LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
FISIOLOGI BIJI OSMOTIK PRIMING BIJI CABAI MENGGUNAKAN POLYETHILEN MENGGUNAKAN POLYETHILEN GLYCOL (PEG)
DISUSUN OLEH: RIZKY DIAH ARYANI
(11308144002)
MARI ARIANDA NDA GALI GALIH H SUBE SUBEKT KTII
(113 (11308 0814 1440 4010 10))
SARI ARI IND INDRI RI RONI ONI NUR NUR SENO SENO
(113 (11308 0814 1440 4021 21))
WULAN SHOFIANA
(11308144032)
PROGRAM STUDI BIOLOGI SWADANA JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012
HALAMAN PENGESAHAN FISIOLOGI BIJI OSMOTIK PRIMING BIJI CABAI MENGGUNAKAN POLYETHILEN MENGGUNAKAN POLYETHILEN GLYCOL (PEG) Oleh: Kelompok II Yogyakarta, 15 November 2012 Nama
NIM
Rizky Diah Aryani
11308144002
Marianda Galih Subekti
11308144010
Sari Indri Roni. N. S
11308144021
Wulan Shofiana
11308144032
Tanda Tangan
Diserahkan pada tanggal 20 November 2012 pukul 07.00
Mengetahui, Dosen Pembimbing/ Asisten
(…………………………….)
OSMOTIK PRIMING BIJI CABAI MENGGUNAKAN POLYETHILEN GLYCOL (PEG) I. TUJUAN
Mengetahui ………….
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BIJI Benih merupakan biji tanaman yang digunakan untuk tujuan pertanaman. Pada umumnya biji memiliki tiga bagian utama, yakni : 1.
lembaga (embrio).
2. cadangan makanan untuk pertumbuhan embrio. 3. pelindung biji, yakni kulit biji. 1. Lembaga (embrio) adalah jaringan bakal tumbuhan dari mana tumbuhan yang baru akan berkembang manakala kondisi lingkungannya sesuai. Lembaga ini memiliki satu helai daun lembaga (kotiledon) pada tetumbuhan berkeping satu (monokotil); dua helai daun lembaga pada hampir semua tetumbuhan berkeping dua (dikotil); dan dua atau lebih pada tetumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae). Selanjutnya lembaga juga memiliki calon akar yang disebut radikula dan calon tunas yang disebut plumula. Calon batang yang terletak di atas titik perlekatan daun lembaga disebut epikotil, dan yang terletak di bawahnya disebut hipokotil. 2. Cadangan makanan, yang diperlukan oleh tumbuhan baru ketika mulai tumbuh membesar. Bentuk nutrisi yang disimpan bervariasi tergantung pada jenis tumbuhan tersebut. Pada Angiospermae, cadangan ini bermula dari jaringan yang disebut endosperma, yang berasal dari tetumbuhan induk melalui proses pembuahan ganda. Endosperma yang biasanya triploid ini kaya akan minyak nabati atau zat pati dan protein. Pada Gymnospermae seperti halnya konifera, jaringan makanan cadangan ini berasal dari bagian gametofit betina, jadi bersifat haploid. Pada beberapa spesies, lembaga melekat pada
endosperma atau gametofit betina, yang cadangan makanannya kelak digunakan ketika lembaga berkecambah. Pada jenis-jenis yang lain, cadangan makanan pada endosperma telah diserap lembaga dalam tahap perkembangan biji, dan kemudian disimpan di dalam daun lembaga. Dalam kasus terakhir ini, biji yang telah masak tidak lagi memiliki endosperma dan disebut biji eksalbumina (exalbuminous seeds). 3. Kulit biji (testa) berkembang dari jaringan integumen yang semula mengitari ovula (bakal biji). Tatkala biji masak, kulit biji ini dapat setipis kertas (misalnya pada kacang tanah) atau tebal dan keras seperti pada kelapa. Kulit biji ini berguna untuk menjaga lembaga dari kekeringan dan kerusakan mekanis.
B. Perkecambahan Perkecambahan merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan embrio, dimana tahap awal perkembangan suatu tumbuhan, khususnya tumbuhan berbiji. Dalam tahap ini, embrio di dalam biji yang semula berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan ia berkembang menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai kecambah. Hasil perkecambahan ini adalah munculnya tumbuhan kecil dari dalam biji. Proses perkecambahan benih merupakan rangkaian komplek dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Protein, pati dan lipid setelah dirombak oleh enzim-enzim digunakan sebagai bahan penyusun pertumbuhan didaerah-daerah titik-titik tumbuh dan sebagai bahan bakar respirasi (Sutopo, 2002).
1. Macam Perkecambahan Berdasarkan
posisi
kotiledon
dalam
proses
perkecambahan
dikenal
perkecambahan hipogeal dan epigeal. Hipogeal adalah pertumbuhan memanjang dari epikotil yang meyebabkan plumula (daun lembaga) tertarik ke atas keluar menembus kulit biji dan muncul di atas tanah tetapi kotiledon relatif tetap posisinya di dalam tanah. Contoh tipe ini terjadi pada kacang kapri, kacang tanah dan jagung. Perkecambahan epigeal adalah apabila terjadi pembentangan ruas batang di bawah daun lembaga atau hipokotil sehingga mengakibatkan daun lembaga (plumula) dan kotiledon terangkat ke atas tanah. Perkecambahan tipe ini misalnya terjadi pada kacang hijau, biji buncis, dan biji jarak. a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan 1) Faktor Dalam (Faktor Internal) Faktor dalam yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain : a) Tingkat kemasakan benih Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas yang tinggi karena belum memiliki cadangan makanan yang cukup serta pembentukan embrio belum sempurna (Sutopo, 2002). Pada umumnya sewaktu kadar air biji menurun dengan cepat sekitar 20 persen, maka benih tersebut juga telah mencapai masak fisiologos atau masak fungsional dan pada saat itu benih mencapat berat kering maksimum, daya tumbuh maksimum (vigor) dan daya kecambah maksimum (viabilitas) atau dengan kata lain benih mempunyai mutu tertinggi (Kamil, 1979). b) Ukuran benih
Benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan yang lebih banyak dibandingkan dengan yang kecil pada jenis yang sama. Cadangan makanan yang terkandung dalam jaringan penyimpan digunakan sebagai sumber energi bagi embrio pada saat perkecambahan (Sutopo, 2002). Berat benih berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan dan produksi karena berat benih menentukan besarnya kecambah pada saat permulaan dan berat tanaman pada saat dipanen (Blackman, dalam Sutopo, 2002). 2) Faktor Luar Faktor luar utama yang mempengaruhi perkecambahan diantaranya: a) Air Penyerapan air oleh benih dipengaruhi oleh sifat benih itu sendiri terutama kulit pelindungnya dan jumlah air yang tersedia pada media di sekitarnya, sedangkan jumlah air yang diperlukan bervariasi tergantung kepada jenis benihnya, dan tingkat pengambilan air turut dipengaruhi oleh suhu (Sutopo, 2002). Perkembangan benih tidak akan dimulai bila air belum terserap masuk ke dalam benih hingga 80 sampai 90 persen (Darjadi,1972) dan umumnya dibutuhkan kadar air benih sekitar 30 sampai 55 persen (Kamil, 1979). Benih mempunyai kemampuan kecambah pada kisaran air tersedia. Pada kondisi media yang terlalu basah akan dapat menghambat aerasi dan merangsang timbulnya penyakit serta busuknya benih karena cendawan atau bakteri (Sutopo, 2002). Menurut Kamil (1979), kira-kira 70 persen berat protoplasma sel hidup terdiri dari air dan fungsi air antara lain:
•
Untuk melembabkan atau melunakkan kulit biji sehingga menjadi pecah atau robek agar terjadi pengembangan embrio dan endosperm.
•
Untuk memberikan fasilitas masuknya oksigen kedalam biji melalui dinding sel yang diimbibisi oleh air sehingga gas dapat masuk ke dalam sel secara difusi.
•
Untuk mengencerkan protoplasma sehingga dapat mengaktifkan sejumlah proses fisiologis dalam embrio seperti pencernaan, pernapasan, asimilasi dan pertumbuhan. Proses-proses tersebut tidak akan berjalan secara normal, apabila protoplasma tidak mengandung air yang cukup.
•
Sebagai alat transport larutan makanan dari endosperm atau kotiledon ke titik tumbuh, dimana akan terbentuk protoplasma baru.
b) Suhu Suhu merupakan syarat penting kedua bagi perkecambahan biji. Tetapi ini tidak bersifat mutlak sama seperti kebutuhan terhadap air untuk perkecambahan, dimana biji membutuhkan
suatu
level
“hydration
minimum”
yang
bersifat
khusus
untuk
perkecambahan. Dalam proses perkecambahan dikenal adanya tiga titik suhu kritis yang berbeda yang akan dialami oleh benih. Ketiga titik suhu kritis tersebut dikenal dengan istilah suhu cardinal yang terdiri atas: •
Suhu minimum Suhu terkecil dimana proses perkecambahan biji tidak akan terjadi selama periode
waktu perkecambahan. Bagi kebanyakan biji tanaman, kisaran suhu minimumnya antara 050C. Jika biji berada di tempat yang bersuhu rendah seperti itu, maka kemungkinan besar biji akan gagal berkecambah atau tetap tumbuh namun dalam keadaan y ang abnormal. •
Suhu optimum Suhu dimana kecepatan dan persentase biji yang berkecambah berada pada posisi
tertinggi selama proses perkecambahan berlangsung. Suhu ini merupakan suhu yang menguntungkan bagi berlangsungnya perkecambahan biji. Suhu optimum berkisar antara 26,5-350C. •
Suhu maksimum Suhu tertinggi dimana perkecambahan masih mungkin untuk berlangsung secara
normal. Suhu maksimum umumnya berkisar antara 30-400C. Suhu di atas maksimum biasanya mematikan biji karena keadaan tersebut menyebabkan mesin metabolism biji menjadi nonaktif sehingga biji menjadi busuk dan mati. Suhu optimal adalah yang paling menguntungkan berlangsungnya perkecambahan benih dimana presentase perkembangan tertinggi dapat dicapai yaitu pada kisaran suhu antara 26.5 sd 35°C (Sutopo, 2002). Suhu juga mempengaruhi kecepatan proses permulaan perkecambahan dan ditentukan oleh berbagai sifat lain yaitu sifat dormansi benih, cahaya dan zat tumbuh giberellin. c) Oksigen Faktor perkecambahan,
oksigen proses
berkaitan
dengan
respirasi
akan
proses
meningkat
respirasi.
Saat
disertai
dengan
berlangsungnya meningkatnya
pengambilan oksigen dan pelepasan CO2, air dan energi panas. Terbatasnya oksigen yang
dapat dipakai akan menghambat proses perkecambahan benih (Sutopo, 2002). Kebutuhan oksigen sebanding dengan laju respirasi dan dipengaruhi oleh suhu, mikro-organisme yang terdapat dalam benih (Kuswanto. 1996). Menurut Kamil (1979) umumnya benih akan berkecambah dalam udara yang mengandung 29% oksigen dan 0.03% CO2. Namun untuk benih yang dorman, perkecambahannya akan terjadi jika oksigen yang masuk ke dalam benih ditingkatkan sampai 80%, karena biasanya oksigen yang masuk ke embrio kurang dari 3%. d) Cahaya Pengaruh cahaya akan berkaitan langsung dengan lama penyinaran harian matahari (fotoperiodisitas). Hubungan antara pengaruh cahaya dan perkecambahan biji dikontrol suatu system pigmen yang dikenal sebagai fitokrom, yang tersusun dari chromophore dan protein. Chromophore adalah bagian yang peka terhadap cahaya. Fitokrom memiliki dua bentuk yang sifatnya reversible (bolak-balik) yaitu fitokrom merah yang mengabsorbsi sinar merah dan fitokrom infra merah yang mengabsorbsi sinar infra merah. Bila pada biji yang sedang berimbibisi diberikan cahaya merah, maka fitokrom merah akan berubah menjadi fitokrom infra merah, yang mana menimbulkan reaksi yang merangsang perkecambahan. Sebaliknya bila diberikan cahaya infra merah, fitokrom infra merah akan berubah menjadi fitokrom merah yang kemudian menimbulkan reaksi yang menghambat perkecambahan. Dalam keadaan tanpa cahaya, dengan adanya oksigen dan suhu yang rendah, proses perubahan itu akan berlangsung lambat. Pada keadaan di alam, cahaya merah mendominasi cahaya infra merah sehingga pigmen fitokrom diubah ke bentuk fitokrom infra merah yang aktif. Kebutuhan benih akan cahaya untuk perkecambahannya bervariasi tergantung pada jenis tanaman (Sutopo, 2002). Adapun besar pengaruh cahanya terhadap perkecambahan tergantung pada intensitas cahaya, kualitas cahaya, lamanya penyinaran (Kamil, 1979). Menurut Adriance and Brison dalam Sutopo (2002) pengaruh cahaya terhadap perkecambahan benih dapat dibagi atas 4 golongan yaitu golongan yang memerlukan cahaya mutlak, golongan yang memerlukan cahaya untuk mempercepat
perkecambahan,
golongan
dimana
cahaya
dapat
menghambat
perkecambahan, serta golongan dimana benih dapat berkecambah baik pada tempat gelap maupun ada cahaya. e) Medium
Medium yang baik untuk perkecambahan haruslah memiliki sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyerap air dan bebas dari organisme penyebab penyakit terutama cendawan (Sutopo, 2002). Pengujian viabilitas benih dapat digunakan media antara lain substrat kertas, pasir dan tanah. Pengaruh kondisi tanah sebagai medium perkecambahan disebabkan oleh faktor : •
Abiotik
- Sifat fisik tanah : aerasi, kapasitas memegang air, tekanan omosis - Kimia tanah :salin (kadar garam tinggi) adanya nitrat, nitrit •
Biotik
- Inhibitor tanah karena adanya aktivitas mikroorganisme,bahan organik (dekomposisi daun Eucalyptus, jerami padi) - eksudat yang dikeluarkan akar kecambah Caumarona oderata (caumarin). 2. Tahap-tahap Perkecambahan Tahapan perkecambahan dimulai dengan hidrasi atau imbibisi, dilanjutkan oleh pengaktifan enzim, inisiasi pertumbuhan embrio dan pertumbuhan kecambah berikutnya. Berikut ini rincian tahapan perkecambahan (Salisbury dan Ross, 1995): a. Hidrasi atau imbibisi Hidrasi atau imbibisi adalah masuknya air ke dalam embrio dan membasahi protein dan koloid cair. Air yang masuk ke dalam biji dapat berasal dari lingkungan di sekitar biji, baik dari tanah, udara (dalam bentuk embun atau uap air), maupun media lainnya. Imbibisi terjadi karena permukaan-permukaan struktur mikroskopik dalam sel tumbuhan, seperti selulosa, butir pati, protein, dan bahan lainnya yang dapat menarik dan memegang molekul-molekul air dengan gaya tarik antarmolekul. Proses penyerapan air tersebut terjadi melalui mikropil pada kotiledon. Air yang masuk ke dalam kotiledon menyebabkan volumenya bertambah, akibatnya kotiledon membengkak. Pembengkakan tersebut menyebabkan testa (kulit biji) menjadi pecah atau robek. Air berguna untuk mengencerkan protoplasma sehingga dapat meningkatkan sejumlah proses fisiologis dalam embrio, seperti pencernaan, pernapasan, asimilasi dan pertumbuhan. Air juga memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke dalam biji. Dinding sel yang kering hampir tidak permeable untuk gas, tetapi jika dinding sel diimbibisi oleh air, maka gas akan masuk ke dalam sel secara difusi. Suplai oksigen
meningkat kepada sel-sel hidup sehingga memungkinkan lebih aktifnya pernapasan. Karbondioksida yang dihasilkan oleh pernapasan tersebut lebih mudah berdifusi keluar (Akbar, et al ., 2010). b. Pembentukan atau pengaktifan enzim Pembentukan
atau
pengaktifan
enzim
menyebabkan
peningkatan
aktivitas
metabolik. Kehadiran air di dalam sel mengaktifkan sejumlah enzim perkecambahan awal. Enzim-enzim yang teraktivasi pada proses perkecambahan ini adalah enzim hidrolitik, seperti α-amilase (merombak amilase menjadi glukosa), ribonuklease (merombak ribonukleotida), endo-β-glukanase (merombak senyawa glukan), fosfatase (merombak senyawa yang mengandung P), lipase (merombak senyawa lipid), peptidase (merombak senyawa protein). Pengaktivan enzim dapat memicu perombakan cadangan makanan, yaitu katabolisme karbohidrat dan metabolisme lemak (Akbar, 2010). c. Inisiasi pertumbuhan embrio Setelah semua proses imbibisi, aktivitas enzim dan katabolisme cadangan makanan berlangsung, maka proses inisiasi pertumbuhan embrio dapat terjadi. Proses ini ditandai dengan meningkatnya bobot kering embryonic axis dan menurunnya bobot kering endosperma. Setelah itu, terjadi pemanjangan sel radikel dan diikuti munculnya radikula dari kulit biji (perkecambahan sebenarnya). Perubahan pengendalian enzim ini merangsang pembelahan sel di bagian yang aktif melakukan mitosis, seperti di bagian ujung radikula. Akibatnya ukuran radikula makin besar dan kulit atau cangkang biji terdesak dari dalam, yang pada akhirnya pecah. Pada tahap ini diperlukan prasyarat bahwa cangkang biji cukup lunak bagi embrio untuk dipecah. Selanjutnya pada radikel ini keluar akar-akar cabang (lateral roots), bersama-sama dengan akar primer membentuk sistem akar primer. Sistem akar primer biasanya hanya berfungsi sementara dan kemudian mati. Fungsi akar primer digantikan oleh akar-akar adventif yang keluar dari nodus batang yang pertama dan beberapa nodus di atasnya. Sistem akar adventif (akar serabut) yang menjamin kehidupan tanaman tersebut dalam penyerapan air dan bahan makanan dari tanah dan sebagai alat penambat pada tanah (Akbar, et al ., 2010). d. Pertumbuhan kecambah selanjutnya (pemantapan perkecambahan) Kecambah mulai mantap setelah menyerap air dan berfotosintesis (autotrof). Semula, ada masa transisi antara masih disuplai oleh cadangan makanan sampai mampu
autotrof. Saat autotrof dicapai, maka proses perkecambahan telah sempurna (makna agronomis) (Akbar, 2010). Selanjutnya muncul plumula (calon batang) dan diikuti pertumbuhan berikutnya. C. Dormansi Dormansi dapat dikatakan sebagai suatu fase dimana kulit biji dalam kondisi yang keras menghalangi penyerapan. Organisme hidup dapat memasuki keadaan tetap hidup meskipun tidak tumbuh selama jangka waktu yang lama, dan baru mulai tumbuh aktif bila kondisinya sudah sesuai. Kondisi penyimpanan selalu mempengaruhi daya hidup biji. Meningkatnya kelembaban biasanya mempercepat hilangnya daya hidup (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Werein & Phillips (1970), istilah yang mendekati pada arti dormansi adalah masa istirahat bagi suatu organ tanaman atau biji sebelum akhirnya tumbuh dan melewati fase vegetatifnya. Faktor-faktor yang menyebabkan dormansi pada biji adalah : 1.
Tidak sempurnanya embrio (rudimentary embryo),
2.
Embrio yang belum matang secara fisiologis (physiological immature embryo),
3.
Kulit biji yang tebal (tahan terhadap pergerakkan mekanis),
4.
Kulit biji impermeable (impermeable seed coat) dan Adanya zat penghambat (inhibitor) untuk perkecambahan (Abidin, 1987). Fase-fase yang terjadi dalam dormansi biji menurut Abidin (1987) adalah :
1. Fase induksi ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah hormon 2. Fase tertundanya metabolisme 3. Fase bertahanya embrio untuk berkecambah karena faktor lingkungan yang tidak menguntungkan 4. Perkecambahan, ditandai oleh meningkatnya hormon dan aktifitas enzim. Menurut Muhammad Salim Saleh (2004), pada dasarnya dormansi dapat diperpendek dengan berbagai perlakuan sebelum dikecambahkan, baik secara fisik, kimia dan biologi. Benih yang cepat berkecambah berarti memiliki kesempatan tumbuh axis embrio lebih panjang sehingga memungkinkan terjadi pembekakan pada bagian ujungnya sebagai tempat pertumbuhan akar dan plumula sehingga akar menjadi lebih panjang.
D. Priming Priming adalah suatu perlakuan pendahuluan pada benih dengan larutan osmotikum (disebut osmotik-priming atau osmotik-kondisioning), atau dengan bahan padatan lembab (disebut matriks-priming atau matrikskondisioning). Teknik tersebut merupakan suatu cara meningkatkan perkecambahan dan performansi/vigor dalam spektrum yang luas; yang juga efektif untuk kondisi tercekam (Liming et al., 1992). Jenis priming yang digunakan adalah dengan cara osmoconditioning dimana benih direndam dalam larutan dengan tekanan osmosis tinggi, larutan yang dapat digunakan adalah polyethylene glycol (PEG). Hal ini disebabkan karena PEG merupakan senyawa yang dapat menurunkan potensial osmotic pada kulit benih dan larutan yang mampu mengikat air. Teknik tersebut menggambarkan tentang hubungan benih dengan gerak masuknya senyawa PEG pada potensial air yang rendah, biasanya dilakukan dengan cara perendaman. Keberhasilan osmoconditioning ditentukan oleh jumlah air yang masuk ke dalam benih potensial osmotic serta larutan yang digunakan. Larutan PEG digunakan untuk mempertahankan keseimbangan potensial air antara benih dan media osmotic. Priming benih merupakan sebuah teknik yang menghubungkan hidrasi sampai terjadi proses perkecambahan, akan tetapi tidak terjadi pertumbuhan.
Priming
membiarkan
proses
metabolic
yang
dibutuhkan
untuk
perkecambahan tanpa terjadi perkecambahan sesungguhnya. Benih direndam pada larutan PEG dalam jangka waktu tertentu, diharapkan dapat masuk ke dalam jaringan benih. PEG yang telah berada dalam jaringan benih sehingga air mudah masuk ke dalam benih sehingga proses pertumbuhan atau perkecambahan benih dapat terjadi. Air mudah masuk ke dalam benih karena potensial osmotic benih rendah yang disebabkan oleh potensial air diluar benih rendah. Priming benih dengan merendam benih bahwa priming PEG mampu meningkatkan daya kecambah dan kecepatan benih pada benih bermutu sedang dan rendah, mempercepat fase perkecambahan serta mampu meningkatkan komponen hasil dan mutu benih.
III. PROSEDUR KERJA A. Waktu Pengamatan
: Selasa, 06 November 2012 s.d Rabu, 14 November 2012
B. Tempat Pelaksanaan : Laboratorium Biokimia, FMIPA, UNY. C. Alat dan Bahan 1. Alat
:
1) Petri
3 buah
2) Kertas saring
6 lembar
3) Pipet tetes
1 buah
4) Gelas ukur 10 ml
1 buah
5) Lap
1 buah
6) Perekat 2. Bahan
secukupnya :
1) Biji cabai
75 biji
2) Polyethilen glycol (PEG)
6 ml
3) Akuadesh
18 ml
D. Langkah Kerja
IV. HASIL PENGAMATAN
No
1 2 3
Pengulangan
I II III Rata-rata
Jumlah Biji Tumbuh PEG Akuadesh Jumlah % Jumlah 0 0 8 0 0 5 0 0 8 0 0 7
% 32 20 32 28
V. PEMBAHASAN Praktikum Fisiologi Tumbuhan dengan topik Fisiologi Biji dilaksanakan mulai tanggal 06 November 2012 sampai 14 November 2012 di Laboratorium Biokimia, FMIPA, UNY. Kelompok II melakukan praktikum Osmotik Priming menggunakan Polyethilen Glycol (PEG). Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu petri 3 buah, kertas saring lembar, pipet tetes, dan gelas ukur 10 ml. bahan yang diperlukan yaitu biji cabai sebanyak 75 biji, PEG, dan akuadesh. Biji cabai yang digunakan adalah biji cabai yang telah kadaluarsa sejak Agustus 2012. Langkah kerja percobaan ini yaitu mula-mula kertas saring dimasukkan ke dalam 3 buah petri, masing-masing 1 lembar. Ketiga petri digunakan sebagai pengulangan. Lalu, PEG sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam masing-masing petri secara merata. Setiap petri kemudian diisi 25 biji cabai, jarak antar biji cabai diatur agar tidak terlalu berdekatan. Lalu, petri ditutup dan diinkubasi dalam ruangan selama dua hari. Setelah dua hari, biji diamati. Kemudian, biji tersebut dicuci menggunakan akuadesh, sementara ketiga petri dicuci dan dganti kertas saring. Setelah dicuci, biji dikering anginkan. Petri yang telah dibersihkan dan diganti kertas saring kemudian diberi masingmasing 3 ml akuadesh. Setelah biji kering, kemudian biji dimasukkan ke dalam petri. Biji dimasukkan ke dalam petri yang sama dengan sebelumnya. Lalu, petri berisi biji ditutup dan didiamkan selama enam hari. Kemudian diamati perkecambahannya. Perkecambahan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan embrio tanaman. Ini merupakan tahap awal perkembangan tumbuhan, terutama pada tumbuhan berbiji. Embrio pada biji semula dalam kondisi dormansi, dormansi dapat dikatakan sebagai suatu fase dimana kulit biji dalam kondisi yang keras menghalangi penyerapan, kemudian mengalami perubahan fisiologi yang kemudian menjadi tanaman muda. Terdapat dua factor yang mempengaruhi perkecambahan, yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor-
faktor internal antara laia adalah tingkat kemasakan benih dan ukuran benih. Sedangkan factor eksternal antara lain, air, suhu, oksigen, cahaya, dan medium. Perkecambahan melalui beberapa proses, yakni imbibisi atau hidrsasi (masuknya air ke dalam embrio), pembentukkan atau pengaktifan enzim (air yang masuk akan mengaktifkan enzim), inisiasi pertumbuhan (kulit yang melunak, kemudian pecah dan keluar akar cabang bersama akar primer membentuk system akar primer, dimana akar primer akan mati dan diganti oleh akar-akar adventif), pertumbuhan kecambah. Dalam proses pertumbuhan tanaman berbiji, air tentunya diperlukan untuk memulai perkecambahan. Menurut teori, perkembangan benih tidak akan dimulai bila air belum terserap masuk ke dalam benih hingga 80 sampai 90 persen (Darjadi,1972) dan umumnya dibutuhkan kadar air benih sekitar 30 sampai 55 persen (Kamil, 1979). Air memiliki fungsi: •
Untuk melembabkan atau melunakkan kulit biji sehingga menjadi pecah atau robek agar terjadi pengembangan embrio dan endosperm.
•
Untuk memberikan fasilitas masuknya oksigen kedalam biji melalui dinding sel yang diimbibisi oleh air sehingga gas dapat masuk ke dalam sel secara difusi.
•
Untuk mengencerkan protoplasma sehingga dapat mengaktifkan sejumlah proses fisiologis dalam embrio seperti pencernaan, pernapasan, asimilasi dan pertumbuhan. Proses-proses tersebut tidak akan berjalan secara normal, apabila protoplasma tidak mengandung air yang cukup.
•
Sebagai alat transport larutan makanan dari endosperm atau kotiledon ke titik tumbuh, dimana akan terbentuk protoplasma baru. Awal perkecambahan yaitu dengan imbibisi atau penyerapan air ke dalam
embrio, Kehadiran air di dalam sel mengaktifkan sejumlah enzim perkecambahan awal. Enzim-enzim yang teraktivasi pada proses perkecambahan ini adalah enzim hidrolitik, seperti α-amilase (merombak amilase menjadi glukosa), ribonuklease (merombak ribonukleotida), endo-β-glukanase (merombak senyawa glukan), fosfatase (merombak senyawa yang mengandung P), lipase (merombak senyawa lipid), peptidase (merombak senyawa protein). Menurut Muhammad Salim Saleh (2004), pada dasarnya dormansi dapat diperpendek dengan berbagai perlakuan sebelum dikecambahkan, baik secara fisik, kimia
dan biologi. Priming adalah suatu perlakuan pendahuluan pada benih dengan larutan osmotikum (disebut osmotik-priming atau osmotik-kondisioning), atau dengan bahan padatan lembab (disebut matriks-priming atau matrikskondisioning). Teknik tersebut merupakan suatu cara meningkatkan perkecambahan dan performansi/vigor dalam spektrum yang luas; yang juga efektif untuk kondisi tercekam (Liming et al., 1992). Dari hasil praktikum, saat biji direndam dengan PEG (larutan dengan tekanan osmotic tinggi), tidak ada satupun biji yang mengalami perkecambahan. Hal ini dikarenakan larutan PEG menyeimbangkan potensial air antara benih dan media osmotic. PEG adalah larutan yang dapat menurunkan potensial osmotic pada benih dan merupakan larutan yang mampu mengikat air. Setelah biji direndam pada akuadesh, terdapat masing-masing pada petri I, II, dan III tumbuh 8, 5, dan 8 biji yang berkecambah. Rata-rata perkecambahan biji setelah diberi akuadesh yaitu 7 biji, atau sekitar 28%. Hal ini menunjukkan bahwa pada biji yang telah kadaluarsa, yang dimungkinkan kualitasnya untuk pertumbuhan sedanga atau rendah, masih dapat berkecambah. Menurut teori, priming membiarkan proses metabolic yang dibutuhkan untuk perkecambahan tanpa terjadi perkecambahan sesungguhnya. Benih direndam pada larutan PEG dalam jangka waktu tertentu, diharapkan dapat masuk ke dalam jaringan benih. PEG yang telah berada dalam jaringan benih sehingga air mudah masuk ke dalam benih sehingga proses pertumbuhan atau perkecambahan benih dapat terjadi. Priming dengan PEG akan dapat meningkatkan daya kecambah dan mempercepat laju perkecambahan biji.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
VII. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1987. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa
Bandung. Akbar, Joni et al. 2010. Proses Perkecambahan Pada Tanaman Padi (Pertumbuhan Vegetatif Tahap O). Padang: Universitas Andalas. Darjadi, L. dan Hardjono, 1972. Sendi-Sendi Silvikultur . Jakarta: Dirjen Kekutanan. Kamil, J. 1979. Teknologi Benih 1. Padang: Angkasa Raya. Saleh,M.S.,2004. Pematahan Dormansi Benih Aren Secara Fisik Pada Berbagi Lama Ekstrasi Buah. Dalam Industri Benih di Indonesia Aspek Penunjangan Pengembangan. Jurusan Budidaya Fakultas Pertanian UNTAD. Salisbury, Frank B dan Cleon W Ross.1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : ITB. Soetopo, L.2002. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Wereing, D.F and I. D.J. Phillips. 1970. The Control of Growth and Differentation in Plants. Pergamon Press, New York.
LAMPIRAN