BAB I
PENDAHULUAN
Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring, diikuti dengan
orofaring lalu laringofaring. Meskipun jarang, namun akibat adanya faktor
prediposisi dan pencetus tertentu, dapat berkembang tumor di daerah ini.
Tumor nasofaring dapat dibedakan menjadi tumor jinak dan tumor ganas.
Tumor jinak nasofaring salah satunya adalah Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma (JNA) hanya menjadi 0,05 hingga 0,5% kasus tumor pada bagian
kepala-leher, namun menjadi yang paling umum terjadi di antara tumor jinak
nasofaring lainnya. Insidensinya tinggi di India dan Mesir dibandingkan
dengan Amerika dan Eropa. Tumor ini sering menjangkit remaja pria dengan
rata-rata terdiagnosis di usia 14-15 tahun.
Selain itu, terdapat juga tumor nasofaring dalam bentuk ganas yang
disebut dengan karsinoma nasofaring. Etiologi dari penyakit ini
multifactorial dan meliputi ras/suku, genetik, lingkungan, dan keterlibatan
virus Epstein-Barr (EBV). Kanker ini jarang dialami oleh populasi Kaukasia,
namun insidensinya tinggi pada ras Cina, dan memiliki kelompok endemic di
antara Eskimo Alaska dan Indian. Kanker ini dapat timbul pada usia
berapapun namun sering ditemukan pada dewasa berusia 50-60 tahun, dan lebih
banyak pada laki-laki.
Untuk dapat mendiagnosis kedua tumor tersebut, dibutuhkan pemeriksaan
yang cermat sehingga dapat memberikan intervensi secepatnya. Selain itu,
penentuan staging juga dapat membantu pilihan terapi yang akan diberikan
untuk penderita. Pada penulisan ini akan dibahas mengenai gambaran klinis,
diagnosis, dan terapi yang tepat untuk kedua bentuk tumor nasofaring
tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
2. Anatomi Nasofaring1,2
Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu: nasofaring, orofaring, dan
laringofaring. Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring,
sehingga disebut juga sebagai epifaring. Nasofaring terletak di
belakang rongga hidung dan meluas dari dasar tengkorak hingga palatum
molle atau tingkat bidang datar yang melewati palatum durum. Batas-
batas dari nasofaring adalah:
Superior = Dasar tengkorak (basisfenoid dan
basioksiput)
Posterior = Arkus vertebra. Batas superior dan
posterior dari nasofaring, pada akhirnya bergabung menjadi
satu.
Inferior = Batas bawah dibentuk oleh palatum molle.
Melalui ismus nasofaringeal, nasofaring berhubungan dengan
orofaring.
Lateral = Tuba eustachius terletak 1,25 cm di
belakang ujung posterior dari konka inferior.
Secara fungsional nasofaring merupakan perpanjangan posterior dari
rongga hidung, sehingga memiliki epitel torak bertingkat bersilia.
Organ-organ yang berada di daerah nasofaring meliputi:
A. Adenoid
Merupakan sekumpulan jaringan limfoid subepitel yang terletak
diperbatasan antara dinding posterior dan atap dari nasofaring.
Adenoid mencapai ukuran maksumalnya hingga 12 tahun, kemudian
menjadi atrofi secara perlahan.
B. Bursa nasofaringeal
Merupakan ceruk berlapis epitel yang berada diantara adenoid dan
meluas dari mukosa faringeal ke periosteum basioksiput. Apabila
terinfeksi, dapat menjadi penyebab pengeluaran sekret postnasal
persisten atau krusta. Terkadang dalam bursa ini juga dapat
terbentuk abses.
C. Rathke's Pouch
Merupakan cekungan di atas organ adenoid dan berperan dalam
invaginasi mukosa bukal, untuk membentuk lobus anterior dari
kelenjar hipofisis.
D. Tuba Tonsil
Merupakan sekumpulan jaringan limfoid subepitel yang terletak pada
elevasi tuba. Organ ini berhubungan dengan adenoid dan menjadi
bagian dari Waldeyer's ring. Ketika organ ini membesar akibat
infeksi, menyebabkan oklusi tuba eustachius.
E. Sinus Morgagni
Merupakan rongga antara dasar tengkorak dan batas atas dari M.
konstriktor superior. Melalui sinus ini, tuba eustachius masuk otot
levator veli palatina, tensor veli palatine, dan cabang arteri
palatine dari arteri fasialis.
F. Passavant's Ridge
Merupakan undukan mukosa yang melambung oleh serat dari
palatofaringeus. Mengelilingi dinding posterior dan lateral dari
ismus nasofaring. Palatum molle, saat berkontraksi membuat kontak
dengan undukan ini untuk memisahkan nasofaring dari orofaring selama
proses berbicara.
Sistem limfatik dari nasofaring, termasuk dari adenoid dan tuba
eustachius, bermuara ke nodus servikalis profunda superior, baik
secara langsung maupun tidak langsung lewat nodus retrofaringeal dan
parafaringeal. Selain itu juga dapat bermuara ke nodus aksesorius
spinalis di segitiga posterior dari leher. Sistem limfatik nasofaring
juga dapat melewati garis tengah dan bermuara ke nodus limfatik
kontralateral.
Supply arteri melalui cabang dari A. carotid eksterna: A. faringeal
asendens, lingual, fasial dan maksilaris. Untuk drainase vena
diperankan oleh pleksus vena faringeal yang bermuara menuju vena
jugularis interna.
Lapisan muscular dari nasofaring dibentuk oleh M. konstriktor
faringeal superior. Otot-otot palatina muncul dari dasar tengkorak
pada kedua sisi dari tuba eustachius. M. levator veli palatina
mengiringi tuba eustachius, menembus fascia faringobasilar sebelum
masuk ke bagian posterior dari palatum molle. Sementara itu M. tensor
veli palatina mengelilingi nasofaring dan hamulus pterygoid sebelum
masuk ke bagian membranosa dari palatum molle. Otot-otot ini, bersama
dengan yang terdapat di lengkung palatofaringeal, mengangkat palatum
molle, menutupkannya melawan passavant's ridge selama proses menelan,
sehingga memisahkan nasofaring dari orofaring.
Innervasi mayoritas dari faring didapatkan dari pleksus
faringeal, yang terdiri dari cabang N. Glosofaringeal (N. IX), cabang
N. Vagus (N. X), dan serabut simpatis dari ganglion servikal superior.
Untuk saraf sensoris, masing-masing bagian faring memiliki inervasi
yang berbeda. Nasofaring diinervasi oleh N. maksilaris (N. V2),
orofaring oleh N. Glosofaringeal (N. IX), dan laringofaring oleh N.
Vagus (N. IX). Untuk saraf motorik, seluruh otot faring diinervasi
oleh N. Vagus (N. X), kecuali M. stylofaringeus yang diinervasi oleh
N. glosofaringeal (N. IX)
2. Fungsi Nasofaring2
Terdapat beberapa fungsi dari nasofaring, yaitu:
1. Berperan sebagai saluran udara, yang telah dihangatkan dan
dilembabkan di hidung, untuk menuju laring dan trakea.
2. Melalui tuba eustachius, melakukan penyaringan telinga tengah dan
menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi dari membrane tumpani.
Fungsi ini sangat penting untuk pendengaran.
3. Elevasi dari palatum molle melawan dinding faring posterior dan
Passavant's ridge memisahkan nasofaring dari orofaring. Fungsi ini
penting untuk proses menelan, muntah, dan bicara.
4. Berperan sebagai ruang resonansi selama proses produksi suara.
5. Berfungsi sebagai saluran drainase untuk mukus yang disekresi oleh
kelenjar di hidung dan nasofaringeal.
\
3. Tumor Jinak Nasofaring1,2
1. Fibroma Nasofaring
Fibroma nasofaring dikenal juga sebagai Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Meskipun kemunculannya jarang, namun jenis ini yang
paling sering muncul di antara tipe-tipe tumor jinak nasofaring
lainnya.
A. Epidemiologi
JNA adalah suatu kelainan yang jarang ditemui dan mewakili ( 0,05
– 0,5% dari seluruh neoplasma kepala dan leher. Rata-rata usia
saat diagnosis ditegakkan adalah 7-19 tahun (tersering 15 tahun).
Jarang terjadi pada pasien-pasien berusia diatas 25 tahun dan
memiliki risiko kematian yang sangat rendah.3
B. Etiologi
Penyebab pastinya tidak diketahui. Karena tumor ini banyak
dijumpai pada remaja laki-laki dengan kisaran usia 20 tahun,
sehingga diperkirakan berhubungan dengan hormon testosterone.
Penderita umumnya memiliki nidus hamartomatosa dari jaringan
vascular di nasofaring, yang kemudian teraktifasi membentuk
angiofibroma seiring dengan munculnya hormon seks pria.
C. Lokasi dan Perkembangan
Lokasi awal kemunculan dari tumor ini masih menjadi perdebatan.
Pada mulanya, dianggap timbul dari atap nasofaring, atau dinding
anterior dari tulang sfenoid namun kini dipercaya kemunculannya
berasal dari bagian posterior dari rongga hidung dekat batas
superior foramen sphenopalatina. Dari tempat tersebut, tumor
berkembang ke dalam rongga hidung, nasofaring, dan ke dalam fossa
pterygopalatina, menuju ke belakang dinding posterior dari sinus
maksilaris yang akhirnya terdorong ke depan saat tumor membesar.
Secara lateral, tumor tersebut meluas hingga fossa
pterygomaksilaris dan kemudian fossa infratemporalis dan pipi.
D. Patologi
Angiofibroma, sesuai dengan namanya, terbentuk dari jaringan
vaskular dan fibrosa: rasio antara keduanya bervariasi. Umumnya,
pembuluh darahnya hanya berupa lapisan endotel tanpa otot. Hal ini
menyebabkan kejadian perdarahan yang berat karena pembuluh
darahnya kehilangan kemampuan untuk berkontraksi, serta tidak
dapat dikontrol dengan pemberian adrenalin.
E. Penyebaran
Fibroma nasofaring merupakan tumor jinak, namun dapat menginvasi
secara lokal dan menghancurkan struktur di sekitarnya.
Penyebarannya dapat menjangkau:
1. Rongga hidung, menyebabkan obstruksi hidung, epistaksis dan
pengeluaran sekret dari hidung.
2. Sinus paranasal, meliputi sinus maksilaris, sfenoid, dan
ethmoid.
3. Rongga mata, menyebabkan timbulnya proptosis dan 'deformitas
wajah katak'. Tumor ini masuk melalui fissure orbita inferior,
dan juga menghancurkan puncak dari orbita. Dapat juga masuk
melalui fissure orbita superior.
4. Rongga kranial. Fossa kranialis tengah yang paling sering,
disebabkan oleh rute masukannya melalui:
- Erosi dari lantai fossa kranialis media, anterior dari
foramen lacerum. Tumor ini berada lateral dari A. karotid dan
sinus kavernosus.
- Sinus sfenoid, ke dalam sella. Tumor berada medial dari A.
karotid.
F. Gambaran Klinis
1. Epistaksis berat dan rekuren, merupakan gejala yang paling
sering ditemui dan pasien sangat berisiko untuk mengalami anemia
karena kehilangan darah yang signifikan.
2. Obstruksi hidung dan denasal speech. Gejala ini timbul akibat
adanya massa yang mengjalangi rongga postnasal.
3. Tuli konduksi dan otitis media serosa, akibat obstruksi dari
tuba eustachius.
4. Massa di nasofaring, umumnya memiliki sifat imobil, berlobus
atau dapat juga halus dan menyumbat satu atau kedua koana.
Berwarna pink atau keunguan dengan konsistensi padat.
5. Dapat juga ditemukan gejala lain seperti perluasan jembatan
hidung, proptosis, pembengkakan daerah pipi dan fossa
infratemporal, atau keterlibatan gangguan N. II, III, IV, VI
tergantung penyebaran dari tumor.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Soft Ttissue Lateral menunjukkan adanya massa jaringan lunak
dalam nasofaring.
2. X-ray dari sinus paranasalis dan basis kranii dapat menunjukkan
perubahan posisi septum nasal, gambaran opak pada sinus,
pembungkukkan anterior dari dinding posterior sinus maksilaris,
erosi dari pelat sphenoid atau pterygoid, dan pelebaran batas
lateral bawah dari fissure orbita superior.
3. CT-scan dari kepala dengan kontras merupakan pemeriksaan pilihan
utama dan telah menggantikan radiografi konvensional. Dapat
menunjukkan penyebaran tumor, desktruksi tulang atau perubahan
posisi lain. Kemungkinan dijumpai pembungkukkan dari dinding
posterior sinus maksilaris (antral sign) yang merupakan
patognomic dari tumor angiofibroma.
4. MRI, dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan CT-scan apabila
penyebaran tumor mencapai intracranial dalam fossa infratemporal
atau ke dalam orbita.
5. Angiografi karotid, dapat memperlihatkan penyebaran rumor,
vaskularisasi dan keadaan pembuluh darahnya. Kadang-kadang juga
sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis
intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan
mempermudah pengangkatan tumor.
6. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan sebab biopsi
merupakan kontraindikasi karena dapat mengakibatkan perdarahan
yang masif.
H. Klasifikasi
Sistem klasifikasi JNA berdasarkan Radkowski
I. Tatalaksana
Sampai saat ini, pembedahan merupakan terapi gold standar dari
JNA. Beberapa pilihan terapi JNA, antara lain kemoterapi,
radioterapi, hormonal terapi, embolisasi.
1. Terapi hormonal
Karena tumor ini muncul pada remaja pria menjelang pubertas,
terapi horman telah digunakan baik sebagai terapi primer maupun
tambahan. Terapi hormonal tersebut diberikan pada pasien dengan
stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker
(flutamid). Berdasarkan hasil penelitian Gates et al, anti-
androgenik seperti flutamide (2-methyl-n-[4-nitro-
3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide) dapat mengurangi pertumbuhan
angiofibroma nasofaring juvenil dan penyusutan tumor hingga 44
%.1,4
Estrogen juga telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi
tumor, namun memiliki efek samping feminisasi, dan resiko
komplikasi kardiovaskuler. Terapi estrogen diberikan dengan dosis 3
x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat
mengurangi tendensi perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan
membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan
preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari
selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi
vaskularisasi. Efek samping pemberian dietilstilbestrol adalah
menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atrofi
testis.3
2. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang
rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit
dicapai dengan pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya
komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan.
Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard
untuk mengontrol lesi.
Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor
tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar
efektif, radioterapi sebenarnya harus ditunjang dengan terapi
pembedahan. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk
penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari
27 pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23
(85%) dan empat pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua
hingga lima tahun. Akan tetapi komplikasi jangka panjang dari
radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan
pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis,
katarak, dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga
melaporkan keganasan kepala dan leher sekunder sebagai efek samping
dari radioterapi terhadap JNA. Prognosis dari radioterapi sendiri
ditentukan oleh stadium tumor, dimana lebih baik pada tumor stadium
rendah tapi kurang memberi hasil pada tumor stadium akhir.
3. Embolisasi
Beberapa ahli menggunakan embolisasi preoperatif untuk menguragi
vaskularisasi tumor. Suplai darah terutama berasal dari arteri
maksilaris interna, dan lain-lain berasal dari arteri karotis
interna, arteri karotis kommunis, atau arteri faringeal ascenden.
Embolisasi preoperatif terbukti menurunkan kehilangan darah selama
operasi. Para ahli menggunakan partikel yang dapat diserap dengan
waktu ideal antara embolisasi dan operasi adalah 24-72 jam.
Komplikasi embolisasi preoperatif cukup tinggi (20%) berupa
oklusi arteri retina sentral dan kebutaan sementara, fistula
oronasal, oklusi arteri serebral media yang diikuti stroke, dan
oklusi arteri oftalmika.
4. Terapi pembedahan5,6
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-
situs anatomis di basis kranii, pilihan metode pendekatan bedah
dilakukan berdasarkan stadium tumor dan berdasarkan pengalaman dari
operator. Terapi pembedahan dapat dibedakan menjadi pembedahan
terbuka dan pembedahan endoskopik.
i. Pembedahan Terbuka
Pendekatan pembedahan dapat dibagi menjadi inferior, anterior,
dan lateral. Pendekaran inferior meliputi transpalatal dan
transoral-transpharyngeal dengan atau tanpa memisahkan palatum
molle. Teknik ini memberikan akses yang baik pada nasaofaring
dan kavum nasi. Pendekatan anterior dasarnya adalah membuka
kavum nasi, meliputi tehnik lateral rhinotomy dan midfacial
degloving dan dapat diperluas melalui maksila medial untuk
mengekspos antrum, sinus ethmoid, dan fossa pterygopalatine
(metode LeFort I, Denker's, dan medial maxillectomy). Pendekatan
lateral dilakukan untuk mencapai fossa infratemporal,melaluirutr
preauricular subtemporal.
Pendekatan Transpalatal
Pendekatan ini baik sekali untuk mencapai tumor di
nasofaring yang meluas ke sphenoid dan nasal posterior.
Banyak jenis insisi palatum, namun yang paling sering
digunakan adalah insisi bentuk huruf "U". insisi tersebut
dapat diperluas ke tuberositas maksila dan bergabung dengan
insisi sublabial, bila ingin mencapai pterigopalatum. Setelah
dilakukan insisi berbentuk huruf "U", jabir mukoperiosteal
diangkat ke atas, sedangkan tulang palatum durum posterior
dibuang. Bila tumor sudah lengkap terlihat maka tumor dapat
diangkat bersama-sama dengan mukoperiosteum nasofaring.
Pendekatan Rinotomi Lateral
Insisi rinotomi lateral atau Weber-Ferguson digunakan untuk
mencapai rongga hidung dan sinus maksilaris. Bila ingin
mencapai fossa pterigopalatina, insisi dapat diperluas ke
tuberositas maksila. Kekurangan dari pendekatan rinotomi
lateral adalah terdapatnya jaringan parut pada wajah dan
biasanya dilakukan hanya pada tumor yang tumbuh unilateral.
Oleh karenanya pendekatan ini perlu dikombinasi dengan
pendekatan transpalatal untuk dapat mengangkat tumor secara
utuh.
Pendekatan Sublabial (Midfacial Degloving)
Pendekatan ini merupakan perluasan dari insisi sublabial
bilateral dan transversal maksila. Pendekatan degloving ini
tidak menimbulkan parut di wajah ataupun gangguan fungsi
palatum. Keuntungan lainnya adalah pendekatan ini dapat
mencakup lapang pandang operasi yang cukup luas, yaitu rongga
hidung, nasofaring, dan daerah muka sepertiga tengah, sinus
maksilaris, fossa pterigomaksila serta fossa infratemporal.
Conley dan Price mengembangkan teknik operasi ini dengan
menggabungkan empat macam insisi yaitu insisi sublabial
bilateral pada sulkus ginggivobukal, insisi transfiksi yang
memisahkan tulang rawan lateral atas dan jaringan lunak
hidung serta insisi apertura piriformis pada kedua sisi.
Setelah itu keempat insisi dihubungkan, jaringan muka
sepertiga tengah dapat ditarik ke cranial sampai mencapai
sutura nasofontal dan lengkung infraorbita, serta dapat
dilakukan reseksi tulang untuk mencapai lapangan operasi yang
diinginkan. Komplikasi yang didapat adalah stenosis
vestibulum.
Pendekatan intrakranial
Pada kasus-kasus tumor yang sudah meluas ke intrakranial,
dapat dilakukan kombinasi pendekatan intrakranial dan
ekstrakranial rinotomi bilateral. Bila tumor intrakranial
cukup kecil dan mudah digerakkan, maka dapat diangkat
bersamaan dengan tumor ekstrakranial melalui lubang defek
tempat masuknya melalui fossa media. Akan tetapi bila tumor
intracranial agak besar, harus direseksi tepat pada defek
tempat masuknya ke fossa media.
ii. Pembedahan endoskopi
Perkembangan teknik endoskopi dan pengetahuan akan anatomi
menyebabkan penggunaan nasal endoskopi untuk operasi JNA adalah
hal yang mungkin. Pembedahan endoskopi dan embolisasi
preoperatif meminimalkan perdarahan.
Keuntungan dari pembedahan endoskopi antara lain waktu
rehabilitasi pasca operasi yang minimal, waktu inap yang lebih
singkat, dan meminimalkan infeksi nosokomial.
Mengesampingkan keuntungan-keuntungan diatas, tingkat rekurensi
dilaporkan sekitar 30-50%, kebanyakan muncul 12 bulan pertama
setelah perawatan. Semakin muda usia pasien dan semakin lanjut
perjalanan penyakit, maka semakin besar rekurensi akan terjadi.
J. Prognosis
Prognosis untuk JNA sangat baik jika diagnosis tepat waktu dan
jika belum menyebar sampai ke intra kranial. Persentase kesembuhan
setelah operasi mencapai 80-85%.1,4
2. Tumor Jinak Lainnya
Tumor jinak lainnya sangat jarang, namun apabila terjadi biasanya
berasal dari atap atau dinding lateral dari nasofaring. Contoh tumor
lainnya adalah teratoma, adenoma pleomorfik, chordoma, hamartoma,
choristoma, paraganglioma.2
4. Tumor Ganas Nasofaring
2.
2.
1. Karsinoma Nasofaring1,2
A. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit multifaktorial. Insidensi
dan distribusi geografisnya bergantung dengan beberapa faktor seperti
kerentanan genetik, faktor lingkungan, makanan, dan gaya hidup
personal. Karsinoma nasofaring paling banyak terjadi di Cina dan
Taiwan. Ras Amerika Utara, insidensinya sebesar 0,25% sementara ras
Amerika-Cina, insidensinya mencapai 18%. Ras Cina yang lahir di
Amerika memiliki insidensi yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang
lahir di Cina. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian
penyakit ini di Cina adalah, pembakaran dupa atau kayu, penggunaan
ikan asin yang diawetkan, serta defisiensi vitamin C. Sementara itu,
di India dan sekitarnya penyakit ini jarang ditemukan, kecuali di
regio timurlaut yang penduduknya didominasi oleh ras Mongolia.
Masyarakat di Negara Cina Selatan, Taiwan, dan Indoenesia lebih rentan
terhadap kanker ini.
B. Etiologi
Etiologi yang sebenarnya tidak diketahui, namun faktor yang diduga
berperan meliputi:
1. Genetik. Ras Cina memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap kanker
nasofaring. Bahkan setelah migrasi ke negara lain, ras tersebut
masih memiliki insidensi yang tinggi.
2. Virus. Yang berhubungan dengan kanker ini merupakan virus Epstein-
Barr. Telah dikembangkan marker spesifik untuk virus ini untuk
menyaring penderita di area dengan insidensi tinggi.
3. Lingkungan. Polisi udara, konsumsi rokok atau opium, ikan asin
yang diawetkan, dan asap dari pembakaran dupa atau kayu diduga
memiliki keterlibatan dengan kanker ini.
C. Patogenesis7,8
Pada mulanya, perkembangan tumor ini disebabkan oleh kehilangan
alel dari kromosom 3p dan 9p pada fungsi tubuh normal, yang
menyebabkan inaktivasi dari gen supresi tumor (p14m 15, p16)
menyebabkan dysplasia ringan. Hal tersebut saja tidak akan menyebabkan
perkembangan tumor. Dengan adanya infeksi EBV, dysplasia ringan
tersebut akan berkembang menjadi dysplasia berat. Kemudian dengan
penerimaan kromosom 12 dan kehilangan kromosom 11q, 13q, 16q, berujung
pada karsinoma yang invasif. Metastase dapat terjadi karena mutasi
dari p53 dan perubahan ekspresi dari cadherin.
D. Patologi7,8
Secara histologis, sesuai yang terlihat di bawah mikroskop cahaya,
WHO telah mengelompokkan pertumbuhan epitel menjadi 3 tipe.
Tipe I : Karsinoma sel skuamosa dengan derajat diferensiasi yang
bervariasi.
Tipe II : Karsinoma non-keratin (dengan/tanpa stroma limfoid).
Tipe III : Karsinoma tidak terdiferensiasi (dengan/tanpa stroma
limfoid).
Tipe I meliputi karsinoma sel skuamosa (KSS) berkeratin,
memiliki karakteristik dari diferensiasi skuamosa, termasuk jembatan
interseluler dan produksi keratin yang berlebihan. Tipe ini kemudian
dikelompokkan lagi menjadi terdiferensiasi sedang atau berat.
Tipe II yang dimaksud oleh WHO meliputi karsinoma nonkeratin yang
pada dasarnya mewakili semua tumor yang tidak termasuk tipe I atau
tipe III. Tipe III meliputi karsinoma tidak terdiferensiasi, dahulu
disebut limfoepitelioma karena terdiri dari sel epitel tidak
terdiferensiasi dan sel limfoid. Tipe II dan III menunjukkan derajat
pelomorfisme seluler yang lebih luas dibandingkan dengan tipe
berkeratin dan memiliki pola mikroskopis yang spindle, transisional,
sel anaplastik, limfoepitelioma, atau kombinasi diantaranya. Variasi
tersebut, serta gambaran klinis yang serupa menjadikan sulit untuk
membuat perbedaan histologis yang jelas sehingga kedua tipe tersebut
disarankan untuk dikelompokkan sebagai satu, yaitu tipe kanker
nasofaringeal tidak terdiferensiasi. Tipe II dan III umumnya
radiosensitive dan memiliki control lokal yang lebih baik dibandingkan
dengan KSS, namun juga menunjukkan tingkat kejadian metastase jauh
yang tinggi.
E. Gambaran Klinis
1. Hidung. Pada hidung umumnya penderita akan mengalami gejala
obstruksi nasal, sekresi nasal, denasal speech, dan epistaxis.
2. Otologik. Keluhan pada telinga timbul akibat obstruksi dari tuba
eustachius yang membuat tuli konduktif, atau bahkan berkembang
sebagai otitis media serosa atau supuratif. Tinnitus dan sakit
kepala juga dapat muncul. Adanya otitis media serosa unilateral
harus menimbulkan kecurigaan adanya perkembangan massa dari
ansofaringeal.
3. Opftalmoneurologik. Tanda ini timbul akibat ekstensi tumor ke
region sekitarnya, dapat mempengaruhi seluruh saraf kranialis.
Keterlibatan N. VI dapat menyebabkan penglihatan juling dan
diplopia. Keterlibatan N. III, IV, VI menyebabkan oftalmoplegia,
sementara invasi N. V melalui foramen laserum menyebabkan nyeri
wajah dan pengurangan reflex kornea. Keterlibatan N. IX, X, dan
XI dapat juga timbul sebagai sindroma foramen jugular yang
umumnya disebabkan karena adanya tekanan pada nodus limfatikus
retrofaringeal lateral di leher. N. XII juga dapat terlibat
akibat penyebaran dari kanalis hipoglosus. Horner syndrome juga
dapat muncul akibat keterlibatan rantai servikalis simpatis.
Kanker nasofaring juga dapat menyebabkan tuli konduksi (blockade
tuba eustachius), neuralgia temporoparietal ipsilateral
(keterlibatan N. V), dan paralisis palatal (N. X) yang ketiganya
disebut Trotter's Triad.
4. Metastase nodus servikalis. Tandalumpl ini dapat hanya menjadi
satu-satunya manifestasi dari karsinoma nasofaring. Adanya
benjolan pada nodus ditemukan di sudut antara rahang dan mastoid
dan sejalan aksesoris spinalis pada area segitiga posterior dari
leher.
5. Metastase jauh ke tulang, paru, hati, dan tempat lain.
F. Diagnosis7,8
Gejala klinis dari kanker nasofaring (secara berurutan dari yang
paling umum dijumpai) adalah limfadenopati servikal, menurunnya
pendengaran, obstruksi nasal, epistaksis, gangguan nervus kranialis
(biasanya paralisis N. VI), sakit kepala, sakit telinga, sakit leher,
penurunan berat badan. Diagnosis harus ditunjang oleh anamnesa yang
lengkap dan pemeriksaan klinis, meskipun gejala klinisnya umum namun
kecurigaan harus terbentuk apabila penderita berada di daerah
geografis yang endemic.
Pemeriksaan dari rongga postnasal dengan menggunakan
nasofaringoskop sangat penting, dapat digunakan endoskopi yang rigid
maupun fleksibel. Endoskopi yang rigid memberikan gambaran lebih baik,
namun karena sifatnya yang kaku menyebabkan gerakannya terbatas
terutama di dalam nasofaring yang sempit atau terdapat variasi
anatomis. Endoskopi fiberoptik nasofaring yang fleksibel lebih
atraumatic dan dapat digerakan secara leluasa untuk mendapatkan
gambaran lebih ke inferior.
Biopsi dapat dilakukan untuk diagnosis yang lebih pasti karena
memperlihatkan histogis dari keganasan. Lokasi kemunculan yang paling
sering adalah fossa Rosenmüller dan atap nasofaring. Biopsi umumnya
dikerjakan dengan pasien berada dalam anestesi lokal. Biopsi
transnasal dapat dilakukan melalui nasofaringoskopi indirek.
Terkadang, perlu dilakukan biopsy dengan pasien berada dalam anestesi
umum, baik pada pasien yang dicurigai dengan rekurensi submukosal yang
membutuhkan biopsy dalam atau pasien dengan hasil biopsy negatif yang
berulang. Untuk usaha terakhir dapat dilakukan kuretasi nasofaring
Biopsi umumnya diperlukan dari modus servikalis sebagai diagnosis.
Fine-needle aspiration cytology (FNAC) merupakan metode diagnosis
jaringan yang paling aman dan cepat. Biopsi terbuka, pada kedua bentuk
insisional atau eksisional harus dihindari karena telah terbukti dapat
berisiko pada keselamatan.
Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan menggunakan MRI dengan
gadolinium dan supresi jaringan lemak sehingga memperlihatkan gambaran
multiplanar serta jaringan lunak yang lebih naik. Tampak koronal
berguna untuk menentukan apabila tumor telah menyebar melalui fissure
petroklinoid atau foramen laserum ke dalam sinus kavernosus, termasuk
juga ke dalam foramen ovale, rotundum atau spinosum. Ampak aksial
memperlihatkan ekstensi kedalam ruang retrofaringeal,
paranasofaringeal dan pterygomaksilaris, serta ke dalam fossa
infratemporal. Namun dengan CT-scan dapat terlihat ada tidaknya
keterlibatan tulang, terutama erosi dari basis kranii dan lebih akurat
dalam memperlihatkan keadaan limfadenopati servikal, teratama apabila
terdapat penyebaran intrakapsular. Sehingga, kedua alat penunjang
tersebut saling melengkapi dan dapat dibutuhkan untuk memberikan
informasi maksimal mengenai penyebaran penyakit. Pemeriksaan radiologi
juga memperikan informasi penting mengenai kondisi dari nodus
faringeal, yang sering menjadi tempat drainase, namun sulit dinilai
melaui pemeriksaan klinis saja.
Saat tumor telah meluas melewati nasofaring, penyakit ini dapat
menyebar dengan cara yang beragam. Penyebaran secara lateral yang
paling umum terjadi, melalui fascia faringobasilar, menyebabkan
berpindahnya rongga parafaringeal ke arah lateral. Apabila terjadi
penyebaran anterolateral, dapat menuju pterygoid yang merupakan otot
pengunyahan dan menyebabkan trismus. Penyebaran secara posterolateral
dapat melibatkan selubung carotid atau foramen jugularis menyebabkan
kelumpuhan sarah karnialis IX, X, XI, XII.
Penyebaran anterior menuju fossa nasalis dan melalui foramen
sfenopalaitna ke dalam fossa pterygopalatina. Fossa pterygopalaitina
dapat juga terkena akibat invasi langsung di prosesus pterygoid atau
melalui rongga masticator. Tanda awal dari keterlibatan fossa tersebut
adalah obliterasi dari kandungan lemak normal. Saraf maksilaris
akhirnya dapat ikut terlibat dan menyebabkan penyebaran menuju sinus
kavernosus lewat foramen rotundum.
Penyebaran superior menyebabkan erosi dari sinus sfenoid atau basis
kranii, dengan atau tanpa ekstensi intracranial. Ekstensi
superolateral meliputi apeks dari petrosa dan foramen lacerum yang
akhirmya mencapai sinus kavernosus dan menyebabkan kelumpuhan saraf
III, IV, V, dan VI.
Positron emission tomography scans (PET CT-Scan) telah menjadi alat
diagnostic yang esensial dalam penanganan penyakit yang residual atau
rekuran. Penelitian menunjukkan kegunaannya dibandingkan dengan CT
pada 36 pasien yang dievaluasi setelah tatalaksana dan dilaporkan
memiliki 100% sensivitas, 96% spesifitas, 97% akurasi dalam diagnosis.
G. Klasifikasi
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan American Joint
Committee on Cancer (AJCC)
H. Tatalaksana
1. Radiasi merupakan pilihan terapi yang utama, karena 2 alasan
penting yaitu (1) tumor ini relatif sulit dijangkau untuk
ekstirpasi pembedahan terutama apabila telah menyebar melewati
nasofaring dan (2) sifat dari tumor ini radiosensitif. Terapi
menggunakan voltase tinggi yang diarahkan ke nodus servikalis
dengan dosis 6000-7000 rads.
2. Kemoterapi digunakan karena meskipun radiasi sendiri
menghasilkan hasil yang optimal pada stage I dan II, namun untuk
stage III dan IV terapi radiasi masih berisiko untuk menimbulkan
rekurensi lokal dan kegagalan sistemik. Untuk stage III dan IV
dapat digunakan kombinasi kemoterapi dan radioterapi yang
dosisnya dinaikkan dua kali, melebihi 7000 rads. Kemoterapi
dapat diberikan bersamaan dengan atau setelah radioterapi.
Kemoterapi telah ditemukan berguna untuk mengontrol metastase
dari limfepitelioma dan karsinoma nasofaring tidak
berdiferensiasi. Tujuan akhir dari kemoradioterapi pada Ca
Nasofaring adalah untuk meningkatkan control lokal dari tumor
dan menangani metastase jauh.
3. Pembedahan radikal leher diperlukan apabila ditemukan nodus yang
persisten meskipun primernya telah teratasi. Residual atau
rekuren tumor umumnya membutuhkan paparan kedua dari radiasi
atau brachytheraphy. Atau dapat juga dilakukand dengan
cyrosurgery melalui fenestrasi palatal atau kauss-kasus tertentu
dengan pembedahan basis kranii.
2. Karsinoma Nasofaring Lainnya
Karsinoma lainnya jarang, namun terdapat beberapa bentuk yaitu
limfoma, rhabdosarkoma, plasmasitoma, kordoma, karsinoma sistik
adenoid, melanoma.2
BAB III
PENUTUP
3. Kesimpulan
Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma merupakan neoplasma yang
terletak di bagian posterolateral dari nasofaring, umumnya terjadi pada
remaha laki-laki dan timbul dengan gejala epistaksis. Pembedahan dan
radioterapi merupakan pilihan terapi yang utama namun mengingat kasus JNA
sendiri sangat langka, sangatlah penting untuk mengevaluasi neoplasma
lainnya yang mungkin juga bermanifestasi pada rongga hidung.
Karsinoma nasofaring
4. Saran
Sebagai seorang dokter umum yang bekerja di lini pertama, penting
untuk mengenali tanda-tanda dan gejala yang mengarah pada kedua tumor
nasofaring ini, serta membandingkannya dengan diagnosis yang lain.
Apabila diagnosis dapat ditegakkan dari dini, maka pengambilan keputusan
untuk tatalaksana yang tepat dapat dilakukan secepatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-step
Learning Guide. New York: Thieme; 2006.
2. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Elsevier;
2013.
3. Tewfik TL. Juvenile Angiofibroma [Accessed on:
http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#a0199]
4. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190
5. Snyderman CH, Pant H, Carrau RL, Gardner P. Juvenile Angiofibromas.
In Expert Consult, chapter 6. USA : Elseiver. 2009
6. Nicolai P, Berlucci M, Tomenzoli D, et al. Endoscopic Surgery for
Juvenille Angiofibroma: When and How. Laryngoscope, 2003
7. Lo S, Lee N, et al. 2009. Nasopharynx, Squamous Cell Carcinoma.
8. Ondrey F. G, Wright S.K. 2003. Ballenger 16th ed; Chap 60: Neoplasms
of The Nasopharynx p.1393-1402. William & Wilkins: Spain.
-----------------------
Gambar 1. Nasofaring sebagai Bagian dari Laring
Gambar 2. Organ yang Terletak pada Nasofaring
Gambar 3. Sistem Limfatik Nasofaring
Gambar 4. Perdarahan Nasofaring
Gambar 5. Otot-otot Nasofaring
Gambar 6. Persarafan Nasofaring
Gambar 7. Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma
Gambar 8. Pendekatan Transpalatal
Gambar 9. Pendekatan Rinotomi Lateral
Gambar 10. Midfacial Degloving
Gambar 11. Patogenesis Karsinoma Nasofaring
Gambar 12. Staging dan Metastase Karsinoma Nasofaring. Secara berurutan,
dari atas kiri-kanan ke bawah kiri-kanan. Stage 0, Stage I, Stage IIA,
Stage IIB, Stage III, Stage IVA, Stage IVB, Stage IVC.