1
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 83.
Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, 2011), hlm. 234.
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 3.
Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur'an, (Jakarta: Penerbit Mizan Pustaka, 2002), hlm. 192.
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 35.
Syaikh Manna`Al-Qaththan, Pengantar Studi Imu Hadis, (Jakarta :Pustaka Alkausar, 2005), hlm 50.
7 Fitri Oviyanti, Metodologi Studi Islam, (Palembang, Noer Fikri Offset, 2013), hlm. 219.
http://maulanatemaram.blogspot.com/2013/10/makalah-hadis-sebagai-ajaran-islam.html diakses pada 13 April 2015
Bahrani, dkk (Mahasiswa Jurusan Syari'ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya), dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun 2011 dan semester genap 2012.
Munzier, Op cit., hlm 90.
Fitri Oviyanti, Metodologi Studi Islam, (Palembang, Noer Fikri Offset, 2013), hlm. 230.
Ibid,. Hlm. 68.
Zakiah Daradjat, dkk., Dasar-dasar Agama Islam : Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cetakan ke-10, hlm 188.
Atang, Op. Cit., hlm. 92.
Fitri Oviyanti, Metodologi Studi Islam, (Palembang, Noer Fikri Offset, 2013), hlm. 233.
PENDAHULUAN
Hadits telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadist sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al Quran, keberadaan hadist sebagai sumber ajaran Islam telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya. Penelitian terhadap hadist baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al Quran dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli bidangnya.
Walaupun Al Quran dan Hadist merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al Quran dan Hadist. Hal ini dipandang penting agar para pelajar dan masyarakat muslim tidak salah memahami Al Quran dan hadist. Oleh karena kita pun harus mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini.
Didalam makalah ini kami menjelaskan tentang bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran islam dan juga sejarah perkembangan hadits. Diharapkan makalah ini dapat membuka wawasan kita mengenai hadits, sehingga kita mampu menjadikan hadits sebagai pedoman kita yang kedua setelah Al Quran dalam menjalani berbagai aktivitas kita sesuai yang dengan syari'at Islam.
PEMBAHASAN
PENGERTIAN AL-HADITS
Dalam literatur hadits dijumpai beberapa istilah lain yang menunjukkan penyebutan al-hadits, seperti al-sunnah (cara, jalan, kebiasaan, dan tradisi), al-khabar (berita), dan al-atsar (pengaruh).
Menurut bahasa, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan. Hadits berarti jadid atau sesuatu yang baru. Sedangkan secara terminologi (istilah), menurut ahli hadits. Hadits adalah segala perkataan nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya atau pun menurut yang lain, tetapi bersumber dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya".
Hadits merupakan penjelas ayat-ayat Al Quran yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al Quran. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI AL-HADITS
Dalil Mengenai Hadits
Umat Islam telah sepakat bahwa sunnah rasul merupakan sumber Islam dan dasar hukum Islam kedua setelah Al Qur'an, dan umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah sebagaimana diwajibkan mengikuti Al Qur'an. Bagi mereka yang menolak kebenaran sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya.
Hadits merupakan mubayyin (pelengkap) bagi Al Qur'an yang karenanya, siapapun tidak akan bisa memahami Al Qur'an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa Al Qur'an, akan kehilangan arah, karena Al Qur'an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis-garis besar syariat Islam. Dengan demikian, antara Al Qur'an dan Hadits memiliki hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.
Dalil Al-Qur'an
Al-Qur'an telah mewajibkan kaum muslimin untuk mentaati Rasulullah SAW disamping menaati Allah. Perintah Allah mengenai keimanan kepada kerasulan Muhammad antara lain tersurat dalam firman Allah SWT.
Dalam surat an-Nisa' (Q.S. 4: 59) Allah berfirman:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)..".
Hukum taat kepada Rasul sama dengan taat kepada Allah, hal ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah (Q.S. 4: 80)
Artinya : "Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah...".
Bila kita mengikutinya (Rasul), maka hal itu pertanda kita akan dicintai Allah dan mendapatkan ampunan-Nya. Dalam surat Ali Imran (Q.S. 3: 31)
Artinya : "Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengamuni dosa-dosa mu...".
Dalam Surat Al-Hasyr (Q.S. 59: 7) Allah berfirman:
Artinya : "Apa yang diberikan Rasul Kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...".
Dalil dari Hadits Rasulullah SAW
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda :
Artinya : "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduannya, yaitu berupa kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunah Rasul-Nya". (HR. Malik)
Hadits tersebut telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al Qur'an dalam menyelesaikan permasalahan dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
Dalil dari Ijma' (kesepakatan Ulama)
Umat Islam telah mengambil keputusan bersama untuk mengamalkan sunah. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT, Rasulnya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima sunah seperti mereka menerima Al Qur'an, karena berdasarkan kesaksian dari Allah, sunah merupakan salah satu sumber syariat.
Kedudukan Hadits
Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat bahwa sunnah dibawah derajat Al Quran dengan alasan :
As-sunnah menjadi bayan (keterangan) Al Qur'an.
As-sunnah menerangkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur'an, bukan Al Qur'an menerangkan hukum sunnah.
As-sunnah menguatkan kemutlakan Al Qur'an, mengkhususkan keumuman Al Qur'an.
Imam Syafi'i menguraikan kedudukan sunnah terhadap Al Qur'an sebagai berikut:
Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (umum).
Sunnah itu bayanut takhsis, yaitu keterangan yang mengkhususkan atau membatasi segala keumuman Al Qur'an.
Sunnah itu bayanut ta'yin, yaitu keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari dua kata atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang.
Sunnah itu bayanut ta'kid, yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian benar dengan petunjuk Al Qur'an dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al Qur'an.
Sunnah itu bayanut tafsir, yaitu keterangan sesuatu hukum dari Al Qur'an, yang menerangkan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al Qur'an.
Sunnah itu bayanut tasyri, yaitu keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al-Qur'an.
Dalam menyampaikan Al Qur'an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan ucapan, dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri.
Dalam hal menentukan hukum, sunnah mempunyai batas-batas :
Sunnah mensyari'atkan apa-apa yang disyari'atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan dilaksanakan.
Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang disyari'atkan oleh Al-Qur'an dalam hal menjelaskan ayat-ayat yang umum.
Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Untuk hal ini, Nabi saw berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula yang berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri.
.
Fungsi Al-Hadits terhadap al-Qur'an
Hadist berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat dalam Al-Qur'an. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur'an. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur'an :
Merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur'an hanya membicarakan pokoknya saja.
Menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran.
Menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur'an.
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Periode Pertama
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan. Pada periode ini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, karena di khawatirkan hadits bercampur dengan Al Quran juga agar potensi umat islam lebih tercurah kepada Al Quran. Pada masa ini para sahabat menerima hadits dari Nabi dengan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung diantaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan terhadap pertanyaan yang di sampaikan kepada Rsulullah SAW. Adapun yang tidak langsung melalui utusan dari nabi ke daerah–daerah atau utusan dari daerah yang dating kepada nabi. Ciri utama periode ini adalah aktifnya para sahabat menerima wahyu dan menyampaikan nya melalui hafalan.
Periode Kedua
Periode kedua adalah zaman khulafaur rasyidin. Masa ini disebut juga masa sahabat besar. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadits dan penyelidikan riwayat. Usaha-usaha para sahabat dalam membatasi hadits dilatarbelakangi oeh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Oleh sebab itu, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
Periode Ketiga
Periode ketiga adalah penyebaran hadits ke berbagai wilayah yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada masa ini wilayah islam sudah mencapai ke syam, Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol.
Periode Keempat
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadist secara resmi. Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan dari bani Umayyah (717-720 M) sampai akhir abad ke 8 M. Latar belakang Umar menginstruksikan untuk membukukan hadits secara resmi adalah bercampur baurnya hadits shahih dan hadits palsu, serta rasa takut lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pembukuan hadits berlangsumg sampai pada masa Bani Abbas sampai melahirkan ulama hadits seperti: Ibnu juraij (w 179 H) di Mekah, Abi Ishaq (w 151 H), dan Imam Malik (w 179 H) dimadinah, Al Rabi bin Jabih (w 160 H ) dan Abdul Rahman Al Aziz (w 156 H) di suria. Dalam masa ini banyak dihasilkan sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama. Kitab-kitab tersebut belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits nabi dan fatwa sahabat, bahkan tabi'in atau hadist marfu', mauquf dan maqthu' disamping juga hadits palsu.
Periode Kelima
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan yang berlangsung antara awal abab ke 3 sampai akhir abad ke 3 H. Atau tepatnya saat masa dinasti Abbasiah dipegang oleh khalifah Al-ma'num sampai Al-Mu'tadir. Para ulama pada periode ini memisahkan hadits marfu' dari hadits yang mauquf dan maqthu'. Sebagai kerja keras para ulama pada periode ini adalah lahirnya kitab hadits yang sudah terseleksi seperti kitab shahih, kitab sunan dan kitab misnad. Kitab shahih adalah kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih. Kitab sunan adalah kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih dan hadits yang tidak terlalu lemah (dhaif). Sedangkan kitab musnad adalah kitab hadist yang mengoleksi segala hadits tanpa memperhatikan kualitasnya (shahih atau tidak) disamping juga tidak menerangkan drajad hadits.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang biasa disebut kutub al siitah yaitu:
Al-Jami' Al-Shahih karya Imam Bukhori (194-252 H)
Al-Jami' Al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H)
Al-Sunan Adu Dawud karya Abu Dawut (202-275 H)
Al-Sunan karya Ath-Thirmizi (200-279 H)
Al-Sunan karya An-Nasai (215-302 H)
Al-Sunan karya Bin Majah (207-273 H)
Periode Keenam
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ke tujuh masehi saat jatuhnya dinasti Abbasiah ke tangan Khulagu khan tahun 656H/1258 M.
Hasil dari dari gerakan para ulama periode ini adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti kitab syarah, kitab mustakhrij, kitab ahtraf, kitab mustadrat dan kitab jami'.
Kitab syarah adalah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits tertentu yang sudah tersusun dalam kitab hadits sebelumnya. Kitab mustakhrij adalah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab athraf adalah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab mustadrat adalah kitab hadits yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat Bukhori dan Muslim atau salah satu dari keduanya. Kitab jami' adalah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Periode Ketujuh
Periode ketujuh adalah periode penguraian dan penghimpunan. Periode ini merupakan lanjutan dari periode sebelumnya, terutama dalam aspek penguraian dan penghimpuan hadits-hadits. Ulama periode ini mulai mensistemkan hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderug menyusun hadits sesuai dengan topik pembicaraan.
HASIL DISKUSI
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan Pertama :
Bagaimana membedakan hadits shahih, hadits palsu, dan hadits dhaif?
Jawab :
Yang bisa menetapkan status sebuah hadits bukanlah dari orang awam seperti kita, melainkan para ulama hadits (muhadditsin). Mereka mempunyai kapasitas, legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dalam menetapkan status suatu hadits atau lebih dikenal dengan istilah al-hukmu 'alal hadits, muhadditsin mempunyai banyak kriteria dalam menentukan status suatu hadits.
Untuk kita, kita cukup membaca karya-karya mereka melalui kitab hasil naqd (kritik) mereka. Untuk mendapatkan hadits yang shahih, kita bisa membuka kitab-kitab yang telah disusun oleh muhadditsin tersebut. Salah satu kitab hadits yang terkenal adalah kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Al-Imam Al-Bukhari dan kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Imam Muslim.
Pertanyaan Kedua :
Berikan contoh ayat Al Qur'an yang bersifat umum dan dijelaskan lebih lanjut didalam hadits!
Jawab :
Ada banyak sekali ayat Al Qur'an yang bersifat umum kemudian diperjelas oleh Rasulullah dengan sabdanya, salah satunya adalah mengenai perintah sholat 5 waktu dan waktu-waktunya.
Didalam Al Qur'an Allah berfirman :
"Dan dirikanlah sholat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk (dosa). Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS. Hud 114)
Pada saat itu umat Islam bingung kapan waktu untuk melaksanakan sholat 5 waktu tersebut maka Rasulullah menjelasnya seperti berikut :
"Waktu dhuhur itu ialah apabila matahari sudah tergelincir, dan (sampai) bayangan orang setinggi badannya selama belum masuk waktu ashar. Dan waktu ashar selama (cahaya) matahari belum kuning, dan waktu maghrib itu selama malam yang tengah, sedangkan waktu subuh itu sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit. Jika matahari sudah terbit, maka berhentilah kamu dari shalat karena sesungguhnya (waktu itu) matahari terbit dari antara dua tanduk syetan. (HR. Muslim no. 966)
Hadits tersebut menjelaskan waktu-waktu shalat fardu, yang disitu diterangkan mengenai awal dan akhir waktunya.
Pada saat itu, umat Islam melihat matahari untuk menentukan waktu shalat namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita tidak lagi melihat dengan fenomena alam seperti yang di lakukan umat Islam di zaman terdahulu, sekarang kita dapat mengetahui waktu shalat hanya dengan melihat jam.
Pertanyaan Ketiga :
Mengapa pembukuan hadits itu dilakukan?
Jawab :
Sebelumnya hadits dihafal dan ditulis di lembar-lembar terpisah oleh para sahabat. Namun, setelah Rasulullah meninggal muncullah ide untuk menyusun hadits didalam satu buku.
Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pembukukan hadits dilakukan dengan dorongan berikut :
Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al Qur'an telah dihafal oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Utsman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara Al Qur'an dengan hadits dan tidak ada kemungkinan untuk tercampur antara keduanya.
Khawatir akan hilangnya hadits, karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab melemah.
Munculnya pemalsuan hadits akibat perselisihan politik dan mahzab.
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikian pengantar singkat mengenai hadits sebagai sumber ajaran ajaran Islam bagi umat Islam. Kedudukan hadist sangat penting sebab banyak ayat Al Quran yang tidak dapat dipahami dengan baik dan tidak dapat diamalkan tanpa penjelasan dari hadits Nabi Muhammad SAW.
Ada banyak dalil-dalil mengenai perintah untuk berpedoman pada hadits, baik itu didalam Al Qur'an, terdapat di dalam hadits itu sendiri maupun berasal dari Ijma' (kesepakatan ulama).
Menurut Imam Syafi'i kedudukan hadits terhadap Al Qur'an ada 6 yaitu sebagai bayanut tafshil, bayanut takhsis, bayanut ta'yin, bayanut ta'kid, bayanut tafsir, dan bayanut tasyri.
Dalam menyampaikan Al Qur'an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan kepada beliau. Sejarah perkembangan hadits dibagi menjadi tujuh periode dimulai dari masa wahyu dan pembentukan, periode khulafaur rasyidin, periode penyebaran, periode penulisan dan pembukuan, periode penyebaran dan penyebaran, periode pemeliharaan dan penghimpunan.
Dalam memahami ajaran islam dan mengamalkannya dengan benar dan baik umat Islam harus berpegang pada Al-Quran dan Hadits. Karena itu para ulama berusaha keras untuk mengumpulkan hadits dalam berbagai kitab yang sekarang dapat kita jumpai. untuk memahami hadist para ulama juga menyusun kitab-kitab hadist yang mencoba menjelaskan hadits dari berbagai aspek serta menghubungkannya dengan Al-Quran.
Semoga apa yang disampaikan pada makalah ini dapat membantu untuk memahami dan mendalami hadits lebih lanjut. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin...
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah dkk. Dasar-dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Cetakan ke-10, Jakarta: Bulan Bintang. 1996
Hakim, MA, Drs. Atang abdul dan Dr. Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Renaja rosdakarya. 2001
Nata, MA, Drs. Abuddin. .Al-Qur'an dan Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1994
Oviyanti Fitri. Metodologi Studi Islam. Palembang: Noer Fikri. 2013
Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.1996
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Cetakan ke-3. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000
Tim Depag RI. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Depag RI, 2001
http://maulanatemaram.blogspot.com/2013/10/makalah-hadis-sebagai-ajaran-islam.html