IKTERUS OBSTRUKTIF DAN CHOLANGIOCARCINOMA
Khairuddin RSUP Dr Kariadi Semarang
I.1. Ikterus Obstruktif I.1.1. Metabolisme bilirubin Ikterus merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan munculnya warna kekuningan pada kulit, sklera dan membran mukosa oleh karena peningkatan abnormal kadar bilirubin dalam serum. Bilirubin merupakan produk degradasi normal dari hemoglobin. Secara umum, deposisi bilirubin pada kulit, sklera dan membran mukosa terjadi jika kadar bilirubin dalam serum lebih dari 3 mg/dL.1-3 Bilirubin merupakan pigmen tetrapirol yang berasal dari pemecahan haem. Pada orang normal, produksi bilirubin rata-rata sekitar 250 – 300 mg per hari. Sekitar 80 % bilirubin tersebut berasal dari pemecahan eritrosit di sistem retikuloendotelial, 15 % berasal dari eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang, dan 5 % berasal dari pemecahan haem dari myoglobin, catalase, dan sitokrom. Produksi bilirubin di sistem retikuloendotelial terjadi dalam 2 tahap. Tahap pertama yaitu proses oksidasi haem oleh haem oxygenase menghasilkan biliverdin yang berwarna hijau. Tahap kedua adalah reduksi biliverdin menjadi bilirubin yang tidak berwarna oleh enzim biliverdin reduktase. Selanjutnya bilirubin tersebut ditransport ke hepar dalam bentuk terikat dengan albumin.2 Bilirubin (dalam keadaan belum terkonjugasi) diambil oleh sel hepar melintasi membran basolateral melalui suatu carrier yang termasuk dalam kelompok OATP (organic anion transporter). Di dalam sitosol hepatosit, bilirubin selanjutnya diangkut ke retikulum endoplasmik halus untuk mengalami konjugasi dengan asam glukoronat, juga untuk mencegah bilirubin keluar kembali ke plasma. Setelah dikonjugasi, bilirubin berdifusi dari retikulum endoplasmik melalui membran sel apikal dan diekskresikan ke kanalikuli empedu oleh pompa yang tergantung ATP. Sebagian kecil bilirubin terkonjugasi disekresikan ke aliran darah dan dibuang melalui ginjal. 2 Bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam empedu dan mengalir masuk ke duodenum, melewati bagian proximal usus halus dalam keadaan tetap utuh. Pada usus halus bagian distal dan di kolon bilirubin tersebut mengalami hidrolisis kembali menjadi bentuk tak terkonjugasi oleh betaglukoronidase dari bakteri intestinal. Selanjutnya ia direduksi oleh flora usus menjadi urobilinogen yang tak berwarna. Sekitar 80 – 90 % urobilinogen ini
diekskresikan melalui feses baik dalam keadaan utuh maupun dioksidasi menjadi urobilin dan stercobilin yang memberi bau normal pada feses. Sekitar 10 – 20 % urobilinogen diabsorpsi secara pasif dan kembali ke hepar melalui sirkulasi enterohepatik untuk re-konjugasi dan diekskresikan ke dalam empedu.2 Metabolisme bilirubin secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Metabolisme bilirubin
I.1.2. Patofisiologi dan Pendekatan Diagnostik Pemeriksaan bilirubin terkonjugasi dalam serum atau plasma dilakukan dengan menambahkan reagen diazo ke dalam serum atau plasma, sehingga bilirubin terkonjugasi bereaksi dengan reagen diazo untuk menghasilkan azobilirubin yang selanjutnya diukur secara kolorimetri. Hasil pemeriksaannya dikenal sebagai bilirubin direk. Pemeriksaan kadar bilirubin total prinsipnya sama dengan pemeriksaan bilirubin terkonjugasi, akan tetapi diberikan tambahan akselerator agar bilirubin tak terkonjugasi dapat bereaksi juga dengan reagen diazo. Pengukuran kadar bilirubin tak terkonjugasi (yang dikenal sebagai bilirubin indirek) dilakukan dengan menghitung kadar bilirubin total dikurangi kadar bilirubin direk.4
Kadar bilirubin tak terkonjugasi dapat meningkat pada kondisi-kondisi berikut: a) peningkatan produksi bilirubin tak terkonjugasi (misalnya pada anemia hemolitik atau anemia karena eritropoesis yang tidak efektif); b) gangguan uptake bilirubin tak terkonjugasi di hepar (akibat obat-obatan seperti rifampisin, probenesid, dan golongan protease inhibitor seperti indinavir); c) gangguan konjugasi di hepar (bayi prematur, penyakit hati berat, obat-obatan seperti kloramfenikol, dan defek kongenital seperti pada sindrom Criggler Najjar). 2, 3 Bilirubin terkonjugasi dapat mengalami peningkatan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan gangguan ekskresi dan aliran empedu. Gangguan ekskresi bilirubin terjadi pada kelainan kongenital yaitu Sindroma Rotor dan Sindroma Dubin-Johnson, sedangkan gangguan aliran empedu terjadi pada kolestasis intrahepatal maupun ekstrahepatal. 2, 3 Pendekatan diagnostik pada pasien dengan ikterus diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cermat. Pada saat anamnesis, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: a) gejala seperti rasa gatal, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, feses yang berwarna pucat, urine berwarna gelap seperti air teh, demam dan nyeri abdomen; b) penggunaan obat-obatan, baik obat yang diresepkan, obat bebas, maupun obat-obat herbal; c) riwayat konsumsi alkohol; d) faktor risiko hepatitis dan HIV (kontak seksual, transfusi darah, penggunaan narkoba); e) riwayat keluarga terhadap ikterus, penyakit hepar, kanker atau anemia hemolitik.5 Pemeriksaan fisik pada pasien ikterik dapat membantu menentukan penyakit yang mendasari. Pada pasien dengan penyakit hepar kronis dapat ditemukan tanda-tanda seperti spider naevi, eritema palmaris, ascites, hepatomegali atau caput medusa. Hiperpigmentasi pada kulit dapat mengarahkan diagnosis pada hemokromatosis. 3, 5 Pemeriksaan darah rutin dan gambaran darah tepi perlu dilakukan pada pasien dengan ikterus untuk menilai kemungkinan terjadinya anemia hemolitik. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin direk dan total, aminotransferase, alkalin fosfatase, γ-glutamil transferase, waktu protrombin, dan albumin. Analisis terhadap hasil-hasil pemeriksaan tersebut akan mengarahkan jenis pemeriksaan lanjutan apa yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. 3, 5
I.2. Cholangiocarcinoma I.2.1. Epidemiologi dan Klasifikasi Cholangiocarcinoma merupakan penyakit kanker yang berasal dari transformasi neoplastik sel-sel epitel saluran empedu (cholangiocyte), baik yang terletak intrahepatal maupun ekstrahepatal. Penyakit ini jarang, hanya sekitar 3% dari seluruh kanker
gastrointestinal, akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir insidensinya meningkat. Insidensinya di berbagai negara sangat bervariasi, tergantung pada faktor risiko lokal dan genetik, namun angka mortalitasnya tinggi. Chile dan Jepang dilaporkan mempunyai angka insidensi paling tinggi, diikuti Asia Timur dan India, sedangkan yang paling rendah adalah Australia.6, 7 Cholangiocarcinoma
dapat
diklasifikasikan
menjadi
intrahepatik
(intrahepatic
cholangiocarcinoma, ICC) dan ekstrahepatik (extrahepatic cholangiocarcinoma, ECC) berdasarkan
lokasi
tumornya.
ECC
dibagi
lagi
menjadi
perihiler
dan
distal
cholangiocarcinoma. Cholangiocarcinoma perihiler terletak di atas pertemuan antara ductus cysticus
dengan ductus
communis
sampai
ke
tepi
atas
duodenum,
sedangkan
cholangiocarcinoma distal terletak di duodenum dan intrapankreas hingga ke ampulla Vateri (gambar 2). Cholangiocarcinoma perihiler merupakan kasus cholangiocarcinoma yang paling sering yaitu sekitar 60-80%, diikuti cholangiocarcinoma distal (20-30%) dan ICC (5-15%).6
Gambar 2. Klasifikasi cholangiocarcinoma berdasarkan lokasinya.6 Sebagian besar cholangiocarcinoma terjadi secara sporadis dan tidak mempunyai faktor risiko spesifik. Namun demikian, beberapa penelitian mengungkapkan hal-hal yang menjadi faktor risiko terjadinya cholangiocarcinoma, antara lain infestasi cacing hepar yaitu Opisthorchis viverrini, Clonorchis sisensis dan Schistosomiasis japonica yang endemik di Jepang dan Asia Tenggara. Faktor risiko lainnya meliputi cholangitis sklerosis primer, hepatolithiasis, diabetes, merokok, sirosis, virus hepatitis C, dan beberapa gangguan kongenital (penyakit Caroli, kista koledokus, abnormal pancreatobiliary junction). Gangguan
pada drainase cairan empedu ke duodenum dapat menyebabkan stasis empedu, inflamasi, pembentukan batu, dan infeksi, yang dapat memicu sel epitel saluran empedu menjadi bersifat neoplastik.6-8 I.2.2. Diagnosis Meskipun ICC dan ECC secara histologis sulit dibedakan, secara klinis keduanya mempunyai tampilan yang berbeda. Pasien dengan ICC biasanya muncul sebagai nyeri abdomen dan adanya massa intrahepatik, sedangkan pasien dengan ECC secara tipikal muncul dengan tanda-tanda obstruksi bilier (ikterus, feses warna pucat, urine warna gelap, pruritus).6, 9 Ikterus obstruktif sebagai gejala utama ECC secara tipikal berhubungan dengan peningkatan bilirubin serum, alkalin fosfatase, dan γ-glutamil transferase. Namun demikian parameter laboratorium ini tidak spesifik dan tidak dapat digunakan untuk membedakan obstruksi maligna atau benigna. Pada umumnya pemeriksaan lanjutan yang dilakukan adalah memeriksa tumor marker, dua di antaranya yang paling banyak diteliti adalah carbohydrate antigen (CA) 19‑9 dan carcinoembryonic antigen (CEA). Kedua tumor marker ini mungkin meningkat pada cholangiocarcinoma, akan tetapi keduanya tidak spesifik karena CA 19-9 dan CEA juga meningkat pada kanker-kanker pankreas, kolorektal, lambung, dan keganasan ginekologis. Di samping itu CA 19-9 juga meningkat pada cholangitis akut.10 Sampai saat ini belum ada tumor marker yang memberikan angka sensitivitas dan spesifisitas yang memuaskan untuk penegakan diagnosis cholangiocarcinoma. Beberapa metode baru baik untuk penegakan diagnosis maupun menentukan prognosis masih dalam proses penelitian, termasuk metode proteomik, lemakomik, glikomik, dan mikro-RNA.11-13 Pencitraan merupakan modalitas diagnostik penting pada cholangiocarcinoma. USG biasanya dilakukan pertama kali untuk menilai obstruksi bilier dan akan memberikan gambaran ductus biliaris yang obstruksi dan dilatasi. CT Scan secara luas digunakan untuk mendiagnosis dan menentukan stage cholangiocarcinoma karena ia dapat menggambarkan penyebaran lokal, invasi vaskuler, limfonodi yang terkena, juga metastasis jauh.14 Cholangiografi merupakan metode pencitraan paling penting dalam mendiagnosis tumor saluran empedu. Cholangiografi tersedia dalam 3 metode, yaitu magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP), endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP), dan percutaneous transhepatic cholangiography (PTC). Prosedur MRCP lebih disukai daripada kedua metode lainnya karena sifatnya yang non-invasif dan tidak membutuhkan kontras. Di samping itu MRCP juga mampu memvisualisasikan dengan lebih
baik anatomi dan perluasan tumor dalam sistem hepatobilier, invasi vaskuler, limfadenopati lokal, dan metastasis jauh.14, 15 I.2.3. Tata Laksana Pembedahan
merupakan satu-satunya
metode
kuratif dalam
penatalaksanaan
cholangiocarcinoma, akan tetapi pasien yang masih bisa dioperasi pada saat diagnosis hanya kurang dari sepertiga. Angka survival-5-tahun pasien-pasien yang dilakukan operasi masingmasing adalah 22-44% untuk ICC, 27-37% untuk distal ECC, dan 11-41% untuk hilar ECC. Pada ICC, pembedahan dilakukan dengan melakukan reseksi segmen atau lobus hepar. Pasien dengan distal ECC ditangani dengan pankreatoduodenektomi, sama seperti pada kanker ampulla atau kanker caput pankreas. Hilar ECC memerlukan hepatektomi mayor, dan harus mempertimbangkan risiko insufisiensi hepar jika hepar yang tersisa cukup kecil. Beberapa metode lain seperti kemoterapi dan radioterapi hasilnya tidak memuaskan dan data yang tersedia masih terbatas.9
I.3. Masalah dan Tata Laksana Gizi Pada Cholangiocarcinoma Cairan empedu mempunyai peran penting dalam metabolisme lemak. Komponen lemak dalam diet pada umumnya adalah dalam bentuk trigliserida, fosfolipid (terutama fosfatidilkolin), dan sterol (terutama kolesterol). Dalam saluran cerna, lemak diet ini dihidrolisis oleh enzim jenis esterase yang akan memecah ikatan ester dalam molekul trigliserida (oleh enzim lipase), fosfolipid (oleh enzim fosfolipase), dan ester kolesterol (oleh enzim koesterol esterase). Hampir seluruh komponen lemak diet ini sudah terhidrolisis sempurna di dalam usus halus, suatu proses yang melibatkan garam empedu yang akan mengemulsifikasi molekul lemak tersebut sehingga dapat diakses oleh enzim pencernaan. Dari proses ini, trigliserida akan dipecah menjadi gliserol dan asam lemak yang selanjutnya diabsorpsi ke dalam sel usus dalam bentuk misel dengan bantuan garam empedu.16 Adanya sumbatan aliran empedu ke dalam duodenum dalam jangka pendek jarang menyebabkan masalah gizi spesifik, akan tetapi jika sumbatan terjadi dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan absorpsi lemak dan vitamin-vitamin larut lemak.17 Pemberian lemak dalam bentuk medium-chain triglyceride (MCT) mungkin dapat dipertimbangkan untuk mencukupi kebutuhan asupan lemak pada pasien-pasien tersebut. Berbeda dengan lemak diet pada umumnya yang berbentuk rantai panjang, MCT bersifat hidrofilik sehingga proses absorpsinya tidak memerlukan empedu. MCT diserap secara langsung ke dalam sel usus dan ditransport ke hepar melalui vena porta tanpa terikat ke dalam kilomikron. 18
Beberapa studi klinis maupun eksperimental menunjukkan bahwa pasien dengan obstruksi saluran empedu menunjukkan gejala anorexia dan malnutrisi. Meskipun malnutrisi dapat terjadi pada obstruksi benigna maupun maligna, akan tetapi penurunan berat badan dan hipoalbuminemia lebih sering dan lebih berat pada pasien dengan obstruksi maligna. Hal ini terjadi sebagai akibat dari pelepasan sitokin proinflamasi pada obstruksi bilier maligna yang menyebabkan anorexia, penurunan berat badan, anemia dan kelemahan tubuh, dan selanjutnya menyebabkan cachexia.19 Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan pasien cholangiocarcinoma adalah manajemen perioperatif. Tindakan pembedahan merupakan metode utama dalam penatalaksanaan cholangiocarcinoma, khususnya jika pada saat penegakan diagnosis secara klinis pasien masih bisa dioperasi. Suatu protokol manajemen perioperatif pada pasien yang akan dilakukan pankreatikoduodenektomi yang dikenal sebagai protokol ERAS (Enhanced Recovery After Surgery) sudah disusun dan dipublikasikan pada tahun 2012. Protokol ini merekomendasikan beberapa hal antara lain pasien masih boleh makan sampai 6 jam sebelum operasi, pasien masih boleh minum air putih sampai 2 jam sebelum operasi, pasien boleh memulai makan biasa setelah operasi dimulai dengan porsi kecil dan ditingkatkan perlahan sesuai daya terima pasien.20
DAFTAR PUSTAKA 1.
Gilmore I, Garvey CJ. Jaundice. Medicine 2013; 41(2): 99-103.
2.
Ramappa V, Aithal GP. Jaundice: applying lessons from physiology. Surgery 2014; 32(12): 627-634.
3.
Kathpalia P, Ahn J. Assessment of jaundice in the hospitalized patient. Clin Liver Dis 2015; 19(1): 155-170.
4.
Dasgupta A, Wahed A. Liver Diseases and Liver Function Tests. In: Clinical Chemistry, Immunology and Laboratory Quality Control. Elsevier, 2014, pp 177-195.
5.
Houlihan DD, Armstrong MJ, Newsome PN. Investigation of jaundice. Medicine 2011; 39(9): 518-522.
6.
Mafi P, Chu QD, Smith RR, Gibbs JF. Cholangiocarcinoma. In: Chu QD, Gibbs JF, Zibari GB (eds). Surgical Oncology: A Practical and Comprehensive Approach. Springer: New York, 2015, pp 257-282.
7.
Gatto M, Bragazzi MC, Semeraro R, Napoli C, Gentilea R, Torrice A et al. Cholangiocarcinoma: Update and future perspectives. Dig Liver Dis 2010; 42: 253-260.
8.
Razumilava N, Gores GJ. Classification, Diagnosis, and Management Cholangiocarcinoma. Clin Gastroenterol Hepatol 2013; 11(1): 13-21.
of
9.
Khan SA, Davidson BR, Goldin RD, Heaton N, Karani J, Pereira SP et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of cholangiocarcinoma: an update. Gut 2012; 61: 1657– 1669.
10. Weber A, Schmid RM, Prinz C. Diagnostic approaches for cholangiocarcinoma. World J Gastroenterol 2008; 14(26): 4131-4136. 11. Janvilisri T, Leelawat K, Roytrakul S, Paemanee A, Tohtong R. Novel Serum Biomarkers to Differentiate Cholangiocarcinoma from Benign Biliary Tract Diseases Using a Proteomic Approach. Dis Markers 2015: 1-11. 12. Zeng X, Tao H. Diagnostic and prognostic serum marker of cholangiocarcinoma (Review). Oncol Letters 2015; 9: 3-8. 13. Briggs CD, Neal CP, Mann CD, Steward WP, Manson MM, Berry DP. Prognostic molecular markers in cholangiocarcinoma: A systematic review. Eur J Cancer 2009; 45: 33-47. 14. Singh MK, Facciuto ME. Current Management of Cholangiocarcinoma. Mt Sinai J Med 2012; 79: 232–245. 15. Madhusudhan KS, Gamanagatti S, Gupta AK. Imaging and interventions in hilar cholangiocarcinoma: A review. World J Radiol 2015; 7(2): 28-44. 16. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced Nutrition and Human Metabolism, 5th edn Cengage Learning: USA, 2009. pp: 131-175. 17. Nolan JD, Johnston IM, Walters JR. Physiology of malabsorption. Surgery 2015; 33(5): 193-199. 18. Leray C. Lipids – Nutrition and Health, CRC Press, Taylor & Francis Grup, 2015. pp: 172-174. 19. Padillo FJ, Andicoberry B, Pera-Madrazo C, Sitges-Serra A. Anorexia and malnutrition in patients with obstructive jaundice. Nutrition 2002; 18: 987–990. 20. Lassen K, Coolsen MME, Slim K, Carli F, Aguilar-Nascimento JEd, Schäfer M et al. Guidelines for perioperative care for pancreaticoduodenectomy: Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) Society recommendations. Clin Nutr 2012; 31: 817-830.