I. PENDAHULUAN
Hadits jika ditinjau dari segi kualitasnya (banyaknya jumlah perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits). Ada perbedaan pendapat tentang pembagian hadits. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Dan ada yang membagi hanya menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan ahad. Diantaranya Abu Bakar Al-Jassas. Untuk pendapat yang mengelompokkan hadits menjadi dua bagian. Diikuti oleh kebanyakan ulama' ushul dan ulama kalam. Mereka menganggap hadits masyhur sebagai bagian dari hadits ahad.
Sedangkan ditinjau dari sampainya kepada kita dapat dibagi menjadi dua bagian. Yaitu hadits mutawatir. Jika hadits itu mempunyai beberapa jalan yang tidak terbatas jumlahnya. Dan hadits ahad , jika hadits itu mempunyai beberapa jalan yang terbatas jumlahnya. Dari dua hadits tersebut, masing-masing terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Untuk hadits mutawatir dibagi menjadi mutawatir lafdzi dan mutawatir maknawy. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang hadits gharib. Pengertian singkat tentang hadits gharib yaitu suatu hadits yang diriwayatkan oleh oleh seorang rawi secara sendirian, adakalanya terjdi dalam setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan sanad, atau dalam sebagian tingkatan-tingkatan sanad, walaupun dalam tingkatan saja. Dan tidak mempengaruhi tambaahan lain dalam sisa tingkatan-tingkatan sanad tersebut, karena yang dipedomi adalah untuk yang paling sedikitnya.
Para ulama banyak menggunakan nama lain untuk hadits gharib, diantaranya khadits al-Fardlu, keduanya memiliki arti yang sama. Sebagaian ulama yang lainya telah membedakan keduanya. Namun, Al-Hafidh ibnu Hajar menganggap keduanya itu sama. Baik ditinjau dari segi bahasa maupun istilah. Meski begitu, beliau berkata bahwa ahli istilah (maksudnya ahli hadits-pen) telah membedakan keduanya, dilihat dari sisi banyaknya dan sedikitnya penggunaan. Disebut hadits fard karena lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang mutlak. Sedangkan hadits gharib lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang nisbi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Gharib
Menurut Bahasa Berarti al-munfarid ( menyendiri ) atau al-ba'id-an aqaribihi ( jauh dari kerabatnya ).
Menurut Istilah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sendirian, atau satu orang rawi.
Dalam Taujihun Nadhan diterangkan, bahwa hadits gharib ialah :
مَايَنْفَرِدُبِرِ وَايَتِهِ وَاحِدٌ فِىْ اَيِّ مَوْضِعِ مِنْ َموَا ضِعِ السَّنَدِ
Artinya: "hadits yang tersendiri seorang perawinya pada suatu tempat didalam sanad".
Al Qasthalani berkata : "hadits gharib itu ialah:
مَايَنْفَرِدُبِرِ وَايَتِهِ اَوْبِرِّوَايَةِ زِيَادَةٍ فِيْهِ عَمَّنْ يُجْمَعُ حَدِيْثُهُ كََاالزُّهْرِىْ
Artinya : "hadits yang hanya diriwayatkanya, atau diriwayatkan ziadahnya, seperti Azzuhri".
Sebagian ulama menta'rufkannya sebagai berikut :
اَلْغَرِيْبُ, مَاتَفَرَّدَ ِبهِ رَاوِيْهِ بِرِوَايَتِهِ عَمَّنْ يُجْمَعُ حَدِيْثُهً لِضَبْطِهِ وَعَدَ اَلَتِهِ, كََالزُّهْرِى وَاَمْثَالِهِ
Artinya : "Hadits Gharib, ialah: yang bersendiri perawinya dalam meriwayatkanya, dari orang-orang yang kumpul haditsnya lantaran kuat ingatanya dan kedilannya, seumpama Az-zuhri dan yang seumpamanya".
Adapun menurut Musthalah, gharib itu ditujukan kepada: "suatu hadits yang diriwayatkan hanya dengan satu sanad". Tegasnya, satu hadits yang seorang rawi bersendiri dalam meriwayatkanya, yaitu tidak ada orang lain menceritakanya, melainkan dia.
Contoh :
اَلاِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً وَاْلحَيَاُءُ شُعْبَةٌ مِنْ اَلاِيْمَانْ
Artinya : "iman itu ada enampuluh cabang lebih, dan malu itu satu cabang dari iman".
Hadits tersebut ada diriwayatkan oleh imam-imam Bukhori, Muslim, Abu Dawud, dan lainya.
Kita bandingkan susunan sanad dari Bukhari dan Muslim tentang hadits tersebut. ( Pemakalah mengambil susunan sanad dari Bukhari dan Muslim sebagai contoh )
Bukhari Muslim
1. Nabi SAW 1. Nabi SAW
2. Abu Hurairoh 2. Abu Hurairah
3. Abdullah bin Dinar 3. Abu Sholih
4. Bukhari 4. Abdullah bin Dinar
5. Sulaiman bin Bilal
6. Abu Amir
7. Abdun bin Humaid
Dalam kedua sanad tersebut, didapati Abu Hurairoh, Abu Shalih, dan Abdullah bin Dinar. Ini menunjukkan bahwa semua itu berarti satu sanad.
Sehingga dari pengertian-pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap thabaqat-nya dari seluruh thabaqat sanadnya, atau disebagaian thabaqat sanad, malahan bisa pada satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainya tidak merusak hadeits gharib.
B. Jenis-jenis hadits gharib
Dilihat dari aspek tempat menyendirinya perawi, hadits gharib di bagi menjadi dua :
a. Hadits Gharib Mutlak ( fard mutlak )
Yaitu jika gharib ( kesendirianya ) terdapat pada asal sanad, dengan kata lain hadits yang diriwayatkan oleh rawi secara sendirian pada awal sanadnya.
اَلْفَرْدُ الْمُطْلَقُ مَا تَفَرَّدَ بِهِ رَاوٍ وَاحِدٍ مِنْ جَمِيْعِ الرُّوَاةِ
Artinya : "hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja dari seluruh perawi-perawi yang lain".
Yang dikehendaki dengan asal sanad disini adalah tabii bikan shahabi. Namun, setelah ulama menetapkan bahwa asal sanad ini mencakup shahabi. Contoh hadits Gharib mutlak :
اَلوَلَاءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النّّسّبِ لَا يُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ
Artinya : "kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan jalan keturunan, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan".
Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdukllah bin Dinar saja yang meriwayatkan. Abdullah bin Dinar adalah seorang Tabi'i , seorang hafidh yang kokoh ingatanya.
b. Hadits Gharib Nisbi ( fard nisbi )
Yaitu hadits yang kegharibanya berada dipertengahan sanadnya, artinya semula diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi dalam asal sanadnya kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi dari mereka para perawi tersebut.
مَا حُكِمَ بِتَفَرُّدِِهِ بِالنَّسْبَةِ لِصِفَةٍ مُعَيِّنَةٍ (اَي قُّيِدً بِصِفَةٍ خَاصَّةَ)
Artinya : "hadits yang dipandang fard mengingat suatu sifat yang tertentu ( yakni dikaitkan dengan sesuatu sifat tertentu )".
Contoh hadits ghari nisbi :
Hadits malik dari Az-Zuhri dari Anas ra, "Sesungguhnya Nabi SAW masuk ke kota makah sementara diatas kepalanya alat penutup".
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik Az-Zuhri.
Contoh lain hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu :
أُمِرَ نَا أَنْ نَقْرَ أَبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ(رواه ابو داود)
Artinya : "kami diperintahkan oleh Rasul SAW agar membaca surat Al-Fatihah dan surat yang mudah ( dari al-Qur'an )". ( HR Abu Dawud )
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Abu Al Walid Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkanya dari kota lain.
Jenis-jenis Gharib nisbi :
Terdapat berbagai jenis gharib yang memungkinkanya termasuk hadits gharib nisbi, bukan gharib mutlak karena dinisbikan kepada sesuatu tertentu :
1. Kegharibanya dinisbikan kepada rawi yang tsiqah (terpercaya)sepertipernyataan mereka, "tidak diriwayatkan oleh seorang pun rawi tsiqah kecuali si fulan".
2. Ke-Gharibanya karena diriwayatkan oleh rawi tertentu dari rawi tertentu seperti pernyataan mereka . "Diriwayatkan secara menyendiri oleh fulan dar fulan", meskipun diriwayatkan dari arah lain selain dia".
3. Ke-gharib-anya pada penduduk negeri tertentu atau penghuni tertentu. Seperti pernyataan mereka, "diriwayatkanh secara menyendiri oleh penduduk makkah" atau "oleh penduduk syam".
4. Ke-gharianya karena diriwayatkanya oleh penduduk negeri tertentu dari penduduk negeri tertentu pyla. Seperti pernyataan mereka. "diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk syam dari penduduk khijaz".
Dutinjau dari segi letak kegharibanya, hadits gharib dibagi :
a. Hadits gharib matan dan sanad, hadits yang matanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja.
b. Hadits gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang matanya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, namun diriwayatkan secara menyendiri dari sahabat lainya. Dalam perkara ini, Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini gharib diliat dari aspek ini".
C . Cara Menentukan Keghariban Hadis
Sebelum mengetahui cara menentukan keghariban hadis maka diketahui dahulu kaedah yang harus dipakai untuk menghukumi suatu hadis dengan gharib.
Ulama hadis menetapkan suatu hadis dengan gharib adalah sesudah mereka menyelidiki dan memeriksa dengan cukup semputna. Pembahasan untuk mengetahui gharib tidaknya suatu hadis mereka namai dengan I'tiba r.I'tibar adalah cara yang ditempuh untuk menetapkan keghariban suatu hadis.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadapa hadis yang diperkitakan gharib denga maksud apakah hadis tersebut mempunyai mutabi'atau syahis, disebut I'tibar.Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib, hendaklah dipeiksa dahulu pada kitab – kitab hadis, semisal kitab jami' dan kitab musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari kegharibanya itu atau tidak. Kalau ada hilanglah kegharibanhadis.
a. Mutabi'
Mutabi' adalah orang yang mengikuti periwayatan lain sejak pada gurunya ( yang terdekat ), atau gurunya guru ( yang terdekat itu ), orang yang di ikuti disebut mutaba' dan perbuatannya mengikuti itudisebut mutaba'ah. Sedang hadis yang mengikuti periwayatan hadis lain disebut dengan hadis mutabi'.
Mutabi' dibagi menjadi dua macam yaitu :
Mutabi' Tamm ialah bila peiwayatan si mutabi'itu mengikuti periwayatan guru mutaba' dari ayng terdekat sampai guru yang terjauh.
Mutabi'qoshir ialah bila periwayatan mutabi' itu mengkuti periwatan guru yang yang terdekat saja, tidak sampai mengikutu gurunya guru yang jauh sama sekali.
b. Syahid
Adalah meriwayatkan sebuth hadis lain dengan susuai maknanya, atau apabila sumber hadis berasal dari beberapa orang sahabat yang berlain – lainan makda hadis ayng bersumber dari sahabat yang berlainan itu disebut hadis syahid.
Syahid dibagi menjadi dua macam :
Syahid bil lafdzi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain itu sesuai redakdi dan maknanya, sesuai dengan hadis fardnya.
Syahid bil ma'na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan sahabat yang lain itu hanya sesuai maknanya saja .
D. Hukum Hadits Gharib
Hadits Gharib mempunyai beberapa hukum (nilai) :
a. Shahih, yaitu: jika perawinya mencapai dlabith yang sempurna dan tidak ditentang oleh perawi yang lebih kuat dari padanya.
b. Hasan, yaitu: jika dia mendekati derajat yang diatas dan tidak ditentang oleh orang yang lebih rajin daripadanya.
c. Syadz, yaitu: jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedangkan dia adalah orang yang kepercayaan.
d. Munkar, yaitu: jika di tentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang diapun adalah orang yang lemah.
e. Matruk, yaitu: jika dia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang oleh orang lain.
KESIMPULAN
1. Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap Tabaqatnya dari seluruh tabaqat sanatnya. Atau disebagian tabaqat sanad, malahan bisa pada tabaqat saja . adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada tabaqat lainya tidak merusak hadits gharib karena yang dijjadikan sebagai patoakn adalah yang paling minimal.
2. Ditinjau dari aspek tempat menyendirinya perawi, hadits gharib dibagi menjadi dua :
a. Hadits Gharib muhtlak (fard mutlak)
b. Hadits Gharib nisbi (fard nisbi)
Ditinjau dari segi letak kegharibannya, hadits gharib dibagi menjadi dua :
a. Hadits gharib matan dan sanad.
b. Hadits gharib matan, bukan sanad.
3. Hadits gharib memiliki beberapa hukum ( nilai )
a. Shahih
b. Haram
c. Syadz
d. Munkar
e. matruk
V. PENUTUP
Demikianlah materi yang dibahas pemakalah, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dalam penulisan makalah ini mungkin ada kesalahan atau kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat pemakalah harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 2000, Pergeseran Pemikiran hadits ijtihad Al-hakim dalam Menentukan Suatu Hadits, Paramadina; jakarta
Al-Maliki Muhammad Alwi, 2006, Ilmu Ushul Hadits, Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Ash-Shiddieqy Nasbi, 1976, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang; Jakarta
Hassan A.Qadir, 1990, Ilmu Musthalah Hadits, Diponegoro; Bandung
Suparta Munzier, 2002, Ilmu Hadits, Raja Grafindo Persada; Jakarta
Thahhan Mahmud, 1997, Ulumul Hadits Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Titipan Ilahi Press