EVIDENCE BASED PRACTICE PENATALAKSANAAN INFEKSI MENINGITIS TUBERKULOSA
Disusun Oleh : Julvia Nurvitasari
PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXVI FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2019
BAB I PENDAHULUAN
Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70- 80% dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner dan 0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, penyakit ini masih memil iki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di negara maju mengalami tanda dan gejala meningitis yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Namun pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat, dengan penurunan kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang. Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British Medical Research Council. Meningitis tuberkulosis derajat 1 ditandai dengan GCS 15 tanpa kelainan neurologis fokal, derajat 2 ditandai dengan GCS 15 dengan defisit neurologis fokal, atau GCS 11-14, dan derajat 3 ditandai dengan GCS ≤10. Sistem klasifikasi ini digunakan untuk memisahkan pasien dan juga untuk menentukan prognosis. Patogenesis penyakit ini diduga terjadi dalam dua tahap. Pada tahap awal, bakteremia membawa basil tuberkulosis ke sirkulasi serebral dan menyebabkan terbentuknya lesi primer tuberkulosis di otak yang dapat mengalami dorman dalam waktu lama. Pada tahap kedua, meningitis tuberkulosis terjadi akibat pelepasan basil Mycobacterium tuberculosis ke dalam ruang meningen dari lesi subependimal atau subpial (terutama di fisura Sylvii) Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Hal ini karena bahkan pemeriksaan terbaik sekalipun mungkin tidak dapat menemukan basil tuberkulosis pada pasien meningitis tuberkulosis, infeksi HIV dan anak kecil. Oleh karena itu, pada kondisi seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris sembari menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau bahkan ketika hasil pemeriksaan negatif. Manajemen infeksi pada pasien meningitis tuberkulosa dapat dilakukan melalui pemberian terapi yang bertujuan untuk mengendalikan bakteri tuberkulosa dan infeksi reaksi inflamasi, dan penggunaan 2% clorhexidine sebagai perawatan sibini harian untuk mengendalikan bakterimia.
BAB II ANALISIS JURNAL Keterangan
Judul
Jurnal I
Penatalaksanaan pada meningitis tuberkulosa
Peneliti
Giok P., Ety
Tahun
2016, volume 6, nomor 1
Tujuan
Untuk mengetahui tahapan penatalaksanaan meningitis tuberkulosa
Kata Kunci
Pasien dengan sakit berat, dimana dicurigai tuberkulosis, pemberian terapi empiris sembari menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau bahkan ketika hasil pemeriksaan negatif. Tuberkulosis paru dan ekstraparu, ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Pemberian OAT minimal 9-12 bulan. Pemberian deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien ini terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan kesadaran pasien setiap harinya. Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi dalam ruang subaraknoid sehingga mengurangi risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu, pemberian kortikosteroid terbukti memperbaiki outcome dengan penurunan tingkat mortalitas dan keparahan dari komplikasi neurologis. Pemberian terapi harus segera dan tepat untuk mengurangi tingkat mortalitas. Terapi berupa obat anti tuberkulosis, dan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dalam subaraknoid. Meningitis TB, Penurunan kesadaran, TB Ekstrapulmoner
Keterangan
Jurnal II
Hasil
Simpulan
Judul Peneliti
Evaluation of High- versus Standard-Dose Rifampin in Indonesian
Rovina
Tahun
2018
Tujuan
Untuk mengetahui keefektifan rifampicin sebagai penatalaksanaan meningitis tuberkulosa
Kata Kunci
Pemberian rifampisin dengan dosis yang ditingkatkan sedikit demi sedikit ini tidak bisa secara oral atau diminumkan kepada pasien meningitis TB. Ini disebabkan, seluruh pasien meningitis TB hampir dipastikan berada dalam kondisi tidak sadar. Pemberian rifampicin dilakukan secara injeksi melalui infus. Peningkatan dosis rifampisin sedikit demi sedikit ternyata menekan angka kematian akibat meningitis TB hingga setengahnya. Dalam penelitian ini, peneliti berhasil menaikkan dosis menjadi tiga kali lipat dari dosis yang selama ini ditetapkan. eningkatan dosis rifampisin ternyata tidak menimbulkan efek samping yang signifikan. Hasil penelitiannya, efek samping pasien yang mendapat rifampisin dosis tinggi ternyata sama dengan orang yang dapat dosis biasa. Pemberian rifampicin dengan peningkatan dosis tiga kali lipat dapat menekan angka kematian akibat meningitis tb Intravena, meningitis TB, rifampicin,
Keterangan
Jurnal III
Hasil
Simpulan
Judul
The use of 2% chlorexidine gluconate (CHG) as a daily bathing to reduce bacteremia in children with chronic illness at care unit
Peneliti
Nopi. N. Khasanah
Tahun
2016
Tujuan
Untuk menganalisis penggunaan 2% chlorexidine gluconate (CHG) sebagai intervensi perawatan sibin harian untuk mengurangi bakteremia pada anak dengan penyakit kronis di ruang perawatan. Intervensi ini sangat direkomendasikan pada pasien yang menerima perawatan kronis di rumah sakit. Yaitu dengan sibin harian menggunakan 2% chlorhexidine gluconate (CHG) untuk mengurangi resiko infeksi.
Hasil
Secara statistik dan klinis ditemukan adanya penurunan yang signifikan (36%) dalam kejadian bakteremia antara pasien yang menerima CHG sebagai sibin harian dibandingkan dengan pasien yang menerima sabun dan air untuk sibin setiap hari. Namun, belum ada data yang tersedia untuk menilai keamanan dan kemanjurannya pada
anak karena pada penelitian – penelitian sebelumnya lebih banyak digunakan pada pasien dewasa. Selain itu, Milstone dan tim menetukan kriteria eksklusi yaitu pasien dengan alergi CHG, pasien yang terpasang drain epidural dan lumbar, serta pasien dengan penyakit kulit berat atau luka bakar.
Simpulan
Kata Kunci
Penerapan rekomendasi akan melibatkan persetujuan melalui struktur organisasi yang tepat yang berwenang dalam mengawasi perubahan praktek. Untuk mengembangkan prosedur sibin harian dengan 2% CHG di ruang perawatan agar menurunkan kejadian bakteremia, diperlukan staff yang dapat memahami petunjuk tentang penggunaan CHG.
Chlorhexidine Gluconate, Daily Bathing, Bacteremia in children
BAB III PEMBAHASAN
Dalam pengendalian infeksi meningitis tuberkulosa, terdapat beberapa alternatif pilihan manajemen yang dapat dilakkan. Dalam literature review ini, didapatkan beberapa pilihan yang dapat digunakan untuk manajemen tatalaksana meningitis TB seperti, tahapan penatalaksanaan meningitis TB, penggunaan rifampicin untuk meningitis TB, dan penggunaan 2% clorhexidine sebagai perawatan sibin harian untuk mengurangi bakteremia. Dalam pemilihan manajemen infeksi meningitis TB, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan, meliputi efektivitas proses penyembuhan, kenyamanan, hingga dari segi ekonomis. Tatalaksana pasien meningitis tuberkulosa dilakukan mulai dari pemberian rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Pemberian OAT minimal 9-12 bulan. Pasien juga diberikan deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien ini terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan kesadaran pasien setiap harinya. Rovina dalam penelitiannya membuktikan bahwa peningkatan dosis rifampisin sedikit demi sedikit ternyata menekan angka kematian akibat meningitis TB hingga setengahnya. Dalam penelitian ini, peneliti berhasil menaikkan dosis menjadi tiga kali lipat dari dosis yang selama ini ditetapkan. Pemberian rifampisin dengan dosis yang ditingkatkan sedikit demi sedikit ini tidak bisa secara oral atau diminumkan kepada pasien meningitis TB. Ini disebabkan, seluruh pasien meningitis TB hampir dipastikan berada dalam kondisi tidak sadar. Pemberian rifampicin dilakukan secara injeksi melalui infus. Peningkatan dosis rifampisin ternyata tidak menimbulkan efek samping yang signifikan. Hasil penelitiannya, efek samping pasien yang mendapat rifampisin dosis tinggi ternyata sama dengan orang yang dapat dosis biasa. Selain itu manajemen infeksi pasein meningitis tuberkulosa dapat dilakukan dengan perawatan sibin harian menggunakan 2% chlorhexidine gluconate (CHG) untuk mengurangi resiko infeksi. Secara statistik dan klinis ditemukan adanya penurunan yang signifikan (36%) dalam kejadian bakteremia antara pasien yang menerima CHG sebagai sibin harian dibandingkan dengan pasien yang menerima sabun dan air untuk sibin setiap hari. Namun, untuk mengembangkan prosedur sibin harian dengan 2% CHG di ruang perawatan agar
menurunkan kejadian bakteremia, diperlukan staff yang dapat memahami petunjuk tentang penggunaan CHG.
BAB IV SIMPULAN SARAN
4.1
Simpulan
Terdapat beberapa pilihan yang dapat dijadikan alternatif untuk manajemen infeksi pada pasien meningitis tuberkulosa, diantaranya dengan regimen tuberkulosis, peningkatan dosis rifampicin, dan sibini harian menggunakan 2% clorhexidine untuk mengrangi resiko infeksi. 4.2 Saran
Diharapkan tenaga kesehatan dapat menggunakan alternatif ini sebagai bagian dari intervensi dalam menangani masalah manajemen infeksi pada pasien meningitis tuberkulosa yang sedang menjalankan rawat inap di rumah sakit.