20
ILMU HADIS, SEJARAH DAN CABANG-CABANGNYA
Oleh: Muhtarom, S.Pd
PENDAHULUAN
Agama Islam datang untuk membawa kebahagiaan pada manusia, hal ini karena agama membawa nilai-nilai yang mendatangkan maslahat dan menghilangkan kerusakan (mafsadah) pada diri manusia (Utsaimin, 24: 2). Dengan pengetahuannya manusia bisa mengetahui dan membedakan antara maslahat dan mafsadat tersebut. Pengetahuan tersebut bisa bersumber dari dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini adalah pilar utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang diperlukan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber pengetahuan yang bersifat naqli bagi umat Islam adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Umat Islam khususnya generasi terdahulu mempunyai semangat yang tinggi dalam menjaga hadis (Idri, 2010: 104). Penjagaan terhadap hadis tersebut tentunya selaras dengan sabda Nabi SAW bahwa Nabi meninggalkan dua hal yang apabila umat Islam berpegang teguh pada keduanya pasti mereka tidak akan tersesat selamanya, yaitu Alquran dan hadis Nabi. Allah telah memberi karunia kepada umat Islam terdahulu bahwa mereka selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmu Alquran, yaitu para mufasir. Dan sebagian lagi menitikberatkan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi beserta ilmunya, mereka ini disebut muhaddits atau para ahli hadis.
Salah satu bentuk nyata peran ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis (Ilmu-ilmu Hadis) yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua setelah Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Selain hadis makbul, terdapat pula hadis Mardud, yaitu hadis yang ditolak serta tidak sah penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam. Bukan suatu kemustahilan apabila ternyata hadis yang mardud jauh lebih banyak jumlahnya daripada hadis yang makbul.
Oleh sebab itu umat Islam khususnya para ulama' harus berhati-hati dalam menerima, mengamalkan dan menyampaikan ajaran yang berasal dari sebuah hadis. Artinya, sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji dan diteliti keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Sedangkan salah satu cara untuk mengetahui dan membedakan yang mana hadis yang diterima dan yang ditolak adalah dengan mempelajari dan memahami ilmu-ilmu hadis yang memuat segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadis
Pengertian Hadis dan Ilmu Hadis
Al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, arti kata hadis dalam kamus al-munawir di antaranya yang baru, perkataan, pembicaraan, kabar, cerita dan percakapan.
Secara terminologi Mahmud Ath-Thahan, sebagaimana dalam Abdul Majid Khon (2009: 2), mendefinisikan:
ما جاء عن النّبيّ صلّى الله علىه وسلم سواءٌ كان قولا او فعلا اوتقريرا
Sesuatu yang datang dari Nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.
Abdul Majid Khon (2009: 3) mengatakan bahwa hadis merupakan sumber berita yang datang dari Nabi SAW dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap pertujuan.
Sebagian ulama ada yang memasukkan sifat, sejarah dan cita-cita Nabi SAW pada definisi hadis (Khon, 2009: 4). Sifat ini meliputi sifat fisik maupun sifat perangai. Sehingga banyak ulama yang menyamakan hadis dengan sunah, walaupun sebenarnya ada perbedaan di antara keduanya.
Definisi sunah menurut ahli ushul fikih sebagaimana disampaikan Abdul Majid Khon (2009) adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang bukan Alquran baik berupa segala perkataan, perbuatan maupun pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara'.
Para ulama hadis menyamakan hadis dengan sunah. Mereka mengatakan bahwa sunah adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berhubungan dengan hukum sara', baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir beliau. Dengan pemahaman ini mereka mendefinisikan hadis atau sunah sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain Alquran al-Karim baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum sara' (Suparta, 2002: 10).
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy perbedaan antara Hadis dan Sunah adalah bahwa Hadis konotasinya adalah segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi SAW walaupun hanya sekali saja beliau mengucapkannya atau mengerjakannya dan walaupun hanya diriwayatkan oleh hanya seorang saja. Sedangkan Sunah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan Nabi SAW terus menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawatir (Soetari, 1997: 7).
Soetari (1997) menyampaikan perbedaan antara hadis dan sunah bahwa hadis adalah berita tentang ucapan, perbuatan dan hal ihwal Nabi SAW, sedangkan sunah adalah jejak dan langkah Nabi SAW yang terbentuk melalui tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan Nabi SAW.
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis mengandung dua kata, yaitu 'ulum' dan 'al-Hadis'. Kata 'ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, yang berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, arti kata hadis dalam kamus al-munawir di antaranya yang baru, perkataan, pembicaraan, kabar, cerita dan percakapan.
Gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadis Nabi SAW".
Menurut ulama mutaqaddimun, ulumul hadis ialah:
هو علمٌ يُبحثُ فيهِ عن سنةِ النبي- صلى الله عليه وسلم - إسناداً ، ومتناً ، لفظاً ، ومعنى مِنْ حيثُ القبولُ والردُّ ، وما يتبعُ ذَلِكَ مِنْ كيفيةِ تحمل الحديثِ ، وروايتهِ وكيفيةِ ضبطهِ ، وكتابتهِ وآدابِ راويهِ وطالبهِ
Yang bisa diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang sunah Nabi SAW dalam hal sanad, matan, lafaz, dan makna dari segi makbul dan mardudnya, dan hal-hal yang berkaitan dengannya dari cara-cara bagaimana hadis dibawa dan diriwayatkan, cara-cara bagaimana hadis diteliti dan ditulis, serta aturan periwayatan dan pencariannya.
Objek Kajian Ilmu Hadis
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diperoleh bahwa Hadis Nabi SAW meliputi perkataan atau ucapan (aqwal), perbuatan (af'al), pernyataan (taqrir), dan sifat, keadaan, himmah dan lain-lain.
Berdasarkan pada keempat unsur hadis di atas, dapat diketahui bahwa salah satu lingkup kajian pembahasan dalam hadis adalah hal ihwal hadis dalam kriteria qouliyah, fi'liyah, taqririyah, kauniyah dan hammiyah. Berdasarkan segi periwayatannya objek pembahasan hadis bisa dibagi menjadi tiga yaitu: 1) pembawa berita/rawi, 2) sandaran berita (sanad) dan 3) materi berita (matan) atau marwi.
Sedangkan ruang lingkup pembahasan ilmu hadis pada garis besarnya meliputi dua hal, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.
Ilmu Hadis Riwayah
Utsaimin (2003) dalam Syarh al-Mandzumah mengatakan bahwa ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas tentang apa-apa yang dinukil dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ahwal atau keadaan Nabi SAW.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadis, ilmu hadis riwayah adalah Ilmu Hadis yang khusus berkaitan dengan riwayat, yaitu ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Ilmu hadis riwayah menurut pendapat Dr. Subhi Asshalih adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin. (Asshalih,. 107)
Dari pengertian yang diberikan di atas dapat dikatakan bahwa obyek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup: 1. Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya; 2. Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah pemeliharaan terhadap Hadis Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya
Ilmu Hadis Dirayah
Menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadis Dirayah disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadis atau pengantar ilmu hadis.
As-Shan'ani dalam taudih al-afkar (1997: 11) mengatakan bahwa Ilmu Hadis Diroyah disebut juga dengan mushtolahul hadis atau juga ilmu usul al-hadis.
Sedangkan yang menjadi obyek ilmu Hadis Dirayah yaitu keadaan perawi dan marwinya (sanad dan matannya). Dengan mempelajari ilmu Hadis Dirayah ini, kita dapat mengetahui maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) suatu hadis, dan selanjutnya kita dapat mengamalkan yang maqbul dan meninggalkan yang mardud.
Menurut imam Assayuthi, Ilmu Hadis Dirayah adalah " ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya".
Obyek yang diteliti dalam Ilmu Hadis Riwayah adalah kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedah atau tujuan dari ilmu ini adalah untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadis dan selanjutnya untuk diamalkan yang maqbul dan ditinggalkan yang mardud.
Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma' wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma'in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa'ad (230H/844) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-'Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalah Musthalahul Hadis.
Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW dikarenakan adanya kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Adapun dasar dan landasan periwayatan hadis di dalam Islam dijumpai dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari orang fasik. Firman Allah SWT
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu".(QS. Al-Hujurat: 6).
Sementara dalam hadis disebutkan, "(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadis), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar". (HR. At-Tirmizi).
Dalam kitab Mabahits Ulumil Hadis, Syekh Manna Al-Qaththani menyimpulkan bahwa yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis ada 2 (dua) hal pokok, yaitu adanya: (1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah.
Pertama: Dorongan Agama. Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh dan membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak-anak mereka agar menjadi orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah dan jalan mereka.
Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi SAW dengan cara periwayatan, menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan isinya, karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama. Oleh karenanya Allah mewajibkan dalam agama untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya, menjalani semua apa yang dibawa beliau, dan meneladani kehidupannya.
Kedua : Dorongan Sejarah Dalam sejarah, umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan serta tipu muslihat. Umat Islam yang telah merobohkan pilar kemusyrikan, dan mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh-musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis, sedangkan hadis merupakan salah satu khazanah/warisan terbesar yang dimiliki umat Islam setelah Alquran . Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan.
Secara umum sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis bisa dikelompokkan menjadi menjadi tiga periodisasi, mulai awal lahirnya ilmu hadis sampai pada masa kekinian yaitu meliputi: 1) masa klasik, 2) masa pertengahan dan 3) masa modern.
Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadis-hadis Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadis.
Cara penerimaan hadis dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadis di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadis dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa' al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadis Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau.
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadis-hadis Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadis pada dasarnya adalah:
Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadis adalah dasar Tasyri', maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadis disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadis yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadis dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadis ada dua, yakni:
Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadis, dan mengambil langkah berupa:
Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadis dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengamalan agama.
Menapis dalam penerimaan hadis, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadis, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadis mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadis yang diragukan, para sahabat meminta saksi dan keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
Melarang meriwayatkan secara luas hadis yang belum dapat difahami sacara umum.
Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadis menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadis, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadis, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadis harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya.
Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa'id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya'bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa'i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.
Kemudian muncul ulama-ulama muhadisin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang mengarang kitab Ma'rifah Ulumil Hadis, yang isinya membagi ilmu hadis menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu'aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadis, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami' li Adabibsy Syaikh was Sami'.
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma' yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H) dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadis yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadis pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan.
2. Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddimah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadis yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba'atsul Hatsits ala Ma'rifati Ulumil Hadis.
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadis dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadis yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi. Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).
3. Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
Perkembangan ilmu hadis abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadis dari ulama muhadisin adalah Asy-Syaikh Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadis dan As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya Qawaidut Tahdits fi Fununil Hadis, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya
Dan di antara aturan-aturan yang diberlakukan pada masa sahabat adalah:
Mengurangi periwayatan hadis .
Mereka khawatir dengan banyaknya riwayat akan tergelincir pada kesalahan dan kelalaian, dan menyebabkan kebohongan terhadap Rasul SAW. Selain itu mereka juga khawatir dengan memperbanyak periwayatan akan menyibukkan umat Islam terhadap as-Sunnah dan mengabaikan Al-Quran
Ketelitian dalam periwayatan.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima hadis tanpa adanya perawi yang benar-benar dapat dipercaya, karena mereka sangat takut terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi SAW.
Kritik terhadap riwayat.
Adapun bentuk kritik terhadap riwayat adalah dengan cara memaparkan dan membandingkan riwayat dengan Al-Qur'an, jika bertentangan maka mereka tinggalkan dan tidak mengamalkannya.
Ketelitian dan sikap hati-hati para Sahabat Nabi SAW tersebut diikuti pula oleh para ulama yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah munculnya hadis-hadis palsu, yakni sekitar tahun 41 H setelah masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Semenjak itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad Hadis dengan mempraktikkan ilmu al-jarah wa al-ta'dil, dan sekaligus mulai pulalah ilmu ini tumbuh dan berkembang. Setelah munculnya kegiatan pemalsuan hadis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktivitas tertentu dilakukan oleh para Ulama Hadis dalam rangka memelihara kemurnian hadis, yaitu seperti: a) melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan; b) melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya; c) melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha'if-an atau kepalsuan suatu hadis.
Demikianlah kegiatan para ulama hadis di abad pertama Hijrah yang telah memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Hadis. Bahkan pada akhir abad pertama itu telah terdapat beberapa klasifikasi hadis, yaitu: Hadis Marfu', Hadis Mawquf, Hadis Muttashil, dan Hadis Mursal. Dari macam-macam hadis tersebut, juga telah dibedakan antara hadis maqbul, yang pada masa berikutnya disebut dengan hadis shahih dan hadis hasan, serta hadis mardud yang kemudian dikenal dengan hadis dha'if dengan berbagai macamnya.
Pada abad kedua Hijrah, ketika hadis telah dibukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadis tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan Ilmu Hadis yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhayikan ketentuan-ketentuan hadis shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal ini dilakukan lantaran semakin banyaknya para penghafal hadis yang telah wafat.
Pada abad ketiga Hijrah yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan Hadis, mulailah ketentuan dan perumusan kaidah-kaidah Hadis ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya ibn Ma'in (w. 234H/848M) menulis tentang Tarikh ar-Rijal, Muhammad ibn Sa'ad (w. 230H/844M) menulis Al-Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-'Ilal, dan lain-lain.
Pada abad keempat dan kelima hijrah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang Ilmu Hadis yang bersifat komprehensif. Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah bermunculan karya-karya di bidang Ilmu Hadis ini yang sampai saat ini masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadis. Adapun ulama yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ini adalah al Qadhi Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin Chalad ar Ramaharmuzi (wafat pada tahun 360 H), kitabnya Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al Wa'i. (oleh: Indra L Muda) 2
Cabang-Cabang Ilmu Hadis
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:
a. Ilmu Rijalul Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadis, dari sahabat, dari tabi'in, maupun dari angkatan sesudahnya.
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadis.
b. Ilmu Jarhi wat Ta'dil
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta'dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu. Ilmu Jarhi wat Ta'dil dibutuhkan oleh para ulama hadis karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.
c. Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat. Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddimah Fathul Bari.
d. Ilmu 'Ilalil Hadis
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadis. Yakni: menyambung yang munqathi', merafa'kan yang mauquf, memasukkan suatu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadis.
Ilmu ini adalah ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadis. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadis, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis.
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan bahwa cara mengetahui 'illah hadis adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadis dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadis itu mu'tal (ada 'illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada 'illat pada hadis tersebut maka dihukuminya sebagai hadis tidak shahih.
e. Ilmu Ghoribil Hadis
Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadis yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadis tersebut.
f. Ilmu Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadis yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadis tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadis yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar maka hadis itu dinamai muhtaliful hadis. Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
g. Ilmu Talfiqil hadis
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadis yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang 'amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i. Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadis dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadis. Terkadang, ada hadis yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadis yang "Pertentangan". Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta'rif Fi Asbab Wurud Al- hadis Al-Syarif.
j. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadis
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadis yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta'wil hadis yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadis lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan "Mukhtalaf Al-Hadis" atau "Musykil Al-Hadis", atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadis dan fiqih.4
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian dari ilmu hadis atau ulumul hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Adapun sejarah perkembangan ilmu hadis terjadi sejak dimulainya periwayatan hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul SAW wafat,sejak abad pertama hingga kelima hijriah dan yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadis terdiri dari 2 (dua) hal pokok, yaitu adanya: (1) dorongan agama, dan (2) dorongan sejarah.
Adapun cabang ilmu hadis dibagi menjadi 2, yaitu: Ilmu Dirayatul Hadis dan Ilmu Riwayatul Hadis
Dan Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah terdiri dari 10 cabang,yaitu: Ilmu Rijalul Hadis, Ilmu Jarhi wat Ta'dil, Ilmu Fannil Mubhammat, Ilmu 'Ilalil Hadis, Ilmu Ghoriebil Hadis, Ilmu Nasikh wal Mansukh, Ilmu Talfiqil hadis, Ilmu Tashif wat Tahrif, Ilmu Asbabi Wurudil Hadis, Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadis
REFERENSI
Idri, 2010, Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Soetari, Endang, 1997, Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press
Suparta, Munzier, 2002, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
'Itr, Nuruddin, 2012, 'Ulumul Hadis, diterjemahkan oleh Mujiyo, dari An-Naqd Fii 'Uluum Al-Hadis, Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Utsaimin, Muhammad bin Sholih, 2003, Syarh al-Mandzumah al-Bayquniyah fi Mushtholahil hadis, Penerbit: Dar ats-Tsuroya li an-Nasyr
As-Shan'ani, Al-Amir, 1997, Taudihu al-Afkar li Ma'ani Tanqihi al-Andzor, Beirut: Darul Kutub al-Alamiah
Khon, Abdul Majid, 2009, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah