PRESENTASI KASUS VITILIGO
Pembimbing : dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK
Disusun Oleh : Suryo Adi Kusumo B.
G4A013002
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2014
1
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN PRESENTASI KASUS
VITILIGO
Oleh :
Suryo Adi Kusumo B.
G4A013002
Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Bagian Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS Margono Soekarjo Purwokerto.
telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal:
Mei 2014
Purwokerto, Mei 2014 Mengetahui Pembimbing,
dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan presentasi kasus dengan judul “ VITILIGO”. Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi sempurnanya presentasi kasus ini. Akhirnya penulis berharap, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan.
Purwokerto, Mei 2014
Penulis
3
BAB I. KASUS
A. Identitas
Nama
: Tn. H
Usia
: 47 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Bener 02/07, Majenang
Pekerjaan
: Petani
Tanggal masuk RS
: 24 April 2014
B. Anamnesis (Autoanamnesis)
1. Keluhan Utama Warna kulit berubah menjadi pucat dan putih di tangan, wajah, kaki. 2. Keluhan Tambahan Pasien tidak mengeluhkan perubahan warna yang terjadi disertai dengan gatal ataupun terasa panas dan pegal. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien laki-laki, usia 47 tahun, datang ke poli Kulit Kelamin RSMS dengan keluhan perubahan warna kulit menjadi lebih pucat dan putih di tangan, kaki dan wajah. Keluhan tersebut sudah ia rasakan sejak usia 40 tahun yang lalu dan semakin melebar. Pasien menyangkal perubahan warna kulit disertai dengan gatal, ataupun rasa pegal dan panas. 4. Riwayat Penyakit Dahulu a.
Riwayat penyakit kulit yang lainnya disangkal
b.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
c.
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
d.
Riwayat kencing manis disangkal
e.
Riwayat penyakit jantung disangkal
f.
Riwayat penyakit ginjal dan hati disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga a.
Riwayat keluhan yang sama disangkal 4
b.
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
c.
Riwayat kencing manis (DM) disangkal
d.
Riwayat penyakit jantung disangkal
e.
Riwayat penyakit ginjal dan hati disangkal
6. Riwayat Pengobatan Pasien sudah rutin berobat ke Poli Kulit dan Kelamin RSMS. 7. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien bekerja sebagai petani, tinggal bersama seorang istri dan keempat anaknya. Pasien terkesan termasuk berstatus ekonomi menengah ke bawah
C. Pemeriksaan Fisik Status Generalis
1. Keadaan Umum
: baik
2. Kesadaran
: composmentis, GCS E4M6V5
3. Vital Sign
: Tekanan darah Nadi
: 130/80 mmHg : 80 x/menit
Laju pernapasan : 20 x/menit Suhu
: 36,5 C
4. Berat badan
: 47 kg
5. Tinggi badan
: 156 cm
6.
: Simetris, mesochepal, rambut hitam, distribusi
Kepala
merata, tidak mudah dicabut, tidak tampak jejas trauma,
tidak
tampak
bekas
operasi,
tidak
terdapat limfadenopati cervical. Terdapat makula hipopigmentasi. 7.
Mata
: Konjungtiva dekstra et sinistra tidak anemis, sklera dekstra et sinistra tidak ikterik
8.
Hidung
: Pada pemeriksaan hidung tidak tampak discharge, nafas cuping hidung, deviasi septum, maupun deformitas.
9.
Mulut
: Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor dan tremor
5
10. Telinga
: Telinga tampak simetris
dan tidak tampak
discharge. 11. Jantung
: Ictus cordis tidak kuat angkat, S1 > S2 reguler, tidak ada murmur maupun gallop
12. Paru
: Suara dasar vesikuler, tidak ada ronkhi dan wheezing
13. Abdomen
: Bising usus (+) normal
14. Ekstremitas
: Tidak terdapat edema pada keempat ektremitas, tidak
terdapat
limfadenopati
inguinal,
akral
hangat, kuku tampak bercahaya, tidak ada lekukan
lekukan
hipopigmentasi
di
milier.
Terdapat
ekstremitas
makula
superior
dan
inferior di regio manus dan pedis menjalar ke arah proksimal. Status Dermatologis
1.
Lokasi
:
Regio manus dextra et sinistra, pedis dextra et sinistra dan facialis 2.
Inspeksi
:
Efloresensi berupa makula hipopigmentasi batas tegas berukuran milier, numular sampai plakat. Rata dengan kulit sekitarnya. Palpasi
:
Perabaan halus seperti kulit di sekitarnya, nyeri tekan -, kalor -, edema -, tanda tetesan lilin -
D. Diagnosis Kerja
Vitiligo
E. Diagnosis Banding
Tinea versicolor, piebaldism, pitiriasis alba.
6
F.
Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan darah rutin, asam urat, liver function test, renal function test, T3 dan T4.
G. Terapi
a. Medikamentosa Topikal Psoralen lotion oles 3 menit dengan paparan sinar matahari kemudian bilas Hidrocortison 2,5% tube ʃ 2 dd 1 oles b. Nonmedikamentosa 1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan perjalanan penyakit yang kronik residif serta kemungkinan sendi dan kuku dapat terkena. Pengobatan memerlukan kesabaran karena sulit mencapai taraf kesembuhan sempurna, pengobatan lebih ditujukan untuk memperbaiki kosmetik dan meningkatkan kulaitas hidup pasien 2. Menjelaskan pasien agar teratur dalam mengkonsumsi obat dan pemakaian obat salep dengan memperhatikan cara penggunaanya
H. Prognosis
Ad vitam ad bonam Ad fungsionam ad bonam Ad sanationam dubia ad malam Ad cosmeticum ad malam
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sejak zaman dahulu vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni shwetekusta, suitra, behak, dan beras.Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa latin, yaknivitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad kedua. Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai dengan gambaran makula putih tidak bersisik,hasil dari hancurnya melanosit kulit secara selektif (Djuanda, 2007). B. Epidemiologi
Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi mencapai 1%. Survey epidemiologi pada kepulauan Bornholm di Denmark menemukan prevalensi vitiligo mencapai 0,38%. Kemungkinan bahwa angka ini juga berlaku untuk negara-negara lain di utara-barat Eropa (Djuanda, 2007). Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat terjadi pada semua usia.Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan laki-laki sama dengan perempuan. Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah kosmetik (Djuanda, 2007).
C. Etiopatogenesis
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secarapoligenikatau
secara
autosomal
dominan.Berdasarkan
laporan,
didapatkan lebih dari30% dari penderita vitiligomempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar identik (Djuanda, 2007).
8
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun, beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada seseorang2 : 1. Faktor mekanis Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi 2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan 3. Faktor emosi / psikis Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat 4. Faktor hormonal Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan. Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 4 hipotesis utama tentang mekanismepenghancuranmelanositpadavitiligo, yang masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu: Hipotesis autoimun adanya hubungan antara vitiligo dengan tiroiditis
Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid melanosit dijumpai pada serum80% penderita vitiligo. Hipotesis neurohormonal karena melanosit terbentuk dari neuralcrest,
maka diduga faktor neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan melanin
dan katekol. Kemungkinan adanya
produk
intermediate yang terbentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh darah terhadap respons transmiter saraf, misalnya asetilkolin. Autositotoksik sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin
ke DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi 9
berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada vitiligo dirusak oleh penumpukan prekursor melanin. Secara in vitro dibuktikan tiroksin, dopa, dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap melanosit. Pajanan terhadap bahan kimiawi depigmentasi kulit dapat terjadi
terhadap pajanan Mono Benzil Eter Hidrokinon dalam sarung tangan atau detergen mengandung fenol (Djuanda, 2007).
D. Gejala Klinis
Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulitdidapat. Kulit vitiligo menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna kulit normal atau oleh hiperpigmentasi. Pada vitiligo, ditemukan makula dengan gambaran seperti “Kapur” atau putih pucat dengan tepi yang tajam (Wolff & Johnson, 2009). Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap
dari
makula
baru.Trichromevitiligo
lama
(tiga
atau
warna:
pengembangan putih,coklat
dari
makula
muda,coklat
tua)
mewakilitahapan yang berbeda dalamevolusi vitiligo (Wolff & Johnson, 2009).
Gambar 1. Vitiligo Tangan,pergelangan
tangan,
lutut,
leher
dan
daerahsekitarlubang(misalnya mulut)merupakan daerah-daerah yangsering ditemukan vitiligo. Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang 10
memutih atau uban prematur. Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula putih, disebut dengan poliosis (Wolff & Johnson, 2009).
E. Klasifikasi
Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Koga membagi vitiligo dalam 2 golongan yaitu (Gawkrodger, 2003): 1. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom. 2. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom. Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya,
membagi Nordlun d
menjadi:
1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas: a) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satudaerah dan tidak segmental. b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalamsatu atau lebih daerah dermatom dan selalu unilateral. c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir(genital dan mulut). 2. Tipe generalisata, yang terdiri atas: a) Bentuk akrofasial : lesi terdàpat pada bagian distal ekstremitasdan muka. b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus. c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris ata u akrofasial
11
3. Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atauhampir seluruh tubuh.
Gambar 2. Gambaran lokasi predileksi vitiligo F.
Diagnosis Banding
Berikut beberapa penyakit yang memiliki lesi seperti vitiligo (Boisy & Manga, 2004) :
Piebaldism
Tinea Vesicolor
Pytiriasis Alba
Leukodermal chemical
Post inflammatory Hypopigmentation
G. Pengobatan
Prinsip penatalaksanaan pada vitiligo yaitu repigmentasi dan menstabilkan proses depigmentasi Proses repigmentasi yang dimaksud yaitu membentuk cadangan baru melanosit yang diharapkan akan tumbuh dalam kulit dan menghasilkan pigmen melanin. Ada banyak pilihan terapi yang dapat memberikan hasil cukup memuaskan pada sebagian besar pasien. Walaupun begitu, pengobatan vitiligo membutuhkan waktu, karena sel yang baru terbentuk akan berproliferasi dan bermigrasi ke daerah yang mengalami depigmentasi. Oleh karenanya 3 bulan merupakan waktu minimal untuk melihat derajat respon terhadap pengobatan yang diberikan (Majid, 2010). 12
Metode pengobatan vitiligo dapat dibagi atas: 1. Pengobatan secara umum yaitu (James et al , 2006).:
Memberikan keterangan mengenai penyakit, pengobatan yang diberikan dan menjelaskan perkembangan penyakit selanjutnya kepada penderita maupun orang tua
Penggunaan tabir surya (SPF12-30) pada daerah yang terpapar sinar matahari. Melanosit merupakan pelindung alami terhadap sinar matahari yang tidak dijumpai pada penderita vitiligo. Penggunaan tabir surya mempunyai beberapa alasan yaitu:
Kulit yang mengalami depigmentasi lebih rentan terhadap sinar matahari (sunburn) dan dapat mengakibatkan timbulnya kanker kulit
Trauma
yang
diakibatkan
sinar
matahari
(sunburn)
selanjutnya dapat memperluas daerah depigmentasi ( Koebner phenomenon)
Pengaruh sinar matahari dapat mengakibatkan daerah kulit normal menjadi lebih gelap
Dianjurkan menghindari aktivitas diluar rumah pada tengah hari dan menggunakan tabir surya yang dapat melindungi dari sinar UVA dan UVB
Kamuflase kosmetik Tujuan penggunaan kosmetik yaitu menyamarkan bercak putih
sehingga tidak terlalu kelihatan. Yang biasa digunakan adalah Covermark dan Dermablend.
2. Repigmentasi vitiligo, dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melihat usia penderita yaitu (James et al , 2006).: A. Usia dibawah 12 tahun
Steroid topikal Penggunaan steroid diharapkan dapat meningkatkan mekanisme pertahanan terhadap autodestruksi melanosit dan menekan proses immunologis. Steroid topikal merupakan bentuk pengobatan yang 13
paling mudah. Steroid yang aman digunakan pada anak adalah yang potensinya rendah. Respon pengobatan dilihat minimal 3 bulan. Pengguaan steroid topikal yang berpotensi kuat dalam jangka waktu lama, dapat menimbulkan efek samping yaitu terjadinya atrofi pada kulit, telengiektasis (James et al , 2006).
Tacrolimus topikal Berdasarkan penelitian tacrolimus topikal 0.1% dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif vitiligo pada anak. Tacrolimus adalah makrolid lakton yang diisolasi dari hasil fermentasi streptomyces tsukubaensis. Merupakan suatu immunosupressor yang poten dan selektif. Mekanisme kerja berdasarkan inhibisi kalsineurin yang menyebabkan supresi dari aktivasi sel T dan inhibisi pelepasan sitokin. Berdasarkan
penelitian,
penggunaan
tacrolimus
topical
0.1%
memberikan hasil yang baik pada daerah wajah dan memiliki efek samping yang lebih minimal dibandingkan dengan steroid topikal poten yaitu adanya rasa panas atau terbakar dan rasa gatal, namun biasanya menghilang setelah beberapa hari pengobatan (James et al , 2006).
PUVA topikal Diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 10 tahun dengan vitiligo tipe lokalisata atau pada lesi yang luasnya kurang dari 20% permukaan tubuh. Digunakan cream atau solution Methoxsalen (8Methoxypsoralen, Oxsoralen) dengan konsentrasi 0,1-0,3%. Dioleskan 12-30 menit sebelum pemaparan pada lesi yang dpigmentasi. Pemaparan menggunakan UV-A dengan dosis awal 0,12 joule dan pada pemaparan berikutnya dosis dapat ditingkatkan sebanyak 0,12 joule sampai
terjadi
menggunakan
eritema sinar
yang
matahari.
ringan. Lamanya
Pemaparan pemaparan
dapat
juga
pada
awal
pengobatan selama 5 menit pada pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit dan maksimum selama 15-30 menit. Pengobatan diberikan satu atau dua kali seminggu, tetapi tidak dalam 2 hari berturut – turut. Setelah selesai pemaparan, daerah tersebut dicuci dengan sabun dan dioleskan tabir surya. Efek samping yang dapat timbul adalah 14
photoaging , reaksi fototoksik dan penggunaan yang lama dapat meningkatkan timbulnya resiko kanker kulit. Respon pengobatan dilihat selama 3-6 bulan (James et al , 2006).
B. Usia lebih dari 12 tahun (remaja)
SISTEMIK PUVA Indikasi penggunaan sistemik psoralen dengan pemaparan UV-A yaitu pada vitiligo tipe generalisata. Obat yang digunakan yaitu Methoxsalen (8-MOP, Oxsolaren), bekerja dengan cara menghambat mitosis yaitu dengan berikatan secara kovalen pada dasar pyrimidin dari DNA yang difotoaktivasi dengan UV-A. dosis yang diberikan 0,2 – 0,4 mg/kg/BB/oral,
diminum
2
jam
sebelum
pemaparan.
Pemaparan
menggunakan UV-A yang berspektrum 320-400 nm. Dosis awal pemberian UV-A yaitu 4 joule. Pada setiap pngobatan dosis UV-A dapat ditingkatkan 2-3 joule sehingga lesi yang depigmentasi akan berubah menjadi merah jambu muda. Dosis tersebut akan dipertahankan pada level yang konstan pada kunjungan yang berikutnya, sehingga terjadi repigmentasi pada kulit. Pemaparan dapat juga menggunakan sinar matahari. Lamanya pemaparan pada awal pengobatan selama 5 menit, pada pengobatan berikutnya dapat ditambahkan 5 menit sehingga dicapai eritema ringan dan maksimum 30 menit. Terapi ini biasanya diberikan satu atau dua kali seminggu tetapi tidak dilakukan 2 hari berturut-turut (Majid, 2010) Efek samping yang dapat timbul yaitu mual, muntah, sakit kepala, kulit terbakar dan meningkatnya resiko terjadinya kanker kulit. Penderita mendapat pengobatan dengan psoralen secara sistemik, sebaiknya sewaktu dilakukan pemaparan menggunakan kacamata pelindung terhadap sinar matahari hingga sore hari, untuk menghindari terjadinya toksisitas pada mata. Terapi dilanjutkan minimum 3 bulan untuk menilai respon pengobatan (Majid, 2010)
15
TERAPI BEDAH Pasien dengan area vitiligo yang tidak luas dan aktivitasnya stabil, dapat dilakukan transplantasi secara bedah, yaitu (Majid, 2010) : 1. Autologous skin graft Sering dilakukan pada pasien dengan bercak depigmentasi yang tidak luas. Tehnik ini menggunakan jaringan graft yang berasal dari pasien itu sendiri dengan pigmen yang normal, yang kemudian akan dipindahkan ke area depigmentasi pada tubuh pasien itu sendiri. Repigmentasi akan menyebar dalam waktu 4-6 minggu setelah dilakukan graft. Komplikasi yang dapat terjadi pada tempat donor yang resipien yaitu infeksi, parut,
cobblestone appearance ataupun
dijumpainya bercak-bercak pigmentasi atau tidak terjadi samasekali repigmentasi. 2. Suction Blister Prosedur tekhnik ini yaitu dibentuknya bulla pada kulit yang pigmentasinya normal menggunakan vakum suction dengan tekanan 150 Hg ataupun menggunakan alat pembekuan. Kemudian atap bula yang terbentuk dipotong dan dipindahkan ke daerah depigmentasi. Komplikasi tekhnik ini adalah timbulnya jaringan parut, cobble stone appearance ataupun terjadi repigmentasi yang tidak sempurna. Tetapi dengan tekhnik ini, resiko timbulnya jaringan parut lebih sedikit dibandingkan prosedur graft yang lain.
DEPIGMENTASI Terapi ini merupakan pilihan pada pasien yang gagal terapi PUVA atau pada vitiligo yang luas dimana melibatkan lebih dari 50% area permukaan tubuh atau mendekati tipe vitiligo universal. Pengobatan ini menggunakan bahan pemutih seperti 20% monobenzyl ether dari hydroquinone (benzoquin 20%), yang dioleskan pada daerah normal (dijumpai adanya melanosit). Dilakukan sekali atau dua kali sehari. Efek samping yang utama adalah timbulnya iritasi lokal berupa kemerahan ataupun timbul rasa gatal. Oleh karena itu dilakukan test pengolesan hanya pada satu lengan bawah yang dioleskan sehari sekali. Apabila dalam 2 16
minggu tidak terjadi iritasi selanjutnya cream dapat dioleskan sehari 2 kali. Kemudian setelah 2 minggu pengolesan tidak terjadi iritasi maka krim tersebut dapat dioleskan pada tempat dimana saja pada tubuh. Bahan ini bersifat sitotoksik terhadap melanosit dan menghancurkan melanosit. Depigmentasi bersifat permanen dan irreversibel. Kulit penderita akan menjadi albinoid dan membutuhkan tabir surya (Shimizu, 2007).
TATTO (MIKROPIGMENTASI) Tatto merupakan pigmen yang ditanamkan dengan menggunakan peralatan khusus yang bersifat permanen. Tehnik ini memberikan respon yang terbaik pada daerah bibir dan pada daerah yang berkulit gelap. Efek sampingnya yaitu terdapat herpes simplex labialis ( Shimizu, 2007).
H. Prognosis
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan penyakit vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur hidup pada penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada masa awal pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara kosmetik hasilnya kurang memuaskan (Djuanda, 2007).
17
III. PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis
Diagnosis vitiligo pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis. Pasien adalah laki laki berusia 47 tahun, onset usia 40 tahun. Onset dimulai saat pasien pada usia 40 tahun dan sudah berlangsung selama 7 tahun. Keluhan yang dirasakan pasien tidak disertai dengan adanya rasa gatal, terbakar maupun pegal. Keluhan hanya berupa perubahan warna kulit yang tidak merata. Pasien mengaku tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama (Wollf & Johnson, 2009). Penyebab vitiligo pada pasien ini masih belum jelas. Pasien mengaku tidak pernah mengalami pembesaran di leher, maupun di tempat lain. Yang mana merupakan salah satu dari gejala tiroiditis. Namun, pasien mengaku bahwa ia sering terpapar pajanan kimia. Pajanan kimia tersebut berupa pupuk kimiawi yang sering ia gunakan saat bekerja. Pasien juga mengaku bahwa ia tidak pernah menggunakan alat pelindung diri saat sedang bertani. Kemungkinan pasien ini mendapat vitiligo dari paparan bahan kimia (Djuanda, 2007). Pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada regio manus dextra et sinistra, regio pedis dextra et sinistra dan facialis. Efloresensi berupa makula hipopigmentasi dengan batas tegas, rata sama dengan kulit di sekitarnya, berukuran polimorfik. Hal ini sesuai dengan teori yang sudah ada, bahwa pasien vitiligo akan mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat dari kulit awalnya, berbatas tegas, rata, dan tidak terdapat keluhan seperti gatal, panas dan sebagainya (Djuanda, 2007). Tempat predileksi yang khas adalah pada wajah, tangan terutama jari-jari, kaki, lutut, pantat, daerah punggung dan dada. Terapi
vitiligo
pada
prinsipnya
adalah
repigmentasi
dan
memperlambat depigmentasi. Respon terapi biasanya buruk. karena memang penyakit ini sukar sekali untuk disembuhkan dan kembali seperti awal. Pada dasarnya, terapi dari vitiligo adalah untuk memperbaiki kosmetik pasien saja, bukan untuk penyembuhan. Terapi vitiligo meliputi terapi topikal yang dapat 18
menggunakan steroid, trimetilpsoralen dan tabir surya. Selain terapi farmakologis tadi, terapi dengan cara paparan ultraviolet juga dapat membantu menyamarkan area lesi vitiligo supaya dapat lebih mirip dengan kulit sekitarnya.
B. Eliminasi Diagnosis Banding
Diagnosis banding dengan tinea versicolor dan pitiriasis alba dapat disingkarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan. Tanda dan gejala yang sangat khas dari tinea maupun penyakit infeksi lainnya adalah terdapatnya rasa gatal, sedangkan di vitiligo pasien sama sekali tidak mengeluhkan adanya rasa gatal. Serta dari efloresensi yang khas dari tinea terdapatnya central healing, skuama halus, serta bisa juga skuama kasar. (Odom, 2000).
C. Penatalaksanaan
Pada kasus ini penatalaksanaan diberikan baik secara nonfarmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan nonfarmakologi adalah berupa edukasi. Edukasi kepada pasien berupa penjelasan kepada pasien mengenai penyakit dan perjalanan penyakit. Pengobatan pada viitiligo juga dijelaskan bahwa prinsipnya adalah hanya menyamarkan lesi yang ada supaya dari segi kosmetik pasien dapat lebih percaya diri. Edukasi yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai kepatuhan pengobatan dengan memperhatikan cara penggunaanya.
Penatalaksanaan farmakologi pada kasus ini adalah
pengobatan topikal berupa trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen. Pada pasien ini digunakan salep psoralen dan hidrokortison disertai dengan paparan sinar UV.
D. Prognosis
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi dapat menetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan penyakit vitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur hidup pada penderita. Perkembangan lesi 19
depigmentasi sering kali responsif pada masa awal pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secara kosmetik hasilnya kurang memuaskan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Boissy RE, Manga P. 2004. Review On the Etiology of Contact/Occupational Vitiligo. Pigment Cell Res. 17: 208 – 214. Djuanda, A. Dermatosis Eritoskuamosa. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007 Gawkrodger DJ. 2003. Dermatology an Ilustrated Colour Text . 3rd ed. Churchill Livingstone: London. James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrews’ Disease of The Skin . 10th ed. Saunders Elsevier: Philadelpia. 860-862. Majid I. 2010. Vitiligo Management : an Update. BJMP. 3(3): a332. Shimizu H. 2007. Shimizu's Textbook of Dermatology. Hokkaido University Press: Japan. 9. Wolff, Klause, RA Johnson. Vitiligo. Dalam: Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth Edition. Newyork; Mc GrawHill Medical Publishing Division. 2009
21
LAMPIRAN
Gambar 3. Gambaran vitiligo di tangan
Gambar 4. Gambaran vitiligo di kaki
22
Gambar 5. Gambaran vitiligo di wajah
23