Gula Cair - Peluang Bisnis Modal Kecil, Mudah, Dan Untung Besar
Agrotekno Sarana Industri 085741862879 Jual Enzim Alfa, Beta, Gluco Amylase, Mikrobia : Aspergillus niger, Aspergillus sojae, A. oryzae, Lactobacillus sp, Acetobacter xylinum, dll
Singkong adalah salah satu komoditas pertanian Indonesia yang cukup melimpah. Tanaman ini banyak tersebar hampir di seluruh Indonesia dan tumbuh dengan subur karena iklim dan lahan di Indonesia sangat cocok untuk tanaman singkong. Varietas singkong di Indonesia cukup banyak dengan kualitas yang cukup baik dan tingkat produksinya juga tinggi. Saat ini, teknologi pengolahan singkong sudah mulai berkembang sehingga dihasilkan produk-produk yang bernilai ekonomis tinggi diantaranya adalah; tepung tapioka, tepung mocaf, nata de cassava, bioetanol, aneka makanan camilan, gula cair, dan lain-lain. Meningkatnya industri berbasis singkong, menuntut kita untuk meningkatkan produksi sinkong. Indonesia memiliki lahan yang masih cukup luas untuk mengembangkan pertanian singkong terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, Maluku, dll. Selain itu, jumlah SDM di Indonesia juga masih melimpah sehingga perlu dioptimalkan. Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis yang perlu mendapatkan perhatian secara serius oleh semua kalangan untuk memacu industri nasional dan GNP nasional.
Salah satu industri berbasis singkong yang memiliki prospek cukup bagus adalah industri gula cair. Produk gula cair berbahan baku singkong memiliki kualitas yang cukup baik sehingga mampu menyubstitusi penggunaan gula pasir pada berbagai industri makanan atau minuman, dan konsumen rumah tangga. Kelebihan gula cair diantaranya tidak mengkristal yaitu berbentuk cair sehingga penggunaannya tidak perlu dilarutkan terlebih dahulu. Beberapa industri yang menggunakan gula pasir perlu melarutkan terlebih dahulu sehingga memakan waktu dan tenaga yang merupakan biaya produksi yang perlu dipertimbangkan Gula cair memiliki prospek pasar yang cukup potensial baik pasar lokal maupun luar negeri. Oleh karena itu, bisnis pembuatan gula cair merupakan alternatif bisnis yang cukup menjajikan. Usaha ini dapat dikerjakan dalam skala home industri dengan investasi kecil, teknologi yang sederhana, bahan bahan yang cukup melimpah, harga terjangkau, serta ketersediaanya dapat kontinue. Selain menggunakan singkong, gula cair juga dapat diproduksi dengan menggunakan bahan baku seperti pati jagung, sagu, ubi jalar, dan aneka umbi-umbian yang memiliki kandungan pati tinggi. Proses pembuatan gula cair berbahan baku singkong dapat dilakukan melalui dua tahap utama yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Proses lukuifikasi dan sakarifikasi untuk mendapatkan glukosa dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu secara asam dan secara enzimatis. Hidrolisis secara enzimatis dapat menghasilkan derajat konversi pati menjadi glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisa secara asam, dan dapat mencegah terjadinya kehilangan flavour (aroma). Untuk menghasilkan sirup glukosa dengan mutu yang baik maka dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan penguapan. Proses luquifikasi adalah proses perubahan pati dari kental menjadi encer. Campuran pati dan air (suspense pati) yang dipanaskan sampai mendidih akan berubah bentuk menjadi kental yang disebut tergelatinisasi. Setelah ditambahkan enzim, suspensi tersebut menjadi encer. Pembuatan suspense pati dilakukan dengan menggunakan tangki atau panci sembari dilakukan pengadukan. Untuk membuat suspensi gelatin adalah dengan mencampurkan bahan baku singkong yang telah diparut atau menggunakan tepung singkong dilarutkan dengan air dengan komposisi: 50 kg bahan baku dan 150 liter air kemudian diaduk hingga rata. Setelah itu, ke dalam tangki tersebut dimasukan enzim alfa-amilase dengan aturan pakai 1 ml untuk 1 kg pati. Jadi untuk 50 kg padi ditambahkan 50 ml enzim alfa-amilase. Enzim
tersebut berfungsi untuk menghidrolisis pati sehingga pati yang kental karena panas (proses gelatinisasi) akan menjadi cair. Derajad keasaman (pH) suspensi diatur hingga antara pH 6.2 6.4 dengan penambahan kapur tohor. Pemasakan suspensi pati dilakukan sampai mendidih yaitu pada suhu 105 C. Pada proses pemasakan akan terjadi proses dekstrinasi (proses menjadi dekstrin). Proses selanjutnya adalah sakarifikasi yaitu proses perubahan dekstrin menjadi gula. Pati telah terpecah menjadi desktrin selanjutnya didinginkan manjadi 60 -64 C. Larutan pati selanjutnya disaring terlebih dahulu, kemudian cairan tersebut dimasukan ke dalam tangki sakarifikasi dengan penambahan enzim amiloglukosidase dengan aturan pakai 1 ml / kg pati. Enzim ini berfungsi untuk memecah rantai desktrin menjadi glukosa. Selama proses berlangsung dilakukan pengadukan untuk mencampur enzim dengan sempurna. Proses sakarifikasi membutuhkan waktu maksimal 76 jam. Proses sakarifikasi dinyatakan telah optimal jika telah kadar gula 30-35 Brix. Semakin rendah kandungan glukosa , semakin tinggi kandungan dekstrin dan maltosannya. Langkah selanjutnya adalah dilakukan proses pemucatan bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan warna yang tidak dikehendaki atau untuk penjernihan yaitu dengan memberi arang aktif. Arang aktif memiliki kemampuan adhesi atau penyerapan sangat kuat sehingga dapat mengikat, menggumpalkan dan mengendapkan komponen anorganik atau organik untuk membebaskan sirup dari kotoran yang tak diinginkan. Suhu selama pemucatan diatur 80 oC. Kemudian dilakukan penyaringan berguna untuk memisahkan arang aktif dan komponen yang melekat pada cairan sirup. Penyaringan diharapkan dapat menahan partikel kotoran yang telah digumpalkan sebelumnya oleh arang aktif sehingga cairan yang dihasilkan berwarna kuning muda bening. Hasil penyaringan tersebut, kemudian diuapkan. Proses penguapan dilakukan dengan menggunakan alat penggorengan yang besar. Penguapan dengan cara ini akan menghasilkan gula yang berwarna kuning kecoklatan. Proses penguapan dilakukan pada suhu 70 oC, sehingga dihasilkan gula yang berwarna jernih kekuningan. Penguapan bertujuan untuk memekatkan glukosa dari 30-35 brix menjadi 43-80 brix. Setelah dihasilkan gula cair yang siap dikonsumsi, kemudian gula cair dikemas dapat menggunakan botol plastik. Gula cair yang telah dikemas tersebut siap dipasarkan. Selama proses penyimpanan dapat dilakukan pada suhu kamar 28-35 oC, dimana suhu tersebut
kristalkisasi dekstrosa yang terkandung di dalamnya dapat dicegah. Pada suhu yang lebih rendah ≤ 21 oC dekstrosa akan terkristalisasi sehingga dapat menurunkan mutu dan dapat menimbulkan kesulitan dalam penanganannya. Sebaliknya suhu penyimpanan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan timbulnya perubahan warna pada produk, terutama jika disimpan pada periode cukup lama. Pada kemasan berikan label untuk memberikan daya tarik yang disertai dengan nomor sertifikasi P-IRT untuk skala home industri dari Dinkes. Sertifikasi P-IRT dapat diperoleh dengan mengajukan kepada Dinas Kesehatan di masing-masing kabupaten. Setelah mendapatkan penyuluhan tentang teknik-teknik produksi yang aman, maka akan mendapat sertifikasi tersebut dan nomor sertifikasi tersebut dapat dicantumkan pada produk. Setelah itu produk siap dipasarkan ke industri-industri atau ke supermarket dan toko-toko. http://www.agrotekno.net/2013/09/gula-cair-peluang-bisnis-modal-kecil.html
Gula dari singkong dapat dibuat dengan teknologi sederhana di pedesaan. Hasilnya berupa sirup glukosa atau tepung glukosa yang terutama digunakan untuk keperluan industri makanan dan minuman. Jika gula singkong dapat tersedia di masyarakat dengan mudah dan murah maka minuman dan jajanan pun bisa menggunakan gula singkong sebagai pemanis, daripada pemanis buatan yang tidak sehat.
SATU FAKTA teramat penting tentang gula adalah harganya yang melambung terus. Kebutuhan gula Indonesia mencapai 3,3 juta ton/tahun, sementara produksi dalam negeri hanya 1,7 juta ton atau 51,5% dari kebutuhan nasional, sehingga impor menjadi pilihan. Ironisnya, harga gula impor lebih murah dibandingkan dengan gula produksi dalam negeri. Dalam situasi seperti ini, gula produksi dalam negeri menjadi sulit dipasarkan tanpa kebijakan yang mampu melindunginya dari serbuan gula impor. Untuk mengurangi impor gula maka produksi gula dalam negeri perlu terus dipacu, disamping mencari alternative bahan pemanis lain sebagai subsitusi gula tebu. Gula alternative yang sekarang sudah digunakan antara lain adalah gula siklamat dan stearin yang merupakan gula sintetis, serta gula dari apti seperti sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol, sorbitol, dan xilitol. Gula dari pati mempunyai rasa dan kemanisan hampir sama dengan gula tebu (sukrosa), bahkan ada yang lebih manis. Gula tersebut dibuat dari bahan berpati seperti ubi kayu, ubi
jalar, sagu, dan pati jagung. Semua bahan tersebut melimpah di Indonesia. Di antara gula dari pati tersebut, sirup glukosa dan fruktosa mempunyai prospek paling baik untuk mensubstitusi gula pasir. Jika produksi gula dari pati terus meningkat maka harganya akan dapat bersaing dengan gula pasir. Namun peningkatan produksi tersebut perlu dibarengi dengan upaya memperluas pemanfaatannya. Masalahnya sekarang di Indonesia, salah satu industri minimum ringan (soft drink) terbesar yang menurut lisensinya seharusnya menggunakan fruktosa, tidak seluruhnya menggunakan fruktosa, bahkan masih menggunakan gula pasir yang diputihkan atau disebut gula rafinasi. Seandainya semua industri sirup, minimum ringan, permen, biskuit, dan jeli menggunakan glukosa atau fruktosa maka kebutuhan gula pasir tentu akan berkurang, bahkan mungkin impor gula tidak diperlukan. Di Indonesia industri glukosa dan fruktosa baru dimulai pada tahun 1980-an, walaupun gula tersebut telah ditemukan pada abad ke-18. Gula ini umumnya diproduksi oleh industri besar, seperti PT. Puncak Gunung Mas di Jakarta, PT. Sama Satya Pasifik di Sidoarjo, Indonesian Maltose Industry di Bogor, PT. Gunung Madu Plantation di Lampung, dan PT. Raya Sugarindo di Tasikmalaya. Padahal teknologi pembuatan gula ini terutama sirup glukosa relative sederhana dan dapat dilakukan di pedesaan. Dalam upaya membuka peluang produksi glukosa di pedesaan, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian melakukan penelitian dan pengembangan produksi sirup glukosa dan fruktosa untuk skala pedesaan yang dapat diaplikasikan pada industri tapioka rakyat. Pada industri tapioka rakyat seperti di Lampung, pengeringan tapioka sering menjadi masalah karena masih mengandalkan sinar matahari. Pada musim hujan pengeringan tentu akan terganggu sehingga mutu pati yang dihasilkan kurang baik dan harga jualnya rendah. Dengan demikian , upaya mengembangkan produksi sirup glukosa dan fruktosa dari pati basah diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi petani. Pada tahun 2005 teknologi tersebut telah dicoba di Tegineneng, Lampung Selatan, dan telah diperoleh tahapan proses dan peralatan yang lebih efisien untuk menekan biaya produksi sehingga harga jual lebih murah. Diharapkan teknologi ini dapat dikembangkan di daerahdaerah sentra produksi ubi kayu, sagu, jagung, atau bahan berpati lainnya. Rendemen pati ubi kayu sekitar 15-25% dan rendemen menjadi sirup glukosa 80-95% dari pati kering. Sirup glukosa atau sering juga disebut gula cair dibuat melalui proses hidrolisis pati.
Perbedaannya dengan gula pasir atau sukrosa yaitu sukrosa merupakan gula disakarida, terdiri atas ikatan glukosa dan fruktosa, sedangkan sirup glukosa adalah monosakarida, terdiri atas satu monomer yaitu glukosa. Sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asama atau dengan cara enzimatis. Dari kedua cara tersebut, pembuatan sirup glukosa secara enzimatis dapat dikembangkan di pedesaan karena tidak banyak menggunakan bahan kimia sehingga aman dan tidak mencemari lingkungan. Bahan lain yang diperlukan adalah enzim amylase. Industri yang memanfaatkan glukosa antara lain adalah industri permen , minuman, biscuit, dan es krim, glukosa dapat meningkatkan kehalusan tekstur dan menekan titik beku, sementara untuk kue dapat menjaga kue tetap segar dalam waktu lama dan dapat mengurangi keretakan. Untuk permen glukosa lebih disenangi karena dapat mencegah kerusakan mikrobiologis dan memperbaiki tekstur. Pada pengembangan produk glukosa, BB Pascapanen juga telah menghasilkan glukosa dalam bentuk tepung yang disebut tepung gula kasava. Produk ini berwarna putih, manis dan telah dicoba di pabrilk jeli dan dapat bersaing dengan produk dari korea. Proses produksi sirup glukosa meliputi proses likuifikasi, sarifikasi, penjernihan dan penetralan, kemudian diakhiri dengan evaporasi (gambar 1). Likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati menjadi dekstrin hidrolisis pati menjadi dekstrin oleh enzim amylase pada suhu gelatinasi dengan pH optimum untuk aktivitas amylase, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiapjenis enzim. Sesudah itu suhu dipertahankan pada 1050c dan pH 4-7 untuk pemasakan sirup sampai seluruh amilosa terdegradasi menjadi dekstrin. Setiap dua jam sirup dalam tangki dianalisis kadar amilosannya denga uji iod serta nilai DE (dextrose equivalent). Bila iod berwarna coklat berarti semua amilosa sudah terdegradasi menjadi dekstrin (nilai DE 8-14) dan proses likuifikasi selesai. Pada proses sakarifikasi, pati yang telah menjadi dekstrin didinginkan sampai 500C dengan pH 4-4,6. Proses ini berlangsung sekitar 72 jam dengan pengadukan terus menerus. Proses sakarifikasi selesai bila sirup yang ada telah mencapai nilai DE minimal 94,5%, nilai warna 60% transmitan dan Brix 30-36. Tahap selanjutnya adalah pemucatan , penyaringan, dan penguapan,. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan bau, warna dan kotoran, serta menghentikan aktivitas enzim. Absorben yang digunakan adalah karbon aktif sebanyak 0,5-1% dari bobot pati. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan karbon aktif yang tertinggal dan kotoran yang belum terserap oleh karbon aktif. Hasil penyaringan kemudian dilewatkan pada kolom berisi resin penukar ion-ion logam
pada sirup glukosa yang dihasilkan. Tahap terakhir adalah penguapan untuk mendapatkan sirup glukosa dengan kekentalan seperti yang dikehendaki, yaitu Brix 50-85 untuk cara asam dan Brix 43-45 untuk cara enzimatis. BB Pascapanen telah menghasilkan teknologi produksi produksi glukosa secara sederhana sehingga tiga tahapan yaitu likufikasi, sakarifikasi, dan penguapan dilakukan pada reactor yang sama (pada satu fermentor). Bila proses produksi ingin dilakukan tiap hari maka diperlukan tiga fermetor yang sama, karena proses fermentasi berlangsung selama dua hari.
Sirup Fruktosa Sirup Fruktosa dibuat dari glukosa melalui proses isomerisasi menggunakan enzim glukosa isomerase. Sirup fruktosa memiliki tingkat kemanisan 2,5 kali lebih tinggi dibanding sirup glukosa dan 1,4-1,8 kali lebih tinggi dibanding gula sukrosa. Sirup fruktosa juga memiliki indeks glikemik lebih rendah (32±2) daripada glukosa ( 138 ±4), sedangkan indeks glikemik untuk sukrosa sebesar 87±2. Oleh karena itu, sirup fruktosa dapat digunakan sebagai pemanis bagi penderita diabetes. Sirup fruktosa akan terasa lebih manis bila dalam keadaan dingin. Berdasarkan keunggulan sirup fruktosa maka pemanfaatan fruktosa tidak hanya untuk penderita diabetes, tetapi juga untuk produk minuman ringan, sirup, jeli, jam, koktail, dan sebagainya. Pengembangan gula alternative ini tidak akan menggeser petani tebu karena gula pasir mempunyai pasar tersendiri. Untuk beberapa jenis minuman seperti teh dan kopi panas, gula pasir tidak dapat tergantikan oleh gula lain, karena glukosa dan fruktosa kurang terasa manis dalam keadaan panas. Untuk mempopulerkan sirup dan gula singkong, BB Pascapanen telah memberikan nama Syifa untuk sirup kasava dan Guva untuk gula kasava. http://rajaquena354.blogspot.com/2010/05/membuat-gula-dari-singkong-dengan.html
HFCS (High Fructose Corn Syrup) merupakan sirup jagung yang telah mengalami proses enzimatis yang bertujuan untuk menghasilkan kandungan fruktosa dengan presentase tinggi sesuai dengan tingkat kemanisan yang dikehendaki. Banyaknya fruktosa menunjukkan tingkat kemanisan HFCS yang dihasilkan, semakin tinggi kadar fruktosanya, semakin manis HFCS yang dihasilkan Beberapa produk HFCS antara lain HFCS 90 (90 % fruktosa dan 10 % glukosa) dan HFCS 55 serta HFCS 42. HFCS 42 biasanya dicampur dengan HFCS 90 untuk membuat HFCS 55. Tingkat kemanisan HFCS 55 ekuivalen dengan sukrosa dan biasanya digunakan untuk pembuatan softdrink, sedangkan HFSC memiliki tingkat kemanisan yang lebih rendah dan biasa digunakan untuk perisa buah, minuman non-karbonisasi dan produk lain dengan karakteristik khusus, seperti produk-produk yang mengalami fermentasi dan memiliki titik beku rendah. HFCS yang diolah dari jagung manis dengan kualitas tinggi . Kelebihan HFCS dibandingkan dengan sukrosa, yaitu lebih murah ,bahan baku (jagung) melimpah, lebih mudah dicampur karena berbentuk cairan, lebih unggul karena masa simpan lebih lama Pembuatan HFCS (High Fructose Corn Syrup) dapat dilakukan dengan tersediaanya substrat pati jagung bagi kegiatan enzimatis untuk mengkonversi glukosa menjadi fruktosa. Secara garis besar, dalam pembuatan HFCS terdiri dari 3 tahap, tahapan yang pertama yaitu 1. perubahan dari pati menjadi oligosakarida (likuifikasi) oleh enzim amylase 2. perubahan dari oligosakarida menjadi glukosa (sacharifikasi) oleh enzim glukoamylase 3. perubahan dari glukosa menjadi fruktosa (isomerisasi) Oleh enzim glukosa isomerase Berikut skema produksi HFCS:
1. Likuifikasi Tujuan likuifikasi adalah mengubah suspensi pekat granula pati menjadi larutan dextrin yang larut pada viskositas rendah untuk memudahkan penanganan dalam alat-alat pemindah serta memudahkan pengubahan menjadi glukosa dengan enzim glukoamilase. Enzim yang digunakan dalam proses likuifikasi adalah amilase karena mampu menghidrolisis pati menjadi suatu produk yang larut dalam air serta mempunyai berat molekul rendah yaitu glukosa. Slury pati jagung (30 – 40%) dimasukkan ke dalam pompa, digelatinisasi dan diatur pHnya hingga 5,3-6,5 dan suhunya 105-1100C ditambahkan termamyl (bakteri thermophilic αamylosa) 0,3-0,6 kg termamyl/ton pati serta cofactor Ca2+ (CaCl2). Ca2+ (CaCl2) berfungsi untuk meningkatkan toleransi enzim amilase terhadap panas. Penambahan enzim dilakukan selama 60 menit sehingga proses likuifikasi berlangsung lengkap. Setelah pemanasan, suspensi pati didinginkan pada suhu kurang dari 900C dan dipertahankan selama 1-3 jam untuk waktu hidrolisis. Hasil Likuifikasi adalah seluruh pati dirubah sehingga nilai dekstrose-eqivalen (DE) sekitar 15 – 20, dan viskositas menurun (semakin cair). Produk dari proses likuifikasi adalah campuran dari beberapa oligosakarida yang mengandung sedikit mono, di-, dan trisakarida . 2. Sacharifikasi Tujuan dari proses ini adalah untuk mengubah oligosakarida yang telah dihasilkan menjadi D-glukosa sebanyak mungkin dengan menggunakan enzim glukoamilase . Pada proses ini, slurry pati hasil likuifikasi didinginkan hingga 600C untuk mencapai suhu optimal proses sacharifikasi, dan ditambahkan asam hidroklorat hingga mencapai Ph optimum bagi aktivitas enzim glukoamilase, yaitu 4,0-4,5 .Semakin banyak enzim yang digunakan, semakin cepat hidrolisa oligosakarida berlangsung. Akan tetapi, enzim yang berlebihan
akan menyebabkan reaksi pembalikkan menghasilkan maltose dan maltotriosa. Proses sakarifikasi berlangsung selama 48 – 72 jam. Produk akhir berupa glukosa dengan nilai DE mencapai 95 – 98. 3. Refining sirup dekstrosa Slurry pati hasil sakarifikasi dimurnikan slurry pati dan dihilangkan serat-serat jagung serta residu protein atau mineral yang tidak dibutuhkan lagi.Proses refining dimulai dengan proses filtrasi. Filtrasi dilakukan secara vakum yang mampu menjaring protein, serat atau padatan lain. Sirup yang telah disaring tersebut dipompakan ke dalam kolom karbon aktif dan ion exchange dalam bentuk seri untuk lebih memurnikan sirup. Setelah melalui karbon aktif, sirup tersebut dialirkan dalam tangki-tangki “ion exchange” dan kemudian disaring lagi untuk memisahkan karbon yang terikut dalam sirup. Fungsi “ion-exchange” ialah untuk menghilangkan zat-zat mineral dalam sirup dan residu protein atau zat-zat warna yang mungkin lolos dari kolom karbon aktif. Tahap berikutnya adalah pengentalan kembali dengan menggunakan evaporator. 4. Isomerisasi Pada tahap isomerasi, D-glukosa yang dihasilkan dari proses sebelumnya diubah menjadi D-fruktosa dengan enzim glucose isomerase yang berlangsung pada suhu 600C dan pH 7-8. Suhu yang berlebihan akan menyebabkan glukosa dan fruktosa yang dihasilkan terdekomposisi menjadi asam organic yang dapat menimbulkan warna yang tidak diinginkan pada produk ini. Banyaknya fruktosa yang dihasilkan akan menunjukkan tingkat kemanisan HFCS yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar fruktosanya, semakin manis HFCS yang dihasilkan. . Glukosa dapat dirubah strukturnya menjadi fruktosa atau sebaliknya, fruktosa dapat dirubah menjadi glukosa dengan bantuan enzim yang sama yaitu glukosaisomerase. Enzim tersebut “reversible” artinya dapat mengkatalis ke aksi bolak-balik maka produk akhir selalu merupakan campuran dari glukosa maupun fruktosa. Komposisi campuran dari kedua jenis gula tersebut dapat bervariasi tergantung kondisi reaksi, suhu dan keasaman dimana proses isomerasi berlangsung. Sirup kental dengan kadar padatan 45 % dimasukkan ke dalam isomerasi selama 15 menit untuk mengatur pH 8.0 dan penambahan Mg sulfat sebagai promts, sirup dipompakan ke dalam kolom-kolom isomerasi. Sebelum proses dimulai, suhu (600C) diatur secara cermat, dilakukan aerasi dalam kolom sehingga mencapai kevakuman 254 mm Hg dan enzim gluko isomerasenya disiapkan. Adanya oksigen terlarut dapat memblokir reaksi isomerasi. High Fructose yang diproduksi mengandung fruktosa 42%, 50 % glukosa dan 8 % oligomerasi (gula lain). 5. Refining HFS
Tahap terakhir adalah pemekatan dalam multiple effect evaporator, sehingga diperoleh sirup fruktosa dengan kadar bahan kering 71 % dan gula (campuran) :92-95%. Sirup ini disebut HFCS 42. “High Fructose Syrup” yang diperoleh ditampung dalam tangki penampung dan kemudian dialirkan ke dalam filter, karbon aktif dan “ion-exchange” kolom seperti yang digunakan dalam proses pemurnian sirup glukosa. Karbon aktif mengambil senyawa berwarna yang terjadi selama proses isomerasi dan “ion-exchange” mengambil garam anorganik yang digunakan dalam proses isomerasi sehingga kadar abu dapat ditekan menjadi serendah mungkin. Sirup HFS yang diperoleh disaring lagi, dipanaskan pada suhu di bawah diskolom HFS untuk meningkatkan kekentalan sirup sehingga mencapai kadar padatan terlarut 71 %, disaring lagi baru ditampung ke dalam tangki-tangki penyimpanan. ENZIM AMILASE Enzim amilase dapat diproduksi oleh berbagai jenis mikroorganisma terutama dari genus Bacillus, Psedomonas dan Clostridium. Bakteri potensial yang akhir-akhir ini banyak digunakan untuk memproduksi enzim amilase pada skala industri antara lain Bacillus licheniformis dan B.stearothermophillus. Bahkan penggunaan B.stearothermophillus lebih disukai karena mampu menghasilkan enzim yang bersifat termostabil sehingga dapat menekan biaya produksi. Amylase terbagi menjadi tiga grup yaitu α-amylase yang memutus ikatan pada bagian dalam substrat (endoamylase), β amylase yang menghidrolisis dari ujung gugus non reduktif dari substrat (eksoamylase), dan glukoamylase yang memutus gugus non reduksi terakhir pada molekul substrat. α-amylase Enzim α-amylase terdapat dalam tanaman, jaringan mamalia, dan mikroorganisme. Enzim ini memutus komponen pati secara random pada bagian tengah, dengan memproduksi gula reduksi. Kecepatan reaksi dengan α-amylase pada berbagai variasi polisakarida menunjukkan bahwa amilosa terhidrolisis paling cepat dibandingkan dengan polysakarida yang lain. Aktivitas α-amylase pada fraksi amilosa dari pati berlangsung dalam dua tahap. Awalnya, terjadi degradasi secara cepat dari amilosa menjadi maltose dan maltotriosa. Pada tahap ini terjadi pemutusan substrat secara acak oleh enzim tersebut. Tipe pemutusan cepat dan kehilangan viskositas serta dapat terikat iodine karena dihasilkan amilosa. Tahap kedua lebih lambat dibandingkan yang pertama, meliputi hidrolisis lambat dari oligosakarida, dengan bentuk glukosa dan maltose pada produk akhir. Pada tahap kedua ini tidak mengikuti pola pemutusan acak pertama. Enzim yang berbeda akan menghasilkan dextrin yang berbeda pula.
Stabilitas enzim α-amylase sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu. Efek dari pH terhadap stabilitas dan aktivitas amylase penting dalam banyak praktek. Aktivitas maksimum dari amylase pada kondisi asam antara pH 4.5-7.0, tetapi bentuk aktivitas optimumnya berbeda tergantung sumber (asal) enzim. enzim α-amylase dari bakteri dapat stabil pada suhu tinggi dan dapat lebih baik untuk diaplikasikan. Dalam produksi minuman seprti HFCS juga lebih baik menggunakan enzim α-amylase bakteri karena stabil pada kondisi panas. β-amylase β-amylase menghidrolisis ikatan 1,4 glikosidik di pati dan glikogen dengan perubahan konfigurasi posisi atom c 1 dari α ke β. Perubahan konfigurasi ini sebagai alasan enzim ini dinamai β-amylase tetapi tidak menunjukkan bahwa enzim ini dapat mengenali ikatan βglikosidak. Enzim β-amylase tidak mampu memutus ikatan α-1,6 glikosidik pada amylopektin dan tidak dapat mendekati ikatan itu. Amilopektin dapat diputus-putus rantai cabangnya dan menghasilkan 50-0% maltose. Sisa dari pemutusannya disebut limit dextrin. Pemutusan ikatan glikosidik pada 1,4 glikan dimulai dari ujung gugus non-reduksi. Enzim menghidrolisis ikatan glikosidik secara berselang-seling, maka produk reaksi ini adalah -maltose saat enzim bekerja pada molekul rantai lurus dengan nomor genap dari residu glukosa; -saat enzim bekerja pada rantai yang terdiri dari nomor ganjil residu, -beberapa glukosa dan maltotriosa juga ditemukan pada produk akhir. pH optimum β-amylase adalah antara pH 5 dan pH 6, dan sangat stabil antara pH 4 dan pH 8-9 pada 20 C selama sedikitnya 24 jam. Diluar kisaran pH ini, dan terutama saat kondisi asam, β-amylase dari kedelai lebih stabil daripada ezim yang sama yang berasal dari gandum dan barley malt.Kestabilan terhadap panas β-amylase tergantung dari sumbernya.