HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA DAN FUNGSINYA TERHADAP AL QUR'AN
HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA DAN FUNGSINYA TERHADAP AL QUR'AN A. Argumentasi Yang Menjadi Dasar
Hadits adalah salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua setelah Al Qur'an dari sumber-sumbe hukum Islam.1[1] Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi terjadi di masyarakat, tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Qur'an, maka hakim atau mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi SAW. Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang memiliki tauladan yang mulia. Beliau diutus dengan misi kerahmatan seluruh alam dengan tuntunan wahyu Tuhan dalam setiap langkahnya. Keindahan budi pekerti dan aura kebaikan yang terus terpancar menjadikan seluruh mahluk memujinya. Tak hanya dari kaum muslim yang mengidolakannya, namun para sarjana barat mengimitasi dan mengikuti langkah beliau dalam suksesi kehidupan. Michael heart, misalnya, memposisikan beliau pada posisi yang pertama dalam hal tokoh terkemuka dunia sepanjang zaman melebihi para cendikiawan yang lain. Landasan utama bagi otoritas kehujahan hadis adalah Al Quran sendiri. Artinya, Al Quranlah yang memerintahkan agar seorang muslim senantiasa taat kepada Rasûlullâh Saw, mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Perintah dan larangan Rasûlullâh Saw tersebut tidak dapat diketahui melainkan melalui hadis-hadis yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, taat
kepada Rasûlullâh Saw tak lain artinya ialah senantiasa berpegang dan mengamalkan hadishadisnya. Banyak ayat Al Qur'an dan hadits yang yang memberikan pengertian bahwa bahwa hadits itu merupakan argumen (hujjah) selain Al Qur'an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun lrangannya2[2]. Uraian di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan Hadits sebagai argument dasar dalam hukum Islam setelah Al Qur'an dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli. 1.
Dalil Al Qur'an Banyak ayat Al Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban memepercayai dan menerima segala yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW baik berupa perintah maupun larangan, khabar nikmat surga dan tentang siksa neraka. Allah SWT berfirman dalam surat An nur ayat 54 Artinya: Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(QS. An Nur (24): 54)3[3] Kemudian dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
kepada Rasûlullâh Saw tak lain artinya ialah senantiasa berpegang dan mengamalkan hadishadisnya. Banyak ayat Al Qur'an dan hadits yang yang memberikan pengertian bahwa bahwa hadits itu merupakan argumen (hujjah) selain Al Qur'an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun lrangannya2[2]. Uraian di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan Hadits sebagai argument dasar dalam hukum Islam setelah Al Qur'an dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli. 1.
Dalil Al Qur'an Banyak ayat Al Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban memepercayai dan menerima segala yang disampaikan Rasulullah Muhammad SAW baik berupa perintah maupun larangan, khabar nikmat surga dan tentang siksa neraka. Allah SWT berfirman dalam surat An nur ayat 54 Artinya: Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(QS. An Nur (24): 54)3[3] Kemudian dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al Hsyr (59): 7)4[4]
Artinya: Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhatihatilah. (QS. Al Maidah (5): 92)5[5] Dari tiga ayat diatas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam Al Qur'an selalu diiringi dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah SWT, sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul SAW. Bentuk-bentuk ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan mendurhakainya, merupakan merupakan kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.6[6] 2.
Dalil Hadits Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai pedoman hidup, di samping Al Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
[7]7)
(
Artinya: Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah SWT (Al Qur'an) dan Sunnah Rasul Nya (Hadits). (HR. Malik) Hadits tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadits atau menjadikan Hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya perpegang teguh terhadap Al Qur'an 3.
Kesepakatan Ulama (Ijma') Para ulama telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum berama, karena sesuai dengan yang di kehendaki oleh Allah SWT. Penerimaan mereka terhadap Hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al Qur'an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.8[8] Kesepakatan umat muslimin dalam memepercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung dalam Hadits ternyata sejak Rasulullah SAW masih hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafaaur Rasyidid hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya.banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahakan mereka menghafal, memelihara dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, diantaranya adalah: a)
Ketika Abu Bakar di bai'at menjadi khalifah, ia pernah berkata: "saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulillah, sesunggunya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya".9[9]
b)
Saat Umar bin Khattab berada didepan hajar aswad ia berkata: "saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu".10[10]
c)
Pernah ditanya kepada Abdullah bin Umar tenteng ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. Ibnu Umar menjawab: "Allah "Allah SWT telah telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul".11[11]
d)
Diceritakan dari sa'id bin musayyab bahwa Utsman bin Afwan berkata: "saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makanya rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah".12[12]
B. Fungsi Hadits Terhadap Al Qur'an
1. Hadits sebagai bayan tafsil Yang dimaksud bayan tafsil adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur'an yang masih bersifat global (mujmal)13[13]. Atau dengan kata lain adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil). Diantara contoh ayat-ayat yang Al Qur'an yang masih mujmal adalah perintah shalat, ayat Al Qur'an tentang shalat masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu Rasulullah SAW, melalui haditsnya menafsilkan dan menjelaskan masalah tersebut. Sebagai contoh salah satu haditsnya adalah bersumber dari Abu hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda
, , ,
, ,
, ,
,
14[14])
(
Arinya: apa bila kamu berdiri untuk shalat, maka sempurnakan wudhu, kemudian menghadaplah kiblat, kemudian takbirlah, kemudian bacalah ayat yang ringan, kemudian ruku'lah hingga tuma'nina dalam keadaan ruku', kemudian beririlah hingga i'tidal dalam keadaan tegak, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam sujud, kemudian bangunlah hingga tuma'ninah dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah hingga tuma'ninah dalam sujud, kemudian kerjakanlah hal tersebut disetiap kali kamu shalat. (HR Buhori) Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al Qur'an tidak menjelaskan secara rinci, salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah: Artinya: Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (QS. Al Baqarah (3): 43)15[15]
2. Hadits sebagai bayan takhsis
Bayan takhsis, yaitu menghususkan Al Qur'an, maka yang 'amm kemudian dikhususkan.16[16] Berfungsi memberikan takhsis (penentuan khusus) ayat-ayat Al Qur'an yang masih umum. Misalnya perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al Qur'an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara mendirikan shalat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak dijelaskan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Hadits. Al Qur'an juga telah mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak dalam surat Al Maidah ayat 3 Arinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah], daging babi .... (QS. Al Maidah (5): 3)17[17] Kemudian Hadits mentakhsiskan keharamannya, serta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah yakni dengan sabda Nabi SAW
)
(
Artinya : “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua
macam bangkai itu ialah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan dua macam darah itu adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
3. Hadits sebagai bayan taqyid
Bayan taqyid, ialah membatasi ayat-ayat mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sedangkan mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut: [18]18) Artinya: Tangan
(
pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai)
seperempat dinar atau lebih. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqyid ayat berikut: Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Maidah (5): 38)19[19]
4. Hadits sebagai bayan ta'kid Bayan ta'kid disebut juga dengan bayan taqrir atau bayan itsbat. Yang di maksud bayan ta'kid adalah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam Al Qur'an.20[20] Bayan al-Ta’kid , yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan al-Qur’an.
Dalam hal ini, Hadits semakna dengan apa yang disampaikan Al-Qur'an, karena masih dalam tujuan dan sasaran yang sama. Maka dalam keadaan seperti ini, ia berkedudukan sebagai penguat dan menegaskan apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ibnu umar, sebagai berikut: [21]21)
(
Artinya: apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berbukalah. (HR. Muslim).
Hadits ini menta'kid Al Qur'an surat al baqoroh ayat 185 Artinya: …… barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu ….(QS. Al Baqoroh (2): 185)22[22]
Rasulullah SAW juga bersabda,
(
[23]23)
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum berwudhu. (HR Buhori) Hadits di atas menta'kid Al Qur'an surat al maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika hendak mendirikan shalat. Ayat tersebut adalah:
Ío4qn=¢Á9$# ’n<Î) óOçFôJè% #sŒÎ) (#þqãYtB#uä šúïÏ%©!$# $pk š‰r'¯»tƒ È,Ïù#t• yJø9$# ’n<Î) öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur öNä3ydqã_ãr (#qè=Å¡øî$$sù 4 Èû÷üt6÷ès3ø9$# ’n<Î) öNà6n=ã_ö‘r&ur öNä3Å™râäã• Î/ (#qßs|¡øB$#ur )6:5/
( ........
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ….(QS. Al Maidah (5): 6)24[24]
Abu hamadah menyebutkan bayan ta'kid atau bayan taqrir ini dengan istilah bayan al muwaffiq lin nash al kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadits itu sealur (sesuai) dengan nash Al Qur'an.25[25] 5. Hadits sebagai bayan tasyri' Dasar tasyri (syari'at Islam) tidaklah asing bagi kaum muslimin dan tidak diragukan lagi bahwa As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam disamping Al-Qur'an dan dia mempunyai cabang-cabang yang sangat luas, hal ini disebabkan karena Al-Qur'an kebanyakan
hanya mencantumkan kaidah-kaidah yang bersifat umum serta hukum-hukum yang sifatnya global yang mana penjelasannya didapatkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah. Dengan demikian maka yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja26[26]. Hadits Rasulullah SAW berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam Al Qur'an. beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menjelaskan duduk persoalannya. Oleh karena itu As-Sunnah mesti dijadikan landasan dan rujukan serta diberikan inayah (perhatian) yang sepantasnya untuk digali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dan pembahasan tentang sunnah Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam merupakan hal yang sangat
penting dalam pembentukan fikrah islamiyah serta upaya untuk mengenal salah satu mashdar syari'at Islam, apalagi As-Sunnah sejak dulu selalu menjadi sasaran dari serangan-serangan firqah yang menyimpang dari manhaj yang haq, yang bertujuan untuk memalingkan ummat Islam dari manhaj Nabawi dan menjadikan mereka ragu terhadap As-Sunnah. Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang zakat fitrah penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum
tentang hak waris bagi seorang anak.27[27]
Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
[28]28)
(
Arinya: bahwasannya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan atas manusia, satu sho' berupa kurma atau satu sho' berupa gandum kepada setiap orang merdeka, hamba baik laki-laki maupun perempuan yang Islam. (HR Muslim) Hadits tersebut di atas merupakan bayan at tasyri', wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu Qoyyim berkata, bahwa hadits-hadits Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap Al Qur'an harus di ta'ati dan tidak boleh ditolak atau mengingkarinya. Ini bukan sikap Rasulullah mendahului Al Qur'an, melainkan semata-mata karena perintah. C. Kesimpulan
Hadits merupakan hujah dasar bagi setiap muslim setelah Al Qur'an, maka menta'aati Hadits merupakan kewajiban sebagai mana mengikuti Al Qur'an yang menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan fungsi hadits adalah 1. Sebagai bayan tafsil Adalah sebagai perinci atau penjelas ayat Al Qur'an yang sifatnya masih mujmal. 2. Sebagai bayan takhsis Adalah sebagai penghususan terhadap ayat-ayat yang masih 'am. 3. Sebagai bayan taqyid
Adalah membatasi ayat-ayat yang mutlak dengan keadaan, sifat dan waktu-waktu tertentu. 4. Sebagai bayan ta'kid Atau disebut juga bayan taqrir adalah untuk menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam Al Qur'an. 5. Sebagai bayan tasyri' Adalah untuk menyebutkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al Qur'an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman ibn Abu Abakar Asy Syuyuthi, Imam Jalaluddin. 2004. Al-Jami' Al Shoghir , Bairut, Daar Al Fikr Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah. t.t. Musnad Ahmad bin Hambal , Beirut: Al Maktab Al Islami Departemen Agama Republik Indonesia. 1992. Al Qur'an Dan Terjemahnya, Semarang: PT Tanjung Mas Inti Ibnu Hajar Al 'Asqolani, Al Hafidz. t.t. Bulughul Marom min Adlatil Akhkam, Jakarta: Daar Al Kutub Al Islamiyah Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al Qur'an dan Hadits, Yogyakarta: Teras Sulaiman , M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: Gaung Persada Press Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits, Jakarta: PT Grafindo Persada A. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum
Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan AsSunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut:[1] 1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an- Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An- Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31) 3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115). 4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65). Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayatayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As_sunnah dalam menghadapi permasalahannya. Asy-Syafi’i berkata;
“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katak an.” Perkataan imam Syafi’I ini memmberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama
harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikat erikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam akan Asy-Syafi’I ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.[2]
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya. Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli; 1. Dalil Al-Qur’an[3]
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah; Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi;
Artinya: “Allah sekali-kali
tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah seka li-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasulrasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS:Ali Imran:179) Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman: Artinya; “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya.”(QS:An-Nisa:136). [4] Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qur’ann, dan kitab yang diturunkan sebelumya. Dan pada akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang mengingkari seruannya. Selain Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini. Perhatikan firman Allahh Swt. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini: Artinya:
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul -Nya; jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang kafir”. (QS:Ali Imran : 32).
maka
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akib atnya.”(QS:An-Nisa : 59). Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi: Artinya: “Katakanlah: “Ta’at kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”.(An -
Nur:54).[5]
Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya. Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam.
2. Dalil
Al-Hadits[6]
Dalam salah satu upesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al- Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
(
)
Artinya; “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (HR. Hakim) dan Sunnah Rasul- Nya.” Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.
3. Kesepakatan
Ulama
(Ijma’)[7]
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masamasa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini; 1. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya
saya
takut
tersesat
bila
meninggalkan
perintahnya.
2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
3. Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah Swt telah mengutus Nabi Muhammad Saw kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami
berbuat
sebagaimana
kami
melihat
Rasulullah
berbuat.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.
4. Sesuai
dengan
Petunjuk
Akal
(Ijtihad) [8]
Kerasulan Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah Swt, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al- Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.
B. HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN[9]
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi AsSunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar -Risalah adalah sebagai berikut : 1. Bayan At- Taqrir , Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan
bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi:
(Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
2. Bayan At-Tafsir, Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : (
)
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits:
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an;
( Dan sempurnakanlah haji ). 3. Bayan At-Tasyri’ Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala AlKitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan haditshadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam. Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi;
Artinya: “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits
yang lainnya. 4. Bayan An-Nasakh Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya. Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits;
Yang artinya; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180: Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:AlBaqarah:180)[10] C. TIDAK BOLEH MENUNDUKKAN HADITS KE BAWAH MAZHAB[11]
1. Tidaklah boleh kita mengembalikan hadits kepada mazhab secara yang menghilangkan keindahan hadits tersebut. Karena yang demikian adalah memerendahkan kedudukan hadits. Perkataan para ulama ada yang diambil dan ada juga yang ditolak, terkecuali hadits nabi yang shohih maka semuanya tidak boleh sekali-kali ditolak. 2. Tidak boleh bertasahhub dengan jalan mencari berbagai macam alasan untuk membela mazhab. Abu Ishaq Asy Syatiibi mengatakan bahwa segala yang diamalkan oleh ahli tasawwuf yang mu’tabar dalam bidang tasawwuf seperti halnya Al-Junaidi tidaklah sunyi dari hal-hal berikut; a) Adakalanya yang diamalkan itu sesuatu yang mempunyai dasar dalam Syari’at, maka dalam hal ini kita dapat mengikuti mereka. b) Adakalanya tidak mempunyai dasar dalam syari’at, kalau demikian, kita tidak boleh mengamalkannya, karena Shohibus Sunnah adalah orang yang terpelihara dari salah sedangkan orang tasawwuf itu tidaklah demikian. Karenanya para ulama semuanya mengatakan;
“Tiap-tiap perkataan ada diantaranya yang diambil dan ada yang ditinggalkan, terkecuali perkataan Rasul Saw.”
D. PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU HUKUM [12] Hukum fiqih belumlah dibukukan di zaman Rasul Saw. Usaha membahas pada masa itu, belumlah sebagai usaha pembahasan seperti yang dilakukan para fuqoha. Nabi Saw sholat, para shohabat melihatnya,lalu mereka pun sholat seperti apa yang dilihat dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dan juga seperti haji, umroh, dan segala macam aspek ibadat yang dilakukan oleh nabi mereka tiru sebagaimana Rasululah mengerjakannya. Maka oleh sebab itu dari berbagai versi shohabat melihat kelakuan nabi dalam mengerja ibadat maka hasillah bermacam-macam cara dalam mengerjakan sebuah ibadat dan terjadi perbedaan dalam menentukan sebuah hukum. Perbedaan pendapat itu ada beberapa macam: a. Karena seseorang shahabat mendengar putusan Rasul dalam suatu perkara, atau mendengar sesuatu fatwa, sedangkan putusan atau fatwa tersebut tidak didengar oleh shahabi lain. Karenanya shohabi lain itu harus berijtihad dalam mengahadapi perkara tersebut. Ijtihad mereka terdiri dari beberapa macam: 1. Ijtihadnya itu sesuai dengan hadits.
2. Terjadi munadharoh (diskusi) antara dua orang dan diperoleh hadits yang menimbulkan sangka kuat Nabi Saw telah menyabdakan hal itu, lalu kembalilah ijtihadnya kepada hadits tersebut. 3. Sampai hadits kepada seseorang shahabi tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan persangkaan kuat bahwa Nabi pernah menyabdakan hal tersebut. 4. Sama sekali tidak sampai hadits kepada seorang shahabi.
b. Berselisih lantaran lupa c. Perselisihaan karena berbeda lafadz yang diingat. d. Perselisihan pendapat tentang menanggapi ‘illat hukum. e. Perselisihan karena berbeda pendapat dalam mempertemukan dua hadits yang bertentangan.[13] BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut: 1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). 2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an. 4. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; Bayan At-Taqrir, Bayan At-Tafsir, Bayan At-Tasyri’, dan Bayan An-Nasakh. 3. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an. Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
B. Saran
Betapa mulianya As-Sunnah yang mempunyai kedudukan kedua menentukan hukum setelah Al-Qur’an, maka dari itu kita harus berpegang teguh kepada kedua hal ini agar kita selamat dalam dunia dan akhirat seperti hadits Nabi Saw:
(
)
DAFTAR PUSTAKA
Mudasir, 1999, ILMU HADIS, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung. Ash Shiddieqy,1976, POKOK POKOK ILMU DIRAYAH HADITS (JILID II), Bulan Bintang, Jakarta. 1. KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah AlQur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut: 1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an- Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92). 2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An- Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31) 3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An Nisa: 115). 4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-sunnah dalam menghadapi permasalahannya. Asy-Syafi’i berkata;
“apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah
Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.” Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama
harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi Saw. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya.Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli. 2. HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR'AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari pada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-
Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu berdasarkan kitab Ar-Risalah adalah sebagai berikut : 1. Bayan At- Taqrir Bayan taqrir bisa juga disebut bayan ta’kid dan bayan al-isbat jadi yang dimaksud dengan
bayan taqrir yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan AlQur’an. Seperti hadits yang berbunyi:
(Apabila kamu melihat bulan maka berpuasalah dan apabila kamu melihat bulan maka berbukalah) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185. 2. Bayan At-Tafsir, Yang disebut dengan bayan tafsir yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : (
(
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits:
(Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an;
( Dan sempurnakanlah haji ). 3. Bayan At-Tasyri’ Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al’Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab
Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada
dalam Al-Qur’an. Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah Al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam. Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi:
Artinya:“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempuan.” Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya. 4. Bayan An-Nasakh Kata
An-Nasakh
dari
segi
bahasa
adalah al-itbal
(membatalkan),
Al-ijalah
(menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan
bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap haditshadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya. Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits:
Yang artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180: Artinya: “Diwajibk an atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180). TIDAK BOLEH MENUNDUKKAN HADIST KE BAWAH MAZHAB
A. Tidaklah boleh kita mengembalikan hadits kepada mazhab secara yang menghilangkan keindahan hadits tersebut. Karena yang demikian adalah memerendahkan kedudukan hadits.
Perkataan para ulama ada yang diambil dan ada juga yang ditolak, terkecuali hadits nabi yang shohih maka semuanya tidak boleh sekali-kali ditolak. B. Tidak boleh bertasahhub dengan jalan mencari berbagai macam alasan untuk membela mazhab. Abu Ishaq Asy Syatiibi mengatakan bahwa segala yang diamalkan oleh ahli tasawwuf yang mu’tabar dalam bidang tasawwuf seperti halnya Al-Junaidi tidaklah sunyi dari hal-hal berikut:
a) Adakalanya yang diamalkan itu sesuatu yang mempunyai dasar dalam Syari’at, maka dalam hal ini kita dapat mengikuti mereka. b) Adakalanya tidak mempunyai dasar dalam syari’at, kalau demikian, kita tidak boleh mengamalkannya, karena Shohibus Sunnah adalah orang yang terpelihara dari salah sedangkan orang tasawwuf itu tidaklah demikian. Karenanya para ulama semuanya mengatakan:
“Tiap-tiap perkataan ada diantaranya yang diambil dan ada yang ditinggalkan, terkecuali perkataan Rasul Saw.” 2. HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang
tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum. Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya,
dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-
Nahl: 44). Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja). Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama. PERBEDAAN PENDAPAT DALAM SUATU HUKUM
Hukum fiqih belumlah dibukukan di zaman Rasul Saw. Usaha membahas pada masa itu, belumlah sebagai usaha pembahasan seperti yang dilakukan para fuqoha. Nabi Saw sholat, para shohabat melihatnya,lalu mereka pun sholat seperti apa yang dilihat dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dan juga seperti haji, umroh, dan segala macam aspek ibadat yang dilakukan oleh nabi mereka tiru sebagaimana Rasululah mengerjakannya. Maka oleh sebab itu dari berbagai versi shohabat melihat kelakuan nabi dalam mengerja ibadat maka hasillah bermacam-macam cara dalam mengerjakan sebuah ibadat dan terjadi perbedaan dalam menentukan sebuah hukum.
Perbedaan pendapat itu ada beberapa macam: A. Karena seseorang shahabat mendengar putusan Rasul dalam suatu perkara, atau mendengar sesuatu fatwa, sedangkan putusan atau fatwa tersebut tidak didengar oleh shahabi lain. Karenanya shohabi lain itu harus berijtihad dalam mengahadapi perkara tersebut. Ijtihad mereka terdiri dari beberapa macam: a). Ijtihadnya itu sesuai dengan hadits. b). Terjadi munadharoh (diskusi) antara dua orang dan diperoleh hadits yang menimbulkan sangka kuat Nabi Saw telah menyabdakan hal itu, lalu kembalilah ijtihadnya kepada hadits tersebut. c). Sampai hadits kepada seseorang shahabi tetapi dengan cara yang tidak menimbulkan persangkaan kuat bahwa Nabi pernah menyabdakan hal tersebut. d). Sama sekali tidak sampai hadits kepada seorang shahabi. B. Berselisih lantaran lupa C. Perselisihaan karena berbeda lafadz yang diingat. D. Perselisihan pendapat tentang menanggapi ‘illat hukum. E. Perselisihan karena berbeda pendapat dalam mempertemukan dua hadits yang bertentangan. 3. NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini: A. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain: a. Berpuasa Wishal Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya. b. Boleh beristri lebih dari empat wanita Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya. B. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya. a. Shalat Dhuha Shalat dhuha yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib. b. Qiyamullail Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW. c. Bersiwak Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja. d. Bermusyawarah Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya e. Menyembelih kurban (udhhiyah) Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya. C. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya a. Menerima harta zakat Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait). b. Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW. c. Haram menikahi wanita ahlulkitab Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3. Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW. 4. DALIL-DALIL YANG MENJELASKAN TENTANG HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datang daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah: Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi:
Artinya:“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan
kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihk an yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS:Ali Imran:179)
Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:
Artinya;“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).
Dalam kedua ayat di atas telah jelas bahwa kita sebagai umat Islam harus beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), Al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumya. Dan pada akhir ayat Allah mengancam kepada siapa saja yang mengingkari seruannya.Selain Allah Swt memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan seruan ini. Firman Allah Swt. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:
Artinya:“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS:Ali Imran : 32). Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah Swt juga berfirman:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar -benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An Nisa : 59). Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:
Artinya:“Katakanlah: “Ta’at kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan amanat dengan tenang”.(An-Nur:54).
A. Dalil Hadist
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al- Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah: (
)
Artinya:“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selama-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahrasul- Nya.”(HR.Hakim). Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum. B. Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini: 1. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya. 2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
3. Pernah ditanyakan kepad Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah Swt t elah mengutus Nabi Muhammad Saw kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah Saw, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya. C. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Muhammad Saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah Swt, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad ini tetap berlaku hingga akhirnya ada nash yang menasakhnya.Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al- Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzonni, kecuali hadits mutawatir.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DALAM AGAMA ISLAM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini29[1] sebagai pemelihara kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali. Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain. Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga,
seluruh halayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya kelak. Di sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi efistemologis yang sangaty menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “sebuah hadits telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”30[2] Berawal dari konteks ini
ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian hadits. B. Rumusan Masalah
1. 2. 3.
Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam? Bagaimana Fungsi Hadits terhadap Al-Quran? Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Masalah yang tidak ada dalam Al-Quran?
BAB II KEDUDUDUKAN HADITS DALAM AGAMA ISLAM A. Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri31[3]. Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undan(gan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf AlQardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”32[4] Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok -pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”33[5]. Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah AlQur’an…merupakan hukum yang berdiri sendiri.”34[6] Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa AlQur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di antara ayat-ayat yang
menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80 )80( … “Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”35 [7]
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7 “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” 36[8]
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman : … “Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”37 [9]
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw. B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahsan yang lalu, bahwa Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya monoton menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan. Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali solat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain. Maka, disinilah urgensitas hadits, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara
utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-Qur’an, yaitu : 1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar- besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdan ya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua or ang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”38[10] dan seterusnya (Riwayat Bukhari -
Muslim). 2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, mem berikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash AlQur’an mengharamkan bangkai dan darah secar a mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian Assunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturanaturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturanaturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya39[11].” (H.R. Bukhari - Muslim).
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah al-qur`an, dan umat islam di wajibkan mengikuti sunnah sebagai mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan hadis. Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber syariat islam yang tetap,orang islam tidak mungkin memahami syari`at islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut yaitu al-qur`an dan hadist. C. Fungsi Hadits dalam Menetapkan Masalah yang Belum Dijelaskan oleh Al-Qur`an. . .
Kedudukan Hadits dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an menunjukan bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam . Karena dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisinya. Hukum yang merupakan produk hadits/sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah tantang haram memakai sutra bagi laki-laki : ......
....
...Telah diharamkan memamakai sutra dan emas pada orang laki-laki dari ummatku...40[12] ,larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas danlain sebagainya, oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi dijelaskan “jadilah Hadits sebagai ru jukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada pembahasan fiqih”41[13] Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun Hadits juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-Qur’an, seperti memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya)42[14] Den gan demikian fungsi Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Hadits merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dijadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam 2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mu’mal). 3. Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat B. Kata Penutup
Demikianlah Makalah ini disusun dengan segala usaha maksimal penulis, besar harapan kami dapat memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah studi Hadits pada program Pasca Sarjana di IAIN Sulthan Thaha saifuddin Jambi. Namun penulis menyadari masih belum sempurna dan harapan penulis saran dan masukan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Syauki, Lintasan Sejarah Al-Qur’an Bandung: Sulita, 1985 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam Jakarta: Bulan Bintang,1989 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Jakarta: Departemen Agama RI, 2008 Munzier Saputra,ilmu HadisJakarta PT RajaGrafindo Persada:1993. Salim Bahreisy, Terjemah Riadhush Shalihin II, Bandung:Alma’arif, 1987 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996 Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’ dan Peraktik Madina,Jokjakarta:Islamika, 2003 Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, Bandung: Pustaka Setia,2007 Hadits Adalah Sumber Hukum Islam Ke dua Ditegaskan dalam Al-Qur`an: "Barang siapa mentaat i Rosul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu, maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi
. “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memik irkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya. Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al -tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan
lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan at-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al -tasyri’, dan bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’, dan bayan al-takhshish.43 [7] Untuk lebih jelas berikut akan
diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an. 1. Bayan at-Taqrir Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat . Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam alQur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh
hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut:
)
(
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini: “Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al -Baqoroh
[2]:
185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan almuwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan
nas al-Qur’an.44[8] 2. Bayan at-Tafsir Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal , mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil ) dan penafsiran terhadap
ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum. a. Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global) Sebagai contoh hadis berikut:
)
(
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang -orang yang ruku'.” (QS. Al -Baqoroh[2]: 43)
b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
)
(
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR.
Muslim) Hadith di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut: “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38)
c. Men-takhsis ayat yang ‘am Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak.
Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya.45[9] Sebagai contoh: “Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an- Nisa’ ayat 44 berikut: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak -anakmu. lelaki sama dengan bagian dua orang anak per empuan...”
3. Bayan at-tasyri’
Yaitu : bahagian seorang anak
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok -pokoknya (ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “ zaa’id ‘ala al -kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash
al-Qur’an). Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak
waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
“Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’)
kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki- laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an melainkan sematamata karena perintah-Nya. 46[10] 4. Bayan al-Nasakh Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya. Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa
keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i (pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).47[11]
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun
dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah. Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith tersebut harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah. Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa harus
dengan hadith mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah. Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
)
(
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap -tiap
orang hak(masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi
ahli waris.” (HR. Ahmad dan al arba’ah, kecuali An - Nasaai’i)
Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu- bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf....”
Keawajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadith yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat. 48[12] III.
KEMANDIRIAN SUNNAH DALAM MENETAPKAN HUKUM Imam syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW melaksanakannya sebagaiman isi nash tersebut; kedua, yang diturunkan Allah SWT didalam Al-Qur`an secara keseluruhan, maka Rasulullah SAW menjelaskan maksud sebenarnya yang terkandung dalam
firman Allah tersebut; ketiga; sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW tentang halhal yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur`an. Untuk kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk menerimanya, namun mereka berselisih untuk kategori yang ketiga, yaitu yang menyangkut kemandirian sunnah dalam menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an. Sehingga para ulama yang menanggapi masalah ini menjadi dua kelompok. Pertama, ulama menyetujui semua fungsi hadis seperti yang sudah disampaikan Imam Syafi’i. Kedua, ulama
yang tidak menyetujui adanya kewenangan hadis dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada nash Al-Qur’an. Untuk kelompok yang kedua berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al Nahl[16]: 44 sebagaima yang telah disampaikan pada pembahasan fungsi hadis terhadap AlQur’an.
Sementara itu, untuk kelompok yang pertama berpandangan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an berargumentasi untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah SAW sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Seperti dalam QS. Al- Nisa’[4]: 80 Allah berfirman; “ Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”49[13]
Disisi lain ada yang mengatakan : Al-Qur’an telah menunjuk kepada setiap apa yang disebutkan dalam Hadis, baik secara global maupun terperinci. Tapi perlu diingat bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang tidak terkait dengan pokoknya yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan ketaatan kepad Rasulullah SAW dan mengingatkan orang yang menyalahinya. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi dari Al-Qur’an dan apa yang beliau perintahkan dalam sunnah beliau sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 63; “ Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan tertimpa cobaan atau terkena adzab yang pedih”. Melalui firman Allah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
Allah menerima kekhususan kepada Nabi SAW sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai. Sesuatu itu adalah sunnahnya yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam alQur’an. Serupa dengan hal ini apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin, agar mengembalikan pertikaian kepada Allah dan Rasulnya: Jika kalian berlainan tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian memang benarbenar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (An- Nisa’:59). Mengembalikan kepada Allah
artinya kembali kepada al-Qur’an. Sedangkan kembali kepada Rasul, tidak lain artinya kecuali kembali kepada sunnah, sesudah beliau wafat. Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang dibawa oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada pokok -pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok pokok tersebut. Sebab, Allah menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai penuntun, dan petunjuk kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap pahala Allah dan keselamatan pada Hari Kemudian. Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “Al-Qur’an
menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan satu tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman Allah: Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An- Nisa’:80)50 [14]
IV.
PERBANDINGAN ANTARA HADIS NABAWI, HADIS QUDSI, DAN AL-QUR’AN
1. Hadis Qudsi Hadis Qudsi ialah hadis yang Rasulullah sandarkan kepada Allah SWT. Menurut kebanyakan ulama`, sebagaimana pendapat Abul Baqa` Al `Ukbari dalam kulliatnya halaman 288 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan
ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan jalan ilham atau mimpi.51[15] Disebut hadith, karena redaksinya disusun dari Nabi SAW sendiri, dan disebut qudsi karena Hadith ini suci dan bersih ( Ath-thaharah wa al-tanzih) dan datangnya dari zat yang Maha Suci yaitu Allah Rabb al-‘Alamin. Sehingga ada yang menyebut Hadith Ilahiyah atau Rabbiyah.52[16]
2. Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi Hadis Nabawi maupun Hadis Qudsi memiliki kesamaan , yaitu pada dasarnya keduanya
bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat an Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi: “(3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya (4) ucapannya itu
tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Selain itu redaksi keduanya baik hadits nabawi maupun hadith qudsi disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri. Adapun yang membedakan antara Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi adalah; pertama, dari sudut sandarannya hadith nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan hadis qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SAW. Dengan demikian maka dalam mengidentifikasinya, pada hadis qudsi terdapat kataa-kata seperti:
. . “Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhan- Nya.”
Atau kata-kata:
. . “Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT berfirman.”
Kedua, dari sudut nisbahnya hadith nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW baik redaksi
maupun maknanya. Sedangakan hadith qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SAW dan redaksinya kepada Nabi. Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah hadis qudsi jauh lebih sedikit daripada hadis
nabawi. 3. Perbandingan antara Hadis qudsi dengan al-Qur’an Hadis qudsi dengan Al-Qur’an keduanya memiliki persamaan bahwa sama-sama bersumber atau datang dari Allah SWT. Maka dalam periwayatkan atau penyampaian keduanya sama-sama memakai ungkapan, seperti
.
Adapaun perbedaan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’an; pertama, al-Qur’an merupakan Mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadith qudsi bukan. Kedua, al-Qur’an redaksi dan maknanyalangsung dari Allah SWT sedangkan hadith
qudsi bukan. Ketiga, dalam salat al-Qur’an merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak sah
salat seorang kecuali dengan bacaan al-Qur’an. Hal ini tidak berlaku pada hadis qudsi. Keempat, menolak al-Qur’an merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan
hadis qudsi. Kelima, al-Qur’an diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril sedangkan hadis qudsi
diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi. Keenam, perlakuan atau sikap seseorang terhadap al-Qur’an diatur oleh beberapa aturan,
seperti keharusan bersuci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin ke dalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pad hadis qudsi.53[17] Berikut contoh hadis qudsi:
. .
)
(
“Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah -Ku di bumi, adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang – orang yang memakmurkannya.” (HR. Abu Nu’a im)
Adapun yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi SAW adalah segala sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul. Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitabkitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi syariat hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.54[18]
KESIMPULAN
1. Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir. 2. Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an; sebagai bayan al-Tafsir (menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an); sebagai bayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok -pokoknya (ashl) saja); sebagai bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang teradapat dalam Al-Qur’an). 3. Hadis sebagai sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk menentukan hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an para ulama’ mengalami perbedaan pendapat, ada yang menyetujui dan dilain pihak tidak menerima kemandirian tersebut. 4. Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Sedangkan Hadis Nabawi ma’na dan lafadhnya dari Rasulullah SAW baik dengan ilham dari
Allah maupun ijtihadnya yang muncul setelah kenabian. 5. Sunnah Nabi yang dapat dijadikan sumber ajaran agama adalah adalah segala yang Nabi SAW kerjakan ketika sesudah menerima Risalah atau diutus menjadi Rasal.