INTERPROFESSIONAL EDUCATION
Pengertian Interprofessional Education ( IPE )
Inter-professional education adalah proses pembelajaran yang terjadi ketika dua atau lebih profesi belajar dari dan mengenai satu profesi dengan profesi lainnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan. ( Endang Lestari dalam Lorente et al. 2006) Secara umum dipahami bahwa kerja dokter dalam pelayanan medis akan selalu berhubungan dengan profesi-profesi lain, seperti perawat, dan bagian kesehatan masyarakat. Mahasiswa harus diberi pengalaman mengenai apa dan harus bagaimana berinteraksi dengan dan hormat kepada profesi lain, dengan komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik. Jika pengalaman mengenai hubungan interpersonal dengan profesi lain tidak pernah diperoleh siswa selama pendidikan, maka bisa dimungkinkan mereka akan tidak siap atau butuh penyesuaian waktu yang lama untuk bekerjasama dengan profesi lain di tempat kerjanya kelak. ( Endang Lestari , 2011 ) Tujuan Interprofessional Education ( IPE )
Menurut
Universitas
Toronto
(2009),
IPE bertujuan untuk menghasilkan
mahasiswa profesi kesehatan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan praktek kolaborasi interprofesional. Kompetensi dasar IPE didasarkan pada pendapat dari (Barr, 1998), yaitu:
Menjelaskan peran dan tanggung jawabnya terhadap profesi lain
Mengenali dan mengboservasi batasan, tanggung jawab, dan kompetensi, namun juga sadar akan kebutuhan sudut pandang pandang yang lebih besar
Mengenali dan menghormati peran, kewajiban, dan kompetensi dari profesi lain yang berhubungan dengan kompetensinya
Bekerja dengan profesi lain untuk menyelesaikan konflik dalam hal perawatan dan tatalaksana
Menoleransi perbedaaan, kesalahpahaman, dan kegagalan pada profesi lain
Memfasilitasi konferensi, rapat tim, atau yang sejenis dalam kasus interprofesional
Masuk ke dalam hubungan interdependent dengan profesi lain. Dengan demikian, apa yang yang ada di dalam IPE itu adalah penyadaran kembali kembali akan
peran manusia yang sesungguhnya, dimana di dalamnya ada ‘materi PPKn SD’ yang berisi
tentang tenggang rasa, saling menghargai, saling menghormati. Maka, tujuan dari penyebaran IPE ini bukanlah menggurui atau memberikan ilmu baru, tapi sekadar menyadarkan. (Zakka Zayd Zhullatullah Jayadisastra dalam Barr, 1998) Manfat Interprofessional Education ( IPE )
Bukti menunjukkan bahwa perawatan pasien dengan kolaborasi lintas profesi meningkatkan keberhasilan perawatan, meski belum kuat karena masih kurangnya
1|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
penelitian yang dilakukan. Keuntungan IPE bagi mahasiswa adalah ( Zakka Zayd Zhullatullah Jayadisastra dalam Buring et al, 2009): 1) Mendapatkan kemampuan negosiasi 2) Mendapatkan kemampuan kepemimpinan 3) Belajar tentang kerja sama tim 4) Meningkatkan kemampuan komunikasi 5) Dapat bertukar pengetahuan dan informasi 6) Dapat berbagi cara mengambil keputusan 7) Dapat mengatur/ menyelesaikan konflik 8) Dapat memberikan pelayanan kepada pasien dengan pasien sebagai pusatnya 9) Meningkatkan rasa percaya diri 10) Meningkatkan rasa mawas diri 11) Menumbuhkan rasa saling menghormati 12) Menumbuhkan rasa saling percaya antar profesi 13) Meningkatkan kualitas pelayanan 14) Membuat tim tenaga kesehatan kohesif/ berbaur karena menghilangnya stereotipe 15) Belajar sepanjang hayat 16) Mendewasakan diri 17) Kolaboratif dalam praktik
Studi Kasus
World Health Organization (WHO) menyatakan setiap menit seorang wanita meninggal selama persalinan atau melahirkan. Nour (2008) dalam jurnal Review in Obstetric and Gynecology juga menyatakan bahwa sekitar 529.000 perempuan meninggal akibat kondisi yang berhubungan dengan kehamilan setiap tahunnya dan hampir semua yaitu 99% dari kematian ibu, terjadi di negara berkembang. Indonesia sebagai berkembang masih memiliki
angka
kematian ibu (AKI) yang cukup tinggi ( Dina Zakiyatul Fuadah Dalam
Sukmawati, 2012). Penyebab tersering kematian ibu adalah perdarahan postpartum, eklampsia, persalinan macet, dan sepsis. Kematian ibu masih disebabkan karena masalah terkait keterlambatan mengambil keputusan, keterlambatan 2|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
mengakses
pelayanan
kesehatan dan keterlambatan dalam melakukan tindakan di sarana pelayanan kesehatan. (Dina Zakiyatul Fuadah Dalam Armiatin, 2013). Upaya menurunkan angka kematian ibu salah satunya melalui peningkatan pelayanan kesehatan neonatal dan ibu melalui program pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Perawatan selama kehamilan atau perawatan antenatal sebagai salah satu bentuk pelayanan KIA yang aman dan bermutu bagi ibu hamil dan janin/bayi dapat terwujud bila sistem mikro pelayanan KIA yang diberikan oleh klinisi (dokter, SpOG, bidan, perawat dan tenaga klinis lain) berjalan dengan baik. (Dina Zakiyatul Fuadah Dalam DEPKES, 2008). Pelayanan dikatakan baik apabila tata kelola pelayanan dalam memberikan perawatan tidak terjadi fragmentasi atau tumpang tindihnya peran dan fungsi sebagai pemberi pelayanan dengan latar belakang profesi yang berbeda (Dina Zakiyatul Fuadah Dalam Susilaningsih Dalam Susilaningsih, 2011). Pelayanan yang tumpang tindih antar profesi terjadi karena kurangnya komunikasi antar tenaga kesehatan dalam kerjasama tim. Saat ini, pada pelayanan antenatal masih sering terjadi overlapping kompetensi, dimana tidak ada pembagian atau batasan peran yang jelas dalam memberikan pelayanan perawatan antara profesi dokter, perawat dan bidan dimana hal tersebut dapat memicu ketegangan antar profesi yang menghambat terjadinya bentuk kerjasama yang efektif. Dalam menjalankan tugasnya dokter, perawat dan bidan mempunyai kewenangan masing – masing sehingga pembagian sangatlah penting dalam sebuah tim kesehatan agar tercapai tujuan bersama untuk pasien. Berikut adalah kewenangan seorang Dokter : Pasal 35
(1)
Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai
wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
mewawancarai pasien;
memeriksa fisik dan mental pasien;
menentukan pemeriksaan penunjang;
menegakkan diagnosis;
menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
3|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
menulis resep obat dan alat kesehatan;
menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia. ( UURI no.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ). Kewenangan seorang Bidan : Pasal 9
Bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi: a. pelayanan kesehatan ibu; b. pelayanan kesehatan anak; dan c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 10
(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan. (2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelayanan konseling pada masa pra hamil; b. pelayanan antenatal pada kehamilan normal; c. pelayanan persalinan normal; d. pelayanan ibu nifas normal; e. pelayanan ibu menyusui; dan f. pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan. (3) Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk: a. episiotomi; b. penjahitan Iuka jalan lahir tingkat I dan II; 4|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
c. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d. pemberian tablet Fe pada ibu hamil; e. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; f. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif; g. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; h. penyuluhan dan konseling; 1. bimbingan pada kelompok ibu hamil; J. pemberian surat keterangan kematian; dan k. pemberian surat keterangan cuti bersalin. Pasal 11
(1)
Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
(2) Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) berwenang untuk: a. melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan b. hipotermi, inisiasi menyusu dini, injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0 - 28 hari), dan perawatan tali pusat; c.
penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk; c. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d.
pemberian imunisasi
rutin sesuai program pemerintah; d. e. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah; e. f. pemberian konseling dan penyuluhan; f.
g. pemberian surat keterangan kelahiran; dan h. pemberian surat keterangan kematian.
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, berwenang untuk: a. memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana; dan b. memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom. ( PERATURAN
MENTERI
KESEHATAN
REPUBLIK
KES/PER/X/2010 Tentang Praktik Kebidanan )
5|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
INDONESIA NOMOR
1464/M EN
Kewenangan seorang Perawat :
Pasal 29
(1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai: a.
pemberi Asuhan Keperawatan;
b. penyuluh dan konselor bagi Klien; c. pengelola Pelayanan Keperawatan; d. peneliti Keperawatan; c.
e. pelaksana
tugas
berdasarkan
pelimpahan wewenang; dan/atau
d. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. (2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri- sendiri. (3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel. Pasal 30
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang: a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik; b. menetapkan diagnosis Keperawatan; c.
merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan; e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan; f.
melakukan rujukan;
g.
memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. memberikan
konsultasi
Keperawatan
dan berkolaborasi dengan dokter;
i.
melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;dan
j.
melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
(2) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat, Perawat berwenang: a. melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga dan kelompok masyarakat; 6|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
b. menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat; c.
membantu penemuan kasus penyakit;
d. merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat; e. melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat; f.
melakukan rujukan kasus;
g.
mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
h. melakukan pemberdayaan masyarakat; i.
melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
j.
menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
k.
melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;
l.
mengelola kasus; dan
m. melakukan penatalaksanaan Keperawatan komplementer dan alternatif.
Pasal 31
(1) Dalam
menjalankan
tugas
sebagai
penyuluh
dan konselor bagi Klien, Perawat
berwenang: a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik di tingkat individu dan keluarga serta di tingkat kelompok masyarakat; b. melakukan pemberdayaan masyarakat; c.
melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
d. menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat; dan e. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling. (2) Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola a. Pelayanan Keperawatan, Perawat berwenang: b. melakukan pengkajian dan menetapkan permasalahan; c.
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
d. Pelayanan Keperawatan; dan c. mengelola kasus. (3) Dalam menjalankan tugasnya sebagai peneliti Keperawatan, Perawat berwenang: a. melakukan penelitian sesuai dengan standar dan etika; b. menggunakan sumber daya pada Fasilitas c.
Pelayanan Kesehatan atas izin pimpinan; dan
7|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
d. menggunakan pasien sebagai subjek penelitian sesuai dengan etika profesi dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UURI no 38 tahun 2014 tentang Keperawatan )
Dengan dijelaskan diatas, Tenaga medis khususnya dalam bahasan i ni adalah Dokter, bidan dan Perawat memiliki wewenang yang berbeda – beda tiap profesinya. Dalam hubungannya dengan studi kasus tentang KIA, para tenaga medis tersebut harusnya dapat bekerja sama dan melakukan kolaborasi antar profesi dimana pembagian tugas yang merata dan tidak akan terjadi salah presepsi. Contohnya Bidan yang bertugas sebagai advokator dalam kehamilan dan dapat berkonsultasi dengan dokter, Dokter bertugas sebagai penanggungjawab dan pemberi komando dalam mendiagnosis lebih mengarah sedangkan perawat sebagai promotor dan bertugas sebagai pemberi asuhan keperawatan yang bekerjasama dengan seorang bidan dalam bekerjanya seperti disebutkan diatas. Dampak dari kurangnya kerjasama antar tenaga kesehatan yang baik menjadikan pemanfaatan fasilitas pelayanan yang harus diterima masyarakat tidak efektif dan efisien. Hal tersebut didukung oleh Chopra et al, 1992 dalam penelitiannya menyatakan bahwa komunikasi, kerjasama, dan kegagalan sistem pemberi pelayanan kesehatan adalah faktor yang berkontribusi besar dalam terjadinya kesalahan pelayanan. Melalui kerjasama yang baik antar profesi kesehatan dalam pelayanan kesehatan, maka pasien akan ditangani secara holistik sehingga outcome perawatan dan kepuasan pasien akan meningkat (Dina Zakiyatul Fuadah Dalam Remington,2006). Kerjasama antara dokter dan perawat adalah hal yang sangat penting dalam mengoptimalkan pelayanan kepadapasien (Dina Zakiyatul Fuadah Dalam Liaw, 2013; Way et al., 2000). Melalui kerjasama yang baik dapat memfasilitasi adanya suatu solusi yang tepat dan mampu menyelesaikan permasalahan bagi pasien (Dina Zakiyatul Fuadah Dalam Drinka et al., 1996). Pengembangan pendidikan.
kurikulum IPE belum dikembangkan secara merata di instansi
( Dina Zakiyatul Fuadah Dalam WHO, 2010) mengeluarkan data tentang
penerapan IPE dibeberapa negara, yaitu pada tatanan institusi sebanyak 10, 2% dokter, 16% perawat/bidan, 5,7% ahli gizi, serta tenaga kesehatan lainnya telah menerima pembelajaran berbasis IPE. Pada tatanan universitas hasil dari survei dari 42 negara 8|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
menyatakan
bahwa sebanyak 24,6% sudah mendapatkan
kurikulum
IPE pada tahap
akademik. Sementara di Indonesia belum termasuk didalamnya, untuk itu perlu adanya sosialisasi tentang metode pembelajaran IPE ini secara menyeluruh di seluruh instansi pendidikan mengingat sekolah tinggi ilmu kesehatan merupakan penyedia utama calon tenaga kesehatan yang nantinya diharapkan mempunyai kompetensi yang baik terutama kemampuan untuk bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya. STIKES Karya Husada Kediri merupakan institusi pendidikan tinggi swasta yang menyelenggarakan pendidikan formal untuk sarjana dan diploma yang terdiri dari program studi S1 Ilmu Keperawatan dan diploma keperawatan, kebidanan dan gizi belum terpapar dengan metode pembelajaran IPE, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 26 Juli 2013 dalam penyelenggaraan pembelajaran antara keperawatan, kebidanan dan gizi belum dilakukan secara interprofesi, sedangkan didalam kurikulum pembelajaran terdapat kompetensi kolaborasi yang harus dicapai oleh mahasiswa dengan profesi lain, namun dalam konteks pembelajaran belum ada salah satu prodi yang menyelenggarakan kegiatan proses belajar dengan melibatkan profesi lain. Hasil wawancara dengan 6 dosen pengajar yang ditemui dari ketiga program studi (keperawatan, kebidanan dan gizi), menyatakan belum mengetahui tentang pembelajaran IPE. Melihat permasalahan tersebut maka perlu adanya sosialisasi tentang pembelajaran IPE pada institusi ini kar ena mempunyai kesempatan untuk dikembangkannya program tersebut. Sehingga perlunya inisisasi untuk mencapai hal tersebut salah satunya dengan melakukan pelatihan pendidikan interprofesi yang dilakukan pada mahasiswa keperawatan, kebidanan dan gizi diSTIKES Karya Husada Pare Kediri. (Dina Zakiyatul Fuadah, 2014 ) Belajar interprofessional menyajikan banyak tantangan untuk organisasi pendidikan, penyedia layanan kesehatan dan asosiasi profesional ( Nisbet,Gillian : 2011 Dalam Jurnal Gardner, Chamberlin, Heestand, & Stowe, 2002; Headrick, Wilcock, & Batalden, 1998). Hambatan meliputi:
Ekspektasi yang berbeda dari masing-masing profesi. Hal ini terlihat pada tingkat akademis, serta dengan pendidik situs berbasis dan pengawas penempatan; mungkin sebagai akibat dari perbedaan persyaratan dan peraturan antara profesi
9|INTERPROFESSIONAL EDUCATION
Ketakutan bahwa praktek interprofessional akan menyebabkan hilangnya status, kehilangan identitas profesional, dan pengenceran peran profesi individu dalam perawatan pasien
Sejarah persaingan interprofessional dan intraprofessional
Kurikulum kursus sudah penuh dan jadwal praktek klinik untuk setiap profesi
Kalender akademik dan jadwal yang saling bertentangan menawarkan sangat sedikit kesempatan untuk kegiatan interprofessional (misalnya penempatan klinis)
Berbeda kemampuan dan kepentingan seluruh siswa.
Kurangnya ketersediaan staf akademik yang terlatih dan pengawas penempatan klinis untuk memfasilitasi program interprofessional
Waktu dan sumber daya komitmen yang terlibat dalam membangun program interprofessional
Kurangnya fasilitas dan sumber daya untuk memberikan kampus berbasis program interprofessional misalnya ruang tutorial
Kurangnya geografis co-location individu sekolah / fakultas
Kesimpulan
(1) Kompetensi dalam pembelajaran IPE, meliputi kompetensi pengetahuan, ketrampilan, sikap , dan kemampuan kerja tim. (2) Alternatif metode pembelajaran yang mungkin untuk penerapan IPE, adalah metode pembelajaran yang bisa didesign secara komprehensif dan kolaboratif
meliputi kuliah,
diskusi tutorial, skills laboratorium, field study, KKN, kepaniteraan, praktik klinik. Selain hal tersebut penumbuhan proses belajar bersama bisa dilakukan pada saat orientasi mahasiswa baru dan dalam kegiatan organisasi mahasiswa. (3) Topik yang menarik untuk penerapan IPE, meliputi topik-topik yang memungkinkan untuk mengembangkan kerja tim seperti konsep kolaborasi, masalah kesehatan global, masalah bencana upaya promotif dan preventif , pelayanan klinis dan komunitas. (4) Penerapan IPE diharapkan suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai sejak mahasiswa baru, saat pendidikan tahap akademik dan tahap profesi.
10 | I N T E R P R O F E S S I O N A L E D U C A T I O N
(5) Karakteristik dosen
ideal dalam memfasilitasi pembelajaran IPE adalah memahami
konsep IPE, memahami kompetensi tiap profesi kesehatan, memiliki pengalaman kolaborasi, inovatif, jiwa pemimpin, dan komunikatif. (6) Indikator keberhasilan program IPE yaitu adanya bagian khusus coordinator program IPE, standar pencapaian hasil belajar, adanya standar evaluasi, yang dituangkan dalam standaar iput, proses dan output. (7) Persiapan untuk pelakasanaan IPE komitmen antar institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitator yang kompeten dan paham IPE, fasilitas fisik, bagian khusus untuk mengkoordinir program IPE, standar pelaksanaan program IPE, modul pembelajaran dan standar evaluasi program. Hal ini diperkuat dengan adanya kekuatan regulasi dan kekuatan hukum. (8) Hambatan dalam pelaksanaan IPEadalah dari ego masing masing profesi, beragamnya birokrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitas fisik dan konsep pembelajaran yang belum jelas, paradigma terhadap profesi kesehatan , kekaburan identitas dan peran masing – masing profesi, belum adanya kejelasan paying hokum tiap profesi kesehatan, serta budaya . (Mariyono Sedyowinarso dkk, 2011 )
11 | I N T E R P R O F E S S I O N A L E D U C A T I O N
DAFTAR PUSTAKA
Lestari, Endang . 2011 . menumbuhkan keterampilan kepemimpinan dan teambuilding serta penghargaan terhadap profesi lain melalui interprofessional education . Dalam jurnal “Educating Health Professionals in Community Setting: What Students Value “ . vol 3.hal 91-92. 2001
Jayadisastra, Zakka Zayd Zhullatullah . 2014. Interprofessional education:Sebuah ulasan singkat . Solo : MEP ISMKI FK UNS
Fuadah, Dina Zakiyatul . 2014 . Kesiapan Mahasiswa Untuk Belajar Kerjasama Interprofesional DalamPerawatan Antenatal .hal 1-2. Yogyakarta : FK UGM
Sedyowinarso, Mariyono dkk . 2011 . “Presepsi Mahasiswa dan Dosen Pendidik Terhadap Model Pembelajaran Interprofessional Education ( IPE ) ” . (Online). (http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/uu/UU_No._29_Th_2004 _ttg_Praktik_Kedokteran.pdf ), Diakses 23 Desember 2014
Nisbet,Gillan dkk . 2011. ”Interprofessional Health Education”. (Online) .
(http://www.health.wa.gov.au/wactn/docs/IPEAUSlitreview2011.pdf ),
Diakses
22
Desember 2014
Menteri Kesehatan Negara Republik Indonesia. 2004 . Undang-Undang Republik Indonesia no.29 Th.2004 Tentang Praktik Kedokteran.hal 13-14. Jakarta.
Menteri Kesehatan Negara Republik Indonesia . 2010 . Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor
1464/
MENKES/PER/X/2010
Tentang
Izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Kebidanan. Hal 5-7. Jakarta
Menteri Kesehatan Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2014 Tentang Keperawatan.Hal 19-21. Jakarta
12 | I N T E R P R O F E S S I O N A L E D U C A T I O N