Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 50
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE-Ygyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm.15
Ibid…hlm.51
Bagir Manan, Dasar dan DImensi Politik Otonomi dan UU No. 22 Tahun 1999, Makalah, Bandung, 1999, hlm. 5
Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah kajian tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm 1.
R.Soepomo dalam Sekretariat Negara Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI (29 Mei-22 Agustus 1945), dalam Astin Riyanto, Negara Kesatuan, Konsep, Asas dan Aktualisasinya, Yapendo, Bandung,2010, hlm. 205
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2009, hlm.328
Soehino, Azas-azas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1948, hlm.50
ibid
Bagirmanan, Dalam Astim Riyanto, Hukum………,op.cit, hlm.242
Penjelasan Umum Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966/Angka I
P. Rosodjatmiko dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pers, 2012, hlm. 265
Ibid
Huruf g angka 1, mengenai dasar pemikiran bagian penjelasan umum UU No 5 Tahun 1974
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum……..op.cit, hlm.374
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2009, hlm.337
Ibid……338
Ibid……339
Pasal 67 huruf (f), Pasal 68 Ayat (1), (2), dan (3) UU NO 23 Tahun 2014
Ridwan, hukum administrasi…..op.cit hlm.15
Soehino, Ilmu Negara,Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm.224
Ridwan, Hukum Administrasi…..op.cit hlm.47
Pendahuluan
Para pendiri bangsa sejak awal telah sepakat untuk menjadikan negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah, yang kemudian dituangkan dalam Pasal 18 UUD 1945, "Pembagian Daerah atas Daerah Beasar dan Kecil, dengan bentuk Pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah yang bersifat Istimewa". Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut : " oleh karena Negara Indonesia itu suatu " eenheidsstaat", maka Indonesia tak akan mempunyai Daerah dilingkungannya yang bersifat "Staat" juga. Daerah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah Administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan Undang-Undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 dan penjelasannya tersebut tampak bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menghendaki pemencaran kewenangan pemerintahan dengan memberikan otonomi kepada satuan pemerintahan daerah, bukan pemusatan penyelenggaraan Pemerintah (sentralisasi). Pilihan untuk menggunakan otonomi untuk menggunakan bagi penyelenggaraan pemerintahan ini sejalan dengan wilayah Indonesia yang luas dan terpencar dalam berbagai kepulauan dengan susunan masyarakat yang heterogen. Bagir manan mengatakan bahwa pilihan penggunaan otonomi bukan sekedar pertimbangan teknis atau pertimbangan praktis. Pilihan itu ditentukan pula oleh pilihan politik, pertimbangan pengalaman, pertimbangan kesejarahan, kenyataan social budaya, dan lain sebagainya.
Pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan dianalisis agar tidak terdapat kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Kelahiran satuan pemerintahan tingkat daerah adalah konsekuensi adanya konsep pembagian dan pembatasan kekuasaan sebagai salah satu unsure negara hukum. Sehingga Perbincangan tentang hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah senantiasa selalu menjadi perdebatan panjang dinegara Indonesia.Bentuk perdebatan tentang hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut selalu tidak lepas dari cara-cara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berbagi wewenang dan kekuasaan. Dalam literatur tentang pemerintahan sebenarnya hanya dikenal 2 cara yang menghubungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu cara pertama dikenal dengan istilah "sentralisasi", dimana segala urusan, tugas, fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara yang lain adalah dengan "desentralisasi" yang berkonotasi sebaliknya yaitu urusan, tugas dan wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.
Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dari makalah ini adalah Bagaimanakah hubungan kewenangan yang cocok antara pusat dan daerah dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya untuk Negara Kesatuan menurut UUD NRI 1945 ?
Pembahasan
Hubungan kewenangan yang cocok antara pusat dan daerah dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya untuk Negara Kesatuan menurut UUD NRI 1945
Untuk mencari hubungan kewenangan yang cocok antara pusat dan daerah dengan konsep otonomi yang seluas-luasnya untuk Negara Kesatuan menurut UUD NRI 1945, maka sangat efektif apabila kita terlebih dahulu melihat secara singkat bagaimana konsep hubungan kewenangan yang pernah dan berlaku di negara Indonesia.
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum dasar (konstitusi) yang disepakati adalah UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 agustus 1945, didalam konstitusi ini telah mengamanatkan bahwa bentuk Negara Kesatuan (eenheidsstaat) dengan mengedepankan desentralisasi. Kemudian secara tekstual, terdapat beberapa Pasal yang menjiwai pelaksanaan pemerintahan daerah diantaranya Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 18, dan secara tersirat makna yang terkandung dalam Pasal 18, ini adalah dapat ditafsirkan sebagai pengaturan pemerintahan daerah dengan mengedepankan aspek desentralisasi.
Bahwa makna yang tersirat dalam Pasal 18 tersebut, secara tidak langsung dapat dijakdikan piranti dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebab kaidah-kaidah yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 tidak mencantumkan secara tersurat mengenai bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah demikian pula sifat otonominya. Ketidak jelasan ini kemungkinan dijadikan dasar oleh Soepomo untuk memberikan penafsiran dalam penjelasan UUD 1945, yang member peluang dalam menentukan bentuk susunan pemerintahan baik bersifat administrative maupun bersifat otonom. Atas dasar penjelasan inilah yang memberi peluang bagi pembentuk undang-undang untuk "dapat" berkreasi dalam melahirkan peraturan perundang-undangan yang berbeda satu sama lain mengenai bentuk dan susunan daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Undang-undang yang menagtur mengenai Pemerintahan Daerah yang paling pertama dibentuk adalah UU No.1 1945 tentang Komite Nasional Daerah (KND) yang hanya berjumlah 6 Pasal yang dimana pada saat itu pemerintahan daerah masih sangat sederhana sehingga pemerintahan pusat mempunyai kewenangan yang sangat besar terhadap pemerintahan daerah (sentralistik), yang dimana Komite Nasional Daerah (kapala Daerah) ditentukan olah Ir. Soekarno.
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948
Setelah berjalan selama 3 tahun berada dalam kegamangan penafsiran maka usaha untuk merevisi diwujudkan dalam bentuk aturan yang legal formal tentang pelaksanaan Pemerintahan Daerah dengan dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah yang dimana pemerintah pusat ingin memberikan otonomi luas kepada daerah namun mewujudkan Pemerintahan Daerah yang berotonomi luas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu mengalami hambatan yang sangat berat karena pihak Belanda terus menerus melancarkan tekanan-tekanan diplomatis yang hingga pada akhirnya ditahun 1949 bentuk negara Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat.dimana UU No.22 tahun 1948 hanya berlaku di Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta sebagai salah satu negara Bagian yang tetap menggunakan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya.
3. Undang-Undang No.1 Tahun 1957
Setahun setelah berlakunya konstitusi RIS pada Tahun 1950 bentuk Negara Republik Indonesia kembali menjadi negara Kesatuan dan diberlakukan UUDS 1950 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Setelah berlakunya UUDS 1950 muncul semngat baru yang ingin menyelenggarakan pemerintahan Daerah dengan mengedepankan semangat kedaerahan yang tinggi dan cukup liberal sehingga mendorong parlemen dan daerah-daerah agar UU No.22 tahun 1948 segera ditinjau kembali yang pada akhirnya setelah melalui proses yang sangat panjang, lahirlah UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang dimana Undang-Undang ini menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya yang dimana prinsip otonomi riil berarti pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijakan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan seluas-luasnya berarti bahwa kepada daerah-daerah akan diserahkan urusan sebanyak mungkin untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
4. Penpres No. 6 Tahun 1959
Berlakunya kembali UUD 1945 melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959, menjadi konstitusi Negara RI menggantikan UUDS 1950, akan membawa konsekuensi perubahan yang sangat luas dalam bidang ketatanegaraan Indonesia, dan beberapa produk hukum yang berdasarkan UUDS 1950 yang dikenal dengan demokrasi parlementernya harus disesuaikan dengan jiwa UUD 1945 yang dengan demikian pemerintah pusat kembali ke azas sentralisasi, dan tuntutan otonomi seluas-luasnya bergeser kea rah demokrasi terpimpin sehingga UU Pemerintahan Daerah yang berlaku ketika itu yaitu UU No.1 Tahun 1957 akan berubah. Maka pada tanggal 7 September 1959 Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah, yang bertujuan untuk menyempurnakan UU No. 1 Tahun 1957. Dengan keluarnya Penpres No.6 Tahun 1959 bukan berarti UU No.1 Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi, karena Penpres ini tidak mencabut UU tersebut, sehingga secara formal masih tetap berlaku. Dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 ini ada beberapa prinsip dasar dalam UU No.1 Tahun 1957 yang tetap dipertahankan tentang Pemerintahan Daerah, yang disebutkan dalam penjelasannya yaitu pemberian otonom yang seluas-luasnya kepada daerah dan sistem rumah tangga nyata. Walaupun keinginan itu tidaklah begitu sejalan dengan ketentuan dalam Penpres No.6 Tahun 1959 yang memperbesar campur tangan pemerintah daerah sehingga dapat dikatakan Penpres tersebut mengandung spaning dalam dirinya.
5. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
Setelah dikeluarkannya Undang-undang No.18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ini maka semua peraturan perundang-undangan yang sebelumnya tidak berlaku, baik dalam bentuk undang-undang maupun penetapan presiden.dan secara umum dikatakan bahwa Undang-undang ini merupakan undang-undang Pemerintahan Daerah sebagai kebijakan setelah berlakunya kembali UUD 1945 sebagai Konstitusi NKRI.dalam undang-undang ini malaupun semangat yang dibangun adalah untuk tercapainya desentralisasi territorial yakni meletakan tanggung jawab otonomi riil yang seluas-luasnya ditangan pemerintah daerah disamping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital,namun sesungguhnya peran pusat terhadap daerah masih sangat kuat (sentralistik) karena seperti yang telah diatur dalam Pasal 11 UU No. 18 Tahun 1965 bahwa Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk daerah Tingkat I,Mendagri dengan persetujuan Presiden bagi daerah tingkat II dan Kepala Daerah Tingkat I dengan Persetujuan Mendagri bagi Daerah tingkat II yang ada dalam daerah tingkat I.
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
Setelah terjadinya Tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis (G30 S/PKI) pada tahun 1965 yang sampai pada akhirnya pada tahun 1967 karena Presiden Soekarno dianggap tidak dapat mempertanggung jawabkan "tragedy nasional" (G30 S/PKI) MPRS pada saat itu mencabut mandate Presiden Soekarno sebagai Presiden dan sekaligus mendudukan Soeharto sebagai pejabat Presiden. Lalu setahun kemudian Soeharto ditetapkan menjadi Presiden Defenitif yang dimana dikenal dengan lahirnya Orde Baru.Setelah Lahirnya Orde Baru, tidak lama kemudian UU No.18 Tahun 1965 dan Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1965 yang dimana dengan demikian MPRS mengeluarkan Ketetapan yang menyangkut otonomi daerah yaitu ketetapan Nomo XXI/MPRS/1966, yang ditegaskan dalam Pasal 1, bahwa daerah harus diberi otonom seluas-luasnya tanpa mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat dibidang perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap daerah, dan Pasal 5, memerintahkan kepada pemerintah bersama DPR untuk meninjau kembali Undang-Undang No.18 Tahun 1965. Namun setelah format baru Politik Indonesia terbentuk Pada Tahun 1969-1971 maka asas otonomi seluas-luasnya mulai ditolak, dianggap tidak sesuai dengan prinsip negara Kesatuan, kemudian diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Sehubungan dengan itu, maka setelah format baru sistem politik Orde terbentuk maka asas otonomi seluas-luasnya dinyatakan dicabut artinya ketetapan MPRS Nomor XXI/1996 sebelum dilaksanakan sicabut, alasannya dapat dilihat dalam isi GBHN 1973, yaitu menggariskan prinsip-prinsip otonomi daerah sebagai berikut " dalam melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar ketentuan negara kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonom yang nyata dan bertanggung jawab dan dapat menjamin perkembangan serta pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi ".berdasarkan semangat tersebut pada tahun 1974 Pemerintah bersama DPR mengesahkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Dalam Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 sangat jelas perwujudan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata berarti bahwa dalam pemberian otonomi pada daerah harus berdasarkan faktor-faktor perhitungan-prhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijakan yang benar-benar daerah yang bersangkutan dapat secara nyata dan mampu melaksanakan urusan rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab artinya otonomi yang diberikan kepada daerah benar-benar sejalan dengan tujuan yaitu supaya pembangunan yang tersebar sampai pelosok-pelosok dapat berjalan lancar serasi tidak bertentangan dengan pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan pembangunan daerah diseluruh wilayah NKRI.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tidak diperkenankan membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan kebijakan pusat karena akan mengganggu hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan karena itu dapat dikatakan tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini dapat menjadi alasan pemerintah pusat untuk mencabut kembali wewenang otonomi yang sudah diberikan. Inilah maksud otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, walaupun urusan otonomi telah diserahkan kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya. Namun penyerahan itu baru dapat diserahkan apabila daerah yang bersangkutan dianggap mampu untuk menerima urusan yang diserahkan untuk memperkuat posisi pusat dalam NKRI sehingga prinsip otonomi seluas-luasnya tidak digunakan dalam Undang-undang ini karena dianggap dapat membahayakan NKRI.
7. Undang-undang No. 22 Tahun 1999
Sejak runtuhnya rezim orde baru di bawah kepemimpinan soeharto pada tahun 1998 yang kemudian lahir era reformasi, tahap awal dengan diadakannya amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, yang merupakan landasan konstitusional dibangunnya struktur ketatanegaraan bangsa Indonesia yang demokratis barulah diikuti oleh perubahan peraturan perundang-undangan lainnya yang salah satu ya adalah perubahan UU yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, dari yang semula menganut sistem atau asas otonomi nyata dan bertanggung jawab, menjadi asas ototnomi luas kemudian secara politis dari asas sentralistik menjadi asas desentralistik.berdasarkan hal tersebut, maka sebagai gambaran umum dari kedua UU tersebut, bahwa dengan kelurnya UU No.22 Tahun 1999 merupakan koreksi total terhadap UU No.5 Tahun 1974 yang sentralistik dan berjalan selama 32 tahun dibawah pemerintahan orde baru dan sudah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan setelah era reformasi, sehingga dalam perjalanan sejarah tidak pernah ada satupun daerah di Indonesia yang dapat melaksanakan otonomi daerah dengan sempurna karena kecenderungan pemerintah pusa selalu interfensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
8. Undang-undang No. 32 Tahun 2004
Setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, belum sampai 5 tahun UU ini, wacana untuk melaksanakan revisi terhadap UU tersebut mulai marak karena banyaknya persoalan dihadapi dalam pelaksanaanya, seperti dalam tataran praktis telah membangun konsep yang justru merusak tatanan Negara Kesatuan RI, yang telah menjadi kesepakatan para pendiri negeri ini, yang dimana nuansa federalism sangat kental dalam UU ini. Atas dasar pemahaman inilah maka lahirlah UU No.32 Tahun 2004 untuk menggantikan UU 22 tahun 1999.
Pada Hakekatnya bila dikaji dari aspek historis, konsep penyusunan UU Pemerintahan Daerah ini sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, dapat dikatakan sebagai langkah kompromis untuk menyatukan diantara dua kelompok yang memiliki konsep yang berbeda. Karena waktu itu dalam tataran konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia khususnya yang menyangkut pembenahan sistem pemerintahan dan bangunan negara, yaitu munculnya dua konsep yang demikian kuat, yaitu satu sisi keinginan melakukan perubahan bangunan negara dalam bentuk Federal dan disatu sisi ingin mempertahankan dalam bentuk negara kesatuan dengan memberikan keleluasaan dari aspek desentralisasi maupun otonomi daerah.
Bahwa konsepsi Yuridis yang terdapat dalam Pasal 1 huruf (c) tentang pengertian desentralisasi dan Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang kewenangan daerah yang merupakan hasil kompromi yang sangat signifikan, dan kedua konsepsi yuridis inilah yang menjadi titik pangkal permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sehingga UU tersebut perlu direvisi.sehubungan dengan hal tersebut maka konsep desentralisasi ini kemudian diubah oleh UU No. 32 Tahun 2004, dengan konsep yang menjelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9. Undang-Undang No 23 Tahun 2014
Apabila kita melihat konsep hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam UU No.23 Tahun 2014 masih sama seperti yang berlaku dalam UU No. 32 Tahun 2004 asas yang digunakan dalam UU ini adalah asas otonomi seluas-luasnya dan otonomi riil bertanggung jawab sperti dalam konsepsi Yuridis dalam Pasal 1 ayat (8) mengatakan bahwa desentralisasi yaitu penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.Pnulis melihat bahwa asas yang dianut dalam undang-undang ini adalah asas otonomi rill bertanggung jawab semata dan meninggalkan asas otomi seluas-luasnya. Hal tersebut bisa dilihat pada defenisi desentralisasi yang pada UU No 32 tahun 2004 mengatakan penyerahan wewenang, sedangkan UU 23 Tahun 2014 mengatakn penyerahan urusan, hal tersebut diperkuat oleh hilangnya pasal yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 mengenai Hak Daerah yaitu Pasal 21 ayat (1) poin a yang mengatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Sementara dalam UU No 23 Tahun 2014 ketentuan tersebut telah dihilangkan. Hal selanjutnya mengenai pemberhentian langsung kepala daerah oleh pusat apabila tidak melaksanakan program strategis nasional. Dalam penjelasan UU tersebut dikatakan bahwa program strategis nasional adalah program yang ditetapkan Presiden sebaga program yang memiliki sifat straregi secara nasional dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan serta menjaga pertahanan dan keamanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penjelasan tersebut masih ambigu dan multi iterpretasi, yang sebenarnya bisa dikatakan dengan alasan politis presiden bisa secara langsung memberhentikan Kepala Daerah tanpa melibatkan DPR sebagai wakil rakyat dalam sebuah daerah.
Apabila kita melihat uraian panjang dari perjalanan pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah di negara Indonesia pada dasarnya konseptor hanya selalu berfikir bagaimana memberikan konsep otonomi yang seluas-luasnya seperti yang diimpikan para pendiri bangsa Indonesia, namun dengan tidak mencederai Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga selalu ada pergeseran paradigma mengenai konsep hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat dan Daerah yang selalu dianggap ideal dan tentunya lahirnya undang-undang baru merupakan hasil evaluasi dari pemberlakuan undang-Undang sebelumnya.
KESIMPULAN
Berangkat dari Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa " Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik", dan dalam Pasal 18 ayat (1) ditegaskan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan Undang-Undang". Pada hakekatnya negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daripada beberapa negara, seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara dalam negara.jadi dengan demikian didalam negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.. Sebagai negara Kesatuan yang menganut sistem desentralisasi, penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat tapi juga oleh satuan pemerintahan daerah. Sehingga penulis melihat bahwa asas yang digunakan asas otonomi riil dan bertanggung jawab sudah sangat tepat dalam mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat dan daerah dan terhadap kedua hal tersebut harus dilaksanakan seimbang tanpa ada dominasi artinya bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan yang besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, namun dalam konteks NKRI, pemerintah daerah harus mempertanggung jawabkan setiap pelaksanaan otonomi tersebut kepada pemerintah pusat. Sehubungan dengan hal tersebut untuk mengefektifkan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pusat dan Daerah yang baik maka pengawasan terhadap hal tersebut harus kuat, dimana Penulis menekankan bahwa Dewan Perwakilan Daerah disini harus berperan lebih aktif dalam mengawasi daerah, dan hubungannya dengan Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 dalam Pasal 22D ayat (2) .