TRAUMA THORAX
Oleh
Muhammad Ma’ruf Agung, Agung , S.Ked Dwitissa Novaria, S.Ked
04054821820143 04054821820143 04054821820
Pembimbing
dr. Gama Satria, SpB-SpB TKV
DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2018
HALAMAN PENGESAHAN Judul Referat
Trauma Thorax
Oleh:
Muhammad Ma’ruf Agung, Agung, S.Ked Dwitissa N, S.Ked
04054821820085
04054821820
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 26 Maret 2018 s.d 28 Mei 2018.
Palembang, 23 Maret 2018 Pembimbing,
dr. Gama Satria, SpB-SpB TKV
ii
HALAMAN PENGESAHAN Judul Referat
Trauma Thorax
Oleh:
Muhammad Ma’ruf Agung, Agung, S.Ked Dwitissa N, S.Ked
04054821820085
04054821820
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 26 Maret 2018 s.d 28 Mei 2018.
Palembang, 23 Maret 2018 Pembimbing,
dr. Gama Satria, SpB-SpB TKV
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya referat yang berjudul “Empyema “Empyema dan chest tube” tube” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Terima kasih kepada dr. Gama Satria, SpB-SpB TKV yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan referat ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan referat ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga referat ini bermanfaat bagi pembacanya.
Palembang, 19 Maret 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................... ........................ 2 2.1 Anatomi dan Fisiologi ................................................................................ 2
2.1.1 Paru...................................................................................................... 2 2.1.2 Cavum Thoraks ................................ ................................................... 4 2.1.3 Pleura ................................................. .................................................. 5 2.2 Empiema ................................ ..................................................................... 7
2.2.1 Definisi ................................................................................................ 7 2.2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 7 2.2.3 Etiologi ............................................................................................... 8 2.2.4 Patofisiologi ................................................................ ........................ 8 2.2.5 Klasifikasi .......................................................... ................................. 8 2.2.6 Diagnosis ................................................... .......................................... 9 2.2.7 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 9 2.2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium ..................................................... 9 2.2.7.2 Radiografi .............................................. ............................... 10 2.2.8 Tatalaksana ................................................ ........................................ 11 2.3 Chest Tube ................................................ .................................................. 8
2.3.1 Fungsi dan Tujuan ............................................................................ 13 2.3.2 Teknik Pemasangan ................................................... ...................... 14 2.3.3 Cara Kerja .......................................................... ............................... 18 2.3.3.1 Sistem Satu Botol.................................................................. 18
iv
2.3.3.2 Sistem Dua Botol .................................................................. 19 2.3.3.3 Sistem Tiga Botol .................................................... ............. 20 2.3.4 Indikasi .............................................................................................. 21 2.3.5 Kontraindikasi ................................................................................... 21 2.3.6 Komplikasi ........................................................................................ 22 2.3.7 Evaluasi dan Pelepasan Chest Tube .................................................. 23 BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA .................................................. ........................................ 26
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Empiema adalah keadaan dijumpainya nanah di dalam rongga pleura. Penyebabnya beragam, antara lain infeksi paru (pneumonia, tuberculosis), abses paru pecah, hingga infeksi sekunder pascabedah dan pascatrauma.1 Komplikasi empiema terjadi pada 10-20 % pasien yang sebelumnya mengalami pneu monia. Empiema dapat mengenai semua kelompok usia, jenis kelamin dan etnis dan lebih dari 65.000 pasien menderita infeksi pleura setiap tahun di Inggris dan Amerika Serikat.2 Kejadian infeksi pleura diketahui semakin meningkat. Infeksi pleura paling sering terjadi pada anak-anak dan populasi tua. Studi pada 4424 pasien dengan infeksi pleura dan mengamati peningkatan insidensi sebesar 2,8% per tahun. Di Skotlandia, insiden dari empiema meningkat 10 kali pada anak-anak usia 1 – 4 tahun sejak 1998, dengan laporan serupa dari Amerika Serikat, Kanada dan Eropa, dan begitu juga pada orang dewasa. Angka kematian dari empiema tinggi dan berkisar antara 6% – 24%.3 Gejala empiema biasanya nonspesifik dan dapat bersifat akut atau kronik. Sebagian besar pasien mempunyai keluhan sesak napas, demam, batuk dan atau nyeri dada. Namun, beberapa pasien empyema hanya mengalami penurunan berat badan, kelelahan, dan malaise. Tube thoracostomy merupakan salah satu prosedur bedah yang sering dilaku kan pada bedah thorak.4 Prosedur ini sering juga dikenal dengan sebutan Bülau drain atau intercostal catheter .5 Prosedur ini dilakukan dengan cara memasukkan selang (chest tube) melalui dinding dada ke dalam rongga dada, dan merupakan salah satu tatalaksana dari empyema.4 Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang klinisi dalam menguasai patofisiologi dan gejala-gejala yang terjadi sehingga dapat memanajemen pasien dengan chest tube secara tepat, termasuk kapan sebaiknya chest tube harus dilepas.6
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi 2.1.1 Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem kapiler. Paru terdiri atas 3 lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus – lobusnya antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan, yakni disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus – lobus paru kanan terdapat dua fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.
Gambar 1. Anatomi paru kanan dan kiri
2
3
Gambar 2. Vaskularisasi Paru
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot – otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan n egatif yang terdapat di dalam cavum pleura.7
Gambar 3. Alveolus
4
2.1.2 Cavum thoraks
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari trauma fisik.
Gambar 4. Cavum Thorax Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior.7
5
Gambar 5. Musculus dan Vaskularisasi Thorax
2.1.3 Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.
6
Gambar 6. Pleura
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura.7
7
2.2 Empiema 2.2.1 Definisi
Empiema adalah keadaan dijumpainya nanah di dalam rongga pleura. Penyebabnya beragam, antara lain infeksi paru, abses paru pecah, hingga infeksi sekunder pascabedah dan pascatrauma.1 Empiema didefinisikan oleh penampilannya; cairan sangat buram (opaq), kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi protein, debris seluler dan pengend apan fibrin. Empiema berkembang terutama akibat tertundanya pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi pleura progresif dan, jarangdari manajemen klinis yang tidak sesuai.8 2.2.2 Epidemiologi
Kejadian abses paru telah menurun drastis sejak adanya antibiotik. Angka kejadian empiema di Amerika Serikat sekarang ada 6 kasus dari 100.000.Pada tahun 1940-an, tingkat empiema telah menurun drastis dengan munculnya antibiotik, namun, dari tahun 1996 sampai 2008, tingkat empiris hampir dua kali lipat pada semua kelompok usia. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh pesatnya peningkatan resistensi antibiotik.9 Insiden empiema dilaporkan meningkat pada anak-anak di Inggris dan Amerika Utara. Analisis yang dilakukan terhadap 1349 kejadian empiema selama lebih dari 8 tahun di Inggris didapatkan insidensi meningkat pada saat usia 1-4 tahun.2 Di Skotlandia, insiden dari empiema meningkat 10 kali pada anak-anak usia 1 – 4 tahun sejak 1998, dengan laporan serupa dari Amerika Serikat, Kanada dan Eropa, dan begitu juga pada orang dewasa. Angka kematian dari empiema tinggi dan berkisar antara 6% – 24%.2 Pada orang dewasa, insiden empiema meningkat secara signifikan sebesar 1,2 kali lipat selama periode sembilan tahun antara 1995 dan 2003 dalam sebuah penelitian di Amerika Utara. Studi lain, dari Utah di Amerika Serikat, menunjukkan peningkatan kematian lebih dari enam kali lipat dari empiema selama periode 4 tahun antara tahun
8
2000 sampai 2004 bila dibandingkan dengan tingkat kematian dari empiema selama tahun 1950 sampai 1975.2 2.2.3 Etiologi
Etiologi penyebab empiema yang bukan disebabkan oleh bakteri non tuberkulus ada infeksi pulmonal (56%), pembedahan (22%), trauma (4%), perforasi esophagus (4%), komplikasi thoracosentesis (4%), infeksi subdiafragma (3%), pneumothorax spontan (1%), sepsis (1%), serta faktor lainnya (5%). 2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi empiema dapat terbagi menjadi 3 tahap yaitu a. Fase eksudatif, ketika terjadi akumulasi cairan di dalam rongga pleura akibat peningkatan permeabilitas pleura visceral akibat inflamasi dan infeksi. b. Fase fibrinopurulent, ketika cairan yang terakumulasi terisi sel- sel leuk osit, debris, fibroblast dan mulai terbentuknya jaringan- jaringan fibrin c. Fase kronik, ketika terbentuk deposisi fibrin yang membentuk lapisan-lapisan serta kapiler-kapiler, sehingga pada akhirnya terbentuk membrane ineleastik yang disebut pleural peel. Pada fase terakhir ini, terjadi pula retraksi membrane sehingga paru kolaps dan tidak dapat mengembang. 2.2.5 Klasifikasi
a. Empiema Akut Empiema pleura akut disebabkan oleh penyebab akut di paru atau luar paru. Pada tahap infeksi cairan tidak tampak sebagai pus tetapi berwarna jernih kuning atau kekuning-kuningan. Sering timbul endapan fibrin sehingga nanah sulit dikeluarkan. Dari anamnesis, didapati batuk yang tidak produktif pascainfeksi paru dan nyeri dada (kalau cairan belum banyak). Pada pemeriksaan fisik, penderita tampak sakit berat, pucat, sesak napas (dapat dijumpai nafas cuping hidung), fremitus vocal melemah, perkusi paru ditemukan daerah yang lebih redup, dan pada auskultasi dapat ditemukan penurunan suara napas.
9
b. Empiema Kronik Empiema disebut kronik bila paru sudah tidak mengempis lagi ketika rongga pleura dibuka atau ketika dibuat hubungan langsung dengan dunia luar. Umumnya, keadaan ini disebabkan oleh terbentuknya fibrin atau fibrosis yang merupakan pembungkus tebal dank eras yang disebut korteks empiema. Dari anamnesis dapat diketahu adanya penyakit yang sudah lama diderita seperti tuberculosis paru, bronkiektasis, abses hepar, abses paru atau kanker paru. Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum tidak baik, demam, gizi kurang, dada yang terkena lebih kecil, dan gerakan napas tertinggal baik pada inspirasi maupun ekspirasi. Pada palpasi fremitus vokal sering meninggi, tetapi kadang melemah. Perkusi terdengar redup sampai p ekak, tergantung keadaan fibrosisnya 2.2.6 Diagnosis
Pada anamnesis ditanyakan ada tidaknya penyakit yang sudah lama diderita, didapati batuk yang tidak produktif pascainfeksi paru atau bronkopneumonia dan n yeri dada. Pada pemeriksaan fisik, penderita tampak sakit berat, pucat, sesak napas (dapat dijumpai nafas cuping hidung), fremitus vocal melemah, perkusi paru ditemukan daerah yang lebih redup, dan pada auskultasi dapat ditemukan penurunan suara napas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan radiologi dan pungsi pus.
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang 2.2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium dilakukan dengan cara mengkultur sputum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui antibiotik yang akan diberikan. Selain itu pemberian antibiotic yang adekuat akan mengurangi komplikasi dari empiema. Diagnosis yang tepat merupakan hal yang sangat penting dari kasus empiema karena jika tatalaksana berupa pengeluaran nanah lambat dilakukan dapat meningkatkan resiko morbiditas. 2.2.7.2 Radiografi
10
Pemeriksaan radiografi digunakan untuk mendukung diagnosisa adanya cairandi pleura. Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana dilakukan adalah dengan foto Thorax PA.Pada pasien dengan abnormalitas isi cavum pleura akan menunjukkan gambaran – gambaran abnormal. Pada efusi pleura akan ditemukan lapangan cavum pleura yang paling rendah akan lebih opaque dikarenakan terisi oleh cairan yang akan turun ke tempat terendah sesuai dengan hukum gravitasi.
C
A B
Gambar 7. Efusi pleura masif pada paru kanan. (A) Gambaran luscens pada paru normal. (B) Gambaran opaque menunjukkan efusi pleura. (C) Gambaran luscen yang lebih sempit pada paru yang terdesak cairan efusi pleura Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah CT scan thorax dengan kon tras. Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan penunjang yang paling optimal untuk mendiagnosis empiema.CECT menunjukkan bentuk lentikular dengan penebalan dan
11
peningkatan lapisan pleura yang berdekatan. Split sign juga dapat terlihat yaitu pleura parietalis dan pleura visceral terlihat terpisah.
Gambar 8. “Split Pleura Sign” 2.2.8 Tatalaksana
Ada dua prinsip dasar untuk pengelolaan empiema toraks yaitu pemberian antibiotik untuk mengontrol infeksi dan drainase pus. a. Antibiotik Antibiotik harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi pleura dan jika mungkin harus didasarkan pada kultur cairan pleura dan uji sensitivitas. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pilihan antibiotik adalah kemampuan dari antibiotik menembus rongga pleura dan adanya gangguan ginjal atau hati.2 Antibiotik golongan β-Lactams digunakan untuk infeksi yang disebabkan S. pneumoniae dan S milleri.
12
Aminoglikosida harus dihindari karena memiliki penetrasi yang buruk ke rongga pleura dan mungkin tidak aktif jika terdapat asidosis cairan pleura. Pada infeksi yang didapat di komunitas, pengobatan dengan aminopenisilin (misalnya, amoxicillin) akan mencakup organisme seperti S pneumonia dan H influenzae, tapi penghambat β-laktamase seperti Co-amoxiclav atau metronidazol juga akan diberikan karena sering adanya aerob penisilin-resisten termasuk S aureus dan bakteri anaerobic.3 Untuk infeksi pleura dengan hasil kultur negatif, rejimen yang diusulkan oleh Pedoman British Thoracic Society adalah cefuroxime intravena 1,5 gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per 8 jam atau Benzil penisilin intravena 1.2 gram per 6 jam ditambah siprofloksasin 400 miligram per 12 jam atau meropenem intravena 1 gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per 8 jam untuk infeksi yang didapat di komunitas.2 Klindamisin memiliki penetrasi yang baik pada rongga pleura yang terinfeksi dan merupakan antimikroba yang memadai. Pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Klindamisin saja atau kombinasi dengan siprofloksasin atau sefalosporin. Kloramfenikol, karbapenem seperti meropenem, sefalosporin generasi ketiga dan penisilin antipseudomonas spektrum luas seperti piperasilin juga memiliki aktivitas anti anaerobik yang baik dan merupakan agen alternatif.3 Pada empiema yang didapat di rumah sakit, biasanya sekunder terhadap pneumonia nosokomial, trauma atau operasi, antibiotik harus dipilih untuk mengobati organisme aerob gram-positif dan gram-negatif dan anaerobik.Kultur negatif pada infeksi yang didapat di rumah sakit, pengobatan yang disarankan piperasilin intravena ditambah tazobactam 4.5 gram per 6 jam atau ceftazidime 2 gram per 8 jam atau meropenem 1 gram per 8 jam dimana metronidazol dapat ditambahkan pada dosis 500 miligram per 8 jam. b. Drainase Cairan Pleura Indikasi dilakukan drainase cairan pleura adalah cairan purulent, adanya organisme yang diidentifikasi oleh pewarnaan gram, cairan pleura terlokulasi,
13
kemajuan klinis yang buruk dengan antibiotik. Adapun tindakan yang meliputi drainase cairan yaitu: -
Drainase dengan chest tube
-
Thorasentesis
Thorasentesis melibatkan penempatan jarum atau tabung tipis ke dalam ruang pleura untuk mengeluarkan sebagian cairan. Jarum atau tabung dimasukkan melalui kulit, di antara tulang rusuk dan ke dada. Prosedur ini dilakukan untuk menarik cairan untuk dilakukan pengujian. -
Pembedahan
Banyak teknik bedah telah digunakan dalam pengobatan empiema termasuk debridemen
melalui
VATS
(video-assisted
thoracic
surgery),
dekortikasi,
thoracoplasty, dan thoracostomy terbuka. Pembedahan harus dipertimbangkan tanpa penundaan pada pasien yang gagal diterapi dengan antibiotik dan drainase selang dada, dan yang memiliki gejala infeksi persisten, demam, leukositosis dan peningkatan penanda inflamasi.
2.3 Chest tube 2.3.1 Fungsi dan Tujuan
Normalnya, paru-paru memiliki suatu lapisan yaitu pleura. Pleura terdiri dari dua macam, yaitu pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis melapisi dinding dada dan diafragma dari dalam, sedangkan pleura visceralis melapisi paru paru. Kedua lapisan ini membentuk suatu rongga (intrapleural space) yang berisi sekitar 50 mL cairan serosa, yang memungkinkan kedua lapisan tersebut meluncur satu sama lain tanpa adanya gesekan. Di dalam rongga pleura ini terbentuk suatu tekanan negatif yang dapat menyebabkan udara mengalir dari tekanan positif atmosfer masuk ke paru-paru. Saat inspirasi, tekanan di dalam rongga pleura menjadi semakin negatif saat masing-masing lapisan tertarik ke arah yang berbeda. Saat ekspirasi, tekanan di dalam rongga pleura dan rongga paru meningkat sampai melebihi tekanan atmosfer, sehingga udara dapat mengalir keluar dari paru-paru.
14
Chest tube digunakan saat tekanan negatif di dalam rongga paru mulai berubah menjadi bertekanan positif. Ketika udara atau cairan masuk ke dalam rongga pleura, paru-paru tidak dapat mengembang dengan sempurna. Chest tube digunakan untuk menyedot cairan dan udara di dalam rongga pleura dan mengembalikan fungsi paru paru agar dapat mengembang kembali dengan baik.6 Beberapa hal penting yang dijadikan target pemasangan chest tube yang adekuat adalah: 1. Cairan dan udara dapat dikeluarkan secepat mungkin 2. Mencegah cairan dan udara yang sudah disedot agar tidak kembali ke rongga pleura 3. Mengembalikan tekanan negatif di rongga pleura agar paru dapat mengembang kembali.5 Oleh karena itu, sistem drainase yang digunakan harus memenuhi beberapa kriteria berikut: 1. Memungkinkan cairan dan udara keluar dari paru 2. Mempunyai “katup satu arah ” untuk mencegah cairan dan udara kembali ke paru 3. Didesain agar sistem drainase berada di bawah level paru sehingga dapat memanfaatkan gaya gravitasi dalam proses drainase.5
2.3.2 Teknik Pemasangan
Selang chest tube berukuran 20 inchi ( six-foot ) agar pasien lebih leluasa jika harus bergeser dan bergerak, tanpa harus membebani chest tube. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah drainase tertarik kembali ke dalam paru-paru setelah napas yang dalam. Secara umum, ukuran diameter chest tube dikelompokkan berdasarkan usia pasien seperti yang dapat dilihat dari Tabel 2.1.
15
Tabel 2.1 Ukuran diameter selang berdasarkan usia
Tube size
Age of patient
8FR – 12FR
Infants, young children
16FR – 20FR
Children, young adults
24FR – 32FR
Most adult sizes
36FR – 40FR
Larger adult sizes
Tube thoracostomy merupakan prosedur invasif dan komplikasi dapat terjadi jika kita tidak mengetahui anatomi thoraks dan mempunyai pengalaman yang baik. Ada tiga metode yang digunakan dalam tube thoracostomy, yaitu teknik blunt dissection, teknik Seldinger, dan dengan menggunakan trocar. Tekn ik Seldinger dilakukan dengan cara memasukkan introducer needle, diikuti dengan guide wire, kemudian nantinya akan dilakukan dilatasi melalui guide wire. Jika ingin menggunakan trocar, kita harus berhati-hati agar tidak terjadi penetrasi paru-paru ataupun cedera pada organ thoraks lainnya.4,11 British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan “triangle of safety” sebagai daerah untuk insersi chest tube. Area ini ditandai oleh batas anterior musculus latissimus dorsi, batas lateral dari musculus pectoralis mayor, superior dari garis horizontal yang sejajar dengan puting, dan dengan apex di bawah axilla. Sebagian besar dokter bedah melakukan pemasangan chest tube pada ICS IV atau V pada anterior axillary atau mid-axillary line karena pada daerah ini, lapisan dalam otot intercostal tipis, kecuali pada bagian yang ada neurovascular bundles-nya. Untuk menghindari cedera pada neurovascular bundles, chest tube diinsersi sedikit di atas margin superior kosta di bawahnya. Pada keadaan pneumothorax letak apeks, daerah alternatif untuk pemasangan chest tube adalah pada ICS I dekat scapula.11
16
Gambar 9. Triangle of safety
Berikut langkah-langkah pemasangan chest tube dengan teknik blunt dissection: 1. Posisikan pasien supine atau 45o (menurunkan risiko elevasi diafragma dan malposisi chest tube ke rongga abdomen) dengan posisi tangan pada sisi yang akan dipasang chest tube diletakkan di belakang kepala (abduksi dan rotasi eksternal) 2. Tentukan daerah yang akan diinsisi 3. Lakukan tindakan septik dan antiseptik pada daerah pemasangan dengan menggunakan povidone iodine 10% 4. Persempit daerah pemasangan dengan doek steril 5. Injeksi anestesi lokal (Lidocaine 1-2%) pada daerah pemasangan 6. Lakukan insisi pada daerah yang telah ditentukan, sejajar dengan costa 7. Blunt dissection sampai ke pleura
17
8. Masukkan chest tube ke dalam rongga pleura dengan menggunakan klem arteri, kemudian lakukan fiksasi dengan jahitan dan ditutup dengan dressing transparan 9. Sambungkan chest tube dengan sistem drainase4,7,12
Gambar 10. Teknik pemasangan chest tube
Chest tube yang tepat masuk ke dalam rongga pleura dapat ditandai dengan hal berikut: 1. Ditemukan “ swing ” (naik turun) cairan pada chest drain 2. “Bubbling” pada cairan ketika pasien batuk 3. Keluarnya cairan dari rongga pleura 4. Chest drain berkabut ( fogs up)4
18
2.3.3 Cara Kerja 2.3.3.1 Sistem Satu Botol
Cara yang paling simpel dalam melakukan drainase di paru adalah dengan menggunakan satu botol yang dimasukkan selang dengan kedalaman 2 cm di bawah air, sedangkan yang satu lagi (selang pendek ) diletakkan di tutup botol (tidak ditenggelamkan di dalam air), sehingga memungkinkan udara keluar ke atmosfer. Selang yang berada di bawah air dihubungkan dengan chest tube, menciptakan suatu “katup satu arah” yang memungkinkan udara dan cairan keluar dari dalam paru, dan sebaliknya mencegah udara dan cairan masuk kembali ke dalam paru (water seal ). Udara yang keluar dari paru ditandai dengan gelembung udara yang terlihat di dalam air, dan selanjutnya udara akan keluar melalui selang yang lebih kecil.
Gambar 11. Sistem satu botol
Sistem satu botol merupakan kombinasi dari water seal dan fluid collection bottle. Jika cairan didrainase dari paru ke dalam botol, maka level air di dalam botol akan meningkat dan selang akan terendam air lebih dalam dari 2 cm. Semakin tinggi level air di dalam botol, semakin besar tekanan yang ada bagi udara di dalam paru untuk keluar melewati air di dalam botol. Secara teori, masalah tersebut dapat diatasi dengan cara mengeluarkan cairan yang didrainase.
19
Oleh karena itu, sistem drainase satu botol lebih efektif jika hanya digunakan untuk udara saja, seperti pada pneumothorax tanpa komplikasi.5,13
2.3.3.2 Sistem Dua Botol
Sistem drainase dua botol menutupi kekurangan dari sistem drainase satu botol. Botol pertama berfungsi sebagai penampung cairan yang didrainase, sedangkan botol yang kedua tidak akan terganggu dan berfungsi sebagai water seal yang berisi air dengan ketinggian tetap 2 cm. Dengan cara ini, proses drainase cairan dalam jumlah besar akan menjadi lebih efektif.
Gambar 12. Sistem dua botol
Sistem drainase satu botol maupun dua botol bergantung pada gaya gravitasi sehingga udara dan cairan dapat keluar dari dalam paru. Oleh karena itu, sistem drainase diletakkan di bawah level dada pasien agar bekerja efektif. Tetapi, ketika terjadi kebocoran udara yang besar ke dalam rongga pleura, drainase tidak akan cukup dilakukan hanya dengan bantuan gaya gravitasi, sehingga perlu dibantu dengan suction.5,13
20
2.3.3.3 Sistem Tiga Botol
Terkadang kita perlu memberikan tekanan negatif lebih ke dalam rongga pleura agar paru-paru dapat mengembang kembali, atau mempercepat pengeluaran udara dari dalam rongga pleura. Botol ketiga ini berfungsi untuk mengatur seberapa besar tekanan negatif yang dapat ditransmisikan ke dalam paru-paru ( suction control bottle). Hal ini berkaitan dengan seberapa dalam selang botol suction terendam dalam air, misalnya jika selang berada pada kedalaman 20 cm air, suction maksimum yang dapat diberikan pada pasien adalah -20cmH2O.
Gambar 13. Sistem tiga botol
Suction tidak selalu diperlukan. Jika suction diper1lukan untuk meningkatkan perbedaan tekanan antara rongga pleura dan sistem drainase, maka suction perlu diatur secara tepat untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terhadap pasien. Jika tekanan suction terlalu tinggi, komplikasi dapat terjadi misalnya seperti terbentuknya hematoma di distal selang, invaginasi jaringan ke dalam
lubang
selang,
kerusakan
jaringan,
dll.5,13
21
Gambar 14. Sistem drainase gabungan (disposable)
2.3.4 Indikasi
Beberapa indikasi pemasangan chest tube adalah: 1. Pneumothorax (open dan closed ) 2. Tension pneumothorax 3. Hemothorax 4. Hemopneumothorax 5. Chylothorax 6. Efusi pleura 7. Empyema 8. Akumulasi cairan dan udara post operasi, contohnya setelah bedah jantung atau thoracotomy.6,12
2.3.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut pemasangan chest tube hampir tidak ada, sedangkan untuk kontraindikasi relatif contohnya: 1. Penderita koagulopati atau sedang menggunakan antikoagulan 2. Infeksi pada daerah pemasangan 3. Hemothorax masif
22
4. Perlekatan pleura multipel 5. Emphysematous blebs 6. Pasien dengan distress napas berat Jika beberapa kondisi tersebut terjadi dan pasien stabil, kita dapat memikirkan dan menimbang-nimbang pemasangan chest tube jika dibandingkan dengan komplikasi yang dapat terjadi, dengan catatan bahwa pasien harus diberikan perhatian khusus.4,6,14
2.3.6 Komplikasi
Meskipun chest tube mempunyai manfaat yang besar dalam kasus bedah thoraks, beberapa komplikasi juga dapat ditemukan pada pemasangan chest tube yaitu secara teknis dan dapat berupa infekasi antara lain: 1. Malposisi chest tube 2. Drainase terhambat 3. Lepasnya chest tube 4. Reexpansion Pulmonary Edema (REPE) 5. Emfisema subkutan 6. Cedera saraf - Horner’s syndrome -
Cedera nervus phrenicus
-
Cedera long thoracic nerve
-
Ulnar neuropathy
7. Cedera jantung dan vaskuler -
Cedera jantung
-
Cedera arteri paru-paru
-
Oklusi arteri subklavia
-
Cedera arteri interkostalis dan arteriovenous fistula
8. Residual pneumothorax 9. Perforasi esophageal
23
10. Fistula - Bronchocutaneous - Pleurocutaneous 11. Rekurensi tumor pada tempat pemasangan 12. Cardiac Dysrhythmia 13. Herniasi bulla paru lewat tempat pemasangan 14. Chylothorax 15. Infeksi11
2.3.6 Evaluasi dan Pelepasan Chest Tube
Untuk evaluasi pemasangan chest tube, lakukan assessment paru berupa respiratory rate (RR), pernapasannya, suara napas, dan SpO2 setiap 2 jam sekali. Perhatikan daerah insersi dan drainase yang keluar, sistem drainase juga harus selalu terletak di bawah level paru-paru. Chest tube tidak boleh tersumbat atau bengkok. Harus diwaspadai jika drainase yang didapat dari paru-paru berjumlah >250 ml darah atau sekitar >500 ml cairan dalam waktu satu jam, atau jika > 1,5 liter cairan didrainase dalam waktu 24 jam. Terlalu banyak darah yang keluar menjadi indikasi bahwa harus dilakukan prosedur thoracotomy untuk memperbaiki pembuluh darah yang bermasalah. Indikasi pelepasan chest tube: 1. Cairan atau udara yang didrainase sedikit atau tidak ada lagi 2. Pernapasan dada simetris, bunyi napas bilateral 3. Pasien bernapas secara normal tanpa distress napas 4. Tidak ada bubbling pada water-seal chamber saat ekspirasi 5. Chest x-ray menunjukkan hasil yang bagus Saat pelepasan chest tube, paru-paru harus mengembang dengan sempurna, oleh karena itu pasien diminta untuk menahan napas dan melakukan maneuver Valsava (misalnya dengan cara ekhalasi dengan glottis tertutup) agar udara tidak masuk kembali ke dalam rongga pleura.6,15
24
Pada post pelepasan chest tube, chest x-ray harus dilakukan untuk mengetahui kondisi paru-paru pasien. Assesment kondisi dan keadaan klinis pasien, apabila kondisi pasien memburuk, lakukan lagi chest x-ray. Monitor tanda-tanda vital (HR, SpO2, RR, dan BP) dan setiap 1 jam selama 4 jam post pelepasan.12
BAB III KESIMPULAN Empiema adalah keadaan dijumpainya nanah di dalam rongga pleura dengan tampilan berupa cairan sangat buram (opaq), kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi protein, debris seluler dan pengendapan fibrin. Penyebabnya beragam, antara lain infeksi paru (pneumonia, tuberculosis), abses paru pecah, hingga infeksi sekunder pascabedah dan pascatrauma. Gejala empiema biasanya nonspesifik dan dapat bersifat akut atau kronik. Sebagian besar pasien mempunyai keluhan sesak napas, demam, batuk dan atau nyeri dada. Namun, beberapa pasien empyema hanya mengalami penurunan berat badan, kelelahan, dan malaise. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis empiema adalah dengan pemeriksaan radiologi yang meliputi rontgen thorax, ct scan dengan kontras serta pungsi pus. Tatalaksana empiema meliputi pemberian antibiotic sesuai kultur pus, drainase cairan dan pembedahan dapat dilakukan jika setelah drainase cairan dilakukan tetap tidak ada perbaikan, dengan catatan bahwa penggunaan chest tube untuk drainase cairan harus dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur, agar tidak terjadi komplikasi lainnya.
25
DAFTAR PUSTAKA 1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2014.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 4, Jakarta : EGC. 2. Ahmed, Ala Eldin H., and Tariq E. Yacoub. “Empyema Thoracis.” Clinical Medicine Insights. Circulatory, Respiratory and Pulmonary Medicine 4 (2010): 1 – 8. 3. Davies HE, Davies RJO, Davies CWH Management of pleural infection in adults: British Thoracic Society pleural disease guideline 2010 Thorax 2010;65:41-53. 4. Kuhajda, I, et al. Tube thoracostomy; chest tube implantation and follow up. Journal of Thoracic Disease. 2014 Oct. 6(4):470-479. 5. Zisis, C, et al. Chest drainage systems in use. Annals of Translational Medicine. 2015 Mar. 3(3):43. 6. Mohammed, H. Chest tube care in critically ill patient: A comprehensive review. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis. 2015 Oct. 64(4):849-855. 7. Masyhudi, A. N. F. 2014. Hubungan Jumlah Volume Drainase Water Sealed Drainage dengan Kejadian Edema Pulmonum Reekspansi pada Pasien Efusi Pleura Masif. Universitas Diponegoro: Media Medika Muda. 8. Sahn, SA. Diagnosis and Management of Parapneumonic Effusions and Empyema. Chicago Journal : Clinical Infectious Disease 2007:45. 9. Burgos J, Falco V, Pahissa A. The increasing incidence of empyema. Curr Opin Pulm Med . 2013 Jul. 19(4):350-6. 10. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease. European Respiratory Review 2010;19;117;220-228 11. Kesieme, E.B., et al. Tube Thoracostomy: Complications and Its Management. Pulmonary Medicine. 2011 Aug. 1155(2012):1-10 12. The Royal Children’s Hospital Melbourne. 2016. Chest Drain Management. Australia: Melbourne Children’s
26