5. farmakokinetik dan farmakodinamik antipiretik Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set point ke kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan prostaglandin E2, yang distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus (Sweetman, 2009). Obat ini menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam namun pemakaian obat golongan ini tidak boleh digunakan secara rutin karena bersifat toksik. Efek samping yang sering ditimbulkan setelah penggunaan antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi, gangguan fungsi hepar dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and Boyle, 2011).
Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 37,5ºC dan bisa menjadi manifestasi klinis awal dari suatu infeksi. Suhu tubuh manusia dikontrol oleh hipotalamus. Selama terjadinya demam hipotalamus di reset pada level temperatur yang paling tinggi (Dipiro, 2008).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa golongan yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan paraaminofenol (misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana, 2007).
Mekanisme Kerja Obat
antipiretik
biasanya
menggunakan
golongan
OAINS.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGI2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenasi dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Wilmana, 2007).
Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 essensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit.
Di
mukosa
lambung,
aktivitas
COX-1
menghasilkan
prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 semula diduga diinduksi
berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factor). Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu ginjal, jaringan vascular dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disintesis oleh COX-1, menyebabkan egregasi trombosit, vasokontriksi, dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Wilmana, 2007).
Aspirin 166 kali lebih kuat menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Penghambat COX-2 dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan inflamasi dan nyeri yang kurang meyebabkan toksisitas saluran cerna dan perdarahan (Wilmana, 2007).
Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3, suatu variant dari COX-1. COX-3 ini hanya ada di otak. Aspirin sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin 530 dari COX-1. Dosis tunggal aspirin 40 mg sehari cukup untuk menghambat COX trombosit manusia selama masa hidup trombosit, yatu 8-11 hari (Wilmana, 2007).
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengukur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan dalam keadaan normal oleh obat mirip-aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pelepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin misalnya IL-1 yang memicu pelepasa PG yang berlebih di daerah preoptik hipotalamus. Obat mirip-aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis PG (Wilmana, 2007).
Farmakodinamik
Semua obat mirip-aspirin bersifat antipiretik, analgesic, dan antiinflamasi. Sebagai obat antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatka efek antipiretik in vitro, tidak semua berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang berada disentral otak terutama COX-3 dimana haya parasetamol dan beberapa obat AINS lain yang dapat menghambat, keculai obat fenilbutazon dan antireumatik (Wilmana, 2007). 1. Golongan salisilat Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai obat asetosal atau aspirin adalah analgesic antipiretik dan antiinflamasi yang luas digunakan dan digolongakan dalam obat bebas. Struktur kimia golongan salisilat ini dapat dilihat sebagai berikut (Wilmana, 2007):
a. Farmakokinetik Pada pemberial oral, sebagian salisilat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung, tetapi sebagian besar diusus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan absorbsinya tergantungdari kecepatan disintegrasi dan disolusi tablet, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Absorbsi pada pemberian secara rektal, lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini tidak dianjurkan. Asal salisilat di absorbsi cepat dari kulit sehat, terutama
bila dipakai sebagai obat gosok atau salep. Keracunan dapat terjadi dengan olesan pada kulit yang luas. Metil-salisilat juga diabsorbsi cepat melalui kulit utuh, tetapi penyerapan dilambung lambat dan lama bertahan dilambung, oleh karena itu bila terjadi keracunan bilas lambung masih berguna walaupun obat sudah ditelan lebih dari 4 jam (Wilmana, 2007).
Setelah diabsorbsi salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transelular sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan spinal, cairan peritoneal, liur dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar uri. Kira-kira 80% sampai 90% salisilat plasma terikat pada albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis menjadi asam salisilat terutama dalam hati, sehingga hanya kira-kira 30 menit terdapat di plasma (Wilmana, 2007).
Biotransformasi salisilat terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu (Wilmana, 2007).
b. Farmakodinamik Salisilat khususnya asetosal merupakan obat yang banyak diguakan sebagai analgesic, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam dan hipersidosis (Wilmana, 2007).
Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik kadar plasma harus dipertahankan antara 250-300 µg/mL. kadar ini tercapai dengan dosis aspirin peroral 4 gram per hari untuk orang dewasa. Pada penyakit demam reumatik aspirin masih belum dapat digantikan oleh AINS yang lain masih dianggap sebagai standart dalam studi perbandingan penyakit artritis rheumatoid (Wilmana, 2007).
Obat golongan ini menimbulkan beberapa efek diantaranya (Wilmana, 2007):
Efek
terhadap
konsumsi
pernafasan
oksigen
dan
pada
dosis
produksi
terapi
CO 2,
mempertinggi
sehingga
terjadi
hiperventilasi dengan pernafasan yang dalam dan cepat. Pada keadaan intoksikasi, hal ini berlanjut menjadi alkalosis respiratoar
Efek terhadap keseimbangan asam basa
Efek urikosurik
Efek terhadap darah
Efek terhadap hati dan ginjal
Efek terhadap saluran cerna
2. Golongan Para amino fenol a. Farmakokinetik Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebat ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Seain itu metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai prasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Wilmana, 2007).
b. Farmakodinamik Efek analgesi parasetamol seupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salsilat (Wilmana,2007).
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak
digunakan
sebagai
antireumatik.
Parasetamol
merupakan
penghambat biosintesis PG yang lemah. Efe iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada jenis obat ini, demikian juga ganggan pernafasan dan keseimbangan asam basa (Wilmana, 2007).
Sweetman, S.C., 2008. Martindale: The Complete Drug Reference, Thirty Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press. Hammond RN and M. Boyle RN. 2011. Pharmacological versus non pharmacological antipyretic treatments in febrile critically ill adult patients: A systematic review and meta-analysis. Australian Critical Care. Dipiro J.T., Talbert R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G, Posey. M. 2008. Acute Management of the brain injury patient, Pharmacotherapy, A pathopysiologi approach, Seventh edition. Wilmana, P. F. 2007. Analgesik-antipiretik, analgesik anti-inflamasi non-steroid dan obat gangguan sendi lainnya, in: Gunawan, S. G., (Ed.), Farmakologi dan Terapi, 5th ed. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas kedokteran, Universitas Indonesia