Presentasi Kasus
SEORANG ANAK LAKI-LAKI 15 TAHUN DENGAN EPILEPSI DAN CEREBRAL PALSY
Oleh : Yuliana Pujo Setyowati G0006027
Pembimbing : Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2010
STATUS PENDERITA I.
ANAMNESIS A. Identitas Pasien
Nama
: An. D
Umur
: 15 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
:-
Tanggal masuk
: 14 Desember 2010
Tanggal periksa
: 14 Desember 2010
No. RM
: 702976
B. Keluhan Utama
ejang K ejang
C. Riwayat Penyakit Sekarang (alloanamnesis) Pasien
datang dengan keadaan umum sedang, compos mentis dan keadaan gizi
yang kurang.
Pasien
adalah pasien rujukan dengan kejang ± 3 hari sebelum masuk
rumah sakit.
eluhan K eluhan
ini dirasakan terjadi lebih sering dari biasanya, yaitu lebih
dari 10 kali kejang dalam sehari. ejang K ejang
berlangsung berlangsung 1
K eluhan eluhan
ini juga dirasakan hampir tiap malam.
3 menit. menit. Saat kejang kejang otot otot lengan dan tungkai pasien pasien kaku
dengan posisi lengan menekuk, posisi badan tengkurap dan mata melirik ke atas. Saat kejang pasien tidak sadar. pilek.
K ejang ejang
eluhan K eluhan
ini tidak disertai dengan dengan panas, batuk dan
terjadi apabila pasien mengalami rasa takut, misalnya ketika pasien
mendengar suara yang mengejutkan, terkena cahaya yang menyilaukan atau yang berkedip-kedip dan ketika pasien mengalami stress dan gangguan emosi. Pasien
memiliki riwayat epilepsi sejak usia 4 tahun dan telah rutin meminum
obat anti epilepsi. Pada usia 40 hari pasien didiagnosa mengalami radang otak dan pada usia 9 tahun pernah mengalami trauma. Pada usia 10 tahun lengan dan tungkai kanan mengalami kelumpuhan. pertumbuhan dan perkembangan.
Pasien
juga mengalami gangguan
Pasien
bersekolah sampai kelas 2 SD karena pasien malu dan dikhawatirkan
terjadi kejang sewaktu-waktu saat pasien berada di sekolah.
Prestasi
sekolahnya
lebih rendah dari t eman sebayanya.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma
: (+)
Riwayat alergi obat/makanan
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat mondok
: (+)
Riwayat kejang
: (+)
Riwayat Infeksi
: (+)
Riwayat Epilepsi
: (+) rutin minum OAE
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit jantung
: nenek
Riwayat sakit kencing manis
: disangkal
Riwayat sakit serupa
: disangkal
Riwayat sakit asma
: disangkal
F. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat sakit infeksi saat hamil
: disangkal
Riwayat keguguran
: disangkal
Persalinan
: normal, lahir di bidan dengan BB 3,3 kg
G. Riwayat Gizi Pasien
biasa makan nasi tanpa sayur dan kadang-kadang tidak disertai lauk.
Nafsu makan rendah. Pasien tidak dapat makan sendiri.
H. Riwayat Sosial Ekonomi Penderita
menggunakan pembayaran biaya rumah sakit dengan jamkesmas.
I. Status Imunisasi
Jenis Imunisasi
: Umur pemberian
BCG
: 1 bulan
J.
Difteri
: 1 minggu, 2 bulan, 4 bulan
Pertusis
: 1 minggu, 2 bulan, 4 bulan
Tetanus
: 1 minggu, 2 bulan, 4 bulan
Polio
: 1 minggu, 2 bulan, 4 bulan
Chotypa
:-
Riwayat Kelahiran Lahir
ditolong oleh Bidan
bulan dalam kandungan : 9 bulan 10 hari Jenis partus
: normal
Segera setelah lahir : menangis
II.
BB waktu lahir
: 3300 gram
TB waktu lahir
:-
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis K eadaan
umum sedang, compos mentis, gizi kesan kurang
B. Tanda Vital
Tensi Nadi
: 120/80 mmHg : 80 x/ menit, isi cukup, irama teratur
Respirasi
: 24 x/ menit, irama teratur
Suhu
: 36,7 C per aksiler
0
C. Kulit
arna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),venectasi (-), spider naevi (), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-) D. Kepala
Bentuk mesochepal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-) E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-), strabismus (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-), sekret (-) G. Telinga
Deformitas (-), darah (-), sekret (-) H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah tremor (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-) I. Leher
Simetris, trakea ditengah, JV P tidak meningkat, limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-) J.
Thoraks
a. Retraksi (-) b. Jantung Inspeksi: Ictus Cordis tidak tampak
c.
Palpasi
: Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: K onfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
Paru
Inspeksi
: pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi
: fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: sonor seluruh lapang paru
Auskultasi
: suara dasar (vesikuler / vesikuler), suara tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi
: deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi
: massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi
: nyeri ketok kostovertebra (-)
L. Abdomen
Inspeksi
: dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi
: peristaltik (+) normal
Perkusi
: tympani
Palpasi
: supel, nyeri tekan, hepar lien tidak teraba
M. Ekstremitas
oedem
Akral dingin
-
-
-
-
-
-
-
-
N. Status Psikiatri
Tidak dilakukan pemeriksaan O. Status Neurologis K esadaran
: GCS E4V5M6
Fungsi luhur
: sulit dievaluasi
Fungsi vegetatif
: dipasang NGT, O2, IV line
Fungsi sensorik Rasa eksteroeptik
: tidak dilakukan
Rasa propioseptik
: tidak dilakukan
Rasa kortikal
: tidak dilakukan
Fungsi motorik dan reflek Atas
Tengah
Bawah
K a/ki
K a/ki
K a/ki
kekuatan
sde
sde
Sde
tonus
meningkat
meningkat
Meningkat
Lengan
Reflek fisiologis Reflek biseps
+2
Reflek triseps
+2
Reflek patologis Reflek hofman
-/-
Reflek tromner
-/-
Atas
Tengah
Bawah
K a/ki
K a/ki
K a/ki
kekuatan
Sde
Sde
Sde
Tonus
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Tungkai
K lonus
Lutut
-/-
K aki
-/-
Reflek fisiologis Reflek patella
+2
Reflek achilles
+2
Reflek patologis Reflek babinsky
-/-
Reflek chaddok
-/-
Reflek oppenheim
-/-
Reflek schaeffer
-/-
Reflek rosolimo
-/-
Nervus craniales : sulit dievaluasi
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium darah
Hb
12,3
Hct
39,3
AE
4,4 . 106
Al
7,1 . 10
AT
426 . 10
Gol darah
O
GDS
92
3 3
Na
142
K
3,3
Cl
104
EEG
(23 November 2004) Rekaman EEG abnormal dengan false iritatif di froto temporal kiri dengan aktifitas di sekunder dari false tersebut. Aktifitas fungsi di sentral temporal kiri. Hasil rekaman EEG tahun 2010 belum didapatkan.
IV.
ASSESMENT
Epilepsi dan cerebral Palsy
V.
DAFTAR MASALAH Masalah medis : Epilepsi
Cerebral palsy Problem Rehabilitasi Medik
y
1. Fisioterapi
: K aku otot lengan karena sering kejang K esulitan
berjalan
Hemiplegi dextra
VI.
2. Speech Terapi
: Gangguan bicara
3. Ocupasi Terapi
: Gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
4. Sosiomedik
: tidak ada
5. Ortesa-protesa
: tidak ada
6.
: Motivasi kedua orang tua, gangguan emosional pasien.
Psikologi
PENATALAKSANAAN Terapi medikamentosa y
O2 nasal 2 lpm
y
Terapi oral rutin -
Fenitoin
-
K arbamazepin
-
Fenobarbital healing dose ( 100 mg(1)
y
Inj diazepam 5 mg IV k/p
y
Ciprofloxaxin 2 x 500 mg
80 mg/12 jam IV)
Terapi Gizi y
Diet nasi lauk 2200 kal/hari
Rehabilitasi medik y
Fisioterapi : o
General exercise otot-otot lengan dan tungkai
o
Latihan
stabilisasi otot leher dan kepala
VII.
o
Sitting balance & tolerance
o
Standing balance & tolerance
o
Mobility bertahap
o
Positional
o
Gait training/ ambulating dengan alat bantu
y
Speech terapi : komunikasi verbal dan nonverbal
y
Okupasi terapi : pola pergerakan dasar untuk aktivitas sehari-hari
y
Sosiomedik : tidak ada
y
Orthesa prothesa : tidak ada
y
Psikologi
: terapi suportif pada orang tua, dukungan dan motivasi untuk anak.
PLANNING Planning diagnostik : elektrolit, konsul gizi metabolic, konsul rehabilitasi medik,
EEG :
Planning terapi y
Fisioterapi. Target : mampu meregangkan otot yang tegang dan mencegah deformitas
y
Speech terapi. Target : penderita mampu berkomunikasi dengan baik
y
Okupasi terapi. Target : pasien mampu melakukan aktivitas sederhana.
y
Psikologi
terapi. Target : dukungan supportif untuk anak dan orang tua.
Planning edukasi : y
Penjelasan
penyakit kepada keluarga
y
Penjelasan
tujuan pemeriksaan dan terapi yang dilakukan
Planning monitoring : awasi kejang, analisa diet dan evaluasi hasil t erapi
VIII. TUJUAN
1. Mencegah kecacatan dan komplikasi muskuloskeletal 2. Memperbaiki kemampuan motorik sehingga dapat melakukan pergerakan dasar ADL 3. Memperbaiki kemampuan berkomunikasi dengan sekitar
IX.
PROGNOSIS
ad vitam
: dubia
ad sanam
: dubia
ad fungsionam : dubia
EPILEPSI
DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri t imbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik a bnormal selsel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula.
ETIOLOGI
1. Idiopatik ; sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsy idiopatik. 2. Faktor herediter ; ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia. 3. Faktor genetik; pada kejang demam dan breath holding spells. 4.
K elainan
kongenital otak: atrofi, porensefali, a genesis korpus kalosum.
5. Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia,hipernatremia. 6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya, toksoplasmosis. 7. Trauma: kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural. 8. Neoplasma otak dan selaputnya. 9.
K elainan
pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10. K eracunan: timbal (P b), kamper (kapur barus), fenotiazin, air 11. Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormone, degenerasi serebral dan lain-lain.
FAKTOR PRESIPITASI
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas 2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik 3. Faktor mental: stress, gangguan emosi
KLASIFIKASI
I.
Sawan parsial (fokal,lokal) A. Sawan parsial sederhana; sawan parsial dengan kesadaran tetap normal 1. Dengan gejala motorik a. Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja b. Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson c. Versif: sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh d.
Postural:
sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu e. Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu 2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo. a. Somatosensoris: timbula rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum b. Visual: terlihat cahaya c. Auditoris: terdengar sesuatu d. Olfaktoris: terhidu sesuatu e. Gustatoris: terkecap sesuatu f. Disertai vertigo 3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil) 4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) a. Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat b. Demensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat atau sebaliknya tidak pernah mengalami,mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, seperti melihatnya lagi. c.
K ognitif:
gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
d. Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut e. Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar f. Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ad yang bicara, music, melihat suatu fenomena tertentu, dan lain-lain B. Sawan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran) 1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran b. Dengan
automatisme.
Automatisme
yaitu
gerakan-gerakan,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah,
menelan-nelan,
wajah
muka
berubah
seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegangmegang
kancing
baju,
berjalan,
mengembara
tak
menentu,
berbicara dan lain-lain. 2. Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan serangan a. Hanya dengan penurunan kesadaran b. Dengan automatisme C. Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) II.
Sawan umum (konvulsif atau nonkonvulsif) A. 1. Sawan lena ( Absance) Pada
sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼- ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak. a. hanya penurunan kesadaran b. dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut atau otot- otot bilateral lainnya. c. Dengan komponen atonik.
Pada
sawan ini, dijumpai otot-otot leher,
lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
d. Dengan
komponen
tonik.
Pada
sawan
ini,
dijumpai
otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang. e. Dengan automatisme f.
Dengan komponen autonom b hingga f dapat tersendiri atau kombinasi.
2. lena tak khas (atypical absence) Dapat disertai: a. Gangguan tonus yang lebih jelas b.
Permulaan
dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak
B. Sawan mioklonik Pada
sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah sebagian otot atau semua otot-otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur C. Sawan klonik Pada
sawan ini tidaka ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.
Dijumpai terutama sekali pada anak. D. Sawan tonik Pada
sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,
juga terdapat pada anak. E. Sawan tonik-klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali denga aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. seluruh badan kaku.
K ejang
Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot
kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit
diikuti kejang kelojot di seluruh badan. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun denga kesadarn yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
F. Sawan atonik Pada
keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh.
K esadaran
dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan
ini terutama sekali dijumpai pada anak. III.
Sawan tak tergolongkan Pada
keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh.
K esadaran
dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini
terutama sekali dijumpai pada anak.
PATOFISIOLOGI
Secara umum, epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut. Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin adalah sebagai zat yang merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kolinergik akan merembes keluar dari permukaan otak.
Pada
kesadaran awas-waspada
lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Pada
jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak yang sehat.
Pada
tumor serebri
atau adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan
asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat
merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanisme epilepsi fokal yang biasanya simptomatik. Pada
epilepsy idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan oleh
nuclei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti ini merupakan terminal dari lintasan ascendens aspesifik atau lintasan ascendens ekstralemnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilaman sama sekali tidak ada input maka timbullah koma.
Pada
grandmall, oleh karena
sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listik dari inti-inti intralaminer talamik secara berlebih.
Perangsangan
talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan
kejang seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang. Hasil penelitian menununjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blockade sejenak terhadap inti-inti intralaminer talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.
DIAGNOSIS BANDING
Sinkop, gangguan jantung, gangguan sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralisis tidur, migren.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas fisik dan intelek pasien.
Pengobatan
epilepsy meliputi pengobatan medikamentosa dan
pengobatan psikososial. Pengobatan Medikamentosa
pada epilepsi yang simtomatis dimana sawan yang timbul adalah manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka di samping pemberian obat antiepilepsi diperlukan terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan: 1.
Pada
sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan faktor pencetusnya, pemberian
obat harus dipertimbangkan 2.
Pengobatan
diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien mengalami lebih
dari dua kali sawan yang sama 3. Obat yang diberikan sesuai dengan jenis sawan 4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat 5. Dosis obat disesuaikan secara individual 6. Evaluasi hasilnya Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya: y
Salah etiologi: kelainan metabolism, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya penyakit degeneratis susunan saraf pusat
y
Pemberian
y
K urang
obat anti epilepsi yang kurang tepat
penerangan: meminum obat tidak t eratur
7.
y
Faktor emosional sebagai pencetus
y
Termasuk intractable epilepsy
Pengobatan
dihentikan bila sawan hilang selama minimal 2-3 tahun.
dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya. Tabel 1.1 Obat pilihan berdasarkan jenis sawan Bangkitan
Jenis
Obat
Fokal/ parsial Sederhana
CBZ, PB, PHT
K ompleks
CBZ, PB, PHT, VAL
Tonik-klonik umum sekarang
CBZ, PB, PHT, VAL
Umum Tonik=klonik
CBZ, PB, PHT, VAL
Mioklonik
CLON, VAL
Absens/petit mal
CLON, VAL
CBZ = karbamazepin CLON = klonazepam VAL = asam valproat PHT = fenitoin PB = fenobarbital
Tabel 1.2 Dosis obat anti-epilepsi dan konsentrasi dalam plasma Jenis
obat
Dosis (mg/kgBB/hari)
Cara pemberian
Fenobarbital
1-5
Fenitoin
4-20
1x/hari 1-2x/hari 3x/hari
K arbamazepin
4-20 3x/hari
Asam valproat
10-60
K lonazepam
0,05-0,2
Diazepam
0,05-0,015 0,4-0,6
3x/hari IV Per Rektal
Pengobatan
Pengobatan Psikososial Pasien
diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan
terbebas dari sawan.
Pasien
harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat
bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan bermasyarakat secara normal.
PROGNOSIS Pasien
epilepsi yang berobat secara teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidaka akan mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.
Status Epileptikus
status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus- menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antara serangan.
CEREBRAL PALSY
PENDAHULUAN C erebral
palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun
waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi perkembangan tandatanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral. Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John
Little
(1843),
yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Infantile C erebral Paralysis. Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan. Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Winthrop
Phelps
menekankan pentingnya pendekatan multi disiplin dalam
penanganan penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Di samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.
ANGKA KEJADIAN
Dengan meningkatnya pelayanan obstetrik dan perinatologi dan rendahnya angka kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat angka kejadian cerebral palsy akan menurun. Narnun di negara-negara berkembang, kemajuan tektiologi kedokteran selain menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, juga meningkatkan jumlah anak-anak dengan gangguan perkembangan. Adanya variasi angka kejadian di berbagai negara karena pasien cerebal palsy datang ke berbagai klinik seperti klinik saraf, anak, klinik bedah tulang, klinik rehabilitasi medik dan sebagainya. Di samping itu juga karena para klinikus tidak konsisten menggunakan definisi dan terminologi cerebral palsy. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitian nya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Skandinavia sebanyak 1,2 - 1,5 per
1000 kelahiran hidup. Gilroy memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy; 50% kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus; 25% mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70; 35% disertai kejang, sedangkan 50% menunjukkan adanya gangguan bicara.
Laki-laki
banyak daripada wanita (1,4:1,0). Insiden relatif cerebral palsy yang
lebih
digolongkan
berdasarkan keluhan motorik adalah sebagai berikut: spastik 65%, atetosis 25%, dan rigid, tremor, ataktik I0%.
ETIOLOGI Penyebab
cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu:
1) Pranatal : a) Malformasi kongenital. b) Infeksi dalam kandungan yang dapat menyebabkan kelainan janin (misalnya; rubela, toksoplamosis, sifilis, citomegalovirus, atau infeksi virus lainnya). c) Radiasi. d) Toksik gravidarum. e) Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksia maternal, atau tali pusat yang abnormal). 2) Natal : a) Anoksia/hipoksia. b) Perdarahan intra kranial. c) Trauma lahir. d) Prematuritas. 3) Postnatal : a) Trauma kapitis. b) Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis, ensefalomielitis. c) K ern icterus. Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan daripada faktor pascanatal. Studi oleh Nelson dkk (1986) (dikutip dari 13) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemi prenatal, faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin merupakan faktor penyebab cerebral palsy.
Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat lahir, sedangkan faktor perinatal yaitu segala faktor yang menyebabkan cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan. Sedang faktor pasca natal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun (Hagberg dkk 1975), atau sampai 5 tahun kehidupan (Blair dan Stanley, 1982), atau sampai 16 tahun (Perlstein, Hod, 1964).
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan. 1) Paralisis Dapat berbentuk hemiplegia, quadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia.
K elumpuhan
ini
mungkin bersifat flacid, spastik atau campuran. 2) Gerakan involunter Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flacid, rigiditas, atau campuran. 3) Ataksia Gangguan
koordinasi
ini
timbul
karena
kerusakan
serebelum.
Penderita
biasanya
memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung. 4) K ejang Dapat bersifat umum atau fokal. 5) Gangguan perkembangan mental Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. C erebral palsy yang disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif. 6) Mungkin didapat juga gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia, strabismus, atau kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguan sensibilitas. 7) Problem emosional terutama pada saat remaja.
KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi yang diajukan oleh para ahli, tetapi pada kesempatan ini akan diajukan klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan derajat kemampuan fungsionil. Berdasarkan gejala klinis maka pembagian cerebral palsy adalah sebagai berikut: 1) Tipe spastis atau piramidal. Pada
tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a) Hipertoni (fenomena pisau lipat). b) Hiperrefleksi yang djsertai klonus. c) K ecenderungan timbul kontraktur. d) Refleks patologis. Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut: a) Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama. b) Spastik diplegia. Mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak bawah lebih b erat. c) K uadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat. d) Monoplegi, bila hanya satu anggota gerak. e) Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua a nggota gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadriplegi.
2) Tipe ekstrapiramidal Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retardasi mental. Di samping itu juga dijumpai gejala hipertoni, hiperrefleksi ringan, jarang sampai timbul klonus. Pada
tipe ini kontraktur jarang ditemukan, apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah
yang asimetnis dan disantni. 3) Tipe campuran Gejala-gejalanya merupakan campuran kedua gejala di atas, misalnya hiperrefleksi dan hipertoni disertai gerakan khorea. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional. 1) Ringan: Penderita
masih bisa melakukan pekerjaanlaktifitas sehari- hari sehingga sama sekali tidak
atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus. 2) Sedang: Aktifitas sangat terbatas.
Penderita
membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau
pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik. 3) Berat: Penderita
sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup
tanpa pertolongan orang lain.
Pertolongan
atau pendidikan khusus yang diberikan sangat
Sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat, atau yang akan
menimbulkan
gangguan
sosial-emosional
baik
bagi
keluarganya
maupun
lingkungannya.
PATOGENESIS Perkembangan
susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi
dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke 5-6 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis, a nensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 24. Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali.
Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 3-5. Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu secara radial sd berdiferensiasi dari daerah periventrikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam korteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial sd berdiferensiasi dari zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus kalosum. Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal. Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan metabolisme. Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada
stadium ini terjadi proliferasi sd neuron, dan pembentukan selubung mielin. K elainan
neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan
Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis daerah paraventrikuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan sub ependim Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis. K erniktrus
menempati
secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan
ganglia
basalis,
hipokampus,
sel-sel
nukleus
batang
otak;
bisa
menyebabkan cerebral palsy tipe atetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi. Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel. Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang irr eversibel.
Lesi
irreversibel
lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa mengakibatkan bangkitan epilepsi . DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks neonatus yang masih menetap. Pada
bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali,
karena gejala dapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan perkembangan yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni.
Pemeriksaan
pemeriksaan
penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala,
pungsi
lumbal.
Pemeriksaan
EEG
terutama
pada
pendenita
yang
memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering sertam kejang.
Pemeriksaan
ultrasonografi kepala atau CT S can kepala dilakukan untuk mencoba
mencani etiologi. Pemeriksaan
psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan
menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa . PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan
dan
untuk
menentukan
keberhasilannya
maka
perlu
diperhatikan
penggolongan cerebral palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ri ngan, sedang dan berat. Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri. Obat-obatan yang diberikan tergantung pada gejala-gejala yang muncul. Misalnya untuk kejang bisa diberikan anti kejang. Untuk spastisitas bisa diberikan baclofen dan diazepam. Bila gejala berupa rigiditas bisa diberikan levodopa. Mungkin diperlukan terapi bedah ortopedi maupun bedah saraf untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi. Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang lebih besar. Yang tidak boleh dilupakan adalah masalah pendidikan yang harus sesuai dengan tingkat kecerdasan penderita. Occupational therapy ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk menolong diri sendiri, memperbaiki kemampuan motorik halus, penderita dilatih supaya bisa mengenakan pakaian, makan, minum dan keterampilan lainnya. S peech
seorang ahli.
therapy diberikan pada anak dengan gangguan wicara bahasa, yang ditangani
PROGNOSIS Prognosis
tergantung pada gejala dan tipe cerebral palsy. Di Inggris dan Skandinavia
20 25% pasien dengan cerebral palsy mampu bekerja sebagai buruh penuh; sebanyak 30 35% dari semua pasien cerebral palsy dengan retardasi mental memerlukan perawatan khusus. Prognosis paling baik pada derajat fungsionil yang ringan.
Prognosis
bertambah berat
apabila disertai dengan retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran. Pengamatan
jangka panjang yang dilakukan oleh Cooper dkk seperti dikutip oleh Suwirno T
menyebutkan ada tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan fungsi motorik dengan bertambahnya umur pasien cerebral palsy yang mendapatkan rehabilitasi yang baik.