 3
Sebagian besar Sindrom Koroner Akut adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial ; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kuranglebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). 7 Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien Sindrom Koroner Akut tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami Sindrom Koroner Akut karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme 5
maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. 7
2.3.
Diagnosis Sindrom Koroner Akut Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes biomarker jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan menjadi : non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan Sindrom Koroner Akut, dan Definitif Sindrom Koroner Akut. 7 Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/ berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/ beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/ muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. 7 Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis Sindrom Koroner Akut. 7
Diagnosis Sindrom Koroner Akut menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut : 1.
Pria.
2.
Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer
6
atau karotis).
3.
Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP.
4.
Mempunyai faktor risiko : umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program). 7
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) : 1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk).
2.
Nyeri abdomen tengah atau bawah.
3.
Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4.
Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi.
5.
Nyeri dada dengan durasi beberapa detik.
6.
Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah. 7
Kemungkinan Sindrom Koroner Akut adalah dengan gejala dan tanda : 1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Biomarker jantung normal. 7
Definitif Sindrom Koroner Akut adalah dengan gejala dan tanda : 1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
7
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/ persangkaan baru.
3. Peningkatan biomarker jantung. 7
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap Sindrom Koroner Akut. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding Sindrom Koroner Akut. 7 Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. 7 Pasien Sindrom Koroner Akut dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan biomarker jantung tersedia. 7 Tabel 2.1. Lokasi Infark berdasarkan Sadapan EKG. 7 Sadapan dengan Deviasi Segmen ST
Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4
Anterior
8
V5-V6, I, aVL
Lateral
II, III, aVF
Inferior
V7-V9
Posterior
V3R, V4R
Ventrikel kanan
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/ persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. 7 Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifisitas tinggi untuk untuk iskemia akut. 7
2.4.
Peranan GDF-15 dalam Sindrom Koroner Akut Growth Differentiation Factor-15 (GDF-15) adalah anggota dari superfamili sitokin Transforming Growth Factor-β (TGF-β). Pada kondisi basal, GDF-15 diekspresikan lemah pada kebanyakan jaringan. Sebagai respon terhadap cedera atau inflamasi jaringan, kadar GDF-15 mungkin meningkat secara tajam. Kardiomiosit mengekspresikan dan mensekresikan GDF-15 setelah cedera iskemik/ reperfusi, setelah stimulasi oleh Reactive Oxygen Species (ROS) atau sitokin pro-inflamasi. Efek GDF15 pada jantung telah terbukti meningkat pada model tikus infark miokard, stenosis aorta, dan kardiomiopati dilatasi. GDF-15 juga diekspresikan di jantung manusia setelah infark miokard. Meskipun begitu, GDF-15 bukanlah sitokin yang spesifik
9
terhadap jantung. 1,8 GDF-15 juga diekspresikan pada plasenta, prostat, pankreas, hati, ginjal, dan kolon. 5 Oxidized low-density lipoprotein (Ox-LDL) dan sitokin pro-inflamasi menginduksi ekspresi GDF-15 pada kultur makrofag. Sejalan dengan pengamatan secara in vitro ini, GDF-15 diekspresikan pada makrofag plak aterosklerotik manusia. GDF-15 diregulasi di sel endotel yang terpapar oleh stres antiangiogenik dan pada sel otot polos pembuluh darah yang distimulasi oleh lipoprotein kaya trigliserida. Adiposit mensintesis dan mensekresikan GDF-15 setelah terpapar stres oksidatif dan dapat melepaskan faktor parakrin yang meningkatkan ekspresi GDF-15 pada sel-sel di sekitarnya. Dengan demikian, GDF-15 diproduksi oleh berbagai macam tipe sel kardiovaskular dalam kondisi stres (Gambar 2.3.). 1
Gambar 2.3. Sumber GDF-15 pada Sistem Kardiovaskular. 1
GDF-15 memainkan peranan kardioprotektif di jantung orang dewasa melalui aktivasi reseptor Smad2, Smad3, dan ALK 4/5/7. GDF-15 tidak diekspresikan dalam jantung di bawah kondisi fisiologis normal namun meningkat dengan cepat sebagai respons terhadap cedera kardiovaskular, seperti kelebihan tekanan, gagal jantung, iskemia/ reperfusi, dan aterosklerosis (Gambar 2.4.). 5 10
Gambar 2.4. Peranan Kardioprotektif GDF-15. 5 GDF-15 menunjukkan efek kardioprotektif melalui aktivasi reseptor ALK tipe 1 (ALK 1-7) dan fosforilasi Smad 2/3 dan Smad 1/5/8. Setelah fosforilasi, Smad mentranslokasi nukleus dalam bentuk kompleks heteromer dengan Smad 4 dan mengaktifkan jalur antihipertensi. GDF-15 juga mengaktifkan jalur PI3 K/ AKT/ eNOS/ NO dan menunjukkan kardioprotektif. GDF-15 menghambat transaktivasi faktor pertumbuhan epidermal growth factor (EGFR) dan jalur NF-κB/ JNK/ caspase-3 untuk menunjukkan efek kardioprotektifnya. 5
Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Sindrom Koroner Akut mengalami peningkatan kadar GDF-15. Hal tersebut pertama kali didemonstrasikan pada uji coba GUSTO 4 terhadap pasien dengan Sindrom Koroner Akut non elevasi segmen ST. Sekitar sepertiga dari pasien-pasien tersebut memperlihatkan kadar
11
GDF-15 <1.200 ng/L, yang merupakan batas atas nilai normal yang telah ditetapkan sebelumnya pada individu lansia sehat ; dan sepertiga berikutnya memperlihatkan kadar GDF-15 antara 1.200 dan 1.800 ng/L, dan sepertiga lainnya dengan kadar GDF-15 > 1.800 ng/L. Kadar GDF-15 pada pasien saat masuk Rumah Sakit yang nilainya berada dalam kisaran normal diidentifikasi sebagai subkelompok dengan prognosis yang sangat baik. Sebaliknya, pasien dengan kadar GDF-15 yang tinggi, terutama yang memiliki kadar GDF-15 > 1.800 ng/L, memiliki risiko tinggi untuk meninggal dalam waktu 1 tahun pertama (Lihat Gambar 2.5.). 1
Gambar 2.5. Hubungan antara Kadar GDF-15 dengan Prognosis pada Pasien dengan Angina Pektoris Stabil dan Tidak Stabil. 1 Dengan menggunakan nilai cut-off prognostik yang sama, GDF-15 kemudian digunakan untuk mengidentifikasi pasien berisiko rendah dan berisiko tinggi yang mengalami infark miokard dengan elevasi segmen ST, nyeri dada yang menandakan adanya Sindrom Koroner Akut, atau Angina Pektoris Stabil. Secara khusus, informasi prognostik yang diberikan oleh GDF-15 dalam penelitian tersebut
12
tidak tergantung pada penanda risiko klinis yang telah ditetapkan, fungsi ginjal, temuan elektrokardiografi, dan biomarker seperti troponin T, NT-proBNP, dan hsCRP. 1 Seperti yang ditunjukkan oleh analisis dari percobaan Fast Revascularization during in Stability in Coronary artery disease II (FRISC II), kadar GDF-15 pada saat pasien masuk Rumah Sakit dapat membantu mengidentifikasi individu-individu dengan Sindrom Koroner Akut non elevasi segmen ST yang mendapatkan manfaat terbesar dari strategi pengobatan invasif (Gambar 2.6.). 1
Gambar 2.6. Interaksi GDF-15 dengan Strategi Pengobatan pada Pasien Sindrom Koroner Akut non elevasi segmen ST. 1
Pasien yang memiliki kadar GDF-15 < 1.200 ng/L tidak mendapatkan manfaat dari strategi invasif rutin, walaupun mereka mengalami penurunan segmen ST
13
atau kadar Troponin T > 0,01 μg/L. Sebaliknya, pasien dengan kadar GDF-15 > 1.200 ng/L, dan terutama mereka yang memiliki kadar GDF-15 > 1,800 ng/L, mengalami penurunan yang signifikan setelah dilakukan strategi invasif rutin dalam hal tingkat kematian atau kekambuhan infark miokard. Data ini menunjukkan bahwa peningkatan risiko yang dikaitkan dengan peningkatan kadar GDF-15 pada pasien dengan Sindrom Koroner Akut non elevasi segmen ST dapat dikurangi dengan strategi invasif dan revaskularisasi. Biomarker lainnya, termasuk fungsi ginjal, NT-proBNP, dan hsCRP, tidak memprediksi manfaat pengobatan pada percobaan FRISC II. 1 Berdasarkan penelitian Wang et al, untuk menentukan nilai prediksi diagnostik GDF-15 untuk Penyakit Jantung Koroner, dilakukan analisis kurva ROC. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7, area di bawah kurva ROC memperlihatkan hasil yang memuaskan sebesar 0,96 (95% CI, 0,94-0,98; P <0,001). Nilai cut-off optimal GDF-15 adalah 951,1 ng/L dengan spesifisitas 80,0% dan sensitivitas 91,7% untuk mendiagnosis Penyakit Jantung Koroner. Data ini menunjukkan bahwa serum GDF-15 memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi Penyakit Jantung Koroner. 4
Gambar 2.7. Kurva ROC untuk Mengevaluasi Peran Diagnostik GDF-15 pada Penyakit Jantung Koroner. 4 2.5.
Metode Pemeriksaan GDF-15 Metode pemeriksaan GDF-15 dengan ELISA. Prinsip pemeriksaannya yaitu menggunakan teknik immunoasai enzim sandwich kuantitatif. Antibodi monoklonal yang spesifik untuk GDF-15 telah dilapisi sebelumnya ke microplate. Standar dan sampel diambil menggunakan pipet ke dalam sumur dan GDF-15 sekarang terikat oleh antibodi. Setelah mencuci zat yang tidak terikat, antibodi poliklonal biotinilasi yang 14
spesifik untuk GDF-15 ditambahkan ke sumur. Setelah itu dilakukan pencucian untuk melepaskan reagen antibodi-biotin yang tidak terikat. Kemudian Streptavidin HRP ditambahkan ke sumur. Setelah mencuci enzim yang tidak terikat, larutan substrat ditambahkan ke dalam sumur dan warna yang timbul sebanding dengan jumlah GDF-15 yang terikat pada langkah awal. Perubahan warna dihentikan dan intensitas warna diukur. 9, 10 Sampel yang dibutuhkan bisa berupa serum atau plasma. Untuk persiapan sampel serum, gunakan tabung pemisah serum (SST) dan biarkan sampel menggumpal selama 30 menit sebelum sentrifugasi selama 15 menit pada 1000 x g. Pindahkan serum dan segera dilakukan pemeriksaan imunoasai atau aliquot dan simpan sampel pada suhu ≤ -20° C atau -70° C. Hindari siklus beku-cair yang berulang. Sedangkan untuk sampel plasma, kumpulkan plasma dengan menggunakan EDTA, heparin, atau sitrat sebagai antikoagulan. Sentrifugasi selama 15 menit pada 1000 x g dalam waktu 30 menit setelah sampel diambil. Segera lakukan imunoasai atau aliquot dan simpan sampel pada suhu ≤-20° C atau -70° C. Hindari siklus beku-cair yang berulang. 9
15
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan Penyakit Jantung Koroner adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia
dengan
morbiditas
dan
mortalitas
tinggi,
yang
melibatkan
proses
aterosklerosis. Aterosklerosis tersebut nantinya dapat berkembang lebih lanjut menjadi Sindrom Koroner Akut. Growth Differentiation Factor-15 (GDF-15) adalah anggota dari superfamili sitokin Transforming Growth Factor-β (TGF-β) yang diekspresikan dan disekresikan oleh kardomiosit setelah cedera iskemik/ reperfusi, setelah stimulasi oleh Reactive Oxygen Species (ROS) atau sitokin pro-inflamasi. GDF-15 memainkan peranan kardioprotektif di jantung orang dewasa melalui aktivasi reseptor Smad2, Smad3, dan ALK 4/5/7. GDF-15 diharapkan nantinya dapat memprediksi prognosis pada pasien dengan Sindrom Koroner Akut.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Tibor Kempf T, Wollert KC. Growth Differentiation Factor-15 : a New Biomarker in Cardiovascular Disease.
Herz. 2009 ; 34 : 594-9. 2. Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Soerianata S, Wardeh AJ, Jukema JW. Acute myocardial infarction system of care in the third world. Neth Heart J. 2012 ; 20 : 254– 259. 3. Myrtha R. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. 2012. CDK-192/ vol. 39 no. 4. 4. Wang X, Chen LL, Zhang Q. Increased Serum Level of Growth Differentiation Factor 15 (GDF-15) is Associated with Coronary Artery Disease.
Cardiovascular
Therapeutics. 2016 ; 34: 138–143 5. Adela R, Banerjee SK. GDF-15 as a Target and Biomarker for Diabetes and Cardiovascular Diseases: A Translational Prospective. Journal of Diabetes Research 2015: 1-14. 6. Kleinschmidt KC. Epidemiology and pathophysiology of acute coronary syndrome. Available from URL : www.jhasin.com/files/articlefiles/pdf/ asn_4_4_p72_77_r1.pdf. 7. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 2015. Available from URL : https://www.medbox.org/...sindrom-koroner-akut/download.pdf 8. Lind L, Wallentin L, Kempf T, Tapken H, Quint A,
Lindahl B, Olofsson S, Venge P, Larsson A, Hulthe J, Elmgren A, and Wollert KC. Growth-differentiation factor-15 is an independent marker of cardiovascular dysfunction and disease in the elderly: results from the Prospective Investigation of the Vasculature in Uppsala Seniors (PIVUS) Study. European Heart Journal. 2009; 30 : 2346–2353. 9. Aviscera Bioscience. Human Growth Differentiation Factor 15 (GDF-15) ELISA Kit. Available
from
URL
:
http://
aviscerabioscience.com/Product_Systems/
GDF15/SK00108-01_avbs.pdf. 10. Wollert KC, Kempf T, Wallentin L. Growth Differentiation Factor 15 as a Biomarker in Cardiovascular Disease. Clinical Chemistry 2017; 63:1.
17
18