21
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara bahasa, hadits berarti baru, dekat, dan kabar. Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan (aqwal), perbuatan (af'al) dan ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad S.A.W.. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada perkataan Nabi Muhammad S.A.W. yang berkaitan dengan hukum, sedangkan apabila mencakup pula perbuatan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum, maka disebut dengan "sunnah".
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan lebih dalam mengenai hal yang berkaitan dengan hadits dan kehujjahan (kedudukan) hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an.
Inti ajaran Islam dibangun di atas dua pondasi, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Al-Qur'an merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Akan tetapi kenyataannya ada beberapa perkara yang sedikit sekali Al-Qur'an menjelaskannya atau secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur'an. Salah satu contohnya adalah tentang tata cara shalat yang tidak mungkin dipraktekan tanpa bantuan dari hadits Nabi. Karena Al-Qur'an sendiri tidak menyebutkan tata cara shalat itu dan Al-Qur'an hanya menegaskan wajibnya shalat lima waktu saja.
Oleh karena itu, untuk memperjelas dan merinci kemujmalan Al-Qur'an tersebut, maka diperlukan hadits. Imam Abu Hanifah pernah berkata: "Tanpa hadits tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur'an". Mempelajari Hadits Nabi Muhammad S.A.W. juga mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana sabda beliau "Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits kemudian menghafalnya dan menyampaikannya…" (Abu Daud dan At-Tarmidzi).
Rumusan Masalah
Apa pengertian hadits?
Bagaimana bagian-bagian dalam hadits?
Bagaimana terminologi terkait hadits?
Bagaimana kehujjahan hadits dan hubungannya dengan Al-Qur'an?
Tujuan Penulisan
Mengetahaui pengertian hadist
Mengetahui bagian-bagian dalam hadist
Mengetahui terminlogi terkait hadist
Mengetahui kehujjahan hadist dan hubungannya dengan Al-Qur'
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Hadist
Pengertian Hadits
Kata hadits berasal dari bahasa Arab, al-hadist yang berarti hasil pembicaraan atau berita Nabi Muhammad S.A.W.. Dalam bahasa Arab dapat dipakai sebagai kata sifat, yang bermakna al-jadid (yang baru), lawan dari al-qadim (yang lama). Sedangkan secara istilah kata hadits bermakna komunikasi, cerita, dan perbincangan baik berkaitan dengan masalah keagamaan maupun keduniawian, bersifat historis maupun kekinian.
Definisi hadits secara terminologi disampaikan oleh para ulama secara berbeda-beda yang dapat dirangkum sebagai berikut :
Menurut ahli hadits (Muhadditsun)
Hadits yaitu segala riwayat yang berasal dari Rasulullah S.A.W. baik berupa perkataan, perbuatn, ketetapan (taqrir), sifat fisik, dan tingkah laku Rasulullah S.A.W., baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh/Ahli Hukum (Ushuliyyun)
Hadits yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W., selain Al-Quran Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara' atau dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari'ah.
Ulama Fiqh (Fuqaha')
Hadist adalah segala perbuatan yang ditetapkan oleh Rasulullah S.A.W., namun pelaksanaannya tidak sampai kepada tingkat wajib, dapat ditinggalkan namun dipandang lebih baik dan lebih utama (afdhal) untuk diamalkan.
Ulama Lain
Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari sahabat Nabi Muhammad S.A.W. dan tabi'in. Pendapat ini didasarkan pada adanya istilah hadits marfu' (hadist yang disandarkan kepada Nabi S.A.W.), hadist mauquf (hadist yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi S.A.W.), dan hadits maqtu' (hadist yang disandarkan hanya sampai kepada tabi'in).
Sunnah, Khabar dan Atsar
Ada istilah lain yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang sama dengan arti hadits, yaitu sunnah, atsar, dan khabar. Kebanyakan para ahli menggunakan istilah tersebut sebagai sinonim. Meskipun demikian, ada sebagian ahli menggunakan dalam makna yang berbeda. Mereka menggunakan kata sunnah dan khabar semakna dengan istilah hadits dan kata atsar untuk menunjukkan perkataan atau keputusan para sahabat.
Pengertian Sunnah
Menurut bahasa sunnah merupakan jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup. Dalam kitab Mukhtar As-Sihah, disebutkan bahwa sunnah secara etimologis berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik yang terpuji maupun tercela. Menurut istilah, para ulama juga berbeda-beda dalam memberikan definisi terhadap sunnah:
Menurut Ulama Hadits (Muhadditsun)
Sunnah adalah segala apa yang menjadi peninggalan Nabi Muhammad S.A.W. berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau fisik), atau tingkah laku Nabi Muhammad S.A.W., baik sebelum masa kenabian maupun sesudahnya. Dalam hal ini, menurut mayoritas ulama, sunnah merupakan sinonim dari hadits.
Menurut Ulama Ahli Hukum (Usul Fiqh)
Sunnah adalah segala perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. selain Al-Qur'an, perbuatan, atau ketetapan beliau yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara'.
Menurut Ahli Fiqh (Fuqaha')
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi S.A.W. yang belum sampai pada tingkatan fardlu atau wajib.
Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Sedangakan menurut istilah khabar yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi S.A.W. dan selain beliau, sehingga mencakup hadits marfu', mauquf, dan maqtu'. Khabar lebih cenderung sinonim dengan hadits, bahkan lebih luas dari hadits.
Pengertian Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas/sisa sesuatu. Para fuqaha' memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi'in dan lain-lain. Sedangkan menurut istilah, atsar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad S.A.W. yang secara khusus dinamakan hadits mauquf.
Bagian-Bagian Dalam Hadist
Rawi
Kata "matan" atau "al-matn" menurut bahasa berarti ma irtafa'a minal al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istialah adalah:
ما ينتهى إليه السند من الكلام
"Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad"
Atau redaksi lain ialah:
ألفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
"Lafazh-lafazh hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu".
Ada juga redaksi yang lebih silmpel lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua pengertian di atas, menunjukan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafazh hadis itu sendiri.
Sanad
Kata Sanad merunurt bahasa adalah "sandaran", atau sesuatu yang ita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadist bersandar kepadanya. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama'ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa Sanad adalah:
الإخبار عن طريق المتن
"Berita tentang jalan matan".
Yang lain menyebutkan:
سلسلة الرجال الموصلة للمتن
"Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadist), yang menyampaikan kepada matan hadist"
Ada juga yang menyebutan:
سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الأول
"Silsialah para perawi yang menukilkan hadist dari sumbernya yang pertama".
Matan
Kata rawi secara bahasa berarti periwayatan. Sedangkan menurut istilah ulumul hadist, rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberikan hadist (naqil al-hadist).
Dalam penelitian hadits, terdapat cabang ilmu yang khusus membahas tentang kondisi perawi hadits, baik ditinjau dari sisi positif maupun sisi negatif perawi hadits tersebut. Ilmu tersebut dikenal dengan istilah "Ilmu Jarh dan Ta'dil". Sebagian ahli mengatakan bahwa ilmu Jarh dan Ta'dil tersebut sebenarnya berasal dari ilmu Rijal Al-Hadits.
Seorang rawi merupakan salah satu faktor penting keabsahan sebuah hadits, karena jika sebuah hadits berasal dari rawi yang tidak terpercaya, bisa jadi itu bukanlah sebua hadits murni atau asli, melainkan sebuah perkara yang dibuat-buat.
Terminologi Terkait Hadist
Istilah-Istilah Dalam Ilmu Hadist
Sanad adalah sejarah perjalanan matan atau jalan yang menyampaikan kepada matan.
Matan ialah perkataan yang bersanad.
Rowi ialah orang yang meriwayatkan hadits atau khobar.
Al-Mukhorrij ialah ahli hadits yang mengeluarkan hadits-hadits yang berbeda sanadnya dengan hadits-hadits dari kitab seorang ahli hadits, tetapi tidak memenuhi standar sanadnya penyusun kitab itu, seperti Abu Nu'aim mentakhrij hadits-hadits dalam Shohih Bukhari dan Ahmad bin Hamdan mentakhrij hadits-hadits dalam Shohih Muslim. Hadits-hadits yang ditakhrij para mukhorrij itu dikumpulkan dalam kitab yang disebut Mustakhraj.
Al-Mudain ialah orang yang mengkodifikasi (menyusun buku) hadits.
At-Thoriq ialah jalan datangnya hadits dari seorang imam yang mendengarkan atau mengeluarkan hadits.
Al-Muhaddits ialah orang yang ahli dalam masalah hadits, mengetahui sanad-sanad, ilat-ilat para perowi secara lengkap, mana yang rengking atas dan bawah, memahami Kutubut Tis'ah, Mu'jam al Baihaqi, dan Mu'jam at Thabrany, dan hafal sekurang-kurangnya 1000 hadits dengan sanadnya. Di antara imam-imamnya antara lain yaitu 'Atho bin Robah.
Al-Hakim ialah seorang ahli hadits, mengetahui setiap rowi dengan sejarah hidupnya, guru-gurunya, dan sifat-sifatnya yang baik maupun yang tercela. Sekurang-kurangnya dia hafal 300 ribu hadits dengan sanadnya. Di antara imam-imamnya adalah sebagai berikut:
Ibnu Dinar, wafat 162 H.
Laits bin Sa'ad, wafat 175 H.
Imam Malik, wafat 179 H.
Imam Syafi'I, wafat 204 H.
Al-Hafidz ialah ahli hadits yang lebih khusus dari Al-Muhaddits. Sekurang-kurangnya hafal 100 ribu hadits beserta sanadnya. Di antara Imam-imamnya adalah:
Imam Al-Iraqi
Imam Syarifuddin
Ibnu Hajar Al-Asqolani
Ibnu Daqiq Al-'Id
Al-Hujjah ialah gelar bagi orang yang sanggup menghafal 300 ribu hadits beserta sanadnya seperti Al-Hakim, namun dari segi penguasaannya terhadap ilmu hadits lebih umum dibandingkan dengan Al-Hakim. Di antara imamnya:
Hisyam bin Urwah, wafat 146 H.
Abu Hudzaid Muhammad bin Walid, wafat 149 H.
Muhammad Abdullah bin Amr, wafat 242 H.
Amirul mu'minin gelar khalifah bagi para Muhadditsin. Disebut 'Amirul Mu'minin karena mereka perintis dalam menyebarkan sunnah Rasulullah S.A.W di jamannya. Diantara para muhadditsin yang mendapat gelar ini antara lain yaitu Syu'bah, Sufyan At-Tsaury, Ishaq Ibn Rohawaih, Ahmad Ibn Hanbal, Al-Bukhari, Ad-Darquthny, dan Muslim.
Musnid ialah orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya.
Musnad ialah kitab yang terkumpul di dalamnya hadits-hadits yang diriwayatkan setiap sahabat. Seperti Musnad Imam Ahmad.
Riwayat ialah perjalanan hadits atau khobar dari Nabi S.A.W.
Cabang-Cabang Ilmu Hadist
Ilmu Rijal Al-Hadist
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena pada saat ini ada dua yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal Al-Hadist memberikan pengertian kepada persoalan khusus persoalan seputar sanad.
Ilmu Al-Jarah wa Ta'dil
Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga dapat ditentukan siapa di antara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadsit yang diriwayatkannya. Ilmu Al-Jarah wa Ta'dil ini dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada sanad dan matan.
Ilmu Tarikh Ruwat
Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada aspek kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
Ilmu Ilalil Hadist
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati', menyebat hadist marfu' kepada hadsit mauquf.
Ilmu Nasikh wa Mansukh
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang dinamakan nasikh.
Ilmu Asbabi Wurudil Hadist
Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu. Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar Ibnu Muhammad Ibnu Rajak Al-Ukbary dari murid Ahmad.
Ilmu Ghraib Al-Hadist
Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafadz-lafadz hadist yang jauh dan sulit dipahami, karena lafadz-lafadz tersebut jarang digunakan. Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi'in pada tahun 150 H., mulailah bahasa Arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lago yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpul kata-kata yang dipandang tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya.
Ilmu At-Tashif
Ilmu pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang hadist-hadist yang sudah diubah titik/syakalnya atau bentuknya.
Ilmu Muktalif Al-Hadist
Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan, kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Ilmu Talfiqiel Hadist
Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang 'Am atau mentaqyidkan yang mutlak atau dengan memandang banyak kali terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist, di antara para ulama besar yang telah berusaha menuyusun ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafi'i, Ibnu Qutaibah, dan Ibnul Jauzy kitabnya bernama At-Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.
Kehujjahan Hadist dan Hubungannya dengan Al-Qur'an
Kehujjahan Hadits
Kehujjahan hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar'i) selain Al-Qur'an yang dibuktikan dengan dalil-dalil syari'ah.
Para ulama sepakat bahwa hadits menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur'an. Meskipun di dalam Al-Qur'an tidak pernah diterangkan bahwa dasar hukum kedua adalah hadits. Hanya saja, konsep yang menunjukkan kewenangan Nabi S.A.W dalam melahirkan sumber hukum kedua (hadits) secara langsung dari Al-Qur'an dengan menyinggung tentang kepatuhan terhadap Rasulullah S.A.W., bahkan merupakan suatu kewajiban mengikuti segala perilaku Nabi S.A.W..
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini merupakan dalil-dalil serta kesepakatan ulama dalam membuktikan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an :
Dalil Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an, Allah telah menerangkan kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Di antara ayat-ayat yang dimaksud tersebut yaitu:
"Allah sekali-sekali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar". (Q.S. Ali Imran: 179)
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya" (Q.S. An-Nisa': 136).
Dalam Al-Qur'an, Allah telah menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad S.A.W. Di antara ayat-ayat yang dimaksud tersebut yaitu:
Sebagai pensyarah (penafsir) Al-Qur'an
Allah S.W.T. berfirman:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Zikru, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan" (Q.S. An-Nahl: 44).
Sebagai pembuat hukum (legislator)
Allah S.W.T. berfirman:
"Nabi SAW menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari beban yang melilit mereka" (Q.S. Al-A'raf: 157).
Sebagai teladan kaum muslimin
Allah S.W.T. berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mendambakan rahmat Allah S.W.T. dan kedatangan hari kiamat dan dia selalu menyebut Allah" (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum muslimin
Allah S.W.T. berfirman:
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan segala seijin Allah" (Q.S. An-Nisa: 64)
"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka" (Q.S. An-Nisa: 80).
Dalil Hadits
Nabi Muhammad S.A.W. bersabda:
"Ingat! Bahwa saya diberi Al-Qur'an dan yang seperti Al-Qur'an (Hadits)" (H.R. Abu Daud).
"Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku" (H.R. Al-Hakim dan Malik).
"Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-sasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpagang tegulah kamu sekalian denganya" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majah).
Kesepakatan (Ijma') shahabat
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah S.A.W. masih hidup (langsung dari Nabi), sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa' Al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa berikut:
Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata:
"Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah S.A.W., sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya".
Saat Umar bin Khatab berada di depan Hajar Aswad ia berkata
"Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah S.A.W. menciummu, saya tidak akan menciummu".
Ali bin Abu Thalib berkata "Kami melihat Rasulullah S.A.W. berdiri, lalu kami berdiri, dan beliau duduk, kami pun duduk".
Ijma Ulama
Imam Abu Hanifah berkata:
"Apabila Hadits itu shahih, maka itulah madzhabku".
"Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan kitab Allah dan khabar dari Rasulullah S.A.W., maka tinggalkanlah pendapatku".
Imam Malik berkata :
"Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah pendapatku, apabila sesuai dengan Al-Qur'an dan hadits maka ambillah. Setiap yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan hadits, tinggalkanlah".
"Tidak seorangpun yang hidup setelah Nabi S.A.W. kecuali sabdanya yang dibuat pegangan dan semua pendapat ditinggalkan kecuali sabda Nabi .SA.W.".
Petunjuk Akal/ Ra'yu (logika)
Agama Islam yang diikuti oleh umat sekarang ini adalah agama yang dibawa oleh utusan Allah S.W.T. yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad S.A.W.. Jika kita percaya kepada beliau sebagai utusan Allah S.W.T., kitapun tentunya wajib menaati segala peraturan yang dibawanya. Sebab beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah S.W.T., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham, tetapi selalu dalam petunjuk dan bimbingan-Nya, sehingga hasil ijtihad beliau tetap berlaku sampai ada nash yang menasakhnya.
Hubungan dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur'an
Al-Qur'an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-Qur'an sebagai sumber ajaran utama yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist berfungsi sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur'an untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Qur'an tersebut.
Sesuai firman Allah SWT:
"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan" (QS. An-Nahl:44)
Allah S.W.T. menurunkan Al-Qur'an agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasulullah S.A.W. diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya melalui hadist-hadistnya.
Fungsi hadits sebagai penjelas (bayan) Al-Qur'an dalam pandangan ulama berbeda-beda, diantaranya:
Imam Malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam fungsi hadist terhadap Al-Qur'an, yaitu:
Bayan At-Taqrir
Bayan At-Tafsir
Bayan At-Tafshil
Bayan Al-Ba'ts
Bayan At-Tasyri'
Imam Syafi'i menyebutkan ada lima fungsi yaitu:
Bayan At-Tafshil
Bayan At-Takhshish
Bayan At-Ta'yin
Bayan At-Tasyri'
Bayan An-Nasakh
Berikut ini merupakan fungsi hadits yang disepakati oleh para ulama:
Bayan At-Ta'kid
Bayan Al-Ta'qid disebut juga Bayan Al-Taqrir dan Bayan Al-Itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan, memperkokoh/memperkuat, dan mengungkapkan kembali isi/keterangan yang terkandung dalam Al-Qur'an. Contoh hadits yang diriwayatkan Muslim:
فإذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم)
Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasulullah S.A.W. telah bersabda: "Apabila kalian melihat (ru'yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru'yah) itu maka berbukalah" (H.R. Muslim)
Hadist ini Menguatkan ayat dalam Surah Al-Baqarah ayat 185:
"Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa..." (Q.S. Al-Baqarah:185)
Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah hadist berfungsi untuk menjelaskan secara pemerinci (tafsil) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan batasan/persyaratan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish) ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum (shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qishahs, hudud, dsb.)
Menjelaskan secara rinci terhadap ayat Al-Qur'an:
Rasulullah S.A.W. bersabda:
صلوا كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى ومسلم)
"Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat" (H.R. Bukhari). Hadist ini member rincian terhadap ayat: "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'" Q.S. (Al-Baqarah: 43).
Memberi batasan (taqyid) terhadap ayat Al-Qur'an:
Rasulullah S.A.W. bersabda: "Rasulullah S.A.W. didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan". Hadist ini memberi batasan terhadap ayat:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah: 38).
Mengkhususkan (takhshish) keumuman ayat Al-Qur'an:
Nabi S.A.W. bersabda: "Tidaklah orang Muslim mewarisi dari orang kafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim" (H.R. Bukhari). Hadist ini mengkhususkan keumuman ayat: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagiaan seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ..." (Q.S. An-Nisa': 11).
Bayan At-Tasyri'
Bayan At-Tasyri' adalah hadits berfungsi menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an. Contoh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
"Bahwasannya Rasulullah S.A.W. telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha') kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim" (H.R. Muslim)
Fungsi hadits yang tidak disepakati mayoritas ulama:
Bayan An-Nasakh
Bayan An-Nasakh adalah mengubah/menghapus suatu hukum/ketentuan yang terdahulu meskipun jelas kemudian diganti dengan ketentuan yang datang setelahnya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibhtal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Menurut ulama Mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara' yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi dan syari' (pembuat syari'at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).
Jadi ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum (nasakh wa al-mansukh) harus memenuhi syarat-syaratnya yang ditentukan, terutama syarat/ketentuan adanya naskh dan mansukh. Contoh:
"Tidak ada wasiat bagi ahli waris". Hadits ini menasakh firman Allah S.W.T. dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa"
Sementara yang menolak naskh ini adalah Imam Syafi'i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits mutawatir, lalu Mahdzab Zhahiriyyah dan Khawarij yang juga menolaknya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa hadist merupakan salah satu pengangan umat Islam setelah Al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Akan tetapi, kenyataannya ada beberapa perkara yang sedikit sekali Al-Qur'an menjelaskannya atau secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an yang masih global itu perlu adanya suatu penjelas yang dapat memericinkannya agar dapat diterima oleh umat Islam secara benar dan tepat.
Oleh karena itu, untuk memperjelas dan merinci kemujmalan Al-Qur'an tersebut, maka diperlukan hadits. Imam Abu Hanifah pernah berkata: "Tanpa hadits tak seorangpun dari kita yang dapat memahami Al-Qur'an". Mempelajari hadits Nabi Muhammad S.A.W. juga mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana sabda beliau "Allah membuat bercahaya wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits kemudian menghafalnya dan menyampaikannya…" (Abu Daud dan At-Tarmidzi).
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Penulis menerima bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini yang bersifat membangun dan konstruktif demi perbaikan makalah ini agar lebih sempurna di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bukan Bintang.
'Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah.
Imam Muhsin, dkk. 2005. Al-Hadist. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: Bina Ilmu.
Niamules. 2014. Pengertian Rawi dan Proses Tranformasi Hadist diakses dari http://rusunawablog.wordpress.com pada tanggal 11-12-2014 pukul 09:53 WIB.
Muhammad Mustafa 'Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 17.
Muhammad Mustafa 'Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 19.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bukan Bintang, 1987), hlm. 20.
Muhammad Mustafa 'Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 20.
Imam Muhsin dkk., Al-Hadist (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 11.
Muhammad Mustafa 'Azami, Metodologi Kritik Hadis terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 25.