TAKAAN KESEIIATAN VS/RSTD DR.
SURAKARTA
Doaoo 5 A4 .-z.c:./ivs 5)o /wo )4.r.,
,^", ,. WL-Y "/ ,..S
/ z".\
B MODUL PELATIHhN
FERTUSTA-ti..^".1.1{ B,rG. !Li\lU KESEtr{ATrr.i{ Rl*,rir FK UIES / RSUD DU. tr{,. iij!yi\iiD: SU
&.At(ARTA
KOLESTASIS Editor: dr. M. Juffrie, Ph.D, Sp.AK Bagian llmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
dr. Nenny Sri Mulyani, Sp.AK Bagian llmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
UKK Gostro-Hepatologi
DAFTAR lSI Daftar Kontributor
ii
Sambutan Ketua PP 1DA1............. Sambutan Ketua UKK Gastro-Hepatologi.......... Daftar isi................ Pendahu1uan................. Modul A : lkterus pada bayi Etiologi
iii
Toksisitas ikterus pada bayi....
6
Evaluasi Bayi dengan lkterus
7
Tata la ksa na
8
iv vi 1.
5
10
Modul B : Kolestasis pada bayi.............
.
Definisi.......
12
Epidemio1ogi..................
Etiologi.......
1.1.
..................:
Evaluasi pada bayi dengan kolestasis....
1.2 1,4
Anamnesis..
15
Pemeriksaan Fisik ...........
15
Pemeriksaan Penunjang r "_:1.i1.*F
1.6
.
Kompl i kasi..................:..
22
Tatala ksa na
23
Etiologi Kolestasis yang Sering Dijumpai
25
Atresia Biliaris.........
26
Sindrom Alagille.......
30
Hepatitis Neonatal ldiopatik.....
32 ilt
,rilllffi
&mm-.'rsas,:q,r
iDA/
E
ffi Kolestasis dengan CMV
32
lnfeksi Saluran Kencing.......
33 34
Daftar Pustaka
PERPUSTAKAAN
B.TG. ILNIU KESEHATAN ANAK FK UNS / RSUD DR. MOS,WARDI
SU
RAKARTA
iY U
KK Gostro-H e patolog i I DAI
,/,
MODUL A IKTERUS PADA BAYI
lkterus adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, atau membran mukosa, sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.l Penyebab ikterus sangat bervariasi dan berbeda pada bayi, anak, dan dewasa. Untuk dapat memahami patogenesis berbagai penyebab ikterus akan diu ra ikan seca ra si ngkat metabolisme bilirubin. Metabolisme Bilirubin
laiu"*o ot*
I lioondin orqu ordcin Z
t" lberbnircui
denoon
lo.o* olu-hr*o
-
i
VwE portsl
I
,Y rri
l;etlrr:'we*
darlam
fu:r:
3:*:e'
1. Metabolisme bilirubin
2 U
KK
Go
stro-
Hep
oto I og i I DAI
Bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin di sistem retikuloendotelial. Hemoglobin akan dipecah menjadi heme dan globin. Globin akan didegradasi menjadi asam amino dan akan kembali ke sirkulasi, sedangkan heme akan dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi biliverdin, Fe, dan karbon monoksida. Kemudian biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin indirek / tak terkonjugasi oleh enzim biliverdin reduktase. Semua proses tersebut terjadi di limpa. Bilirubin indirek kemudian dibawa ke hati melalui aliran darah. Karena sifatnya yang tidak larut dalam air, maka dibutuhkan ikatan dengan albumin. Di hati, bilirubin indirek di uptake oleh protein Y yang ada di hepatosit kemudian dikonjugasikan
dengan asam glukoronat oleh enzim glukoronil transferase sehingga terbentuk bilirubin direk
/
terkonjugasi yang bersifat larut dalam air. Bilirubin direk kemudian diekskresikan ke usus me[alui sistem bilier. Oleh bakteri usus, bilirubin direk akan diubah menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen akan dioksidasi menjadi sterkobilin dan dikeluarkan bersama feses. Sisanya akan direabsorbsi oleh selsel usus kemudian dibawa ke hepar dan di re-ekskresi lagi ke usus, yang dikenal sebagai siklus enterohepatik serta dibawa ke ginjal dan dioksidasi menjadi urobilin yang kemudian diekskresikan bersama urin.2'3 Dengan demikian hal tidak normal tersebut berhubungan dengan pemecahan eritrosit, uptake akan menyebabkan kenaikan bilirubin indirek. Bilirubin indirek kemudian terkonjugasi menjadi direk dan dikeluarkan bersama dengan empedu melalui membran hepatosit, saluran empedu intrahepatal dan ekstrahepatal dan dikeluarkan de duodenum. Apabila ada gangguan transpor terjadilah suatu keadaan hiperbili rubinemia direk /kDlEstasis. ..
lkterus pada bayi memerlukan perhatian khusus karena berbeda dengan ikterus yang terjadi pada anak dan dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara produksi bilirubin dengan kemampuan ekskresinya. Bayi (terutama prematur) memproduksi bilirubin lebih banyak per kilogram berat badan dibanding orang dewasa karena massa eritositnya lebih besar dan umur
U
KK
Go
strohe potolo
g
i DAI I
eritrositnya lebih pendek.a Selain itu, pada bayi sedang terjadi proses maturasi organ (dalam hal ini hati) sehingga kema m pua n u ntuk mengkonj ugasika n bi lirubi n terbatas.s Umumnya bayi tidak tampak ikterus pada saat lahir. Hal ini disebabkan karena kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetal. Namun beberapa hari kemudian, akan terjadi peningkatan kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dL) pada sebagian besar bayi.6 Secara klinis ikterus terlihat
apabila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL. lkterus terlihat bermula dari kulit wajah lalu berkembang ke arah ekstremitas bawah sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin. Menurut Kramer (1969), didapatkan kadar bilirubin serum a-8 mg/dL apabila ikterus terlihat pada kulit kepala dan leher, 5-l2mgldL pada kulittubuh di atas pusat, S-16 mg/dL pada kulittubuh di bawah pusat dan paha, 11-18 mg/dL pada lengan dan tungkai, >15 mg/dL pada telapak tangan dan telapak kaki.
7
lkterus pada bayi harus dibedakan apakah itu ikterus fisiologis atau patologis. lkterus dikatakan fisiologis apabila kadar bilirubin serum < 12 mgldL pada bayi cukup bulan serta < 15 mg/dL pada bayi prematur pada minggu pertama kehidupan. Dikatakan patologis apabilal'8 : " 1.. lkterus timbul dalam 24 jam pertama setelah lahir 2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/dL dalam 24iam) 3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/dL pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dL pada bayi prematur pada minggu pertama kehidupan 4. lkterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih 5. Peningkatan bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin-tma bila kadar bilirubin total > 5mg/dL
U
KK
Go
stro-H e patolog i I DAI
ET!OLOGI
Penyebab hiperbilirubinemia pada bayi antara lain6 : 1,. Peningkatan produksi bilirubin, yaitu keadaan yang berhubungan dengan pemecahan eritrosit yang abnormal, sebagai contoh pada : o lnkompatibilitas golongan darah fetal-maternal
o o o
Polisitemia Abnormalitas sel darah merah (hemoglobinopati, defek enzim dan membran) Adanya darah ekstravaskuler di jaringan tubuh PERPUSTAKAAN 2. Ga.ngguan uptake bilirubin, sebagai contoh pada: B,rC. lLi\tU KESEIIATT,t{ AN,lK o Gagaljantungkongestif FK UNS / RSUD DR. I\{OO\,1AI{DI SUR.AKARTA o Obat-obatan seperti rifampisin, rifamisin, probenasid 3. Gangguan konjugasi bilirubin, sebagai contoh : o Sindrom Criggler-Najjar tipe L dan 2 o Sindrom Gilbert . Hipotiroidisme o Breast-milk jaundice 4.
Gangguan eksresi bilirubin, sebagai contoh
o o o o o o o
U
KK
Ga
Peningkatansirkulasi enterohepatik .Breast
fe,e4lg.,
lnborn error of metabolism Hormon dan obat-obatan Prematur Kolestasis
Obstruksi biliary tree
strohe potolog i DAI I
:
Kernikterus adalah konsekuensi neurologis akibat timbunan bilirubin indirek pada jaringan otak. Apabila kadar bilirubin indirek serum melebihi kemampuan pengikatan albumin, bilirubin yang tidak terikat albumin dapat menembus sawar darah otak. Toksisitas bilirubin sangat bervariasi, tergantung pada maturitas bayi serta adanya penyakit hemolitik. Dokter perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya kernikterus pada bayi sehat tanpa adanya penyakit hemolitik apabila kadar bilirubin melebihi 25 mg/dL, dan lebih dari20 mg/dL pada bayi dengan penyakit hemolitik.e'to Efektoksisitas bilirubin pada bayi dapat dibagi menjadi, yaitu :
-
Awal : letargi, hipotonia, high-pitched cry Lanjut : iritabilitas, opistotonus, kejang, apnea, hipertonia, demam Kronik : palsi serebral, displasia gigi, retardasi mental ringan
U KK G a
stro-He p ato log i I DAI
EVALUASI PADA BAYI DENGAN IKTERUS Beyi ikhrus umocl d;
bruh
+
umbililqs
i*l
Ubr kodcr brlirubl*
-'-i\--
d*F
ild@q fuiologi!
,ffJ::;-,_,
r'"irg*"3"u*, Fedl mbongh* urlut marqufucg p**gufu roc bi{irulio }oicl
_.J',ffi:;;:.* T::m:{ls
C@hb 3, c'€lsgoc Coch]
---*-
s . T* Cmbi {+} t1 fu:
I*
+{
lsoinqni#r
Cmmb':
(.}
Fsnts Hb don ilt
:-&-
-Ph
-;ib
nrwsi F:: -
tl
fic*dah
&* ffil
pdisaanic kib:u rultLuiewif frrtometornl ------=-
tmrtei
'P*F'Y*Yl No"ifi-&{"{odor;&ogsi -" - hipoblo inkuutcdn
*i
qihwit
h: - pminghofo*.sid+lori
-
.
-{-
Abmml
*--*'""* "nhohtprik " Epr mohbol'k tt'toolpcsilik - iKffi dm qb&ls&ql"a . &rh chsireltulcr di'firinsw I tsbuh fu; -cbnmol;1e sihuit - trw*c1*b,aryctl " dctrEi;fl5i a#im ' -hsxdlcir "
Diuanc#ik
] DK
-s&ffi$trb - EiiF*ciiwie
'Siemiq*ilmi*
-fiknsit$i3
tee
Gambar 2. Salah Satu Metode Pendekatan untuk Evaluasi Bayi dengan lkterus6
U KK G ?
ostro-He pato log i I DAI
Tahap paling penting dalam tatalaksana ikterus pada bayi adalah menentukan penyebab primernya. Tanpa memandang penyebab ikterusnya, perhatian ditujukan terhadap kemungkinan terjadinya kernikterus pada hiperbilirubinemia indirek. Pada keadaan ini sebaiknya dihindari pemberian zal-zat yang dapat mengikat albumin dan menggantikan ikatan albumin dengan bilirubin. Obat yang telah lama dikenal dapat menggantikan ikatan bilirubin - albumin adalah sulfonamid. Kemudian muncul obat lain seperti seftriakson yang dikatakan sangat kuat menggeser ikatan bilirubin dan sebagai pencetus terjadi nya kerni kterus. Hiperbilirubinemia direk bukan merupakan suatu proses fisiologis, sehingga apabila terjadi hal ini menandakan adanya suatu proses patologis. Meskipun demikian, tidak seperti bilirubin indirek, hiperbilirubinemia direk tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel otak bayi.e Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin (bilirubin indirek) meliputi fototerapi, transfusi tukar, induksi enzim, serta interupsi sirkulasi enterohepatik.6 Fototera pi
Fototerapi menggunakan cahaya berpanjang gelombang biru untuk mengubah bilirubin indirek di kulit. Bilirubin diubah menjadi fotoisomer yang larut dalam air yang dapat diekskresi oleh kandung empedu dan ginjal tanpa dikonjugasi. Keputusan untuk melakukan fototerapi didasarkan pada umur bayi dan kadar serum bilirubin{otal.10
U KK Go
stro-
Hep
otolo g i I DAI
Tabel 1. Manajemen Hiperbilirubinemia pada bayi Cukup Bulan Sehat Berdasarkan Kadar Serum 10 Bilirubin Total/ SBT (mg/dl) Umur
Perimbangkan Fototerapi '
324 jam" 25-48 jam
49-72iam >72iam
Fototerapi
Trasfusi Tukar Jika Fototerapi
Trasfusi Tukar dan Fototerapi
lntensif Gasalb
lntensif
>1_2
>15
>20
>25
>15
>18
>25
>30
>17
>20
>25
>30
u
Fototerapi pada kondisi ini merupakan pilihan dimana diberikan apabila tersedia fasilitas dan tergantung pada penilaian klinis individu. b Fototerapi intensif harus dapat menurunkan kadar SBT L-2 mgldLdalam 4-6 jam dan kadar SBT harus terus turun sampai menetap
di bawah kadar indikasi untuk transfusi tukar. Apabila hal ini tidak terjadi, maka
dinyatakan.
sebagai kegagalan fototerapi.
'
Bayi cukup bulan yang secara klinis terlihat ikterus pada usia 324 jam tidak temasuk dalam kategori sehat
sehingga membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Satu-satunya kontraindikasi dilakukan fototerapi adalah hiperbilirubinemia direk, seperti yang terjadi pada kolestasis dan penyakit hati, karena akan menyebabkan terjadinya perubahan warna kulit menjadi coklat keabu-abua n (baby bronze syndrome).e Fototerapi dapat'ditrentikan apabila kadar SBT sudah <15 mg/dL. Apabila kadar SBT masih tetap tinggi setelah dilakukan fototerapi intensif maka harus dilakukan transfusi tukar.10 Transfusi Tukar Transfusi tukar merupakan rnetode paling cepat untuk menurunkan kadar bilirubin serum. Akan tetapi, metode ini jarang digunakan apabila fototerapi intensif sudah efektif.l0'11'12
U
KK
Ga
stroh
e potolog
i I DAI
@
#ffi**.Er$ffi{e-ilfi e&flq"S&&
MODUL B KOLESTASIS PADA BAYI
1b U
KK
G
ostro-He potologi I DAI
DEFINISI
Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya sekresi berbagai substansi yang seharusnya disekresikan ke dalam duodenum, sehingga menyebabkan tertahannya bahan-bahan atau substansi tesebut di dalam hati dan menimbulkan kerusakan hepatosit.13 Parameter yang paling banyak digunakan adalah kadar bilirubin direk serum > L mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > Smg/d1.8 Dengan demikian letak gangguannya dapat terjadi di duktus biliaris intrahepatal ataupun duktus biliaris ekstrahepatal. Secara klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik, dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.
Kolestasis bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu sindroma yang etiologinya bemacam-macam mulai dari pembentukan empedu di hepatosit, transport keluar dari hepatosit, saluran empedu intrahepatik dan saluran empedu ekstrahepatik sampai muara keluarnya di duodenum. Oleh karena etiologinya yang bermacam-macam dan berat ringan dampak yang ditimbulkan juga bervariasi sedangkan manifestasi klinis awalnya sama, deteksi dini adanya kolestasis pada bayi sangat penting untuk selanjutnya segera dicari etiologinya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada prognosis. Sebagai contoh, atresia biliaris yang tidak segera mendapatkan intervensi maka prognosisnya menjadi kurang baik karena peniffi.iln,an zaf-zat toksik yang terus menerus akan berdampak pada terjadinya sirosis biliaris.
LL U
KK
Go
st roh
e
potolo
g
i I DAI
EPIDEMIOLOGI
Secara umum insidensi kolestasis kurang lebih 1:2500 kelahiran hidup. Meskipun penyebab kolestasis sangat beragam, atresia biliaris ekstrahepatik telah diidentifikasi sebagai penyebab tersering (lebih dari 33%).14ls ETIOLOGI
Etiologi koiestasis dibagi menjadi 2yaitura'LG
:
1.. EKSTRAHEPATIK:Suatu keadaan yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran empedu ekstrahepatik baik total maupun parsial o Atresia biliaris ekstrahepatik: Suatu obstruksi total duktus biliaris ekstrahepatal o Kista duktus koledokus: Dilatasi dari suatu segmen dukus biliaris ekstrahepatal o Stenosis duktus biliaris: Obstruksi parsial duktus biliaris ekstrahepatal . Sludge dan batu atau kolelitiasis: Adanya suatu penumpukan endapan2 pada duktus biliaris ekstrahepatal, misalnya sebagai akibat dari proses hemolitik yang berlebihan
2.
INTRAHEPATIK: Gangguan yang terjadi pada tingkat hepatosit ataupun elemen duktus biliaris yang ada di dalam hati atau intrahepatal. Penyebab-penyebab penting yang pernah dilaporkan antara lain: o lnfeksi !r-:!i:+j - bakteri :sepsis, ISK - virus : rubella, CMV, herpes simpleks, virus hepatotropik - parasit : toksoplasma o Metabolik - gangguan metabolisme karbohidrat : Galaktosemia, Fruktosemia, Gycogen Storage Diseose type lV
L2 U
KK
Go
st ro-
He
pato log i I DAI
W - gangguan metabolisme asam amino - gangguan metabolisme lipid - gangguan endokrin
- gangguan metabolik lain
Tirosinemia, Hipermetioninemia Penyakit Niemann-Pick, Penyakit Wolman, Penyakit Gaucher Hipotiroidisme, H ipopituita risme Defisiensi alfa-L-antitripsin, Sindrom Alagille, Progressive Familial lntrahepatic Cholestosis (PIFC),
cystic fibrosis
o Toksik
- obat-obatan - nutrisi parenteral total o Genetik / Kromosomal - Trisomi 18 - Trisomi 2l-
o Penyakit Caroli o Hepatitis neonata! idiopatik
13 U KK G
astrohe potologi ! DAI
....:l:..:,:.::t:l:::.::...1..:.1,1.,,,t,,,t,,,,,,,,,t,,,,,,,,,i 1.,i,:',:,::,.:::,.::,,,,1,1
EVALUASI BAYI DENGAN KOLESTASIS (SESUAI KONDIS! RS KEBANYAKAN Dl INDONESIA): DALAM HAL INIYANG DIHILANGKAN ADALAH SKINTIGRAFI DAN BIOPSI HATI) Kolestasls pada bavi
Kriteria kolestasls, apabila:
Bilirubin direk > 1 mg/dL pada bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total pada kadar bilirubin total > 5mg/dL, feses akolik, urin seperti teh I
Y Tesakkan
, * .i. a
/ sinskirkan Atresia Biliaris
Klinls : keadaan umum tampak baik, berat badan lahir cukup, lebih sering bayi perempuan Warna feses akolik terus menerus atau pemeriksaan sterkobilin negatif berturut-turut Pemeriksaan bioklmiawi hati; transaminase, GGT, test fungsi hati USG (Level of Evidence l): a Melihat kontraksi kandung empedu: USG dilakukan 2 kali. Yang pertama dalam keadaan puasa 1.2 jam dan yang kedua 2 jam setelah minum susu ) dilihat apakah ada perbedaan ukuran untuk menyimpulkan ada
t , .i. t
tidaknya kontraksi Melihat Triangular Cord Sign Menyingkirkan kelainan anatomis lain seperti kista duktus koledokus Skintigrafi lLevel of Evidence ll : uptoke isotop oleh hepatosit normal tetapi ekskresinya tertunda atau tidak diekskresi sama sekali Biopsi hati (Level of Evidence ll: gambaran fibrosis vena porta dengan proliferasi duktus biliaris
I KESIMPULAN
Kecurigaan Atresia Biliaris
"/\
(negatif)
Kecurigaan Atresia Bilaris (positif)
Lacak etiologi lain (t-ihtt halaman selanjutnya) Kolangiografi*rntraoperatif (Levet
of
Evidence l)
(sekaligus wedge biopsyl
Langkah ini dapat dikerjakan bersama dengan pemeriksaan yang lain,yaitu:
L4 uKKGastro-Hepatotogi lDAl
ANAMNESIS: hasil anamnesis diharapkan dapat menjadi pemandu pencarian etiologi dan kolestasis. Hal-hal yang sering ditanyakan adalah sbb:
o
faktor risiko
Riwayat kehamilan dan kelahiran: riwayat obsteri ibu (infeksi TORCH, hepatitis B, dan infeksi lain), berat badan lahir (pada infeksi biasanya didapatkan Kecil Masa Kehamilan sedangkan pada atresia biliaris biasanya didapatkan Sesuai Masa kehamilan), infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral Riwayat keluarga: bila saudara kandung pasien ada yang menderita penyakit serupa maka kem ungkinan besar merupa kan suatu kelaina n geneti k/metabol ik Risiko hepatitis virus hepatotropik, paparan terhadap toksin / obat-obatan
o o
PEMERIKSAAN FISIK: untuk mencari etiologi atau ada tidaknya komplikasi kolestasis
o o
o o
o o U KK Go
Fasies dismorfik : pada Sindrom Alagille Mata : - Katarak : pada infeksiTORCH - Choreoretinitis: pada infeksi TORCH - Posterior embryotoxon : pada Sindrom Alagille Thoraks : bising jantung ) pada Sindrom Alagille, atresia biliaris Abdomen : - Hepar ) mengetahui apakah sudah terjadi sirosis : hepatomegali atau sudah mengecil, konsistensiteayal ata.u sudah mengeras, permukaan masih licin atau sudah berbenjolbenjol - Lien ) pelacakan hipertensi portal atau mencari kemungkinan infeksi - Asites ) gangguan sintesis albumin - Vena kolateral ) pelacakan hipertensi portal Kulit : ikterus, spider angioma, eritema palmaris, edema ) sudah terjadi sirosis Lain-lain
stro
h e
:
Phimosis
potolog i I DAI
)
kemungkinan ISK
Jari tabuh, asteriksis, foetor hepatikucus
)
sudah terjadi sirosis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1)
Pemeriksaa n Tes hati
La
boratoriu m
o
Transaminase Transaminase serum, alanine ominotransferose (ALT) dan ospartat aminotransferase (AST) merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik. AST dijumpai dalam kadar yang tinggi pada berbagai jaringan, antara lain hati, otot jantung, otot skelet, ginjal, pankreas, dan sel darah merah. Apabila ada kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar dijaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan dengan kadar di hati.17 c Gammo-glutamyltransferase(GGT) GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae, dan intestinum dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya 18 ti d a k s pes if i k m e ng i n d i(;s-ife ri a d a rtya pe nya kit h ati. Pada bayi baru lahir dapat dijumpai kadar GGT yang sangat tinggi, lima sampai delapan kali lebih tinggi dari batas atas kadar normal pada orang dewasa. Pada bayi prematur, kadar GGT dapat lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan pada minggu pertama kehidupan. Kemudian secara perlahan akan turun, baik pada bayi prematur maupun cukup bulan dan mencapai kadar normal orang dewasa pada usia 6-9 bulan.17 L6 U KK G a
stro-H e patolo
g
i DAI I
Apabila dibandingkan dengan tes serum yang lain, GGT merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada obstruksi hepatobilier, tetapi pada kolestasis intrahepatik (contohnya pada Sindrom Alagille) dapat dijumpai kadar ekstrem yang sangat tinggi. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan diantara keduanya.lT Tabel 2. Referensi kadar norma! GGTIe Umur
Jenis Kelamin
U/L (persentil 2,597,5)
0-5 hari L-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun L0-11- tahun
L-P
34-263
L-P
6-19
L-P
10-22 L3-25 17-30
L-P L
L
t7-28 t7-44
P
1_4-25
L
1,2-33
P
12-13 tahun 1"4-15
tahun
16-19 tahun
P
L4-26
L
1.1.-34
P
L1_-28
Alkoline Phosphatose (AP) Alkoline Phosphatose dapat ditemukan pada hati, berasal dari membran kanalikular; pada tulang, dari osteoblas; pada intestinum, dari brush border enterosit; dan pada ginjal, dari tubulus proksimal. Peningkatan serum AP terjadi pada kolestasis, baik intrahepatik maupun ekstrahepatik. o
L7 U
KK
G
ostro he poto I og i I DAI
Namun peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat membedakan antara keduanya. Obstruksi biliaris terjadi pada lebih dari 90% pasien dewasa yang mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari dua kali nilai normal dan lebih dari75% pasien dengan peningkatan kadar lebih dari empat kali nilai normal. Meskipun demikian, lebih dari 20% pasien dewasa dengan hepatitis viral tanpa obstruksi ekstrahepatik mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari empat kali nilai normal. Pada anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang, terjadi peningkatan serum AP yang disebabkan oleh influks isoenzim di tulang ke dalam serum. Maka dari itu, penggunaan kadar serum AP dalam penilaian penyakit hati pada anak (terutama pada remaja yang sedang dalam pertumbuhan aktif) kurang bermakna.lT
2)
Tes fungsi hati: untuk melihat keadaan awal saat penderita datang ke temapt kita o Albumin Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di retikulum endoplasma hepatosit dengan half-life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi utarnanya adalah untuk mempertbhankan tekanan koloid osmotik intravaskular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen dalam serL,m, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar albumin serum digunakan sebagai indikator utama kapasitas sintesis yang masih tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki holf-life yang panjang, kadar albumin serum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati kronis.
Pada pasien dengan asites, penurunan kadar albumin lebih disebabkan karena terjadi peningkatan volume distribusi dibanding penurunan sintesis. Penyebab hipoalbuminemia non-hepatik lainnya adalah malnutrisi serta kehilangan yang berlebihan dari urin (pada nefrosis) dan usus (pada p
rote i n-losi n g e nte ro p ath
i
e
s).17'2o
18 UKK G
ostro-
H e pato I og
i DAI I
Tabel 3. Referensi kadar albumin serum normal pada anak21 Albumin 1-3 bulan 4-6 bulan 7-72 bulan 13-24 bulan 25-36 bulan 3-8 tahun 9-16 tahun
o
s.ldt
+1 SD
3.41
o.72 0.36 0.60
3.46 3.62 3.63 4.L14.O
4.25
0.80 o.78 0.65 o.70
Lipid dan LipoProtein
Hati merupakan tempat sintesis dan metabolisme utama lipid dan lipoprotein sehingga apabila terdapat gangguan pada hati akan terjadi abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta munculnya lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu sehat (contohnya Lipoprotein X). peningkatan kadar kolesterol bebas dan fosfolipid yang ekstrem terjadi pada penyakit hati dengqn gejala kolestasis, contohnya pada Sindrom Alagille. Hal ini disertai dengan munculnya LDLyang abnormal, yaitu Lipoprotein X (Lp-X),17
o
Faktor Koagulasi Hati memiliki 3 peranan dalam mengontrol koagulasi, yaitu : - Produksi semua faktor koagulasi kecuali faktor von Willebrand - produksi dan pemecahan faktor integral menjadi fibrinolisis, seperti plasminogen dan a ktivatdi B'i53m i nogen - Cleoronce faktor pembekuan dari sirkulasi Sintesis faktor ll, Vll, lX, dan X tergantung pada suplai vitamin K, suatu vitamin larut lemak yang mungkin tidak diabsorbsi dengan baik pada pasien kolestasis, yang adekuat. Vitamin K berperan sebagai kofaktor dalam kaskade homeostasis. Karena kapasitas penyimpanan vitamin K di hati sangat terbatas, maka apabila terjadi gangguan absorbsi maka PT dan PTT akan meningkat.lT 19 lJ KK Ga strohe potolog i I DAI
3)
Tes untuk pelacakan etiologi o Darah : darah rutin, kultur ) mencari kemungkinan infeksi kadar T4 dan TSH serum, a-1- antitripsin serum, asam amino, laktat, amonia mencari kemungkinan kelainan metabolik o Urin : urinalisis, kultur ) mencari kemungkinan ISK
)
USG Abdomen
USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna pada evaluasi awal kolestasis pada bayi. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh batu maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau kistik pada sistem bilier.22'23
Pada saat puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa"kandung empedu dapat tidak terlihat. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini USG setelah minum tidak diperlukan lagi. Pada keadaan lain dapat terlihat kandung empedu kecil saat puasa dan setelah minum ukuran kandung empedu tidak berubah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan aliran empedu dari kandung eihFiEdu'melewati duktus koledokus komunis ke duodenum.
Tanda "triangular cord" yaitu ditemukan adanya densitas ekogenik triangular atau tubular di kranial bifurcatio vena porta sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya atresia biliaris (sensitivitas 93%, spesifisitas 96%).24
20 U
KK
G
ostro-H e pato log i DAI I
t::,:::'
----
"""'
Skintigrafi hepatobi lier Skintigrafi hepatobilier menggunakan isotop yang dilabel Technetium berguna dalam membantu membedakan antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain. Pemeriksaan ini sangat sensitif terhadap atresia biliaris tetapi spesifisitasnya rendah karena pada kolestasis intrahepatal ekskresi isotop dapat pula tertunda (sensitivitas 93%, spesifisitas 4O%).23 Pada atresia biliaris uptake isotop oleh hepatosit normal tetapi ekskresinya tertunda atau tidak diekskresi sama sekali. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik uptake isotop oleh hepatosit tertunda tetapi ekskresinya normal. Premedikasi dengan phenobarbital (5 mg/keBB/hari selama 5 hari) dapat meningkatkan sensitivitas karena phenobarbital diketahui dapat menstimulasi enzim-enzim hati dan meningkatkan aliran empedu.2s
Biopsi hati
Biopsi hati perkutan merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi kolestasis pada bayi (sensitivitas LOO%., spesifisitas g5%).23 Pada atresia biliaris dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug, portal trock edema, dan fibrosis. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik dapat ditemukan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal. Selain itu dapat pula ditemukan badan inklusi virus yang menunjukkan adanya infeksi CMV atau herpes simpleks.16
Kolangiografi Kolangiografi merupq!.1n. prosedur yang tidak secara rutin direkomendasikan pada bayi dengan kolestasis karena sulit dilakukan dan"berbahaya namun memiliki akurasi yang tinggi (g8%1, dengan sensitifitas 1,00% dan spesifisitas 96% dalam penegakan diagnosis atresia biliaris.26 Metode ini menggunakan agen paramagnetik negatif untuk menekan cairan yang ada di usus sehingga visualisasi duktus pankreatobilier dapat terlihat jelas.
27 U
KK
Go
strohe poto log i I DAI
ll':lr"rl:. :ll'll
::r:
KOMPLIKASI PRURITUS
Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya meliputi seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan ekstensor ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus superior memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme terjadinya pruritus masih belum diketahui secara pasti. Deposit garam empedu di kulit diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung. Namun sudah dibuktikan bahwa teori ini tidak benar. Sebagai tambahan, hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan pru ritus.
Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan hati sehingga terjadi pelepasan substansi yang bersifat pruritogenik (misalnya histamin). Akumulasi opioid endogen, yang diketahui dapat memodulasi pruritus dan meningkatkan tbnus opioidergik di otak, saat ini sedang menjadi perhatian karena antagonis opioid telah dibuktikan dapat mengurangi pruritus pada kolestasis.ls H
IPERLIPI DEMIA DAN XANTOMA
Hiperlipidemia dan Xanthoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kolestasis intrahepatik (contohnya Sindrom Alagille). Pada kolestasis terjadi gangguan aliran empedu yang akan menyebabkan meningkatnyi-aEd'br lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia (kolesterol serum mencapai L000-2000 mg/dL). Hal ini akan menyebabkan terdepositnya kolesterol di kulit, membran mukosa, dan arteri. Risiko atherosklerosis pada anak dengan kolestasis kronis tidak diketahui, tetapi hiperkolesterolemia berat pada Sindrom Alagille diketahui berhubungan dengan penumpukan lipid di ginjal yang menyebabkan gagal ginjal dan penumpukan plak aterom di aorta dalam 16 beberapa tahun pertama kehidupan. 22 U
KK
G
ostro-
He
poto
I
og
i DAI I
SIROSIS DAN GAGAL HATI
Sirosis dan gagal hati dapat tejadi pada pasien yang mengalami keterlambatan diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
TATALAKSANA 1-.
KAUSAL
Terapi spesifik pada kolestasis bergantung pada penyebabnya. Operasi Kasai dan transplantasi hati dapat dilakukan pada atresia biliaris. 2. SUPORTIF
Apabila tidak ada terapi spesifik maka dilakukan terapi suportif yang bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin serta meminimalkan akibat komplikasi kolestasis. Terapi suportif pada kolestasis meliputi : a. Medikamentosa o Asam ursodeoksikolat Umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang disebabkan karena kolestasis, kolestasis yang disebabkan karena nutrisi parenteral, dan atresia biliaris. Asam ursodeoksikolat merupakan asam empedu hidrofilik yang bekerja pada bile pool dengan menggantikan asam empedu hidrofobik serta meningkatkan aliran empedu.
Rifampin berfungsi menghambat uptoke asam empedu oleh hepatosit serta menstimulasi pelepasan enzim-enzim hepar. o Kolestiramin Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Selain itu kolestiramin dapat menurunkan 23 U
KK
G a stro h e potolo g
i DAI I
umpan balik negatif ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic ocia y"ngberperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia. o Phenobarbital Phenobarbital dapat meningkatkan aliran asam empedu, meningkatkan sintesis asam empedu, menstimulasi pelepasan enzim-enzim hepar, sehingga dapat menurunkan kadar asam empedu dalam sirkulasi. Akan tetapi phenobarbital dapat menyebabkan sedasi dan gangguan perilaku sehingga penggu naa nnya terbatas.la'16
b.
utrisi Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. - intake kalori dan protein yang cukup ' kebutuhan kalori umumnya dapat mecapai 1,25% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal . kebutuhan protein :2-3 gr/kgBB/hari ' sebagai tambahan dapat diberikan lemak rantai sedang (medium chain triglyceride) ) karena tidak memerlukqnpelarutan oleh garam empedu sebelum diabsorbsi usus - suplementasi vitamin yang larut dalam lemak Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorbsi vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E, K). Untuk mencegah komplikasi akibat defisiensi vitamin-vitamin tersebut perlu diberikan suplementasi oral. Suplementasi tetap diberikan minimal sampai 3 bulan bebas ikterus. 1a'16 N
24 U
KK
Go
stro-
He
poto I og i DAI I
Tabel4. Manajemen nutrisi dan obat-obatan pra, Obat
Dosis
Asam ursodeokslkolat Rifampin
L0
-20
1,0
mg/kg/hari
Phenobarbita
3-10 mg/kglhari
Kolestira
I
ms./ke/hari
0,25-O,5
m in
grlkg/hari
tol"r.r;;;
Efek Samping Diare, Hepatotoksik Hepatotoksik, lntera ksi obat
Defisiensi
Sedatif, Gangguan perilaku
Konstipasi, Steatorrhea, Asidosis metabolik
hiperkloremik Vitamin A (Aquasol A)
Vitamin
5000
-
25.000 lUlhari
Hiperkalsemia, Nefrokalsinosis
D
Choleca lcife ro
Hepatotoksik, Hlperkalsemia
I
Vitamin E Vitamin K (Phytonad ione)
3-5 mcg/kg/hari
Defisiensi vitamin K, Diare
2,5-5 mg/hari
Buta senja, Xerofta lmia, Keratomalacia Ricketsia, Osteomalacia
Degenerasi
neuromuskuler Koagulopati
PER,PUSTAKAAN B,rG. ILNIU KESEHATAI{ ANAK
-FX UI\S/ RSUD DR.I}IOEW\RDI S U RAKAR.TA
25 U
KK Go strohe po to I oq i I DAI
Pembahasan berikut adalah keadaan-keadaan yang sering dilumpai difunOrng darir
L. 2.
ETIOLOGI
MASALAH SEHARI-HARIYANG SER!NG DIJUMPAI
Atresia Biliaris
Atresia biliaris merupakan penyebab tersering kolestasis pada bayi, dengan prevalensi berkisar antara 1:8000 (di Asia) - 1:18.000 (di Eropa) kelahiran hidup, ditandai dengan obstruksi total aliran empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau keseluruhan duktus biliaris ekstrahepatik yang terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan. Atresia biliaris juga merupakan penyebab tersering.kematian karena penyakit hati dan indikasi utama transplantasi hati pada anak (lebih dari50% kasus). 16'2' Penyebab atresia biliaris sampai sekarang masih belum diketahui. Adanya proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya destruksi duktus biliaris ekstrahepatik memunculkan kemungkinan " infeksi sebagai penyebab atresia biliaris. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara atresia biliaris dengan infeksi virus seperti Rotavirus C, CMV, rubella, Reovirus tipe 3, namun sampai sekarang belum dapat dibuktikan sebagai penyebab atresia biliaris. lmaturitas sistem imun dan faktor genetik diduga berperan dalam patogenesis penyakit ini.28'2e Ada 2 tipe atresia biliaris2e 1, Tipe perinatal atau isolated biliary atresio Terjadi pada-Is-SO% kasus. Proses obstruksi terjadi setelah lahir. Gejala klinis muncul pada umur 2-4 minggu kehidupan. Tidak disertai dengan kelainan kongenital lain. 2. Tipe embrionik atau fetal Terjadi pada 1-0-35% kasus. Proses obstruksi terjadi sejak dalam kandungan (in utero). Gejala klinis kolestasis muncul segera setelah lahir, tanpa periode bebas ikterus. Biasanya disertai dengan kelainan kongenital lain (10-20%), yaitu sindrom polispenia (situs inversus, poli- atau :
26 IJKKGastro-Hepotologi
lDAl
asplenia, malformasi kardiovaskular, anomali posisi vena porta dan malrotasi intestinum). Menurut anatomis atresia biliaris ada 3 tipe16 : o tipe l- : Atresia duktus biliaris komunis, segmen proksimal paten o tipe 2 :Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus biliaris komunis, duktus sistikus, dan vesica velea normal) o tipe 3 :Obliterasi pada semua sistem duktus bilier ekstrahepatik sampai ke hilus Gambaran Klinis Atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi perempuan, lahir dengan berat lahir normal dan cukup bulan, serta pertumbuhan normal pada awal terjadinya penyakit. Terdapat ikterus berkepanjangan, feses akolik, dan apabila sudah lanjut dapat dijumpai gagal tumbuh, pruritus, dan koagulopati. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Splenomegaii, ascites dan tandatanda sirosis lain dapat ditemukan apabila penyakit sudah sampaitahap lanjut. 16'27 Eva I uasi
Pendekatan sistematis terhadap bayi dengan ikterus berkepanjangan dapat membantu menegakkan diagnosis atresia biliaris pada tahap awal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma USG abdomen menunjukkan kdndung empedu yang kecil atau tidak ada sama sekali. Adanya tanda Triongulor Cord (area ekogenik di porta hepatis) sangat sensitif menunjukkan adanya atresia bilier.
Apabila USG belum dapat menegakkan diagnosis, dapat dilakukan skintigrafi hepatobilier untuk melihat patensi duktus biliaris ekstrahepatal. Ekskresi isotop ke dalam duodenum menyingkirkan diagnosis atresia bilier.
27 U KK G a
stro he potolog i I DAI
Apabila pemeriksaan radiologis belum dapat menegakkan diagnosis, biopsi hati perkutan dapat menegakkan diagnosis pada 94-97% kasus. Gambaran klasik yang dapat ditemukan adalah proliferasi duktus bilier, bile plug, portal track edemo, dan fibrosis. Biopsi hati yang dilakukan pada awal terjadinya penyakit (umur kurang dari 6 minggu) kadang belum dapat menegakkan diagnosis sehingga harus dilakukan biopsi ulang. Apabila semua pemeriksaan di atas belum dapat menegakkan diagnosis, harus d i la ku ka n la pa rotomi eksplorasi dan kola ngiografi intraoperatif .16'2e Manaiemen
Terapi optimal pada pasien dengan atresia bilier sebelum usia 1,2 minggu adalah Kasai portoenterostomi, dimana dilakukan anastomosis antara roux-en-Y loop jejunum dengan hilum hati setelah dilakukan pembuangan jaringan fibrotik. Apabila portoenterostomi dilakukan sebelum usia 8 minggu, drainase empedu dari hati ke intestinum tejadi pada 70-80% pasien, yang menyebabkan peningkatan pigmentasi feses dan hilangnya ikterus,40-50% pasien apabila dilakukan sebelum antara usia 8-12 minggu, 25% pasien apabila dilakukan setelah usia 12 minggu, dan !O-20% pasien apabila dilakukan setelah usia 16 minggu.'*''0 Transplantasi hati diindikasikan pada pasien atresia biliaris yang tidak dapat menjalani portoenterostomi karena keterlambatan diagnosis, pada pasien yang gagal dengan portoenterostomi, serta pada pasien dengan sirosis yang sudah tidak dapat dikompensasi. Survivol jangka panjang setelah transplantasi hati pada atresia biliaris mencapai BO-gO%.2e Komplikasi
1. 2.
Komplikasi post-operasi dibagi menjadi 22e : Komplikasi segera:kolangitis, perdarahan, kebocoran dari anastomosis, dan obstruksi intestinal komplikasi lanjut:kolangitis rekuren, hipertensi portal, ascites, sindrom hepato-pulmonal, dan sirosis hati
28 t
l I
ep
atolo g i t DAI
Kolongitis Kolangitis merupakan komplikasi tersering yang terjadi dalam 2 tahun pertama setelah operasi Kasai pada 30-60% kasus.31 Etiologi kolangitis sampai sekarang belum jelas, namun diduga karena infeksi oscending dari usus karena adanya hubungan antara usus dengan traktus biliaris. Keparahan dapat bervariasi mulai dari infeksi ringan sampai sepsis fulminan. Secara klinis dapat dijumpai demam atau hipotermia, muntah, ikterus, hepatosplenomegali, nyeri / distensi abdomen, dan feses akolik. Diagnosis ditegakkan dengan kultur darah dan atau biopsi hati.16,2s,31 Terapi meliputi pemberian cairan intravena, antibiotik spektrum luas, (serta steroid dosis tinggi di beberapa center) selama 7-10 hari.31 Hipertensi Portol lnsidensi hipertensi portal sekitar 75% setelah operasi Kasai dan berhubungan dengan fibrosis hati. Pada studi terkini ditemukan bahwa peningkatan tekanan porta (yang diukur pada saat operasi Kasai) menunjukkan prognosis yang buruk. Hipertensi porta dapat menyebabkan terbentuknya vbrises di esofagus, gaster, Roux loop, dan atau rektum. Pada pasien dengan fungsi hati baik dapat dilakukan
skeroterapi atau ligasi endoskopik untuk menangani varises. Namun pada pasien dengan ikterus persisten dan fungsi hati yang buruk transplantasi hati merupakan satu-satunya terapi yang dapat memberikan harapan. 31 Si
nd ro
m
H e poto-P u
I
mono I
Sindrom hepato-pulmonal ditandai dengan adanya hipoksia, sianosis, dispneu, dan jari tabuh akibat adanya shunting arteri-vena pulmonal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan skintigrafi pulmonal.3l Kegonoson
Beberapa keganasan yang dilaporkan pada pasien atresia biliaris dengan sirosis hati antara lain karsinoma hepatoseluler, hepatoblastoma, dan kolangiokarsinoma.3l
U
KK
Go
stro he potolog i I DAI
Faktor Prognostik Faktor yang mempengaruhi prognosis setelah operasi Kasai antara lain l. Umur saat dilakukan oPerasi ll. PengalamanoPerator lll. Adanya kerusakan hati sebelumnya lV. Lokasi terjadinYa atresia V. Frekuensiterjadinya kolangitis Vl. Pasien dengan sindrom
:
Sindrom Alasille
Sindrom Alagille (SA) merupakan penyebab tersering kolestasis intrahepatal familial yang diwariskan secara dominan autosom.la'" Pada sindrom ini terjadi mutasi gen Jagged 1 (JAG1l pada kromosom 2OpI2. lnsidensinya 1:100,000 kelahiran hidup. Kolestasis yang terjadi pada SA terjadi akibat portal ketiadaan atau berkurangnya duktus biliaris intrahepatal (bile duct paucity). Rasio duktus biliaris : spoce norrnal pada bayi cukup bulan berkisar antara 0,9-1,,8. Disebut bile duct paucity apabila rasionya kurang dari 0,9. Duktus biliaris terbentuk normal, akan tetapi akan hilang secara progresif dengan 32 mekanisme yang belum diketahui.
o o
Kriteria mayor SA antara lain32 : Kolestasis kronis (ditemukan padagL% pasien) Fasiesyang khas (dahi lebar, dagu lancip, saddle nose,mata menjorok ke dalam ditemukan pada 95% pasien. Gambaran ini sulit dikenali pada saat lahir, tetapi akan jelas terlihat jelas seiring dengan bertambahnYa usia)
30 L)KK
Gostro-HePotologi tDAl
. o
o
Anomali skeletal (vertebra bentuk kupu-kupu ditemukan pada 33-87% pasien) Anomali kardiovaskular. Murmur merupakan manifestasi kelainan jantung tersering pada SA, yang disebabkan karena adanya stenosis arteri pulmonal perifer. Stenosis arteri pulmonal perifer dapat disertai dengan kelainan struktural jantung. 24% daii 92 pasien dengan SA mengalami kelainan struktural jantung. Kelainan kongenital yang paling sering terjadi adalah Tetrology of Fallot (TOF), yang terjadi pada 7-11% kasus. Sekitar 40% pasien SA dengan TOF mengalami atresia pulmonal. Kelainan kardiovaskular lain yang dapat dijumpai pada SA antara lain trunkus arteriosus, defek septum ventrikel, koarktasio aorta, duktus arteriosus paten dengan atau tanpa stenosis pulmo perifer
Abnormalitas mata. Embriotokson posterior terjadi pada 56-95% pasien dengan SA. Embriotokson posterior adalah suatu defek kongenital dimana terdapat cincin Schwalbe di terletak di tengah pertemuan antara epitel kornea dan trabeculor meshwork
Diagnosis SA ditegakkan apabila minimal terdapat 3 dari 5 tanda mayor di atas. SA dapat pula disertai kelainan ginjal (pada 40-50% pasien dengan SA), retardasi mental (pada 2% pasien dengan SA), gangguan petumbuhan dan perkembangan (pada 50-87% pasien dengan SA akibat malnutrisi), serta insufisiensi pa nkreas. Tata la ksa n a
Tatalaksana umumnya suportif dengan terapi nutrisi dan terapi untuk mengatasi komplikasi kolestasis kronis. Transplantasi hati kadang diperlukan pada 21--3L% pasien.50% pasien yang didiagnosis pada saat bayi memerlukan transplantasi pada umur 19 tahun. lndikasi transplantasi hati antara Iain disfungsi hati, hipertensi porta yang tidak dapat diatasi, fraktur, gangguan pertumbuhan, dan pruritus.32
31 U
KK
Ga
strohe poto log i I DAI
lstilah idiopatik digunakan pada kasus-kasus yang sembuh sebelum usia l tahun. Hepatitis neonatal idiopatik merupakan diagnosis terakhir yang digunakan apabila penyebab lain tidak diketahui. lnsidensinya 1:4800-9000 kelahiran hidup. Akan tetapi, dengan semakin majunya proses diagnostik, insidensinya semakin berkurang dalam dua dekade terakhir ini. 1a Secara klinis biasanya terdapat pada bayi laki-laki, berat lahir rendah, dengan keadaan umum tampak sakit. lkterus umumnya muncul pada minggu pertama kehidupan. Tidak didapatkan feses akolik kecuali pada kolestasis berat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali dengan konsistensi kenyal. Bilirubin dan transaminase serum sedikit meningkat. Gambaran patologi khas yang ditemukan pada biopsi hati adalah pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler foka
l.1a'16
Ma najemen bersifat suportif.
Kolestasis densan CMV
Atresia Biliaris dan infeksi CMV CMV yang dapat menginvasi epitel duktus biliaris, diduga merupakan salah satu penyebab atresia biliaris. Suatu studi di Swedia menunjukkan suatu prevalensi adanya anti-CMV pada ibu dengan bayi teinfeksi CMV serta DNA-CMV ditemukan pada hati 9 dari 18 bayi dengan atresia biliaris. Akan tetapi, pada studi lain menunjukkan bahwa pemeriksaan DNA-CMV menunjukkan hasil negatif. Hepatitis Neonatal dan infeksi CMV lnfeksi CMV dapat ditularkan secara transplasenta (pada saat lahir) atau postnatal dari sekret yangterinfeksi (saliva atau ASI), atau daritransfusi darah. CMV merupakan infeksi kongenitaltersering di negara maju, terjadi pada 0,5-1,3% kelahiran hidup. Kurang lebih 20% anak usia kurang dari 15 tahun 32 U KK G o
stro-|7
e poto
log i I DAI
dan 50-60% individu usia kurang dari 30 tahun diketahui terinfeksi oleh Clvtv. Veskipun demikian, hanya sekitar 1O % yang menimbulkan gejala, sedangkan sisanya asimtomatik. Gambaran klinis pada infeksi
CMV
ini antara lain berat lahir
rendah, mikrosefali, kalsifikasi periventrikuler, korioretinitis,
trombositopenia, purpura, tuli, serta retardasi psikomotor. Hepatbsplenomegali dan hiperbilirubinemia direk sering terjadi pada infeksi CMV kongenital. Diagnosis infeksi CMV ditegakkan dari kultur nasofaring, saliva, dan urin. Tes serologi juga berguna pada diagnosis infeksi CMV. lgM antibodi spesifik CMV dapat digunakan untuk monitoring. Terapi pada infeksi CMV yaitu dengan pemberian suatu antivirus (Ganciclovir) dan imonoglobulin CMV intravena.
Infeksi Saluran Kencine (lSK)
Infeksi bakteri pada bayi dengan gejala ikterus sering berhubungan dengan traktus urinarius. Umumnya keadaan ini muncul antara usia 2-8 minggu setelah lahir, jarang disertai demam atau gejala pada traktus urinarius. Sering didapatkan riwayat letargi, iritabilitas, kesulitan makan, serta pada kondisi tertentu dapat dijumpai vomitus atau diare. Bayi laki-laki lebih sering terkena dibanding bayi perempuan. Abnormalitas anatomis traktus urinarius jarang terjadi. Hepatomegali sering terjadi. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya hiperbilirubinmia direk, kadar aminotransferase sedikit meningkat, serta leukositosis dengan peningkatan sel polimorfonuklear. Urinalisis menunjukkan adanya piuria, sedangkan kultur urin menunjukkan adanya E. Coli.
Terapi terdiri dari pemberian antibiotik yang sesuai untuk menurunkan .morbiditas dan mortalitas. Perbaikan ikterus dapat tertunda walaupun eradikasi bakteri telah berhasil karena terjadi pembentuka n konjugat bil irubin-protein di serum.28,32
33 U
KK
G
ostro
h e poto
logi I DAI
DAFTAR PUSTAKA
L. 2. 3. 4. 5. 6.
Gourley GR. Jaundice. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-2. Philadelphia:Saunders; 1999.h 88-102. Rosenthal P, Sinatra F. Jaundice in lnfancy. Pediatric Rev 1989; 1,1,:79-86. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs 2006; 20: \03-7. Brouillard R. Measurement of red blood cell life-span. JAMA 1974;230:1304-5. Halamek LP, Stevenson DK. Neonataljaundice and liver disease. ln: Fanaroff AA, Martin RJ, eds. Neonatalperinatal medicine: diseases of the fetus and infant.6th ed. Vol.2. St. Louis: Mosby-Year Book, 1.997:L345-89. Gourley GR. Neonatal Jaundice and Disorders of Bilirubin Metabolism. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 1871.94.
7. 8. 9.
Kramer Ll. Advancement of Dermal lcterus in The Jaundiced Newborn. Am J Dis Child 1969; 1,!8:454-458. NASPGHN..
The Neonatal Cholestasis Clinical Practice Guidelines. Website 2007 Diunduh dari:
URL:
www. naspgh n.sub/positionpa pers.asp Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. ln: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 1"6th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:5LL-28.
10. American Academy of Pediatrics Provisional Committee for Quality lmprovement and Subcommittee on
Hyperbilirubinemia. Practice Parameter: Management of Hyperbilirubinemia in the Healthy Term Newborn. Pediatrics D9a;9a@ pt 1):558-65. 11. Jackson JC. Adverse Events Associated with Exchange Transfusion in Healthy and lll Newborns. Pediatrics 1997;99:E7.
l-2. Brown AK, Kim MH, Wu YK, Bryla DA. Efficacy of Phototherapy in Prevention and Management of Neonata I Hyperbil iru bi nemia. Pediatrics 1985;7 5(2pt 2) :393-400. 1-3. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. ln: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri W, eds. Liver Disease in Children. 3rd ed. New York: Cambridge University Press; 2007. 14. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev 2004; 25: 388-396 i
,i l'
34 U
KK
G
astro-
Hep
oto I og i I DAI
'illi.ll
15. NASPGHN. Guideline for the Evaluation of Cholestatic Jaunciice in lnfants: Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J of Ped Gastroenterol and Nutr 2004; 39: LL5-1.28. 16. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For 2005; 2:27-34. 17' Batres LA, Maller ES. Laboratory Assessment of Liver Function and lnjury in Children. Dalam: Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 200L. 155-169. 18. Penn.R, Worthington DJ. ls Serum Gamma-Glutamyl Transferasea misleading Test? BMJ 1983; 286: 53135.
19. Lockitch G, Halstead AC, Albersheim S, et al. Age and Sex Specific Pediatric Reference lntervals for Biochemistry Analyses as Measured with Ektachem-700 Analyser. Clin Chem 1988; 34: 1.622-25. 20. Rothschild MA, Oratz M, Schreiber SS. Serum Albumin. Hepatology 1988; 8: 385-401. 2l-. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology. Chicago: Year Book Medical, 1990:31. 22. Park WH, Choi SO, Lee HJ, et al: A new Diagnostic Approach to Biliary Atresia with Emphasis on the Ultrasonographic Triangular Cord Sign: Comparison of Ultrasonography, Hepatobiliary Scintigraphy, and Liver Needle Biopsy in the Evaluation of lnfantile Cholestasis. J Pediatr Surg 1997; 32:1555-59. 23. KotbMA,KotbA,ShebaMF,etal: EvaluationoftheTriangularCordSignintheDiagnosisof BiliaryAtresia. Ped iatrics 2001.; 1,08:416-20.
24. Kanegawa K, Akasaka Y, Kitamura E, et al: Sonographic Diagnosis of Biliary Atresia in Pediatric Patients Using the "Triangular Cord" Sign Versus Gallbladder Length and Contraction. AJR; 181:1387-90. 25. Lin EC, Kuni CC. Radionuclide imaging of hepatic and biliary disease. Semin Liver Dis 2001,;21.:179-1-94. 26. Han SJ, Kim MJ, Han A, Chung KS, Yoon CS, Kim D, et al: Magnetic Resonance Cholangiography for the Diagnosis of Biliary Atresia. J Pediatr Surg 2002;37:599-604. 27. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ, et al: Biliary Atresia. Pediatr in Rev 2006;27:243-48. 28. Balistreri W, Bove K, Rykman F. Biliary Atresia and other Disorder of Extrahepatic Bile Ducts. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 253-27 4. 29. Sokol RJ, Mack C, Narkewickz MR, et al: Pathogenesis and Outcome of BiliaryAtresia: Current Concepts. J ii of Peadiatr Gastroenterol and Nutr 2003; 27:4-21,. l'
'35
UKK Gostrohepatologi lDAl
re 30. Ohi R. Biliary atresia. A surgical perspective . Clin Liver Dis 2OOO;4:779-804. 31. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13:49-56. 32. Piccoli DA. Alagille Syndrome. Dalam: Suchy F, Sokbl R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Phil ladelphia : Lippi ncot William&Wil kins; 2001. 327 -?42.
PERPUSTAKAAN
B,rG. lLl\'lU KESEHATAN ANAK FK UNS/ RSUD DR. MOOWARDI SU
RAKARTA
35 U
KK
G
ostro-H e patolog i I DAI