Moch. Fachruroji, "Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah dan Imarah", dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008, h. 298. Yang mengutip dari Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1, h. 297-298
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Konstruksi Sosiologi Pengetahuan dalam Autentisitas Ideologi dan Agama, (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2012), cet. 2, h. 3
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1, h. 276
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 67-68
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1, h. 276-277
Abdullah Ad-Damiji, Imamatul Udzma Konsep Kepemimpinan dalam Islam, (Ummul Qura), h. 44
Moch. Fachruroji, "Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah dan Imarah", dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008, h. 299
Moch. Fachruroji, "Trilogi Kepemimpinan Islam: Analisis Teoritik Terhadap Konsep Khilafah, Imamah Dan Imarah", dalam Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008, h. 298-299
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1, h. 276-277
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam dan Demokrasi Barat", dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014, h. 43-44
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-Âmiyah: 2015), Kitab: Adzan, Bab: Batasan Sakit untuk Tidak Menghadiri Shalat Jama'ah, Nomor Hadis: 624.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-Âmiyah: 2015), Kitab: Hukum-hukum, Bab: Mengangkat Khalifah, Nomor Hadis: 6676
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2012), cet. 2, h. 75
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003) cet. 1, h. 298
Rosi Susanti, "Perjuangan HTI Dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyah (Analisis Terhadap Aktivitas Akhwat HTI Mahasiswi UIN Suska Riau Periode 2013-2014)". Skripsi Fakultas Syari'ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Tahun 2014, h. 34
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 80-81
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008) h. 37
Ibnu Katsir, Sejarah Lengkap Khulafa'ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin Usman, (Cikumpa: Senja Media Utama, 2018) cet. 1, h. 233
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam dan Demokrasi Barat", dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014, h. 43-44
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 86
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008) h. 38
Ibnu Katsir, Sejarah Lengkap Khulafa'ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin Usman, (Cikumpa: Senja Media Utama, 2018) cet. 1, h. 412
Ratu Suntiah dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), cet. 1. h. 86
Ihsan Nul Hakim, Islam dan Demokrasi: Studi Komparatif Antara Teori Politik Islam dan Demokrasi Barat", dalam Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014, h. 43-44
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur`an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 451
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Ansori Umar dkk., (Semarang: Thoha Putra, 1989), h. 130-131
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Bahrun Abu Bakar, (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), h. 369
Jazilul Fawaid, Bahasa Politik Al-Qur`an Konsep dan Aktualisasinya dalam Sejalah, (Depok: Penerbit Azza Media, 2017) cet. 2, h. 71
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-Âmiyah: 2015), Kitab: Hadis-Hadis yang Meriwayatkan Tentang Para Nabi, Bab: Bani Israil, Nomor Hadis: 3196
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Dâl Al-Âmiyah: 2015), Kitab: Jum'at, Bab: Sholat Jum'at di desa dan kota, Nomor Hadis: 844
Tusriyanto, "Kepemimpinan Spiritual Menurut M. Quraish Shihab", dalam Jurnal AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, Januari -Juni 2014, h. 130-132
IMAMAH ATAU KHILAFAH
Makalah ini Diajukan
Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pemikiran dan Peradaban Islam
Disusun Oleh:
Maria Ulfah
Dosen Pengampu:
Prof. KH. Artani Hasbi
PROGRAM STUDI ILMU Al-QUR`AN DAN TAFSIR
PASCASARJANA MAGISTER (S2)
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
1440 H/2018 M
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terdapat sebuah hadis Rasulullah shollallahu'alaihi wasallam yang berbunyi sebagai berikut,
إِذَ كاَنَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ
"Jika ada tiga orang yang sedang safar, maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya menjadi imam." (HR. Abu Dawud no. 2609)
Jika dalam sebuah perjalanan yang jumlah mereka sangat kecil, namun bagaimana dengan kaum muslimin yang jumlahnya sangat banyak. Hadis di atas menjelaskan kepada kita bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang imam di kalangan kaum muslimin. Dengan tujuan untuk mempermudah mereka menjalankan syariat Islam dan kemaslahatan lainnya. Kemaslahatan tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya imamah/khilafah dalam lingkungan.
Dari penjelasan di atas penulis ingin memaparkan sedikit lebih rinci lagi tentang imamah/khilafah yang penulis jabarkan dengan rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana pengertian Khilafah dan Imamah?
Bagaimanakah Imamah dengan sistem penunjukan?
Bagaimanakah Imamah dengan sistem syura?
Bagaimana Imamah dalam Al-Qur`an dan Hadis?
Bagaimanakah karakteristik pemimpin dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengetian Imamah/Khilafah
Imamah adalah isim mashdar atau kata benda dari kata amama yang artinya "di depan." Sesuatu yang di depan disebut dengan "imam." Itulah sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari, kata imam sering dimaknai untuk menunjuk orang yang memimpin shalat jamaah. Arti harfiah dari kata tersebut adalah orang yang berdiri di depan untuk menjadi panutan orang-orang yang di belakangnya. Dengan demikian, imam berarti orang yang memimpin orang lain. Sementara itu, imamah adalah lembaga kepemimpinan. Senada dengan perkataan Hasan Ibrahim Hasan di dalam bukunya bahwa kata "imam" pada dasarnya kata ini merupakan kata pinjaman dari imam dalam shalat. Atas dasar ini orang-orang Syi'ah menggunakan kata tersebut dengan alasan karena mereka berkeyakinan bahwa anggota Ahlul Bait Alawi merupakan keluarga yang dikuduskan. Nabi adalah imam dalam shalat dengan asumsi bahwa beliau adalah pemimpin kaum muslimin. Ketika beliau sakit yang mengantarkannya berpulang ke hadirat Allah, maka Abu Bakar disuruh untuk menjadi imam kaum Muslimin dalam shalat. Posisi Abu Bakar sebagai imam dalam shalat menggantikan Nabi merupakan dalil yang sangat penting yang menjadi acuan Ahlu Sunnah bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak untuk menjadi khalifah sesudah Nabi. Para khalifah telah menaruh perhatian besar untuk menjadi imam kaum Muslimin dalam shalat, karena hal ini merupakan sifat seorang pemimpin. Sehingga oleh karenanya menjadi imam dalam shalat merupakan tugas sangat utama bagi para gubernur di berbagai wilayah Daulat Islamiyah. Imamah adalah prinsip akidah islamiyah yang paling penting dan terkenal, khususnya di kalangan mazhab syi'ah. Imamah merupakan kaidah dasar akidah kaum Muslimin umumnya dan khususnya para penganut Syi'ah.
Sedangkan Al-Khilafah menurut bahasa merupakan mashdar dari kata kerja khalafa. Dikatakan: Khalafahu-khilafatan, artinya sebagai pelanjut sesudahnya. Bentuk jamak daripadanya adalah: Khalaif dan khulafa. Khalifah "penerus Nabi" merupakan jabatan yang dipangku para Sahabat setelah Nabi wafat. Pengertian penerus Nabi pun bukanlah siapa yang akan menggantikan Muhammad sebagai Nabi, melainkan menggantikan sebagai pemimpin umat. Khalifah merupakan singkatan dari khalifah Rasulillah. Khalifah adalah penguasa tertinggi. khilafah adalah pemerintahannya.
Sedangkan al-khilafah menurut istilah yaitu kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW. Dalam hal ini Ibnu Khaldun berkata "Al-Khilafah adalah membawa seluruh manusia sesuai dengan tuntutan syara' demi kemaslahatan ukhrawi dan duniawi mereka. Dalam hal ini dunia tidak terkecuali, karena seluruh ihwal dunia juga dalam pandangan syara' dianggap sebagai sarana untuk meraih kemaslahatan akhirat. Dengan demikian, hakikat seorang khalifah adalah sebagai pengganti dari pemilik syara' (Allah SWT) yang diserahi amanat untuk menjaga agama dan politik dunia.
Khilafah (kekhalifahan) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sesuatu yang dicadangkan agar sesorang menjadi pelanjut atas seseorang. Atas dasar ini, maka orang yang menjadi pelanjut Rasulullah dalam melaksanakan hukum syara' disebut khalifah. Khalifah juga dinamai dengan imam, karena seorang khalifah menyerupai seorang imam dalam shalat yang harus diikuti dan diteladani oleh makmum. Imam An-Nawawi menjelaskan "seorang imam boleh disebut khalifah, imam, dan amîrul mu`minin". Sementara itu Ibnu Kholdun menyatakan "ketika hakikat kedudukan ini sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa imamah adalah wakil dari pemilik syariat dalam hal menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama, maka ia disebut khilafah dan imamah. Sedangkan orang yang melaksanakannya disebut khalifah dan imam". Pendapat ini diambil oleh Muhammad Najib al-Muthi'i dalam at-takmilah lil majmu' lin nawawi dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa "imamah, khilafah dan amirul mu`minin adalah sinonim.
Allamah Thabaththaba'i memiliki pandangan bahwa seorang imam telah ditunjuk oleh Allah SWT. sepeninggal Rasulullah Saw., dengan tujuan untuk menegakkan budaya dan hukum-hukum agama dan membimbing umat di jalan kebenaran. Itulah sebabnya, konsep imamah lebih banyak ditemui dalam literatur Syi'ah. Dan, hal ini kemudian menyebabkan konsep imamah justru lebih banyak ditemui dalam wilayah kajian akidah, termasuk salah satu masalah Ilmu Kalam.
Dipandang demikian karena bermula dari masalah imamah ini timbul aliran-aliran Ilmu Kalam. Sampai hari ini, di kalangan Syi'ah terdapat ajaran keimanan kepada imamah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan Qadha-qadar. Pendeknya, pemikiran ini muncul dalam ungkapan "Islam sebagai al-dîn wa al-dawlah," Islam adalah agama dan negara. Hal ini tentu sangat penting untuk memberikan penegasan kepada kaum sekuler yang berpandangan bahwa agama adalah agama dan negara adalah negara dan diantara keduanya tidak ada hubungan sama sekali.
Sir Thomas Arnold menyebutkan beberapa aspek yang bermiripan dan berlainan di antara dua sistem pemerintahan yang pernah berdiri pada abad pertengahan: Kedua sistem tersebut adalah sistem kekhalifahan di Timur dan sistem kekaisaran di Romawi yang dikuduskan di Barat, seraya berkata "kedua sistem tersebut bersandar pada kekuatan agama, dimana keduanya bersifat internasional yang berorientasi agar dunia bergabung dan berada di bawah benderanya. Hal ini sesuai dengan apa yang kita temkan di Barat bahwa di sana terdapat dua penguasa salah satunya adalah penguasa zamani (penguasa yang dibatasi oleh waktu) yaitu kaisar. Sedangkan yang kedua yaitu penguasa yang bersifat spiritual yaitu Paus. Sedangkan kekhalifahan tidak didirikan berdasarkan sistem politik sebelum kekhalifahan lahir. Sebab, kekhalifahan adalah merupakan sistem baru yang diciptakan oleh situasi dan kondisi yang muncul sesudah Islam lahir dan sesudah bangsa Arab berkuasa atas negeri Persia. Seorang khalifah adalah sebagai penguasa zamani dan spiritual dimana sebagai penguasa keagamaan dia tidak melampaui dari sebagai pemelihara agama. Kemudian sebagai pelindung agama dia berhak untuk menyatakan perang kepada orang-orang kafir dan menghukum orang-orang yang menentang agama, juga berhak mengimami orang-orang dalam shalat dan menyampaikan khutbah Jum'at. Hal ini berbeda dengan posisi Paus yang hanya dianggap sebagai pendeta paling tinggi yang berwenang mengampuni kesalahan orang-orang berdosa dan sebagai rujukan tertinggi dalam urusan-urusan agama.
Imamah dengan Sistem Nash dan Pengangkatan (Penunjukan)
Mujar Ibnu Syarif, beliau merinci ada tujuh macam model pengangkatan Kepala Negara yang dipraktikkan di masa awal pertumbuhan Islam, meliputi metode penunjukan langsung oleh Allah, metode pemilihan oleh ahl al-halli wa al-`aqdi, metode penunjukan melalui wasiat, metode pemilihan oleh tim formatur atau dewan musyawarah, metode revolusi atau kudeta, metode pemilihan langsung oleh rakyat, dan metode penunjukan berdasarkan keturunan.
Namun, Pada masa Khulafaur Rasyidin sistem pengangkatan khalifah sedikitnya ada dua cara yang pertama yaitu dengan sistem nash dan pengangkatan (wasiat dari khalifah sebelumnya) dan yang kedua pemilihan melalui dewan syûrâ atau pemilihan dari ahlul halli wal 'aqdi.
Sebagian kalangan ahlussunnah wal jamâ'ah berpendapat bahwa adanya nash untuk khalifah Abu Bakar dan Nabi sudah mewasiatkan khilafah untuk Abu Bakar. Kalangan ini terbagi menjadi dua pendapat;
Pertama: mengatakan nash khofy (samar) pendapat ini mengatakan adanya nash samar dan isyarat untuk Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini dinyatakan bersumber dari Hasan Al-Bashri dan sekelompok ahli hadis juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Pendapat ini mereka sandarkan kepada dalil berikut: Nabi memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami shalat.
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَذَكَرْنَا الْمُوَاظَبَةَ عَلَى الصَّلَاةِ وَالتَّعْظِيمَ لَهَا قَالَتْ لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ قِيلَ لِلْأَعْمَشِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاتِهِ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ بِرَأْسِهِ نَعَمْ
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ بَعْضَهُ وَزَادَ أَبُو مُعَاوِيَةَ جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي قَائِمًا
"Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hafsh bin Ghiyats berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku berkata, telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Ibrahim dari Al Aswad berkata, "Kami pernah bersama 'Aisyah ketika kami menceritakan tentang masalah menekuni shalat berjama'ah dan mengutamakannya. Maka Aisyah pun berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang sakit yang membawa pada ajalnya, waktu shalat tiba dan dikumandangkanlah adzan. Beliau lalu bersabda (kepada para isterinya): "Suruhlah Abu Bakar untuk memimpin shalat bersama orang-orang." Lalu dikatakan kepada beliau, "Sesungguhnya Abu Bakr adalah orang yang lemah dan mudah menangis (saat membaca Al Qur'an). Dia tidak akan mampu menggantikan posisi Tuan untuk memimpin orang-orang shalat." Beliau kembali mengulangi ucapannya, dan mereka juga memberi jawaban yang sama. Hal itu terus berulang hingga tiga kali, akhirnya beliau pun bersabda: "Kalian ini seperti isteri-isteri Yusuf! Perintahkanlah Abu Bakr agar memimpin shalat." Maka keluarlah Abu Bakr memimpin shalat jama'ah. Beliau kemudian merasa agak segar badannya, sehingga beliau keluar ke masjid dengan diapit oleh dua orang, seolah aku kedua kaki beliau menyentuh tanah karena sakit. Melihat kehadiran beliau, Abu Bakar berniat untuk mundur namun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencegahnya dengan isyarat agar ia tetap pada posisinya. Kemudian beliau di dudukkan di sisi Abu Bakar." Dikatakan kepada Al A'masy, "Apakah beliau shalat kemudian Abu Bakar shalat mengikuti shalatnya beliau, dan orang-orang shalat dengan mengikuti shalatnya Abu Bakar?" Lalu Al A'masy menjawab 'Ya' dengan anggukkan kepalanya." Abu Daud juga meriwayatkannya dari Syu'bah dari Al A'masy sebagiannya, dan Abu Mu'awiyah menambahkan, "Beliau shalat dengan duduk di sebelah kiri Abu Bakar, sementara Abu Bakr shalat dengan berdiri." (HR. Al-Bukhari)
As-Suyuthi berkata "ulama mengatakan hadis ini merupakan dalil paling tegas yang menunjukkan bahwa Abu Bakar As-Siddiq adalah sahabat terbaik secara mutlak paling berhak atas khilafah dan paling utama memegang imamah.
Kedua: mengatakan adanya nash sharih (tegas) untuk Abu Bakar. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ahli hadis, inilah pendapat Ibnu Hazm az-Zahiri dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami. Golongan ini menyandarkan pendapatnya pada dalil berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَاوَارَأْسَاهْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاكِ لَوْ كَانَ وَأَنَا حَيٌّ فَأَسْتَغْفِرُ لَكِ وَأَدْعُو لَكِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ وَا ثُكْلِيَاهْ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَظُنُّكَ تُحِبُّ مَوْتِي وَلَوْ كَانَ ذَاكَ لَظَلَلْتَ آخِرَ يَوْمِكَ مُعَرِّسًا بِبَعْضِ أَزْوَاجِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَنَا وَارَأْسَاهْ لَقَدْ هَمَمْتُ أَوْ أَرَدْتُ أَنْ أُرْسِلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَابْنِهِ فَأَعْهَدَ أَنْ يَقُولَ الْقَائِلُونَ أَوْ يَتَمَنَّى الْمُتَمَنُّونَ ثُمَّ قُلْتُ يَأْبَى اللَّهُ وَيَدْفَعُ الْمُؤْمِنُونَ أَوْ يَدْفَعُ اللَّهُ وَيَأْبَى الْمُؤْمِنُونَ
"Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Yahya binSa'id aku mendengar Al Qasim bin Muhammad mengatakan, Aisyah radliallahu 'anha mengeluh; "Aduh (sakitnya) kepalaku!" Lantas Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berujar; "Kalaulah aku masih hidup, niscaya aku memintakan ampun untukmu dan mendoakan bagimu!" Lantas Aisyah mengatakan; 'Duhai malangnya, demi Allah, aku berprasangka engkau menyukai kematianku, kalaulah demikian, lebih baik akhir-akhir harimu menjadi pengantin di rumah salah satu isterimu.' Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyahut: "Bahkan aku, aduh sakitnya kepalaku! Saya berkeinginan sekali untuk mengutus utusan kepada Abu Bakar dan anaknya dan mewasiatkan (kekhilafahan kepadanya), (karena aku tidak suka) orang-orang berkata (khilafah untukku atau untuk fulan) atau (karena khawatir) orang-orang mengangan-angankannya, kemudian aku katakan; 'Allah enggan (kekhilafahan untuk selain Abu Bakar), dan orang-orang mukmin menolak (selain dia), " atau dengan redaksi; "Allah menolak (selain dia) dan orang-orang mukmin enggan (kekhilafahan untuk selain Abu Bakar)." (HR. Bukhari)
Namun, Salihun A. Nasir di dalam bukunya mengatakan memang Nabi Muhammad SAW menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi imam shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menjaga rumahnya ketika beliau pergi berperang. namun demikian, beliau tidak pernah menyebut-nyebut penggantinya. Dikatakan juga oleh Hasan Ibrahim Hasan bahwa tidak diperoleh dengan jelas dan tegas nash dari Nabi SAW yang mengemukakan tentang siapa yang harus menjadi pemimpin sesudah beliau. Dikatakan pula di oleh Rosi Susanti di dalam skripsinya bahwa Selama berpuluh-puluh tahun Rasulullah SAW mengemban tugas sebagai Kepala Negara hingga wafatnya, beliau sama sekali tanpa meninggalkan perintah-perintah yang jelas ataupun calon-calon pengganti atau penunjukkan pengganti beliau. Karena tidak adanya isyarat-isyarat yang jelas, dan mengambil dasar pada perintah Al-Qur`an agar segala urusan umat diputuskan secara musyawarah, para sahabat dengan tepat telah menyimpulkan bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, seleksi dan penunjukan Kepala Negara Islam telah diserahkan kepada kehendak pemilihan dari kaum Muslim yang harus dilaksanakan sejalan dengan jiwa perintah Al-Qur`an tersebut. wallahu'alam.
Adapun contoh dari pengangkatan khalifah atau imam berdasarkan penunjukkan dari khalifah sebelumnya adalah seperti pengangkatan khalifah Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah melalui penunjukkan sesudah memusyawarahkan dengan kaum Muslimin. Ketika Abu bakar sakit, sahabat yang ada berkumpul dan Abu Bakar bertanya kepada mereka: "Apakah kalian akan menerima orang yang saya akan calonkan sebagai pengganti saya? Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti saya." Para sahabat menjawab: "Kami mendengar dan kami menaatinya."
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai pengganti, walaupun Nabi Muhammad SAW. tidak melakukan hal itu menjelang wafatnya. Hal ini menurut Abd al-Wahhab al-Najjar, ketika Rasulullah SAW. wafat umat Islam terbagi menjadi dua kelompok dan menetapkan pemimpin mesti berasal dari kelompoknya. Hal itu terjadi karena Nabi SAW. tidak menentukan penggantinya sebelum wafat. Apabila Abu Bakar membiarkan kursi khilafah (kepemimpinan) kosong ketika ia meninggal, maka umat Islam diperkirakan akan kembali pada perdebatan seperti terjadi di Saqifah Bani Sa'idah. Bahkan Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan bahwa kekosongan pemimpin akan melahirkan fitnah yang lebih parah dan lebih dahsyat dibandingkan dengan adanya fitnah dari orang-orang murtad.
Dalam rangka menjaga stabilitas Negara, agar umat Islam terhindar dari perpecahan maka penunjukkan Umar menjadi khalifah dilakukan oleh Abu Bakar dan piagam penunjukkan itu dibuat sebelum beliau wafat. Kebijaksanaan Abu Bakar diterima masyarakat dan segera membaiatnya secara beramai-ramai. Umar menyebut dirinya Khalifah khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).
Beliau juga memperkenalkan istilah Amirul Mu'minin (komandan orang-orang beriman) dan tetap menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahannya.
Imamah dengan Sistem Pemilihan (Demokrasi/Syura)
Di dalam sistem khilafah ada sebuah pranata yang disebut Majelis Syura, disebut juga ahlul halli wal aqdi. Di sebut ahlul hallli wal aqdi karena mereka adalah kelompok keahlian yang berwewenang menyeleksi dan memilih pimpinan. Disebut Majelis Syura karena merupakan badan musyawarah atau badan legislatif. Contoh pengangkatan khalifah/imam dengan sistem ini adalah pengangkatan Utsman bin Affan.
Umar ra. menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah majelis syûrâ atau tim formatur yang beranggotakan enam orang sahabat terkemuka, ahlul halli wal 'aqdi yang pertama dalam Islam mereka adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin 'Ubaidillah, Az-Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Umar ra. merasa berat untuk memilih salah seorang diantara mereka. Beliau berkata "Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab tentang perkara ini baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika Allah SWT. menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Allah akan membuat kalian sepakat untuk menunjuk seseorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah Nabi kalian".
Mereka bermusyawarah di rumah membicarakan tentang urusan ini hingga akhirnya hanya terpilih tiga kandidat saja. Zubair menyerahkan jabatan khalifah kepada Ali bin Abi Thalib, Sa'ad kepada Abdurrahman bin Auf dan Thalhah kepada Utsman bin Affan. kemudian masing-masing mereka memberikan khutbahnya yang menyebutkan tentang keistimewaannya dan berjanji jika mendapat jabatan tidak akan menyimpang dan jika ternyata tidak maka ia akan mendengar dan menaati orang yang diangkat.
Berdasarkan penjajagan pendapat yang dilakukan Abdurrahman bin Auf terhadap anggota formatur yang ada diperoleh dua calon khalifah, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada akhirnya musyawarahnya dewan formatur menggangkat Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga setelah Umar bin Khattab wafat.
Khusus pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang menganut model pemerintahan monarki; majlis syûrâ tetap ada, tapi fungsinya tak ubahnya sekadar lembaga konsultasi yang tidak memiliki wewenang dalam mengangkat pemimpin pemerintahan. Meskipun memakai "bungkus" nama khalifah, namun substansinya jauh berbeda dengan pemerintahan khulafa ar-rasyidin. Bila pada masa khulafaur rasyidin pengangkatan khalifah ditentukan lewat pemilihan dan baiat, namun di masa Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah ditentukan oleh khalifah sebelumnya atau diwariskan secara turun temurun.
Imamah/Khilafah dalam Al-Qur`an dan Hadis
Kata imamah tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an namun dalam surat Al-Baqarah [2]: 124 dan Al-Anbiya [21]: 73 disebutkan kata "imam" (pemimpin) dan "aimmam" (para pemimpin).
۞وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ ۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامٗاۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِيۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِي ٱلظَّٰلِمِينَ ١٢٤
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah [2]: 124)
وَجَعَلۡنَٰهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡهِمۡ فِعۡلَ ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَإِقَامَ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءَ ٱلزَّكَوٰةِۖ وَكَانُواْ لَنَا عَٰبِدِينَ ٧٣
"Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah". (QS. Al-Anbiya [21]: 73)
Sedangkan kata khalîfah disebut sebanyak dua kali di dalam Al-Qur`an. Di antara ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang khalîfah adalah surat Al-Baqarah [52]: 30 yaitu:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…." (QS. Al-Baqarah [2]: 30
Menurut Mustafa Al-Maraghi khalîfah adalah makhluk yang Allah diciptakan oleh Allah sebagai pengganti dari makhluk sebelumnya untuk melaksanakan perintah Allah terhadap umat manusia. Sedangkan Ibnu Katsir mengartikan khalîfah sebagai orang yang dapat memutuskan berbagai masalah pertengkaran yang terjadi dan membela orang yang teraniaya dan menegakkan hukum segala perbuatan yang keji dan munkar.
Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafâ. Diantara ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak adalah surat Al-A'raf [7]: 69 yaitu:
وَٱذۡكُرُوٓاْ إِذۡ جَعَلَكُمۡ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعۡدِ قَوۡمِ نُوحٖ وَزَادَكُمۡ فِي ٱلۡخَلۡقِ بَصۜۡطَةٗۖ
"…Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu)…." (QS. Al-A'raf [7]: 69)
Dalam ayat lain disebutkan:
وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٦٢
"…dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)." (QS. An-Naml [27]: 62)
Menurut para mufassir yang dimaksud dengan menjadikan manusia sebagai khalîfah ialah menjadikan manusia berkuasa di bumi.
Beberapa Hadis tentang imam/khalifah.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُم
"Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; "Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radliallahu 'anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang besabda: "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para shahabat bertanya; "Apa yang baginda perintahkan kepada kami?". Beliau menjawab: "Penuihilah bai'at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka". (HR. Al-Bukhari)
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya… (HR. Al-Bukhari)
Karakteristik pemimpin dalam Islam
Kriteria atau sosok seorang pemimpin sebagaimana terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki dalam diri seorang pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para Nabi/Rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya.
Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah SWT.
Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul.
Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imamah adalah isim mashdar atau kata benda dari kata amama yang artinya "di depan." Sesuatu yang di depan disebut dengan "imam." Imamah adalah lembaga kepemimpinan. Sedangkan Al-Khilafah menurut bahasa merupakan mashdar dari kata kerja khalafa. al-khilafah menurut istilah yaitu kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Nabi SAW.
Realitas sejarah pada masa permulaan Islam atau periode klasik telah mencatat sistem yang diberlakukan dalam pengangkatan khalifah atau kepala Negara. Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dipilih oleh forum musyawarah (semacam majlis syûrâ) dan dibaiat oleh sekelompok kecil sahabat yang terdiri dari 5 orang, yang dikenal dengan nama Baiat Saqifah. Mereka adalah Umar bin Khattab, Abu Udaidah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan Salim. Sementara Umar ibn Khattab sebagai khalifah kedua ditetapkan melalui pemilihan langsung dalam suatu baiat umum. Kemudian pemilihan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga ditentukan dengan membentuk tim formatur atau ahl al-halli wa al-`aqdi yang terdiri dari enam orang. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqas, Abd Rahman bin Auf, Zubair bin Awam, Thalhah,dan Abdullah bin Umar. Dua belas tahun kemudian Ali bin Abi Thalib tampil sebagai khalifah keempat melalui pemilihan dan baiat dari orang banyak, baik dari kelompok Muhajirin maupun Anshor meskipun ada pihak yang menolak, yaitu Muawiyah Gubernur Suria yang berasal dari keluarga Usman.
Kriteria atau sosok seorang pemimpin sebagaimana terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki dalam diri seorang pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para Nabi/Rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: Shidiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, Dâl Al-Âmiyah: 2015.
Fawaid, Jazilul, Bahasa Politik Al-Qur`an Konsep dan Aktualisasinya dalam Sejalah, Depok: Penerbit Azza Media, 2017.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Katsir, Ibnu, Sejarah Lengkap Khulafa'ur Rasyidin, Terj. Muhammad Ahsan bin Usman, Cikumpa: Senja Media Utama, 2018.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, terj. Ansori Umar dkk., Semarang: Thoha Putra, 1989.
Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2012.
Syariati, Ali. Ummah dan Imamah: Konstruksi Sosiologi Pengetahuan dalam Autentisitas Ideologi dan Agama, Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2012.
Suntiah, Ratu dan Maslani, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.
Susanti, Rosi, "Perjuangan HTI Dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyah (Analisis Terhadap Aktivitas Akhwat HTI Mahasiswi UIN Suska Riau Periode 2013-2014)". Skripsi Fakultas Syari'ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Tahun 2014.
Shihab, M. Quraish, Ensiklopedia Al-Qur`an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Jurnal Ilmu Dakwah Vol 4 No. 12 Juli – Desember 2008
Jurnal Madania Vol. XVIII, No. 1, Juni 2014.
Jurnal AKADEMIKA, Vol. 19, No. 01, Januari -Juni 2014